Sebenarnya ada hal yang lebih mendesak untuk didiskusikan dan dianalisis agar bisa dijadikan sebagai landasan bertindak, yaitu pemberitaan mengenai dua konflik agama beberapa hari terakhir ini. Namun karena memiliki “tanggung-jawab” untuk melaporkan hasil diskusi yang dilaksanakan oleh PKMBP (Pusat Kajian Media dan Budaya Populer) Senin kemarin, 7 Februari 2011, hasil diskusi tersebut tetap mesti dituliskan juga. Selain itu, diskusi kali ini juga bersamaan dengan peluncuran kembali newsletter Polysemia, media organ PKMBP yang sangat lama tidak terbit. Polysemia kali ini adalah edisi kelima. Bukan apa-apa, tidak ada maksud kami “mengalihkan isu” dengan mengangkat topik yang sedikit out of date. Tulisan ini hanya sekadar membuat kegiatan tersebut terdokumentasi dan menjadi sarana bagi kami untuk belajar bersama, sesuai dengan slogan Polysemia, "Belajar Bermedia Bersama". Bila ada manfaatnya bagi pihak lain, hal itu kami syukuri. Selain itu, topik pemberitaan media atas konflik agama adalah topik yang akan berusaha kami diskusikan dekat-dekat ini.
Diskusi ini menghadirkan dua narasumber utama, yaitu ibu Ayu Rukini, penduduk Desa Jogomangsan, Rejosari, Berbah, Sleman, yang kediamannya paling dekat dengan persawahan tempat pola crop cirlce “ditemukan”. Pembicara yang lain adalah Wendratama, pendiri situs dibalikberita.org, situs yang berusaha mendedah isu-isu penting yang kurang lengkap atau bahkan tidak dilaporkan oleh media, dan juga peneliti di PKMBP. Diskusi pemberitaan media tentang crop circle ini pun tidak dimaksudkan untuk lebur pada polemik apakah crop circle itu buatan manusia atau bukan, melainkan ingin memperbincangkan peran media yang kurang optimal dalam memberitakannya.
Sejak kemunculannya pertama-kali, 23 Januari 2011 polemik dan debat telah mengemuka. Dua pertanyaan yang menarik untuk ditelusuri adalah bagaimana proses kejadiannya, sebuah pola crop circle yang rumit, bisa muncul di persawahan? dan pertanyaan, siapa yang membuatnya? Pertanyaan pertama dan kedua memang sulit dipisahkan bila media ingin melaporkannya dalam berita. Kenyataannya, pertanyaan kedualah yang terus menerus dimunculkan oleh media, terutama televisi tanpa coba merekonstruksi kejadian dengan sebaik-baik dan secermat-cermatnya.
Berkaitan dengan kasus pemberitaan crop circle ini, bisalah kita meminjam salah satu konsepsi milik Denis McQuail untuk menakar kualitas berita, faktualitas. Faktualitas adalah satu dari enam konsep untuk menilai apakah sebuah berita memiliki kualitas yang memadai. Faktualitas adalah dasar bagi sebuah berita dan merupakan yang terpenting dibandingkan dengan lima yang lain. Definisinya adalah fakta atau kenyataan empiris yang dilaporkan dalam pesan media. Apa dan bagaimana kenyataan yang dilaporkan oleh media menentukan kualitas berita. Faktualitas terdiri dari tiga aspek, yaitu nilai informasi, keterbacaan (readability), dan kemampuan untuk dicek (checkability). Berita tentang crop circle akan coba dianalisis melalui ketiga aspek tersebut, terutama aspek nilai informasi. Nilai informasi sendiri terdiri dari tiga pintu masuk, yaitu keragaman, kedalaman, dan keluasan informasi faktual (lihat Denis McQuail (1992). Media Performance:Mass Communication and the Public Interest. London: Sage Publications. 205-206).
Walaupun berpijak pada peristiwa, seringkali persoalan informasi yang dilaporkan dalam berita tidak sama persis antar media. Hal ini disebabkan tiap informasi selalu melekat nilai dan posisi. Ini disebut oleh McQuail sebagai dimensi evaluatif dari informasi, sementara faktualitas sejatinya ada dalam dimensi informatif. Dengan demikian, untuk mengamati sekumpulan informasi muncul di media, kita mesti juga memiliki pemahaman atas konteks. Pemahaman atas konteks biasanya dimiliki oleh pembelajar media yang serius, terutama yang mengetahui metode analisis teks media. Asumsi ini juga terjadi pada kasus pemberitaan crop circle. Berkaitan dengan keragaman informasi, kualitasnya bisa dikatakan tak memadai. Pada tahap awal pemberitaan informasi tidak cukup beragam dan lebih diarahkan pada kesimpulan bahwa crop circle dibuat oleh bukan manusia, terutama yang disampaikan oleh televisi. Pada fase selanjutnya, setelah pihak yang memiliki otoritas datang, informasi juga tidak beragam karena berita sudah “diarahkan” pada kesimpulan bahwa crop circle itu buatan manusia. Pihak yang “memiliki” otoritas memang cenderung mengarahkan pada kesimpulan bahwa crop circle itu dibuat oleh manusia. Hal yang sama terjadi di semua negara di mana crop circle muncul. Menurut Wendratama, hal ini terjadi karena otoritas biasanya berusaha mencegah panik massa dan tidak menunjukkan ketidakmampuan pemerintah.
Hal yang mengejutkan adalah komentar Ayu Rukini. Menurutnya, warga sudah jengah didatangi oleh wartawan. Dia juga menganggap wartawan sudah memiliki kesimpulan sendiri sehingga pertanyaan yang diajukan cenderung mengarah pada kesimpulan bahwa crop circle itu dibuat oleh manusia. Wartawan kemudian dianggap sama dengan pihak berwenang yang memaksakan pendapatnya. Ketika akan berangkat untuk diskusi kali ini pun, bu Ayu mewanti-wanti agar tidak ada wartawan yang datang karena khawatir dengan pertanyaan yang menyudutkan seperti yang dilakukan oleh polisi. Wartawan secara umum dianggap tidak berusaha merekonstruksi kembali kejadian melalui pelaporannya.
Hal yang sama terjadi pada aspek nilai informasi kedalaman. Informasi yang disampaikan oleh berita di beberapa media rata-rata kurang mendalam. Selain detail proses munculnya crop circle yang tidak memadai, hal lain yang bisa diamati adalah penyimpulan polisi bahwa pembuatnya adalah manusia. Kesimpulan tersebut didasarkan pada desas-desus yang muncul pada sebuah situs dan tidak bisa dianggap akurat. Apalagi ketika media masuk ke fakultas MIPA UGM, media hanya menggunakan sumber resmi, yaitu dekan fakultas MIPA dan humas UGM. Pertanyaannya, mengapa tidak melacak mahasiswanya secara langsung? Sumber informasi yang mengatakan bahwa pembuat crop circle adalah mahasiswa MIPA UGM sebenarnya kurang valid karena berdasarkan gosip belaka dan pengakuan yang belum tentu kebenarannya.
Aspek nilai informasi keluasan malah lebih tidak memadai lagi dijabarkannya. Sebuah informasi menjadi pintu masuk bagi audiens untuk memahami realitas dengan baik. Sayangnya media mengaitkannya dengan informasi ataupun realitas lain yang kurang luas. Pada fase awal kasus crop circle ini dikaitkan dengan UFO (Unidentified Flying Object). Sayangnya sumber penguat informasinya hanya dari situs youtube yang kurang memadai dan film the Signs yang bertema crop circle. Sayangnya lagi, mengapa informasi faktual mesti diperkuat dengan informasi fiksional? Sebuah kejadian nyata yang dikaitkan dengan film fiksi pastilah tidak memadai pelaporannya. Padahal masih banyak sumber lain yang layak dipercaya. Sumber lain itu misalnya film dokumenter yang berjudul Crop Circles: Cross Overs from Another Dimension (2006) yang mendedah fenomena tersebut secara ilmiah, seperti yang disampaikan oleh Wendratama. Feature terkemuka tersebut menjelaskan fenomena crop circle dengan sangat bagus. Salah seorang peserta yang berprofesi sebagai wartawan juga berpendapat bahwa di dalam menulis berita wartawan pun tidak dibolehkan mengambil dari sumber yang kurang dipercaya, antara lain situs-situs yang informasinya kurang layak.
Pada fase kedua pun, ketika pemberitaan menyimpulkan bahwa crop circle itu buatan manusia, penarikan kesimpulannya tidak memadai. Siapa “manusia” yang membuatnya dalam waktu kurang dari dua jam, karena menurut Ayu Rukini, sampai pukul 03.00 tidak ada aktivitas manusia di persawahan tempat crop circle ditemukan, sementara sekitar pukul 05.00 pagi masyarakat sudah “menemukan” keberadaan crop circle tersebut. Ketika polisi kemudian melansir pernyataan bahwa pembuat crop circle bisa dihukum, pada awalnya wartawan juga tidak merujuk aturan hukum apa yang dilanggar. Pun ketika pihak MIPA UGM menyatakan bersedia mengganti kerugian petani yang sawahnya menjadi “korban” crop circle, media tidak menelisik mengapa pernyataan tersebut muncul. Bila tidak bisa dibuktikan mahasiswa adalah pembuatnya, mengapa mesti mengganti kerugian petani? apakah petani memang benar-benar rugi? banyak pertanyaan yang masih bisa diajukan oleh wartawan agar kita bisa "membaca" realitas dengan lebih lengkap.
Sungguh, kasus ini adalah topik yang menarik untuk dianalisis oleh para pembelajar media, yaitu bagaimana sebuah fakta dilaporkan. Bila sebuah kejadian dilaporkan, laporan tersebut memadai dan memenuhi aspek faktualitas karena faktalah yang diurusi oleh pemberitaan. Pada dasarnya, laporan jurnalistik dan tulisan ilmiah itu sama saja, yaitu bagaimana menyampaikan fakta dengan benar sesuai dengan prinsip-prinsip pelaporan. Perbedaannya, pemberitaan itu ada di wilayah kehidupan sehari-hari, sementara tulisan ilmiah itu berada dalam wilayah dunia akademis. Persamaan yang lain adalah bagaimana keduanya mampu memberikan informasi yang baik dan berguna dalam kehidupan publik, agar lebih baik, agar lebih tercerahkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar