Minggu, 20 Februari 2011

BBB (Belajar Bermedia Bersama) 7

Di minggu ketujuh tahun 2011 ini ada beberapa peristiwa dalam kajian media yang menarik untuk diamati. Satu tentang hal yang belum diliput oleh media, satu hal lain cukup marak diperbincangkan di media, baik di media massa maupun media interaktif. Kita bincangkan terlebih dahulu soal yang belum diangkat oleh media namun cukup banyak “menyerbu” sekitar tiga minggu terakhir. Ini adalah fenomena di media baru, yaitu media seluler. Sebagian dari kita kemungkinan mendapatkan pesan pendek di handphone yang mengajak kita untuk berinvestasi. Ada yang mengajak untuk berinvestasi dalam penjualan pulsa dan ini yang terbanyak mengirim SMS. Ada juga pesan pendek yang mengajak berinvestasi secara umum. Biasanya SMS ini berasal dari seseorang yang menggunakan nama asing, mengajak untuk berkerjasama dengan mitra lokal. SMS jenis terakhir ini juga berindikasi kuat sebagai upaya penipuan karena identitas yang tak jelas dan informasi yang tidak memadai.



Untuk investasi dalam penjualan pulsa, sudah ada yang tertipu sempat mengirimkan dana namun pulsa yang dijanjikan tak ada. Dana itu menguap tak tentu rimbanya. Mungkin dana tersebut adalah dana yang bernilai kecil saja, namun karena merugikan banyak orang, secara akumulatif sang penipu mendapatkan dana yang sangat besar dari kejahatannya tersebut. Tindak kejahatan seperti ini adalah modus baru kejahatan dengan menggunakan seluler sebagai pendukungnya, sebelumnya adalah kejahatan SMS undian berhadiah dan SMS meminta pulsa dengan menggunakan “mama papa”.



Pertanyaannya adalah, apakah pihak berwenang, dalam hal ini pemerintah, sudah memberikan perlindungan yang memadai kepada warganya? Warga masyarakat yang masih mudah dininabobokan oleh harapan-harapan kosong undian karena hidup senyatanya yang serba sulit. Warga yang belum sepenuhnya memiliki literasi media baru yang memadai ini sangat rentan ditipu dan menjadi korban dari pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab. Walau eksistensi peraturan perundangan ini masih menimbulkan polemik, sesungguhnya Undang Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disusun untuk melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan ilegal dan jahat. Bukan pada hal tak substantif semisal pencemaran nama baik, seperti yang mengemuka setelah UU tersebut disahkan tahun 2008 lalu. Perlindungan publik pengakses media baru oleh UU ini antara lain ditunjukkan oleh pasal 9 yang berbunyi sebagai berikut: “Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”.



Soal kedua yang cukup menarik untuk diperbincangkan adalah soal perfilman Indonesia. Beberapa hari ini ada dua kasus menarik berkaitan dengan dunia film Indonesia. Kasus pertama adalah protes masyarakat soal film “Arwah Goyang Kerawang”, yang dianggap melecehkan warisan budaya dan citra kabupaten Kerawang dan Jawa Barat secara luas. Protes tersebut disampaikan oleh sekelompok perempuan yang menamakan dirinya Gabungan Organisasi Wanita Karawang (GOW) mendatangi gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (detikhot.com, 18/02/2011). Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, mendukung langkah warga dan mempersoalkan film tersebut lewat Lembaga Sensor Film (Koran Tempo, 19 Februari 2011). Seperti kita ketahui bersama, LSF biasanya “lemah” bila terkait dengan film-film yang bermuatan pornografi dan kekerasan, namun sangat ketat bila berkaitan dengan film yang bernuansa politik kritis.



Sementara kasus kedua adalah boikot dari Hollywood atas peredaran film mereka di Indonesia. Boikot tersebut dipicu oleh kebijakan pemerintah Indonesia, melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai, yang memberlakukan beban bea masuk atas hak distribusi film impor (detikhot.com, 18/02/2011). Hal tersebut termaktub dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-3/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Berupa Royalti dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Pemasukan Film Impor. Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyebutkan hal ini sebagai bagian dari reformasi perpajakan dalam industri perfilman di Indonesia (kompas.com, 20/02/2011). Tindakan boikot tersebut berpotensi memicu Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (IKAPIFI) menghentikan pasokan film ke Indonesia. IKAPIFI pun akan berhenti mengimpor film dari Eropa, Mandarin, India dan film-film dunia lainnya (detikhot.com, 18/02/2011).



Seperti biasa, kasus ini kemudian melahirkan pro kontra. Pihak yang pro dengan tindakan pemerintah kemudian berlindung di balik konsep nasionalisme. Pendapat mereka yang utama adalah film-film asing sudah sepantasnya mendapatkan pajak tambahan. Momen ini kemudian dianggap sebagai langkah awal untuk kebangkitan film Indonesia. Film Indonesia sebenarnya telah bangkita sejak awal dekade 2000-an kemarin melalui film “Petualangan Sherina” dan “Ada Apa Dengan Cinta”. Film “Ayat-Ayat Cinta” dan “Laskar Pelangi” bertahun kemudian semakin menasbihkan kebangkitan film Indonesia. Namun, memang dua tahun terakhir ini pelan tapi pasti kondisi dunia film Indonesia mulia menurun kembali. Hal ini antara lain ditandai dengan kisruhnya penyelenggaraan FFI terakhir.



Pihak yang pro dengan tindakan Hollywood melalui Motion Pictures Association (MPA) secara umum menilai tindakan pemerintah dalam menerapkan bea masuk sudah berlebihan. Menurut mereka tidak lazim pajak tersebut bila diterapkan. Menurut Juru Bicara 21 Cineplex Noorca Massardi, tidak ada di belahan dunia mana pun pajak bea masuk atas hak distribusi film impor (detikhot.com, 18/02/2011). Hal yang menurut saya menarik namun tidak diperhatikan oleh wartawan adalah apakah Noorca Massardi memang mewakili Motion Pictures Association (MPA)? Mengapa wartawan tidak mengontak MPA secara langsung? Apakah memang tidak ada bea masuk serupa di negara lain? Semestinya media melalui jurnalistik mencoba mendudukkan masalah dengan baik, bukannya malah ikut beropini tanpa dasar argumen yang kuat. Bila informasi faktual sudah memadai diberikan, barulah media berperan sebagai forum, yaitu mempertemukan ragam pendapat dengan ciamik.



Hal yang mirip terjadi ketika PSSI lewat Nugraha Besoes menyampaikan kritik FIFA atas keberadaan LPI. Surat dari FIFA tersebut disinyalir palsu oleh banyak pihak namun wartawan tidak langsung mengkonfirmasinya kepada FIFA. Keesokan harinya barulah salah seorang wartawan mengirim email ke FIFA. Tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan yang “hebat” padahal semestinyalah memperdalam informasi, termasuk mengkonfirmasi narasumber penting, adalah kerja wartawan, bukan suatu kelebihan atau keutamaan.



Kembali pada isu boikot MPA. Pertanyaannya, tidak adakah cara yang lebih baik dalam menyelesaikan masalah agar masyarakat tidak dirugikan? Menurut saya, boikot dari asosiasi perfilman Hollywood yang terkesan mendadak dikarenakan penetapan yang juga terburu-buru tanpa kajian dan sosialisasi yang memadai. Sayangnya, bila menyangkut isu nasionalisme, kita kurang kritis mengkaji dan pada akhirnya masyarakatlah yang dirugikan. Kini, setelah film-film Hollywood baru tak diputar di bioskop sementara film-film nasional belum siap, masyarakat penonton jualah yang dirugikan terlepas di Indonesia juga terjadi monopoli untuk pihak yang mengeksebisi film.



Jujur saja, film Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan film Hollywood bahkan mendekati pun tidak. Apalagi kondisi terkini juga menunjukkan film Indonesia belumlah baik. Secara kuantitas, untuk tahun 2010 kemarin saja film Indonesia yang beredar sebanyak 81 film sementara film impor berjumlah 180 film (kompas.com, 20/02/2011). Secara kualitas dan tema judul, film Hollywood memiliki kualitas rata-rata bagus dan beragam tema. Film Indonesia rata-rata belum bagus dan beragam temanya, terutama yang berbau pornografi dan kekerasan. Di saat film Hollywood sudah membicarakan dunia digital seperti film “Tron Legacy”, film Indonesia masih berkisah tentang hantu walau hantu itu ada di Facebook.

Kasus ini adalah momentum untuk menyusun aturan main yang baik untuk perfilman Indonesia. Biarlah dinamika, maju-mundurnya, film ada di tangan para pekerja yang ada di dunia perfilman. Pemerintah bertugas menjaga aturan main yang menguntungkan masyarakat dan insan perfilman, bukan menjadi pihak yang ikut “bermain” atau mengatur ini itu yang tak penting dan menjadikan media film sebagai obyek kekuasaan seperti jaman Orde Baru dahulu. Kita semua rindu film Indonesia menjadi lebih baik lagi dan menjadi potret bagus bagi masyarakat dan pengambil kebijakan di Indonesia.


#####

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...