Sungguh menarik dan dinamis minggu kedelapan di tahun 2011 ini dari sudut pandang pembelajar ilmu komunikasi seperti saya. Ada tiga peristiwa yang berkaitan dengan isu kemediaan yang terjadi di Indonesia tercinta di minggu ini. Dua peristiwa menjadi pembicaraan media dan masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah. Satu peristiwa lainnya agak luput dari perhatian media. Walau begitu, ketiganya sangatlah penting sebagai momen awal memperbaiki kehidupan bermedia kita yang sudah semakin jauh dari kepentingan publik atau visi kepublikan. Media semakin terombang-ambing di tengah samudera berbagai kepentingan ekonomi dan politik yang berlebihan namun kehilangan panduan “mercu suar” visi kepublikan.
Peristiwa yang pertama adalah, masih berkaitan dengan minggu lalu, rencana boikot asosiasi importir film Amerika untuk mendistribusikan film mereka di bioskop Indonesia. Isu kemudian berkembang lebih jauh menjadi isu kedaulatan bangsa atau nasionalisme. Biasalah, pemerintah akan berlindung pada payung nasionalisme bila terdesak. Kita tentunya masih ingat bagaimana kontroversi muncul ketika ada rencana kontrol ketat terhadap Blackberry yang awalnya karena pornografi. Pada masa awal Menkominfo “diserang” karena rencana tersebut. Namun ketika isu beralih pada nasionalisme, RIM yang tak mau membayar pajak, kontroversi kemudian mereda dan hilang.
Untuk kasus rencana boikot importir film tersebut, pemerintah kemudian berkomentar bahwa pajak yang tidak dibayarkanlah pokok masalahnya, bukan kenaikan pajak. Sayangnya, di dalam beberapa berita yang saya akses kemudian tidak ada pendapat dari pihak yang bertentangan dengan pemerintah. Pemberitaan kasus ini sekali lagi menunjukkan semestinya media sejak awal memberitakan peristiwa dari dua sisi pihak yang berkontroversi. Bukan misalnya, di awal dari sisi A dan kemudian dari sisi B. Seperti halnya kasus rencana boikot ini. Apalagi belakangan, kita ketahui dari media bahwa pihak MPA tidak pernah berencana memboikot distribusi film mereka di Indonesia. Di masa awal munculnya berita tentang kasus ini, pihak yang kontra terhadap kebijakan pemerintah yang mendominasi. Barulah kemudian pihak pemerintah dan kelompok yang pro yang mendominasi. Sejak awal seharusnya media, terutama media online, menyampaikan dua posisi tersebut, atau bahkan lebih, terutama pihak netral terhadap isu.
Menurut saya, peristiwa ini justru menunjukkan ketidakbecusan pemerintah sekarang. Bagaimana mungkin kita bisa percaya penuh dengan Departemen Keuangan setelah kasus Gayus? Saya juga tidak begitu percaya dengan Kementerian Budaya dan Pariwisata yang memiliki kecenderungan mengatur, bukannya menjadi fasilitator, perfilman Indonesia. Selain itu, kasus ini juga menunjukkan koordinasi antar elemen pemerintah yang lemah dan berbeda dalam memberikan informasi kepada publik. Mudah dilihat bagaimana kedua “organ” pemerintah tersebut memberikan keterangan yang berbeda untuk kasus bea masuk film asing ini, antara lain kurun waktu importir film tidak membayar pajak. Keduanya semestinya bisa berkoordinasi dahulu sebelum mengeluarkan pernyataan ke media, dan terutama berkoordinasi terlebih dulu sebelum mengeluarkan kebijakan supaya nantinya langkah pemerintah tersebut tetap “bijak”.
Peristiwa kedua, yang juga mendapatkan perhatian luas dari media dan masyarakat, adalah kritik keras Dipo Alam, Sekretaris Kabinet, terhadap media. Secara spesifik dia menyebut tiga media, yaitu: Metro TV, TV One, dan koran Media Indonesia. Terlepas dari media yang juga belum memadai dalam menyampaikan berita, seorang aparat pemerintah semestinya tidak melontarkan kritik tersebut. Dia bisa berdialog terlebih dahulu dengan Dewan Pers sebagai regulator untuk pers. Di dalam kritik tersebut, dia juga menyerukan agar berbagai departemen di pemerintah tidak beriklan di media yang bersangkutan, juga tidak memberikan informasi kepada ketiga media tadi. Dipo Alam tidak hanya melontarkan kritik “tercupu” atas media pasca Orde Baru, tetapi juga melanggar UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik. Aparat pemerintah yang satu ini sebelumnya sudah mengeluarkan pernyataan yang tidak nyaman yaitu menyebut para pemuka agama yang mengritik pemerintahan SBY sebagai gagak pemakan bangkai berbulu merpati. Sulit membayangkan pemerintah akan mendapat simpati dari masyarakat bila ada aparatnya yang “bermulut tajam” seperti ini.
Peristiwa ketiga adalah kementerian BUMN yang “menitipkan” dua organisasi pesan media milik negara pada dua kementerian, yaitu PFN (Perusahaan Film Nasional) dititipkan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Balai Pustaka dititipkan kepada Kementerian Pendidikan Nasional. Peristiwa ini kurang mendapatkan perhatian dari media, hanya sumber informasi tulisan ini, www.detikfinance.com yang memberitakannya. Walau sepi dibicarakan, momen “penitipan” ini bisa krusial bagi kepentingan publik (sayangnya, istilah menitipkan tidak dijelaskan lebih lanjut oleh sumber informasi, apakah penitipan itu hanya meminta “pekerjaan” atau di bawah pengelolaan dua kementerian tadi).
PFN pada masa lalu, terutama dekade 1980-an, adalah produsen pesan milik negara yang banyak memproduksi film yang kuat nuansa ke-Indonesia-annya, antara lain “Si Unyil”, “Rumah Masa Depan”, dan “Jendela Rumah Kita”. Pesan audio visual atau film yang paling sering dibicarakan sebagai bentuk propaganda terkuat Orde Baru juga diproduksi oleh PFN, yaitu “Pengkhianatan G 30 S PKI”. Sementara itu, Balai Pustaka adalah penerbit terkenal pada masa lalu. Produsen pesan media fiksional yang turut mempengaruhi nasionalisme bangsa Indonesia sampai kita merdeka. Siapa yang bisa menyangsikan peran Balai Pustaka dalam pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia?
Kita patut mencermati peristiwa ini karena sesuai dengan pengalaman, kementerian atau elemen pemerintah itu sangat lekat dengan kepentingan kelompok tertentu, terutama asal partai politik sang Menteri. Jarang yang benar-benar membawa kepentingan seluruh bangsa tercinta ini. Organisasi produksi pesan media yang ada di bawa kepentingan publik dan dibiayai oleh negara saja, sangat rentan diambil kembali oleh pemerintah. Tengoklah RRI dan TVRI yang sebenarnya milik publik, masih diinginkan oleh pemerintah untuk menjadi corongnya. Keinginan tersebut pernah disampaikan oleh Wakil Presiden dalam HUT LKBN Antara tahun lalu. Contoh lainnya, kita bisa melihat Diknas yang baru-baru ini mencetak dan mendistribusikan buku-buku tentang SBY. Hal ini secara etis tidak bisa dibenarkan karena pencetakan dan pendistribusian tersebut menggunakan uang rakyat, apalagi presiden SBY masih berkuasa. Sebaiknya buku-buku yang dicetak adalah buku-buku tentang para pendiri bangsa yang visi nasionalisme jauh ke depan atau bila mau adil sebaiknya yang dicetak adalah buku-buku biografi tentang semua presiden yang pernah memimpin negeri ini.
Jangan sampai PFN dan Balai Pustaka dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu yang tidak sejalan dengan kepentingan publik. Kita tahu bahwa informasi adalah bagian yang penting dalam tarik-menarik kepentingan politik. “Penitipan” PFN dan Balai Pustaka sebaiknya jangan dilihat hanya sebagai perpindahan perusahaan tetapi juga dipahami sebagai beralihnya produsen pesan dan pendistribusi informasi penting yang rentan dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu. Selayaknya, keduanya diperhatikan dengan baik oleh kita semua agar visi kepublikaannya semakin kuat. Semestinya organisasi produsen media “milik” pemerintah atau pun publik menempatkan masyarakat sebagai alasan utama bereksistensi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar