Sungguh menarik dan dinamis minggu kedelapan di tahun 2011 ini dari sudut pandang pembelajar ilmu komunikasi seperti saya. Ada tiga peristiwa yang berkaitan dengan isu kemediaan yang terjadi di Indonesia tercinta di minggu ini. Dua peristiwa menjadi pembicaraan media dan masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah. Satu peristiwa lainnya agak luput dari perhatian media. Walau begitu, ketiganya sangatlah penting sebagai momen awal memperbaiki kehidupan bermedia kita yang sudah semakin jauh dari kepentingan publik atau visi kepublikan. Media semakin terombang-ambing di tengah samudera berbagai kepentingan ekonomi dan politik yang berlebihan namun kehilangan panduan “mercu suar” visi kepublikan.
Peristiwa yang pertama adalah, masih berkaitan dengan minggu lalu, rencana boikot asosiasi importir film Amerika untuk mendistribusikan film mereka di bioskop Indonesia. Isu kemudian berkembang lebih jauh menjadi isu kedaulatan bangsa atau nasionalisme. Biasalah, pemerintah akan berlindung pada payung nasionalisme bila terdesak. Kita tentunya masih ingat bagaimana kontroversi muncul ketika ada rencana kontrol ketat terhadap Blackberry yang awalnya karena pornografi. Pada masa awal Menkominfo “diserang” karena rencana tersebut. Namun ketika isu beralih pada nasionalisme, RIM yang tak mau membayar pajak, kontroversi kemudian mereda dan hilang.
Untuk kasus rencana boikot importir film tersebut, pemerintah kemudian berkomentar bahwa pajak yang tidak dibayarkanlah pokok masalahnya, bukan kenaikan pajak. Sayangnya, di dalam beberapa berita yang saya akses kemudian tidak ada pendapat dari pihak yang bertentangan dengan pemerintah. Pemberitaan kasus ini sekali lagi menunjukkan semestinya media sejak awal memberitakan peristiwa dari dua sisi pihak yang berkontroversi. Bukan misalnya, di awal dari sisi A dan kemudian dari sisi B. Seperti halnya kasus rencana boikot ini. Apalagi belakangan, kita ketahui dari media bahwa pihak MPA tidak pernah berencana memboikot distribusi film mereka di Indonesia. Di masa awal munculnya berita tentang kasus ini, pihak yang kontra terhadap kebijakan pemerintah yang mendominasi. Barulah kemudian pihak pemerintah dan kelompok yang pro yang mendominasi. Sejak awal seharusnya media, terutama media online, menyampaikan dua posisi tersebut, atau bahkan lebih, terutama pihak netral terhadap isu.
Menurut saya, peristiwa ini justru menunjukkan ketidakbecusan pemerintah sekarang. Bagaimana mungkin kita bisa percaya penuh dengan Departemen Keuangan setelah kasus Gayus? Saya juga tidak begitu percaya dengan Kementerian Budaya dan Pariwisata yang memiliki kecenderungan mengatur, bukannya menjadi fasilitator, perfilman Indonesia. Selain itu, kasus ini juga menunjukkan koordinasi antar elemen pemerintah yang lemah dan berbeda dalam memberikan informasi kepada publik. Mudah dilihat bagaimana kedua “organ” pemerintah tersebut memberikan keterangan yang berbeda untuk kasus bea masuk film asing ini, antara lain kurun waktu importir film tidak membayar pajak. Keduanya semestinya bisa berkoordinasi dahulu sebelum mengeluarkan pernyataan ke media, dan terutama berkoordinasi terlebih dulu sebelum mengeluarkan kebijakan supaya nantinya langkah pemerintah tersebut tetap “bijak”.
Peristiwa kedua, yang juga mendapatkan perhatian luas dari media dan masyarakat, adalah kritik keras Dipo Alam, Sekretaris Kabinet, terhadap media. Secara spesifik dia menyebut tiga media, yaitu: Metro TV, TV One, dan koran Media Indonesia. Terlepas dari media yang juga belum memadai dalam menyampaikan berita, seorang aparat pemerintah semestinya tidak melontarkan kritik tersebut. Dia bisa berdialog terlebih dahulu dengan Dewan Pers sebagai regulator untuk pers. Di dalam kritik tersebut, dia juga menyerukan agar berbagai departemen di pemerintah tidak beriklan di media yang bersangkutan, juga tidak memberikan informasi kepada ketiga media tadi. Dipo Alam tidak hanya melontarkan kritik “tercupu” atas media pasca Orde Baru, tetapi juga melanggar UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik. Aparat pemerintah yang satu ini sebelumnya sudah mengeluarkan pernyataan yang tidak nyaman yaitu menyebut para pemuka agama yang mengritik pemerintahan SBY sebagai gagak pemakan bangkai berbulu merpati. Sulit membayangkan pemerintah akan mendapat simpati dari masyarakat bila ada aparatnya yang “bermulut tajam” seperti ini.
Peristiwa ketiga adalah kementerian BUMN yang “menitipkan” dua organisasi pesan media milik negara pada dua kementerian, yaitu PFN (Perusahaan Film Nasional) dititipkan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Balai Pustaka dititipkan kepada Kementerian Pendidikan Nasional. Peristiwa ini kurang mendapatkan perhatian dari media, hanya sumber informasi tulisan ini, www.detikfinance.com yang memberitakannya. Walau sepi dibicarakan, momen “penitipan” ini bisa krusial bagi kepentingan publik (sayangnya, istilah menitipkan tidak dijelaskan lebih lanjut oleh sumber informasi, apakah penitipan itu hanya meminta “pekerjaan” atau di bawah pengelolaan dua kementerian tadi).
PFN pada masa lalu, terutama dekade 1980-an, adalah produsen pesan milik negara yang banyak memproduksi film yang kuat nuansa ke-Indonesia-annya, antara lain “Si Unyil”, “Rumah Masa Depan”, dan “Jendela Rumah Kita”. Pesan audio visual atau film yang paling sering dibicarakan sebagai bentuk propaganda terkuat Orde Baru juga diproduksi oleh PFN, yaitu “Pengkhianatan G 30 S PKI”. Sementara itu, Balai Pustaka adalah penerbit terkenal pada masa lalu. Produsen pesan media fiksional yang turut mempengaruhi nasionalisme bangsa Indonesia sampai kita merdeka. Siapa yang bisa menyangsikan peran Balai Pustaka dalam pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia?
Kita patut mencermati peristiwa ini karena sesuai dengan pengalaman, kementerian atau elemen pemerintah itu sangat lekat dengan kepentingan kelompok tertentu, terutama asal partai politik sang Menteri. Jarang yang benar-benar membawa kepentingan seluruh bangsa tercinta ini. Organisasi produksi pesan media yang ada di bawa kepentingan publik dan dibiayai oleh negara saja, sangat rentan diambil kembali oleh pemerintah. Tengoklah RRI dan TVRI yang sebenarnya milik publik, masih diinginkan oleh pemerintah untuk menjadi corongnya. Keinginan tersebut pernah disampaikan oleh Wakil Presiden dalam HUT LKBN Antara tahun lalu. Contoh lainnya, kita bisa melihat Diknas yang baru-baru ini mencetak dan mendistribusikan buku-buku tentang SBY. Hal ini secara etis tidak bisa dibenarkan karena pencetakan dan pendistribusian tersebut menggunakan uang rakyat, apalagi presiden SBY masih berkuasa. Sebaiknya buku-buku yang dicetak adalah buku-buku tentang para pendiri bangsa yang visi nasionalisme jauh ke depan atau bila mau adil sebaiknya yang dicetak adalah buku-buku biografi tentang semua presiden yang pernah memimpin negeri ini.
Jangan sampai PFN dan Balai Pustaka dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu yang tidak sejalan dengan kepentingan publik. Kita tahu bahwa informasi adalah bagian yang penting dalam tarik-menarik kepentingan politik. “Penitipan” PFN dan Balai Pustaka sebaiknya jangan dilihat hanya sebagai perpindahan perusahaan tetapi juga dipahami sebagai beralihnya produsen pesan dan pendistribusi informasi penting yang rentan dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu. Selayaknya, keduanya diperhatikan dengan baik oleh kita semua agar visi kepublikaannya semakin kuat. Semestinya organisasi produsen media “milik” pemerintah atau pun publik menempatkan masyarakat sebagai alasan utama bereksistensi.
Jumat, 25 Februari 2011
Minggu, 20 Februari 2011
BBB (Belajar Bermedia Bersama) 7
Di minggu ketujuh tahun 2011 ini ada beberapa peristiwa dalam kajian media yang menarik untuk diamati. Satu tentang hal yang belum diliput oleh media, satu hal lain cukup marak diperbincangkan di media, baik di media massa maupun media interaktif. Kita bincangkan terlebih dahulu soal yang belum diangkat oleh media namun cukup banyak “menyerbu” sekitar tiga minggu terakhir. Ini adalah fenomena di media baru, yaitu media seluler. Sebagian dari kita kemungkinan mendapatkan pesan pendek di handphone yang mengajak kita untuk berinvestasi. Ada yang mengajak untuk berinvestasi dalam penjualan pulsa dan ini yang terbanyak mengirim SMS. Ada juga pesan pendek yang mengajak berinvestasi secara umum. Biasanya SMS ini berasal dari seseorang yang menggunakan nama asing, mengajak untuk berkerjasama dengan mitra lokal. SMS jenis terakhir ini juga berindikasi kuat sebagai upaya penipuan karena identitas yang tak jelas dan informasi yang tidak memadai.
Untuk investasi dalam penjualan pulsa, sudah ada yang tertipu sempat mengirimkan dana namun pulsa yang dijanjikan tak ada. Dana itu menguap tak tentu rimbanya. Mungkin dana tersebut adalah dana yang bernilai kecil saja, namun karena merugikan banyak orang, secara akumulatif sang penipu mendapatkan dana yang sangat besar dari kejahatannya tersebut. Tindak kejahatan seperti ini adalah modus baru kejahatan dengan menggunakan seluler sebagai pendukungnya, sebelumnya adalah kejahatan SMS undian berhadiah dan SMS meminta pulsa dengan menggunakan “mama papa”.
