Rabu, 21 Mei 2014

Sekilas Kisah dari Nunukan

Tugu Nunukan di Pagi Hari


Awal bulan kemarin, tepatnya tanggal 6 sampai dengan 12 Mei 2014, saya berkesempatan riset di Nunukan, salah satu kabupaten di propinsi termuda di Indonesia. Sungguh, pengalaman riset kali ini bersama rekan-rekan PKMBP dan LPP RRI tak akan terlupakan sekaligus saya juga bisa merasakan luasnya Indonesia ketika berada di perbatasan. Seperti halnya banyak kota di Kalimantan, Nunukan memiliki tugu yang cenderung militeristik dan lumayan lengang di pagi hari seperti yang ditunjukkan oleh foto paling atas.

Riset kami ketika di Nunukan bertopik peran LPP RRI dalam membentuk identitas ke-Indonesia-an. Nunukan berbatasan langsung dengan Malaysia, Bila malam terlihat perbedaan yang kontras penerangan di Malaysia dan Indonesia. Namun warga di sini berpendapat bahwa walau perut Malaysia, hati tetap Indonesia, yang artinya kira-kira walaupun bekerja dan mencari hidup di Malaysia, mereka tetap menyintai Indonesia. Indonesia selalu ada di hati.

Di kabupaten Nunukan terdapat salah satu pulau yang wilayahnya terbagi rata antara Indonesia dan Malaysia. Ada beberapa pelabuhan di pulau Nunukan dan dua di antaranya dapat membawa kita ke pulau Sebatik. Perjalanan ke Sebatik ditempuh kira-kira selama lima belas menit dengan ongkos sekitar lima belas ribu per penumpang dan lima puluh ribu untuk penumpang yang membawa sepeda motor. Di bawah ini adalah salah satu pelabuhan yang dapat membawa kita ke Sebatik.

Pelabuhan Menuju Sebatik


Di pulau Sebatik ada beberapa desa yang "dibelah" oleh tapal batas. Salah satunya ditunjukkan oleh tugu di bawah ini. Tugu ini membagi dua desa, sebagian di Indonesia dan sebagiannya lagi di Malaysia. Perbatasan sederhana tersebut hanya ditandai oleh satu garda jaga sebesar pos jaga. Gardu-gardu ronda di pulau Jawa jauh lebih besar dari pos jaga perbatasan tersebut.

Tapal Batas


Hal yang paling unik di Sebatik adalah kehadiran rumah "terpanjang" di dunia seperti yang dapat diamati pada foto di bawah ini. Disebut rumah terpanjang karena ruang tamu dan ruang keluarga terletak di Indonesia, sementara dapur dan kamar mandinya terletak di Malaysia. Ada rekan yang bercanda bahwa di rumah ini bila ingin ke belakang penghuninya mesti menggunakan paspor.

Rumah "terpanjang", melintasi dua negara, Sebatik


Seperti halnya warga negara di wilayah Indonesia yang lain. Nasionalisme warga di Sebatik juga tinggi. Sangat tinggi malah, seperti yang terlihat di tugu di bawah ini: "NKRI adalah harga mati", tak bisa ditawar, tak ada negosiasi. Pemandangan di sekitar tugu Garuda Perkasa ini sangat indah. Hamparan wilayah Sebatik yang masih luas terlihat dengan jelas dari tugu ini.

Tugu Garuda Perkasa


Terdapat empat belas tapal batas Indonesia dan Malaysia di pulau Sebatik. Beberapa di antaranya ada di laut. Seperti yang ditunjukkan pada foto di bawah ini. Selain krusial sebagai wilayah yang dijaga habis-habisan, wilayah ini juga sangat indah. Lautnya biru dan dangkal. Selain itu tapal batas ini juga dilengkapi dengan pelabuhan rakyat di mana warga pulang pergi ke Tawau, Malaysia, dengan cepat. Daratan yang terlihat di kejauhan tersebut adalah Tawau. Seringkali warga dua negara saling datang berkunjung hanya untuk sekadar mengadakan pesta ulang-tahun atau bersilaturahmi dengan saudara. Seperti yang kita lihat sebelumnya, warga desa yang bersaudara bisa berbeda kewarganegaraan walau rumahnya bertetangga.

Tapal Batas Laut


Tapal Batas Laut


Entah kapan bisa mengunjungi Nunukan dan Sebatik lagi. Saya lebih ingin berkunjung ke banyak wilayah perbatasan dan juga wilayah-wilayah Indonesia yang lain dibandingkan dengan ke luar negeri, karena masih banyak wilayah yang luar biasa indah. Allah SWT memang merahmati Indonesia: wilayah yang indah, orang-orang yang baik. Jayalah Indonesia!


******

1 komentar:

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...