Pertanyaannya adalah, apakah pihak berwenang, dalam hal ini pemerintah, sudah memberikan perlindungan yang memadai kepada warganya? Warga masyarakat yang masih mudah dininabobokan oleh harapan-harapan kosong undian karena hidup senyatanya yang serba sulit. Warga yang belum sepenuhnya memiliki literasi media baru yang memadai ini sangat rentan ditipu dan menjadi korban dari pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab. Walau eksistensi peraturan perundangan ini masih menimbulkan polemik, sesungguhnya Undang Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disusun untuk melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan ilegal dan jahat. Bukan pada hal tak substantif semisal pencemaran nama baik, seperti yang mengemuka setelah UU tersebut disahkan tahun 2008 lalu. Perlindungan publik pengakses media baru oleh UU ini antara lain ditunjukkan oleh pasal 9 yang berbunyi sebagai berikut: “Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”.
Soal kedua yang cukup menarik untuk diperbincangkan adalah soal perfilman Indonesia. Beberapa hari ini ada dua kasus menarik berkaitan dengan dunia film Indonesia. Kasus pertama adalah protes masyarakat soal film “Arwah Goyang Kerawang”, yang dianggap melecehkan warisan budaya dan citra kabupaten Kerawang dan Jawa Barat secara luas. Protes tersebut disampaikan oleh sekelompok perempuan yang menamakan dirinya Gabungan Organisasi Wanita Karawang (GOW) mendatangi gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (detikhot.com, 18/02/2011). Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, mendukung langkah warga dan mempersoalkan film tersebut lewat Lembaga Sensor Film (Koran Tempo, 19 Februari 2011). Seperti kita ketahui bersama, LSF biasanya “lemah” bila terkait dengan film-film yang bermuatan pornografi dan kekerasan, namun sangat ketat bila berkaitan dengan film yang bernuansa politik kritis.
Sementara kasus kedua adalah boikot dari Hollywood atas peredaran film mereka di Indonesia. Boikot tersebut dipicu oleh kebijakan pemerintah Indonesia, melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai, yang memberlakukan beban bea masuk atas hak distribusi film impor (detikhot.com, 18/02/2011). Hal tersebut termaktub dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-3/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Berupa Royalti dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Pemasukan Film Impor. Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyebutkan hal ini sebagai bagian dari reformasi perpajakan dalam industri perfilman di Indonesia (kompas.com, 20/02/2011). Tindakan boikot tersebut berpotensi memicu Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (IKAPIFI) menghentikan pasokan film ke Indonesia. IKAPIFI pun akan berhenti mengimpor film dari Eropa, Mandarin, India dan film-film dunia lainnya (detikhot.com, 18/02/2011).
Seperti biasa, kasus ini kemudian melahirkan pro kontra. Pihak yang pro dengan tindakan pemerintah kemudian berlindung di balik konsep nasionalisme. Pendapat mereka yang utama adalah film-film asing sudah sepantasnya mendapatkan pajak tambahan. Momen ini kemudian dianggap sebagai langkah awal untuk kebangkitan film Indonesia. Film Indonesia sebenarnya telah bangkita sejak awal dekade 2000-an kemarin melalui film “Petualangan Sherina” dan “Ada Apa Dengan Cinta”. Film “Ayat-Ayat Cinta” dan “Laskar Pelangi” bertahun kemudian semakin menasbihkan kebangkitan film Indonesia. Namun, memang dua tahun terakhir ini pelan tapi pasti kondisi dunia film Indonesia mulia menurun kembali. Hal ini antara lain ditandai dengan kisruhnya penyelenggaraan FFI terakhir.
Pihak yang pro dengan tindakan Hollywood melalui Motion Pictures Association (MPA) secara umum menilai tindakan pemerintah dalam menerapkan bea masuk sudah berlebihan. Menurut mereka tidak lazim pajak tersebut bila diterapkan. Menurut Juru Bicara 21 Cineplex Noorca Massardi, tidak ada di belahan dunia mana pun pajak bea masuk atas hak distribusi film impor (detikhot.com, 18/02/2011). Hal yang menurut saya menarik namun tidak diperhatikan oleh wartawan adalah apakah Noorca Massardi memang mewakili Motion Pictures Association (MPA)? Mengapa wartawan tidak mengontak MPA secara langsung? Apakah memang tidak ada bea masuk serupa di negara lain? Semestinya media melalui jurnalistik mencoba mendudukkan masalah dengan baik, bukannya malah ikut beropini tanpa dasar argumen yang kuat. Bila informasi faktual sudah memadai diberikan, barulah media berperan sebagai forum, yaitu mempertemukan ragam pendapat dengan ciamik.
Hal yang mirip terjadi ketika PSSI lewat Nugraha Besoes menyampaikan kritik FIFA atas keberadaan LPI. Surat dari FIFA tersebut disinyalir palsu oleh banyak pihak namun wartawan tidak langsung mengkonfirmasinya kepada FIFA. Keesokan harinya barulah salah seorang wartawan mengirim email ke FIFA. Tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan yang “hebat” padahal semestinyalah memperdalam informasi, termasuk mengkonfirmasi narasumber penting, adalah kerja wartawan, bukan suatu kelebihan atau keutamaan.
Kembali pada isu boikot MPA. Pertanyaannya, tidak adakah cara yang lebih baik dalam menyelesaikan masalah agar masyarakat tidak dirugikan? Menurut saya, boikot dari asosiasi perfilman Hollywood yang terkesan mendadak dikarenakan penetapan yang juga terburu-buru tanpa kajian dan sosialisasi yang memadai. Sayangnya, bila menyangkut isu nasionalisme, kita kurang kritis mengkaji dan pada akhirnya masyarakatlah yang dirugikan. Kini, setelah film-film Hollywood baru tak diputar di bioskop sementara film-film nasional belum siap, masyarakat penonton jualah yang dirugikan terlepas di Indonesia juga terjadi monopoli untuk pihak yang mengeksebisi film.
Jujur saja, film Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan film Hollywood bahkan mendekati pun tidak. Apalagi kondisi terkini juga menunjukkan film Indonesia belumlah baik. Secara kuantitas, untuk tahun 2010 kemarin saja film Indonesia yang beredar sebanyak 81 film sementara film impor berjumlah 180 film (kompas.com, 20/02/2011). Secara kualitas dan tema judul, film Hollywood memiliki kualitas rata-rata bagus dan beragam tema. Film Indonesia rata-rata belum bagus dan beragam temanya, terutama yang berbau pornografi dan kekerasan. Di saat film Hollywood sudah membicarakan dunia digital seperti film “Tron Legacy”, film Indonesia masih berkisah tentang hantu walau hantu itu ada di Facebook.
Kasus ini adalah momentum untuk menyusun aturan main yang baik untuk perfilman Indonesia. Biarlah dinamika, maju-mundurnya, film ada di tangan para pekerja yang ada di dunia perfilman. Pemerintah bertugas menjaga aturan main yang menguntungkan masyarakat dan insan perfilman, bukan menjadi pihak yang ikut “bermain” atau mengatur ini itu yang tak penting dan menjadikan media film sebagai obyek kekuasaan seperti jaman Orde Baru dahulu. Kita semua rindu film Indonesia menjadi lebih baik lagi dan menjadi potret bagus bagi masyarakat dan pengambil kebijakan di Indonesia.
#####
Untuk investasi dalam penjualan pulsa, sudah ada yang tertipu sempat mengirimkan dana namun pulsa yang dijanjikan tak ada. Dana itu menguap tak tentu rimbanya. Mungkin dana tersebut adalah dana yang bernilai kecil saja, namun karena merugikan banyak orang, secara akumulatif sang penipu mendapatkan dana yang sangat besar dari kejahatannya tersebut. Tindak kejahatan seperti ini adalah modus baru kejahatan dengan menggunakan seluler sebagai pendukungnya, sebelumnya adalah kejahatan SMS undian berhadiah dan SMS meminta pulsa dengan menggunakan “mama papa”.
Pertanyaannya adalah, apakah pihak berwenang, dalam hal ini pemerintah, sudah memberikan perlindungan yang memadai kepada warganya? Warga masyarakat yang masih mudah dininabobokan oleh harapan-harapan kosong undian karena hidup senyatanya yang serba sulit. Warga yang belum sepenuhnya memiliki literasi media baru yang memadai ini sangat rentan ditipu dan menjadi korban dari pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab. Walau eksistensi peraturan perundangan ini masih menimbulkan polemik, sesungguhnya Undang Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disusun untuk melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan ilegal dan jahat. Bukan pada hal tak substantif semisal pencemaran nama baik, seperti yang mengemuka setelah UU tersebut disahkan tahun 2008 lalu. Perlindungan publik pengakses media baru oleh UU ini antara lain ditunjukkan oleh pasal 9 yang berbunyi sebagai berikut: “Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”.
Soal kedua yang cukup menarik untuk diperbincangkan adalah soal perfilman Indonesia. Beberapa hari ini ada dua kasus menarik berkaitan dengan dunia film Indonesia. Kasus pertama adalah protes masyarakat soal film “Arwah Goyang Kerawang”, yang dianggap melecehkan warisan budaya dan citra kabupaten Kerawang dan Jawa Barat secara luas. Protes tersebut disampaikan oleh sekelompok perempuan yang menamakan dirinya Gabungan Organisasi Wanita Karawang (GOW) mendatangi gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (detikhot.com, 18/02/2011). Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, mendukung langkah warga dan mempersoalkan film tersebut lewat Lembaga Sensor Film (Koran Tempo, 19 Februari 2011). Seperti kita ketahui bersama, LSF biasanya “lemah” bila terkait dengan film-film yang bermuatan pornografi dan kekerasan, namun sangat ketat bila berkaitan dengan film yang bernuansa politik kritis.
Sementara kasus kedua adalah boikot dari Hollywood atas peredaran film mereka di Indonesia. Boikot tersebut dipicu oleh kebijakan pemerintah Indonesia, melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai, yang memberlakukan beban bea masuk atas hak distribusi film impor (detikhot.com, 18/02/2011). Hal tersebut termaktub dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-3/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Berupa Royalti dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Pemasukan Film Impor. Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyebutkan hal ini sebagai bagian dari reformasi perpajakan dalam industri perfilman di Indonesia (kompas.com, 20/02/2011). Tindakan boikot tersebut berpotensi memicu Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (IKAPIFI) menghentikan pasokan film ke Indonesia. IKAPIFI pun akan berhenti mengimpor film dari Eropa, Mandarin, India dan film-film dunia lainnya (detikhot.com, 18/02/2011).
Seperti biasa, kasus ini kemudian melahirkan pro kontra. Pihak yang pro dengan tindakan pemerintah kemudian berlindung di balik konsep nasionalisme. Pendapat mereka yang utama adalah film-film asing sudah sepantasnya mendapatkan pajak tambahan. Momen ini kemudian dianggap sebagai langkah awal untuk kebangkitan film Indonesia. Film Indonesia sebenarnya telah bangkita sejak awal dekade 2000-an kemarin melalui film “Petualangan Sherina” dan “Ada Apa Dengan Cinta”. Film “Ayat-Ayat Cinta” dan “Laskar Pelangi” bertahun kemudian semakin menasbihkan kebangkitan film Indonesia. Namun, memang dua tahun terakhir ini pelan tapi pasti kondisi dunia film Indonesia mulia menurun kembali. Hal ini antara lain ditandai dengan kisruhnya penyelenggaraan FFI terakhir.
Pihak yang pro dengan tindakan Hollywood melalui Motion Pictures Association (MPA) secara umum menilai tindakan pemerintah dalam menerapkan bea masuk sudah berlebihan. Menurut mereka tidak lazim pajak tersebut bila diterapkan. Menurut Juru Bicara 21 Cineplex Noorca Massardi, tidak ada di belahan dunia mana pun pajak bea masuk atas hak distribusi film impor (detikhot.com, 18/02/2011). Hal yang menurut saya menarik namun tidak diperhatikan oleh wartawan adalah apakah Noorca Massardi memang mewakili Motion Pictures Association (MPA)? Mengapa wartawan tidak mengontak MPA secara langsung? Apakah memang tidak ada bea masuk serupa di negara lain? Semestinya media melalui jurnalistik mencoba mendudukkan masalah dengan baik, bukannya malah ikut beropini tanpa dasar argumen yang kuat. Bila informasi faktual sudah memadai diberikan, barulah media berperan sebagai forum, yaitu mempertemukan ragam pendapat dengan ciamik.
Hal yang mirip terjadi ketika PSSI lewat Nugraha Besoes menyampaikan kritik FIFA atas keberadaan LPI. Surat dari FIFA tersebut disinyalir palsu oleh banyak pihak namun wartawan tidak langsung mengkonfirmasinya kepada FIFA. Keesokan harinya barulah salah seorang wartawan mengirim email ke FIFA. Tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan yang “hebat” padahal semestinyalah memperdalam informasi, termasuk mengkonfirmasi narasumber penting, adalah kerja wartawan, bukan suatu kelebihan atau keutamaan.
Kembali pada isu boikot MPA. Pertanyaannya, tidak adakah cara yang lebih baik dalam menyelesaikan masalah agar masyarakat tidak dirugikan? Menurut saya, boikot dari asosiasi perfilman Hollywood yang terkesan mendadak dikarenakan penetapan yang juga terburu-buru tanpa kajian dan sosialisasi yang memadai. Sayangnya, bila menyangkut isu nasionalisme, kita kurang kritis mengkaji dan pada akhirnya masyarakatlah yang dirugikan. Kini, setelah film-film Hollywood baru tak diputar di bioskop sementara film-film nasional belum siap, masyarakat penonton jualah yang dirugikan terlepas di Indonesia juga terjadi monopoli untuk pihak yang mengeksebisi film.
Jujur saja, film Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan film Hollywood bahkan mendekati pun tidak. Apalagi kondisi terkini juga menunjukkan film Indonesia belumlah baik. Secara kuantitas, untuk tahun 2010 kemarin saja film Indonesia yang beredar sebanyak 81 film sementara film impor berjumlah 180 film (kompas.com, 20/02/2011). Secara kualitas dan tema judul, film Hollywood memiliki kualitas rata-rata bagus dan beragam tema. Film Indonesia rata-rata belum bagus dan beragam temanya, terutama yang berbau pornografi dan kekerasan. Di saat film Hollywood sudah membicarakan dunia digital seperti film “Tron Legacy”, film Indonesia masih berkisah tentang hantu walau hantu itu ada di Facebook.
Kasus ini adalah momentum untuk menyusun aturan main yang baik untuk perfilman Indonesia. Biarlah dinamika, maju-mundurnya, film ada di tangan para pekerja yang ada di dunia perfilman. Pemerintah bertugas menjaga aturan main yang menguntungkan masyarakat dan insan perfilman, bukan menjadi pihak yang ikut “bermain” atau mengatur ini itu yang tak penting dan menjadikan media film sebagai obyek kekuasaan seperti jaman Orde Baru dahulu. Kita semua rindu film Indonesia menjadi lebih baik lagi dan menjadi potret bagus bagi masyarakat dan pengambil kebijakan di Indonesia.
#####
Rabu, 16 Februari 2011
BBB (Belajar Bermedia Bersama) 6
Media dalam kapasitas menyampaikan pesan faktual (berita) adalah “mata” masyarakat. Media membantu masyarakat melihat sekilas peristiwa yang terjadi di luar diri dan memberikan panduan untuk melihat secara mendalam pada beberapa peristiwa penting. Sayangnya, karena berbagai penyebab, media seringkali malah bertindak sebaliknya, melihat sekilas pada beberapa peristiwa penting dan justru memandang peristiwa-peristiwa tak penting terlampau mendalam, bahkan tak jarang media menjadi seperti mata yang “jelalatan”. Tak jelas apa yang dilihat dan diperhatikan.
Hal ini terlihat dari dua peristiwa berdekatan yang terjadi sekitar minggu keenam di tahun 2011 ini. Kedua peristiwa tersebut diberitakan dengan massif namun secara umum tidak mendalam dan menelisik betul duduk perkaranya. Pertama adalah kasus meninggalnya Adjie Massaid, salah seorang anggota DPR Republik Indonesia. “Status” Adjie sebagai selebriti membuat meninggalnya Adjie diliput secara gencar oleh media. Di masa awal pemberitaan pun sudah terlihat bahwa media cenderung mengutamakan kecepatan dibandingkan dengan akurasi berita. Terdapat dua contoh bagaimana akurasi tersebut diabaikan. Pertama, sebelum meninggal Adjie bermain futsal padahal sebenarnya bermain sepakbola di Senayan. Kedua, Adjie sempat pingsan ketika bermain futsal padahal dia pingsan di rumah dan mengeluh dadanya sakit.
Sepintas, kedua informasi tersebut kurang penting namun bila merujuk pada logika berita, sebenarnya informasi di awal sangatlah berpengaruh pada pendedahan informasi faktual secara keseluruhan. Berita yang ada di media juga tidak merujuk pada visi kepublikan yang lebih luas, misalnya bagaimana sebenarnya penanganan kondisi darurat bagi keselamatan seorang warga negara. Media sebenarnya bisa menuntun masyarakat untuk memahami keadaan sesungguhnya penanganan dan pelayanan kesehatan yang belum memadai. Pertanyaan misalnya berapa lama perjalanan Adjie dari kediamannya sampai di rumah sakit ketika dia mendapatkan pertolongan medis pertama? Juga pertanyaan bagaimana sesungguhnya penanganan darurat bagi seorang warga yang menderita serangan jantung? Semua hal tersebut bisa memberi pelajaran secara umum bahwa sosialisasi, pemahaman dan pelayanan di negeri ini belumlah memadai. Ini adalah contoh bagaimana sebuah kejadian yang menimpa tokoh publik bisa menjadi cermin bagi kita semua, publik, dan media menyampaikannya dengan layak dan memadai.
Kasus kedua adalah konflik agama di dua tempat, yaitu Cikeusik dan Temanggung (baru saja terjadi ketegangan di lokasi ketiga, Pasuruan). Media memang memberitakannya dengan gencar dan banyak namun sekali lagi kehilangan hal-hal substantif terutama dalam konteks kepublikan. Pernyataan oleh Kapolri bahwa informasi yang disampaikan oleh media direkayasa sebenarnya bisa ditelusuri dari mana sumber informasi tersebut berasal karena bila hampir semua media memberikan informasi yang salah, berarti kemungkinan besar pemberi informasi awalnyalah yang tidak benar.
Kedua peristiwa tersebut adalah akumulasi dari banyak kejadian di mana negara tak hadir melindungi warganya. Media memang memberitakan bahwa negara tak hadir dalam kedua peristiwa tersebut namun media tidak menjelaskan konsekuensi dari ketidakhadiran tersebut. Beberapa pakar memberikan analisis Indonesia menuju negara gagal karena tidak melindungi sebagian warganya, sebab bila semakin banyak anggota masyarakat tak percaya dengan peran negara, mereka sangat mungkin mengambil cara tersendiri dalam menghadapi konflik potensial. Gejala serupa terjadi di beberapa negara Afrika dan Amerika Latin yang kemudian menimbulkan konflik berkepanjangan atas nama kelompok tertentu.
Lalu, bagaimana media sebaiknya memberitakan isu agama, bukan hanya konflik antar dan intra agama tertentu? Media Indonesia sebenarnya sudah memiliki pengalaman yang lumayan dalam hal memberitakan isu agama karena sejak dahulu kehidupan kita bermasyarakat terdiri dari beragam agama dan aliran. Pun dengan konflik agama, media Indonesia sudah “berpengalaman” memberitakan konflik di Ambon dan Poso yang didera konflik agama pada masa awal Reformasi kemarin. Pemberitaan tersebut di bawah koridor jurnalisme damai yang antara lain pokok lakunya adalah memfokuskan pada fakta “keras” mengenai proses konflik terbuka, melainkan pada upaya rekonsiliasi dan derita korban tak berdosa.
Sebuah suratkabar misalnya tidak memberitakan konflik yang terbuka melainkan berkisah tentang anak-anak dan kaum perempuan yang menjadi korban dalam konflik di Ambon dahulu itu. Permasalahannya adalah di masa “damai” dan di daerah bukan konflik juga terjadi potensi ketidakharmonisa antar agama. Dalam situasi seperti ini, media semestinya tetap mendorong bahwa sekali pun kita berbeda agama, juga etnis, kelas sosial, dan juga ideologi, kita tetaplah satu kesatuan, nasion bernama Indonesia. Indonesia dibangun dari keberagaman bukan keseragaman, oleh karena itu media wajib mengingatkan terus pada kita semua: bahwa Indonesia adalah bangsa yang menghormati keberagaman dan perbedaan keyakinan, serta mengedepankan cara-cara nirkekerasan dan mengutamakan dialog.
Hal ini terlihat dari dua peristiwa berdekatan yang terjadi sekitar minggu keenam di tahun 2011 ini. Kedua peristiwa tersebut diberitakan dengan massif namun secara umum tidak mendalam dan menelisik betul duduk perkaranya. Pertama adalah kasus meninggalnya Adjie Massaid, salah seorang anggota DPR Republik Indonesia. “Status” Adjie sebagai selebriti membuat meninggalnya Adjie diliput secara gencar oleh media. Di masa awal pemberitaan pun sudah terlihat bahwa media cenderung mengutamakan kecepatan dibandingkan dengan akurasi berita. Terdapat dua contoh bagaimana akurasi tersebut diabaikan. Pertama, sebelum meninggal Adjie bermain futsal padahal sebenarnya bermain sepakbola di Senayan. Kedua, Adjie sempat pingsan ketika bermain futsal padahal dia pingsan di rumah dan mengeluh dadanya sakit.
Sepintas, kedua informasi tersebut kurang penting namun bila merujuk pada logika berita, sebenarnya informasi di awal sangatlah berpengaruh pada pendedahan informasi faktual secara keseluruhan. Berita yang ada di media juga tidak merujuk pada visi kepublikan yang lebih luas, misalnya bagaimana sebenarnya penanganan kondisi darurat bagi keselamatan seorang warga negara. Media sebenarnya bisa menuntun masyarakat untuk memahami keadaan sesungguhnya penanganan dan pelayanan kesehatan yang belum memadai. Pertanyaan misalnya berapa lama perjalanan Adjie dari kediamannya sampai di rumah sakit ketika dia mendapatkan pertolongan medis pertama? Juga pertanyaan bagaimana sesungguhnya penanganan darurat bagi seorang warga yang menderita serangan jantung? Semua hal tersebut bisa memberi pelajaran secara umum bahwa sosialisasi, pemahaman dan pelayanan di negeri ini belumlah memadai. Ini adalah contoh bagaimana sebuah kejadian yang menimpa tokoh publik bisa menjadi cermin bagi kita semua, publik, dan media menyampaikannya dengan layak dan memadai.
Kasus kedua adalah konflik agama di dua tempat, yaitu Cikeusik dan Temanggung (baru saja terjadi ketegangan di lokasi ketiga, Pasuruan). Media memang memberitakannya dengan gencar dan banyak namun sekali lagi kehilangan hal-hal substantif terutama dalam konteks kepublikan. Pernyataan oleh Kapolri bahwa informasi yang disampaikan oleh media direkayasa sebenarnya bisa ditelusuri dari mana sumber informasi tersebut berasal karena bila hampir semua media memberikan informasi yang salah, berarti kemungkinan besar pemberi informasi awalnyalah yang tidak benar.
Kedua peristiwa tersebut adalah akumulasi dari banyak kejadian di mana negara tak hadir melindungi warganya. Media memang memberitakan bahwa negara tak hadir dalam kedua peristiwa tersebut namun media tidak menjelaskan konsekuensi dari ketidakhadiran tersebut. Beberapa pakar memberikan analisis Indonesia menuju negara gagal karena tidak melindungi sebagian warganya, sebab bila semakin banyak anggota masyarakat tak percaya dengan peran negara, mereka sangat mungkin mengambil cara tersendiri dalam menghadapi konflik potensial. Gejala serupa terjadi di beberapa negara Afrika dan Amerika Latin yang kemudian menimbulkan konflik berkepanjangan atas nama kelompok tertentu.
Lalu, bagaimana media sebaiknya memberitakan isu agama, bukan hanya konflik antar dan intra agama tertentu? Media Indonesia sebenarnya sudah memiliki pengalaman yang lumayan dalam hal memberitakan isu agama karena sejak dahulu kehidupan kita bermasyarakat terdiri dari beragam agama dan aliran. Pun dengan konflik agama, media Indonesia sudah “berpengalaman” memberitakan konflik di Ambon dan Poso yang didera konflik agama pada masa awal Reformasi kemarin. Pemberitaan tersebut di bawah koridor jurnalisme damai yang antara lain pokok lakunya adalah memfokuskan pada fakta “keras” mengenai proses konflik terbuka, melainkan pada upaya rekonsiliasi dan derita korban tak berdosa.
Sebuah suratkabar misalnya tidak memberitakan konflik yang terbuka melainkan berkisah tentang anak-anak dan kaum perempuan yang menjadi korban dalam konflik di Ambon dahulu itu. Permasalahannya adalah di masa “damai” dan di daerah bukan konflik juga terjadi potensi ketidakharmonisa antar agama. Dalam situasi seperti ini, media semestinya tetap mendorong bahwa sekali pun kita berbeda agama, juga etnis, kelas sosial, dan juga ideologi, kita tetaplah satu kesatuan, nasion bernama Indonesia. Indonesia dibangun dari keberagaman bukan keseragaman, oleh karena itu media wajib mengingatkan terus pada kita semua: bahwa Indonesia adalah bangsa yang menghormati keberagaman dan perbedaan keyakinan, serta mengedepankan cara-cara nirkekerasan dan mengutamakan dialog.
BBB (Belajar Bermedia Bersama) 2 – 5
Pada kuliah terakhir di salah satu mata kuliah yang saya ampu pada semester kemarin, seorang pembelajar bertanya, “Apa harapan mas tiga empat tahun ke depan?” Awalnya saya tidak tahu mesti menjawab apa karena begitu banyaknya harapan yang bisa disebutkan. Sesaat kemudian saya sudah menemukan jawaban yang saya yakini. “Tentu saja menjadi akademisi yang lebih baik lagi; mengampu pembelajar lebih baik lagi, meneliti lebih baik lagi, menulis lebih baik lagi. Ini adalah harapan yang sederhana namun pasti lumayan berat menggapainya bila tidak direncanakan dan dijalankan dengan sungguh-sungguh.
Salah satu yang membuat saya cukup yakin bisa mewujudkannya adalah kehadiran banyak orang yang ada di sekitar saya. Tidak hanya di kantor tempat saya bekerja secara formal, tetapi di dua “kantor” saya yang lain, tempat saya beraktivitas dengan banyak teman dari beragam institusi, selain itu sebagai pembelajar tentu saja saya tidak kehabisan teman yang menginspirasi, bahkan kehadiran mereka melalui berbagai situs pertemanan pun sangatlah bermakna. Di antara rekan tersebut ada yang memang kemampuan intelektualitasnya luar biasa sehingga saya bisa belajar memahami sesuatu dengan baik dan mendalam. Ada yang keluasan hatinya selalu mencerahkan, yang secara konsisten memperjuangkan visi kepublikannya. Ada yang jago sekali menuntaskan hal-hal praksis yang mendetail dan seringkali merepotkan. Pendek kalimat, saya belajar banyak dari mereka.
Di antara orang-orang itu, yang teman dan bukan teman, ada juga yang tidak jelas visinya. Ada yang kehadirannya selalu “menyerap” energi orang lain. Orang yang berbicara lebih banyak hal-hal negatif dan “hitam’-nya orang lain dan dunia. Orang yang koarannya setinggi langit namun tidak terbukti dalam kenyataan empirisnya. Orang yang menetapkan standar sangat tinggi untuk orang lain namun tidak untuk dirinya sendiri. Namun, saya tetap bersyukur tahu dan mengenal manusia-manusia ini. Bukankah dalam hidup kita tidak hanya belajar dari yang baik belaka?
Banyak kejadian yang saya alami bersama manusia lain itu. Juga yang saya alami sendiri secara langsung. Banyak hal yang saya candra walau pastinya lebih banyak lagi yang terlepas dan tak terpantau. Banyak informasi dan pengetahuan yang dirasakan secara langsung dan juga melalui media. Keuntungan bagi pembelajar media adalah relatif lebih awas pada informasi yang ada di media maupun yang didapatkan secara langsung. Di atas semua ini, saya hanyalah ingin lebih banyak belajar, terutama belajar bersama dengan teman-teman.
Tadinya saya ingin setiap minggu menuliskan pengamatan saya atas tingkah-polah media dan informasi yang disampaikannya. Kenyataannya, sulit sekali menulis secara teratur dan relatif mendalam atas kejadian yang berkaitan dengan media karena saya terlalu asyik mengamati kejadiannya, bukannya mencatat. Di dalam diri sendiri saya berusaha belajar mengamati dan mengomentari lebih baik lagi. Lagipula kejadian yang berkaitan dengan ilmu yang saya pelajari terjadi begitu banyak dan hampir semuanya menarik. Saya sudah menginjak minggu ke-6 di tahun 2011 ini dan saya paling tidak mesti mengomentari berbagai kejadian dalam lima minggu. Karena itulah, saya memilih merangkumnya dalam satu tulisan karena tidak banyak ruang dan waktu untuk menuliskannya. Juga agar “tunggakan” menuliskan berbagai dan beragam kejadian tersebut tidak semakin banyak karena minggu depan proses pembelajaran formal di kelas telah dimulai lagi, karena beberapa hari ke depan tiga riset lumayan besar telah menanti.
Selain itu, saya menulis tidak bermotif untuk menunjukkan sesuatu pada orang lain, apalagi menyombongkannya. Saya tidak ingin seperti seseorang yang saya kenal, yang koarannya begitu hebat tentang aktivitas menulis dirinya sendiri padahal menurut banyak orang karyanya biasa saja, bahkan menunjukkan penyakit narsisme yang paling akut. Saya lebih mencoba terinspirasi pada beberapa orang lain yang saya kenal yang tidak pernah menyombongkan diri berkaitan dengan kepenulisannya, namun buah pikirannya itu dibaca oleh banyak orang dan ia pun dikenal paling tidak di level nasiobal. Tujuan saya menulis ini sederhana saja: dengan menulis banyak hal akan terbuka. Awalnya mungkin menulis adalah persoalan dokumentasi informasi yang dicandra secara personal. Setelah itu, informasi dan pengetahuan yang terdokumentasi dengan baik dan intens tersebut akan mengantarkan pada informasi dan pengetahuan lain yang lebih luas, mendalam, dan beragam.
Tulisan personal ini akan terbagi menjadi tiga, yaitu belajar, bermedia, dan bersama, sesuai dengan slogan “Belajar Bermedia Bersama” milik Polysemia, sebuah newsletter yang saya kelola bersama rekan-rekan. Pertama, belajar. Banyak hal yang telah dan sedang saya pelajari dengan mendalam sekitar sebulan ini, yaitu memperdalam buku Vincent Mosco, Political Economy of Communication. Entahlah, saya tidak bisa berhenti mengagumi buah pikiran yang satu ini. Tiap kali membaca, saya menemukan hal baru dan terinspirasi pada banyak hal yang lainnya. Satu aspek, komodifikasi, sudah lumayan saya dedahkan, namun ternyata masih banyak yang bisa diulas dan dielus. Masih ada lima chapter di buku tersebut yang menunggu untuk dielaborasi.
Hal lain yang coba pahami selama sebulan lebih seminggu ini adalah fenomena kebertubuhan. Foucault misalnya, membuat saya paham sedikit dengan fenomena itu, namun antusiasme saya membuncah atas konsep kebertubuhan pada awal bulan kemarin ketika membaca kumpulan cerpen karya Djenar Maesa Ayu dan kawan-kawan yang berjudul “1 Perempuan 14 Laki-Laki”. Buku ini adalah telaah populer dan personal atas tautan tubuh. Kita juga pada akhirnya mafhum bahwa anarki pada tubuh pemilik keyakinan yang berbeda di Cikeusik dan Temanggung beberapa hari yang lalu sebenarnya bersumber pada pemahaman tak tuntas atas kebertubuhan.
Klasifikasi kedua adalah bermedia. Tentu saja aktivitas ini juga mengandung makna belajar karena bagaimana pun juga, melalui media kita bisa mengetahui dan belajar banyak hal. “Bermedia” ini adalah upaya kecil saya untuk menangkap fenomena kemediaan, tindakan mereka dan apa yang mereka angkat di dalam isi pesannya. Sekitar sebulan lebih seminggu ini paling tidak ada enam kejadian yang bisa diamati dari media kita yang bertebaran. Kasus pertama adalah kasus Menkominfo versus RIM yang berkaitan awalnya dengan isu pornografi. Pak Menteri beranggapan bahwa Blackberry mesti mengikuti aturan hukum mengenai pornografi yang berlaku di negara plural ini. Namun karena dikritik keras, isu kemudian dibelokkan pada nasionalisme di mana RIM tidaklah membayar pajak yang memadai pada negeri ini. Persoalan apakah uang pajak tersebut, dan juga pajak-pajak lainnya, benar-benar digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, tidaklah dibicarakan benar.
Kasus kedua adalah, kasus keistimewaan Yogya. Sebenarnya masalah pro kontra atas sesuatu adalah hal biasa dalam politik. Permasalahannya adalah ketidakberimbangan berita. Media cenderung memberikan porsi yang tidak seimbang dengan jauh lebih banyak memberikan ruang untuk pihak yang pro penetapan bukan yang pro pemilihan. Media tidak berusaha lebih dalam dan menunjukkan bahwa masalah keistimewaan Yogyakarta itu bukan hanya masalah memilih atau menetapkan gubernur. Sedihnya, kita sebagai audiens media sekarang ini jangan-jangan semakin terbiasa disuguhkan informasi yang tak berimbang. Informasi mengenai sepakbola saja sudah tak berimbang, apalagi informasi tentang dunia politik. Terlihat sekali faktor kepemilikan media dan sepak-terjang para pemiliknya dalam politik praktis berkaitan erat dengan fenomena ketidakberpihakan ini.
Pelarangan acara Opera Tan Malaka di beberapa stasiun televisi lokal di Jawa Timur adalah kasus ketiga yang menarik untuk didedah. Pihak militer yang meminta acara tersebut terlihat masih menggunakan pemikiran cara lama, sangat takut dengan paham yang berbau kiri. Hal ini aneh karena acara tersebut tidak membicarakan sosok Tan Malaka. Bila pun membicarakan, tidak sepantasnya takut dengan pemikiran beliau karena Tan Malaka adalah salah satu bapak bangsa dan pahlawan nasional. Pelarangan semodel ini pun menyalahi aturan karena semestinya tidak ada lagi pelarangan pra penyiaran. Ketika atau setelah disiarkan pun, sebuah acara hanya bisa diperingatkan oleh KPI/KPID, bukan institusi yang lain.
Kasus keempat adalah kasus bocornya informasi personal kepada publik. Informasi mengenai kesehatan inidivud adalah milik personal dan tidak boleh disebarkan ke publik. Hal ini ironisnya terjadi pada pejabat pemerintah, Menteri Kesehatan. Dia mengeluhkan rekam medisnya bisa bocor ke media bila sang menteri terkena kanker paru-paru. Bagaimana dengan kode etik kedokteran yang melarang membocorkan informasi milik pasien sekalipun dia adalah figur publik? Hal yang kita takutkan adalah bagaimana dengan potensi bocornya informasi personal milik anggota masyarakat biasa seperti kita? Sangat besar. Hal ini bisa kita lihat dari penawaran sebuah perusahaan kepada berbagai pihak atas ribuan nomor handphone masyarakat Indonesia. sayangnya, Menteri yang mengurusi informasi lebih sibuk dengan masalah pornografi, bukannya pada pembocoran informasi personal seperti ini.
Namun belakangan kita patut kecewa dengan menteri yang satu ini. Dia atas nama Departemen Kesehatan yang dipimpinnya tidak mau melansir produk susu formula yang terkontaminasi bakteri. Informasi tersebut merupakan hasil temuan tim peneliti IPB. Di dalam kasus ini dia tak berpihak pada masyarakat atas keterbukaan informasi milik publik karena bagaimana pun publik pulalah yang terkena dampaknya bila informasi tentang susu formula berbakteri tersebut tak dibuka. Hal yang sama terjadi pada informasi mengenai rekening “gendut” milik beberapa petinggi Kepolisian Republik Indonesia yang tetap tidak mau dibuka oleh institusi yang mestinya menjaga keterbukaan pada publik. Sekali lagi, kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa informasi yang tertutup adalah titik awal dari penyalahgunaan kekuasaan.
Pembagian buku tentang presiden SBY, si pemilik kantung mata “indah” kata rekan saya, adalah kasus kelima yang menarik untuk dibahas. Bila buku yang dibagikan ke sekolah tidak menggunakan dana masyarakat dan memberikan pengetahuan tentang manusia-manusia hebat Indonesia, tentu tidak akan menjadi soal. Persoalannya adalah buku tersebut menggunakan uang rakyat untuk memproduksi dan mendistribusikannya sementara presiden SBY masih berkuasa. Dengan mudah, kita bisa melihat bahwa tindakan tersebut tidaklah etis. Walau begitu, kasus ini juga menunjukkan bahwa dalam aspek kekuasaan di Indonesia ini, penguasa bisa melakukan banyak hal sementara banyak pula yang “mencari muka” yang bertebaran untuk menjilat pada penguasa dengan sangat jelas.
Kasus terakhir adalah kasus pembantaian jemaah Ahmadiyah di Pandeglang dan penyerbuan gereja di Temanggung. Pertanyaannya adalah bagaimana media memberitakan kedua peristiwa tersebut? Ada pihak media sudah tepat memberitakannya. Ada juga yang berpendapat media belum memberitakannya secara memadai. Masih banyak informasi yang tidak diungkap dan diperdalam. Namun marilah kita menunggu sesaat lagi untuk perkembangan kasus ini. Hal yang jelas, media dan isu konflik, terutama konflik agama, selalu berkaitan erat. Media di Indonesia sudah cukup “berpengalaman” melaporkan konflik agama pada masa lalu, misalnya kasus di Ambon dan Poso. Pertanyaan lanjutannya adalah apakah yang dilakukan media telah cukup? Apakah diperlukan semacam “intervensi” atas fakta agar berita lebih baik atau lebih bisa mengajak masyarakat menujur arah perubahan yang lebih baik?
Klasifikasi ketiga dari “Belajar Bermedia Bersama” adalah bersama. “Bersama” mengandung makna saya melakukan sebuah aktivitas bersama rekan-rekan lain. Aktivitas bersama di sini berarti juga saya belajar banyak dari orang lain, juga tentu saja menyoal ragam tindakan dan pemikiran yang berkaitan dengan media. Aktivitas “bersama” ini adalah aktivitas yang saling mendukung dengan aktivitas yang lain. Hal yang lebih penting dari “bersama” ini adalah saya bisa bertemu dengan banyak orang mencerahkan bukan orang yang memendungkan hati dan pikiran. Bersama mereka saya semakin merasa bahwa akumulasi pikiran dan tindakan personal itu sangat penting untuk menghadirkan “kekuatan” baru.
Aktivitas pertama yang saya lakukan bersama rekan-rekan adalah menghadiri ulang tahun sebuah organisasi masyarakat sipil yang coba mewujudkan demokrasi bermedia di Indonesia pada bulan Desember tahun lalu. Melalui kejadian ini saya semakin sadar akan arti penting masyarakat terbuka dan potensi Indonesia ke arah sana sungguh besar. Hal lain yang membuat saya teringat akan peristiwa ini adalah kemampuan sebuah orasi budaya menggugah hati dan pikiran kita. Menurut saya, orasi budaya yang disampaikan oleh Karlina Supelli sungguh luar biasa, kombinasi buah pikir, hati, dan penyampain ala berpuisi.
Pelatihan riset audiens untuk lembaga penyiaran publik adalah aktivitas kedua yang saya ikuti di bulan Desember masih di tahun yang lalu. Berkumpul bersama dengan rekan-rekan RRI yang antusias mewujudkan visi kepublikan di medianya sungguh mencerahkan. Ada harapan besar untuk mewujudkan RRI menjadi lembaga penyiaran publik yang lebih bagus walaupun jalannya masih cukup panjang. Pertanyaannya adalah bagaimana mengimplementasi makna kepublikan sampai pada lebel produksi program dan programming? Ini adalah soal yang mesti dijawab bersama.
Aktivitas bersama rekan-rekan RRI berlanjut kemudian. Saya diundang untuk mengikuti semiloka tentang redesain dua programa RRI, yaitu Pro 1 dan Pro 2. Saya semakin paham bahwa potensi RRI sangatlah besar dan perlu diupayakan benar untuk berbenah. Saya bangga dan ingin terlibat dalam proses bangkitnya RRI kembali.
Aktivitas ketiga yang saya jalani secara langsung adalah mengikuti pelatihan kompetensi wartawan di Jakarta. Acara ini membuat saya lebih tersadarkan bahwa profesi jurnalis itu rumit dan memerlukan kerja keras bersama. Jurnalis yang kompeten akan memberikan informasi faktual yang bagus kepada masyarakat. Informasi yang bagus akan memandu masyarakat melakukan tindakan personal dan publik yang memadai. Sayangnya, melalui kegiatan ini saya jadi mengetahui bahwa uji kompetensi hanya bisa dilakukan oleh sesama jurnalis padahal saya rasa para akademisi yang mendalami jurnalisme akan dengan mudah melihat produk berita yang memadai, kurang memadai, dan tidak memadai, dengan relatif cepat.
Aktivitas saya menjadi co-host di acara “Angkringan Gayam” di Geronimo FM aktivitas keempat yang saya jalani setahun terakhir ini. Di acara ini saya bertemu dengan banyak orang yang mencerahkan, baik itu host utamanya Sondy Garcia dan, apalagi, para narasumber yang hadir. Melalui pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki, saya mendapatkan banyak hal berguna. Biasanya saya menuliskan pokok diskusi kami di acara “Angkringan Gayam”, namun sudah empat kali saya tidak menuliskannya. Keempatnya adalah sebagai berikut, tentang kilas-balik peristiwa mengenai media baru dan kaum muda di tahun 2010, tentang aktivitas merajut dan berwirausaha melalui media baru, tentang aktivitas dan berita seni di media baru, dan tentang gerakan 1001 buku tulis yang lahir ketika erupsi Merapi dan sampai kini terus berkembang pada misi yang lebih luas.
Diskusi dan “pencerahan” kelima atau terakhir dari acara Angkringan Gayam saya dapatkan hari Senin kemarin (14 Februari 2011), yaitu bertemu dengan para penggiat “Kampoeng Cyber” di RT 36 Taman Patehan yang sudah dikenal secara nasional. Melalui mereka saya semakin paham bahwa media baru bisa digunakan untuk mengembangkan berbagai hal positif dalam suatu komunitas. “Kampoeng Cyber” menyadarkan kita bahwa pendekatan bottom-up dalam pengembangan media baru, terutama internet, lebih penting dibandingkan pendekatan top-down karena biasanya rasa memiliki, kedekatan dan kohesi sosial masyarakat akan tetap tumbuh, bahkan semakin membesar.
Kelima, adalah aktivitas saya dan rekan-rekan dalam sebuah kelompok riset, PR2Media yang baru saja berulang-tahun pertama tanggal 12 Februari kemarin. Kami meneliti lima regulator media dan perannya dalam era demokrasi. Ironisnya, peran para regulator tersebut belum memadai dalam demokrasi media dan keberpihakannya pada publik pun belumlah terlihat jelas. Melalui kegiatan ini, untuk pertama kalinya saya mengikuti RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) dengan Komisi I DPR dan mengetahui betapa wakil rakyat belum memiliki pengetahuan tentang media yang memadai. Misalnya muncul pernyataan bahwa fenomena monopoli media adalah hal biasa. Hal lain yang membuat saya antusias adalah kunjungan pertama saya ke media Tempo setelah bertahun-tahun tidak bertemu dengan rekan-rekan di sana. Ternyata diskusi tersebut berjalan baik-baik saja dan semoga begitu untuk seterusnya.
Aktivitas terakhir saya belakangan ini adalah kembalinya saya mendalami dan mengulik konsep literasi media. Bersama beberapa rekan di Yogyakarta dan satu dari Jakarta, kami berkomitmen lebih mendalam lagi. Bagi saya pribadi, hal ini adalah panggilan kembali karena sudah cukup lama tidak mendalami konsep ini dan perlu sekali mengembangkannya kembali di masyarakat. Kegiatan ini sekaligus untuk menyambut seminar nasional mengenai literasi media di jakarta bulan April mendatang. Saya dan teman-teman sudah melakukan kampanye literasi media sejak tahun 2005 dan sudah mendapatkan model yang tinggal coba diimplementasikan saja. Pertanyaannya, kapan dan bagaimana? Jawabannya singkat saja, sekarang langsung dijalankan semuanya. Caranya dengan melangkah bersama teman-teman. Saya kira saya sudah menemukan jawaban untuk menjadi lebih baik, beraktivitas bersama rekan-rekan yang tepat, membuka mata, hati, pikiran dan telinga lebar-lebar, dan konsisten berusaha mewujudkan apa yang diinginkan. Semoga saya benar, namun hal terpenting adalah bagaimana terus bergerak dan bertindak mewujudkan semua asa.
Jika dipikir kembali apa harapan saya beberapa tahun ke depan, saya tidak dapat memikirkan alternatif lain kecuali berusaha menjadi akademisi atau pembelajar yang lebih baik lagi. Tentunya, semua itu tak akan terwujud tanpa kehadiran banyak rekan. Tanpa pencerahan mereka, apalah artinya saya. Terima kasih untuk teman-teman sepanjang jalan yang selalu menginspirasi (saya taut mereka).
Salah satu yang membuat saya cukup yakin bisa mewujudkannya adalah kehadiran banyak orang yang ada di sekitar saya. Tidak hanya di kantor tempat saya bekerja secara formal, tetapi di dua “kantor” saya yang lain, tempat saya beraktivitas dengan banyak teman dari beragam institusi, selain itu sebagai pembelajar tentu saja saya tidak kehabisan teman yang menginspirasi, bahkan kehadiran mereka melalui berbagai situs pertemanan pun sangatlah bermakna. Di antara rekan tersebut ada yang memang kemampuan intelektualitasnya luar biasa sehingga saya bisa belajar memahami sesuatu dengan baik dan mendalam. Ada yang keluasan hatinya selalu mencerahkan, yang secara konsisten memperjuangkan visi kepublikannya. Ada yang jago sekali menuntaskan hal-hal praksis yang mendetail dan seringkali merepotkan. Pendek kalimat, saya belajar banyak dari mereka.
Di antara orang-orang itu, yang teman dan bukan teman, ada juga yang tidak jelas visinya. Ada yang kehadirannya selalu “menyerap” energi orang lain. Orang yang berbicara lebih banyak hal-hal negatif dan “hitam’-nya orang lain dan dunia. Orang yang koarannya setinggi langit namun tidak terbukti dalam kenyataan empirisnya. Orang yang menetapkan standar sangat tinggi untuk orang lain namun tidak untuk dirinya sendiri. Namun, saya tetap bersyukur tahu dan mengenal manusia-manusia ini. Bukankah dalam hidup kita tidak hanya belajar dari yang baik belaka?
Banyak kejadian yang saya alami bersama manusia lain itu. Juga yang saya alami sendiri secara langsung. Banyak hal yang saya candra walau pastinya lebih banyak lagi yang terlepas dan tak terpantau. Banyak informasi dan pengetahuan yang dirasakan secara langsung dan juga melalui media. Keuntungan bagi pembelajar media adalah relatif lebih awas pada informasi yang ada di media maupun yang didapatkan secara langsung. Di atas semua ini, saya hanyalah ingin lebih banyak belajar, terutama belajar bersama dengan teman-teman.
Tadinya saya ingin setiap minggu menuliskan pengamatan saya atas tingkah-polah media dan informasi yang disampaikannya. Kenyataannya, sulit sekali menulis secara teratur dan relatif mendalam atas kejadian yang berkaitan dengan media karena saya terlalu asyik mengamati kejadiannya, bukannya mencatat. Di dalam diri sendiri saya berusaha belajar mengamati dan mengomentari lebih baik lagi. Lagipula kejadian yang berkaitan dengan ilmu yang saya pelajari terjadi begitu banyak dan hampir semuanya menarik. Saya sudah menginjak minggu ke-6 di tahun 2011 ini dan saya paling tidak mesti mengomentari berbagai kejadian dalam lima minggu. Karena itulah, saya memilih merangkumnya dalam satu tulisan karena tidak banyak ruang dan waktu untuk menuliskannya. Juga agar “tunggakan” menuliskan berbagai dan beragam kejadian tersebut tidak semakin banyak karena minggu depan proses pembelajaran formal di kelas telah dimulai lagi, karena beberapa hari ke depan tiga riset lumayan besar telah menanti.
Selain itu, saya menulis tidak bermotif untuk menunjukkan sesuatu pada orang lain, apalagi menyombongkannya. Saya tidak ingin seperti seseorang yang saya kenal, yang koarannya begitu hebat tentang aktivitas menulis dirinya sendiri padahal menurut banyak orang karyanya biasa saja, bahkan menunjukkan penyakit narsisme yang paling akut. Saya lebih mencoba terinspirasi pada beberapa orang lain yang saya kenal yang tidak pernah menyombongkan diri berkaitan dengan kepenulisannya, namun buah pikirannya itu dibaca oleh banyak orang dan ia pun dikenal paling tidak di level nasiobal. Tujuan saya menulis ini sederhana saja: dengan menulis banyak hal akan terbuka. Awalnya mungkin menulis adalah persoalan dokumentasi informasi yang dicandra secara personal. Setelah itu, informasi dan pengetahuan yang terdokumentasi dengan baik dan intens tersebut akan mengantarkan pada informasi dan pengetahuan lain yang lebih luas, mendalam, dan beragam.
Tulisan personal ini akan terbagi menjadi tiga, yaitu belajar, bermedia, dan bersama, sesuai dengan slogan “Belajar Bermedia Bersama” milik Polysemia, sebuah newsletter yang saya kelola bersama rekan-rekan. Pertama, belajar. Banyak hal yang telah dan sedang saya pelajari dengan mendalam sekitar sebulan ini, yaitu memperdalam buku Vincent Mosco, Political Economy of Communication. Entahlah, saya tidak bisa berhenti mengagumi buah pikiran yang satu ini. Tiap kali membaca, saya menemukan hal baru dan terinspirasi pada banyak hal yang lainnya. Satu aspek, komodifikasi, sudah lumayan saya dedahkan, namun ternyata masih banyak yang bisa diulas dan dielus. Masih ada lima chapter di buku tersebut yang menunggu untuk dielaborasi.
Hal lain yang coba pahami selama sebulan lebih seminggu ini adalah fenomena kebertubuhan. Foucault misalnya, membuat saya paham sedikit dengan fenomena itu, namun antusiasme saya membuncah atas konsep kebertubuhan pada awal bulan kemarin ketika membaca kumpulan cerpen karya Djenar Maesa Ayu dan kawan-kawan yang berjudul “1 Perempuan 14 Laki-Laki”. Buku ini adalah telaah populer dan personal atas tautan tubuh. Kita juga pada akhirnya mafhum bahwa anarki pada tubuh pemilik keyakinan yang berbeda di Cikeusik dan Temanggung beberapa hari yang lalu sebenarnya bersumber pada pemahaman tak tuntas atas kebertubuhan.
Klasifikasi kedua adalah bermedia. Tentu saja aktivitas ini juga mengandung makna belajar karena bagaimana pun juga, melalui media kita bisa mengetahui dan belajar banyak hal. “Bermedia” ini adalah upaya kecil saya untuk menangkap fenomena kemediaan, tindakan mereka dan apa yang mereka angkat di dalam isi pesannya. Sekitar sebulan lebih seminggu ini paling tidak ada enam kejadian yang bisa diamati dari media kita yang bertebaran. Kasus pertama adalah kasus Menkominfo versus RIM yang berkaitan awalnya dengan isu pornografi. Pak Menteri beranggapan bahwa Blackberry mesti mengikuti aturan hukum mengenai pornografi yang berlaku di negara plural ini. Namun karena dikritik keras, isu kemudian dibelokkan pada nasionalisme di mana RIM tidaklah membayar pajak yang memadai pada negeri ini. Persoalan apakah uang pajak tersebut, dan juga pajak-pajak lainnya, benar-benar digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, tidaklah dibicarakan benar.
Kasus kedua adalah, kasus keistimewaan Yogya. Sebenarnya masalah pro kontra atas sesuatu adalah hal biasa dalam politik. Permasalahannya adalah ketidakberimbangan berita. Media cenderung memberikan porsi yang tidak seimbang dengan jauh lebih banyak memberikan ruang untuk pihak yang pro penetapan bukan yang pro pemilihan. Media tidak berusaha lebih dalam dan menunjukkan bahwa masalah keistimewaan Yogyakarta itu bukan hanya masalah memilih atau menetapkan gubernur. Sedihnya, kita sebagai audiens media sekarang ini jangan-jangan semakin terbiasa disuguhkan informasi yang tak berimbang. Informasi mengenai sepakbola saja sudah tak berimbang, apalagi informasi tentang dunia politik. Terlihat sekali faktor kepemilikan media dan sepak-terjang para pemiliknya dalam politik praktis berkaitan erat dengan fenomena ketidakberpihakan ini.
Pelarangan acara Opera Tan Malaka di beberapa stasiun televisi lokal di Jawa Timur adalah kasus ketiga yang menarik untuk didedah. Pihak militer yang meminta acara tersebut terlihat masih menggunakan pemikiran cara lama, sangat takut dengan paham yang berbau kiri. Hal ini aneh karena acara tersebut tidak membicarakan sosok Tan Malaka. Bila pun membicarakan, tidak sepantasnya takut dengan pemikiran beliau karena Tan Malaka adalah salah satu bapak bangsa dan pahlawan nasional. Pelarangan semodel ini pun menyalahi aturan karena semestinya tidak ada lagi pelarangan pra penyiaran. Ketika atau setelah disiarkan pun, sebuah acara hanya bisa diperingatkan oleh KPI/KPID, bukan institusi yang lain.
Kasus keempat adalah kasus bocornya informasi personal kepada publik. Informasi mengenai kesehatan inidivud adalah milik personal dan tidak boleh disebarkan ke publik. Hal ini ironisnya terjadi pada pejabat pemerintah, Menteri Kesehatan. Dia mengeluhkan rekam medisnya bisa bocor ke media bila sang menteri terkena kanker paru-paru. Bagaimana dengan kode etik kedokteran yang melarang membocorkan informasi milik pasien sekalipun dia adalah figur publik? Hal yang kita takutkan adalah bagaimana dengan potensi bocornya informasi personal milik anggota masyarakat biasa seperti kita? Sangat besar. Hal ini bisa kita lihat dari penawaran sebuah perusahaan kepada berbagai pihak atas ribuan nomor handphone masyarakat Indonesia. sayangnya, Menteri yang mengurusi informasi lebih sibuk dengan masalah pornografi, bukannya pada pembocoran informasi personal seperti ini.
Namun belakangan kita patut kecewa dengan menteri yang satu ini. Dia atas nama Departemen Kesehatan yang dipimpinnya tidak mau melansir produk susu formula yang terkontaminasi bakteri. Informasi tersebut merupakan hasil temuan tim peneliti IPB. Di dalam kasus ini dia tak berpihak pada masyarakat atas keterbukaan informasi milik publik karena bagaimana pun publik pulalah yang terkena dampaknya bila informasi tentang susu formula berbakteri tersebut tak dibuka. Hal yang sama terjadi pada informasi mengenai rekening “gendut” milik beberapa petinggi Kepolisian Republik Indonesia yang tetap tidak mau dibuka oleh institusi yang mestinya menjaga keterbukaan pada publik. Sekali lagi, kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa informasi yang tertutup adalah titik awal dari penyalahgunaan kekuasaan.
Pembagian buku tentang presiden SBY, si pemilik kantung mata “indah” kata rekan saya, adalah kasus kelima yang menarik untuk dibahas. Bila buku yang dibagikan ke sekolah tidak menggunakan dana masyarakat dan memberikan pengetahuan tentang manusia-manusia hebat Indonesia, tentu tidak akan menjadi soal. Persoalannya adalah buku tersebut menggunakan uang rakyat untuk memproduksi dan mendistribusikannya sementara presiden SBY masih berkuasa. Dengan mudah, kita bisa melihat bahwa tindakan tersebut tidaklah etis. Walau begitu, kasus ini juga menunjukkan bahwa dalam aspek kekuasaan di Indonesia ini, penguasa bisa melakukan banyak hal sementara banyak pula yang “mencari muka” yang bertebaran untuk menjilat pada penguasa dengan sangat jelas.
Kasus terakhir adalah kasus pembantaian jemaah Ahmadiyah di Pandeglang dan penyerbuan gereja di Temanggung. Pertanyaannya adalah bagaimana media memberitakan kedua peristiwa tersebut? Ada pihak media sudah tepat memberitakannya. Ada juga yang berpendapat media belum memberitakannya secara memadai. Masih banyak informasi yang tidak diungkap dan diperdalam. Namun marilah kita menunggu sesaat lagi untuk perkembangan kasus ini. Hal yang jelas, media dan isu konflik, terutama konflik agama, selalu berkaitan erat. Media di Indonesia sudah cukup “berpengalaman” melaporkan konflik agama pada masa lalu, misalnya kasus di Ambon dan Poso. Pertanyaan lanjutannya adalah apakah yang dilakukan media telah cukup? Apakah diperlukan semacam “intervensi” atas fakta agar berita lebih baik atau lebih bisa mengajak masyarakat menujur arah perubahan yang lebih baik?
Klasifikasi ketiga dari “Belajar Bermedia Bersama” adalah bersama. “Bersama” mengandung makna saya melakukan sebuah aktivitas bersama rekan-rekan lain. Aktivitas bersama di sini berarti juga saya belajar banyak dari orang lain, juga tentu saja menyoal ragam tindakan dan pemikiran yang berkaitan dengan media. Aktivitas “bersama” ini adalah aktivitas yang saling mendukung dengan aktivitas yang lain. Hal yang lebih penting dari “bersama” ini adalah saya bisa bertemu dengan banyak orang mencerahkan bukan orang yang memendungkan hati dan pikiran. Bersama mereka saya semakin merasa bahwa akumulasi pikiran dan tindakan personal itu sangat penting untuk menghadirkan “kekuatan” baru.
Aktivitas pertama yang saya lakukan bersama rekan-rekan adalah menghadiri ulang tahun sebuah organisasi masyarakat sipil yang coba mewujudkan demokrasi bermedia di Indonesia pada bulan Desember tahun lalu. Melalui kejadian ini saya semakin sadar akan arti penting masyarakat terbuka dan potensi Indonesia ke arah sana sungguh besar. Hal lain yang membuat saya teringat akan peristiwa ini adalah kemampuan sebuah orasi budaya menggugah hati dan pikiran kita. Menurut saya, orasi budaya yang disampaikan oleh Karlina Supelli sungguh luar biasa, kombinasi buah pikir, hati, dan penyampain ala berpuisi.
Pelatihan riset audiens untuk lembaga penyiaran publik adalah aktivitas kedua yang saya ikuti di bulan Desember masih di tahun yang lalu. Berkumpul bersama dengan rekan-rekan RRI yang antusias mewujudkan visi kepublikan di medianya sungguh mencerahkan. Ada harapan besar untuk mewujudkan RRI menjadi lembaga penyiaran publik yang lebih bagus walaupun jalannya masih cukup panjang. Pertanyaannya adalah bagaimana mengimplementasi makna kepublikan sampai pada lebel produksi program dan programming? Ini adalah soal yang mesti dijawab bersama.
Aktivitas bersama rekan-rekan RRI berlanjut kemudian. Saya diundang untuk mengikuti semiloka tentang redesain dua programa RRI, yaitu Pro 1 dan Pro 2. Saya semakin paham bahwa potensi RRI sangatlah besar dan perlu diupayakan benar untuk berbenah. Saya bangga dan ingin terlibat dalam proses bangkitnya RRI kembali.
Aktivitas ketiga yang saya jalani secara langsung adalah mengikuti pelatihan kompetensi wartawan di Jakarta. Acara ini membuat saya lebih tersadarkan bahwa profesi jurnalis itu rumit dan memerlukan kerja keras bersama. Jurnalis yang kompeten akan memberikan informasi faktual yang bagus kepada masyarakat. Informasi yang bagus akan memandu masyarakat melakukan tindakan personal dan publik yang memadai. Sayangnya, melalui kegiatan ini saya jadi mengetahui bahwa uji kompetensi hanya bisa dilakukan oleh sesama jurnalis padahal saya rasa para akademisi yang mendalami jurnalisme akan dengan mudah melihat produk berita yang memadai, kurang memadai, dan tidak memadai, dengan relatif cepat.
Aktivitas saya menjadi co-host di acara “Angkringan Gayam” di Geronimo FM aktivitas keempat yang saya jalani setahun terakhir ini. Di acara ini saya bertemu dengan banyak orang yang mencerahkan, baik itu host utamanya Sondy Garcia dan, apalagi, para narasumber yang hadir. Melalui pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki, saya mendapatkan banyak hal berguna. Biasanya saya menuliskan pokok diskusi kami di acara “Angkringan Gayam”, namun sudah empat kali saya tidak menuliskannya. Keempatnya adalah sebagai berikut, tentang kilas-balik peristiwa mengenai media baru dan kaum muda di tahun 2010, tentang aktivitas merajut dan berwirausaha melalui media baru, tentang aktivitas dan berita seni di media baru, dan tentang gerakan 1001 buku tulis yang lahir ketika erupsi Merapi dan sampai kini terus berkembang pada misi yang lebih luas.
Diskusi dan “pencerahan” kelima atau terakhir dari acara Angkringan Gayam saya dapatkan hari Senin kemarin (14 Februari 2011), yaitu bertemu dengan para penggiat “Kampoeng Cyber” di RT 36 Taman Patehan yang sudah dikenal secara nasional. Melalui mereka saya semakin paham bahwa media baru bisa digunakan untuk mengembangkan berbagai hal positif dalam suatu komunitas. “Kampoeng Cyber” menyadarkan kita bahwa pendekatan bottom-up dalam pengembangan media baru, terutama internet, lebih penting dibandingkan pendekatan top-down karena biasanya rasa memiliki, kedekatan dan kohesi sosial masyarakat akan tetap tumbuh, bahkan semakin membesar.
Kelima, adalah aktivitas saya dan rekan-rekan dalam sebuah kelompok riset, PR2Media yang baru saja berulang-tahun pertama tanggal 12 Februari kemarin. Kami meneliti lima regulator media dan perannya dalam era demokrasi. Ironisnya, peran para regulator tersebut belum memadai dalam demokrasi media dan keberpihakannya pada publik pun belumlah terlihat jelas. Melalui kegiatan ini, untuk pertama kalinya saya mengikuti RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) dengan Komisi I DPR dan mengetahui betapa wakil rakyat belum memiliki pengetahuan tentang media yang memadai. Misalnya muncul pernyataan bahwa fenomena monopoli media adalah hal biasa. Hal lain yang membuat saya antusias adalah kunjungan pertama saya ke media Tempo setelah bertahun-tahun tidak bertemu dengan rekan-rekan di sana. Ternyata diskusi tersebut berjalan baik-baik saja dan semoga begitu untuk seterusnya.
Aktivitas terakhir saya belakangan ini adalah kembalinya saya mendalami dan mengulik konsep literasi media. Bersama beberapa rekan di Yogyakarta dan satu dari Jakarta, kami berkomitmen lebih mendalam lagi. Bagi saya pribadi, hal ini adalah panggilan kembali karena sudah cukup lama tidak mendalami konsep ini dan perlu sekali mengembangkannya kembali di masyarakat. Kegiatan ini sekaligus untuk menyambut seminar nasional mengenai literasi media di jakarta bulan April mendatang. Saya dan teman-teman sudah melakukan kampanye literasi media sejak tahun 2005 dan sudah mendapatkan model yang tinggal coba diimplementasikan saja. Pertanyaannya, kapan dan bagaimana? Jawabannya singkat saja, sekarang langsung dijalankan semuanya. Caranya dengan melangkah bersama teman-teman. Saya kira saya sudah menemukan jawaban untuk menjadi lebih baik, beraktivitas bersama rekan-rekan yang tepat, membuka mata, hati, pikiran dan telinga lebar-lebar, dan konsisten berusaha mewujudkan apa yang diinginkan. Semoga saya benar, namun hal terpenting adalah bagaimana terus bergerak dan bertindak mewujudkan semua asa.
Jika dipikir kembali apa harapan saya beberapa tahun ke depan, saya tidak dapat memikirkan alternatif lain kecuali berusaha menjadi akademisi atau pembelajar yang lebih baik lagi. Tentunya, semua itu tak akan terwujud tanpa kehadiran banyak rekan. Tanpa pencerahan mereka, apalah artinya saya. Terima kasih untuk teman-teman sepanjang jalan yang selalu menginspirasi (saya taut mereka).
Kamis, 10 Februari 2011
Menubuh Awal Segalanya
Tubuh melawan wajah,
Inkonsistensi
Tubuh menabur kebencian,
Sapaan hampa
Tubuh terjerat stigma,
Standar ganda
Tubuh terhegemoni kuasa
Identitas
Tubuh terdistorsi bahasa,
Bahaya laten
Tubuh menabuh cinta,
Damai
Tubuh meruang sayang,
Puisi kehidupan
Tubuh merajut perbedaan,
Indah
Tubuh mengait santun tubuh yang lain
Tubuh mengarungi lautan keberagaman
Bahasa yang mendiskursif kesudian tindakan
Wajah yang tersenyum
Wajah yang berharap walau tipis saja
Kita hari-hari belakangan ini
Pemberitaan tentang Crop Circle dan Faktualitas Berita
Sebenarnya ada hal yang lebih mendesak untuk didiskusikan dan dianalisis agar bisa dijadikan sebagai landasan bertindak, yaitu pemberitaan mengenai dua konflik agama beberapa hari terakhir ini. Namun karena memiliki “tanggung-jawab” untuk melaporkan hasil diskusi yang dilaksanakan oleh PKMBP (Pusat Kajian Media dan Budaya Populer) Senin kemarin, 7 Februari 2011, hasil diskusi tersebut tetap mesti dituliskan juga. Selain itu, diskusi kali ini juga bersamaan dengan peluncuran kembali newsletter Polysemia, media organ PKMBP yang sangat lama tidak terbit. Polysemia kali ini adalah edisi kelima. Bukan apa-apa, tidak ada maksud kami “mengalihkan isu” dengan mengangkat topik yang sedikit out of date. Tulisan ini hanya sekadar membuat kegiatan tersebut terdokumentasi dan menjadi sarana bagi kami untuk belajar bersama, sesuai dengan slogan Polysemia, "Belajar Bermedia Bersama". Bila ada manfaatnya bagi pihak lain, hal itu kami syukuri. Selain itu, topik pemberitaan media atas konflik agama adalah topik yang akan berusaha kami diskusikan dekat-dekat ini.
Diskusi ini menghadirkan dua narasumber utama, yaitu ibu Ayu Rukini, penduduk Desa Jogomangsan, Rejosari, Berbah, Sleman, yang kediamannya paling dekat dengan persawahan tempat pola crop cirlce “ditemukan”. Pembicara yang lain adalah Wendratama, pendiri situs dibalikberita.org, situs yang berusaha mendedah isu-isu penting yang kurang lengkap atau bahkan tidak dilaporkan oleh media, dan juga peneliti di PKMBP. Diskusi pemberitaan media tentang crop circle ini pun tidak dimaksudkan untuk lebur pada polemik apakah crop circle itu buatan manusia atau bukan, melainkan ingin memperbincangkan peran media yang kurang optimal dalam memberitakannya.
Sejak kemunculannya pertama-kali, 23 Januari 2011 polemik dan debat telah mengemuka. Dua pertanyaan yang menarik untuk ditelusuri adalah bagaimana proses kejadiannya, sebuah pola crop circle yang rumit, bisa muncul di persawahan? dan pertanyaan, siapa yang membuatnya? Pertanyaan pertama dan kedua memang sulit dipisahkan bila media ingin melaporkannya dalam berita. Kenyataannya, pertanyaan kedualah yang terus menerus dimunculkan oleh media, terutama televisi tanpa coba merekonstruksi kejadian dengan sebaik-baik dan secermat-cermatnya.
Berkaitan dengan kasus pemberitaan crop circle ini, bisalah kita meminjam salah satu konsepsi milik Denis McQuail untuk menakar kualitas berita, faktualitas. Faktualitas adalah satu dari enam konsep untuk menilai apakah sebuah berita memiliki kualitas yang memadai. Faktualitas adalah dasar bagi sebuah berita dan merupakan yang terpenting dibandingkan dengan lima yang lain. Definisinya adalah fakta atau kenyataan empiris yang dilaporkan dalam pesan media. Apa dan bagaimana kenyataan yang dilaporkan oleh media menentukan kualitas berita. Faktualitas terdiri dari tiga aspek, yaitu nilai informasi, keterbacaan (readability), dan kemampuan untuk dicek (checkability). Berita tentang crop circle akan coba dianalisis melalui ketiga aspek tersebut, terutama aspek nilai informasi. Nilai informasi sendiri terdiri dari tiga pintu masuk, yaitu keragaman, kedalaman, dan keluasan informasi faktual (lihat Denis McQuail (1992). Media Performance:Mass Communication and the Public Interest. London: Sage Publications. 205-206).
Walaupun berpijak pada peristiwa, seringkali persoalan informasi yang dilaporkan dalam berita tidak sama persis antar media. Hal ini disebabkan tiap informasi selalu melekat nilai dan posisi. Ini disebut oleh McQuail sebagai dimensi evaluatif dari informasi, sementara faktualitas sejatinya ada dalam dimensi informatif. Dengan demikian, untuk mengamati sekumpulan informasi muncul di media, kita mesti juga memiliki pemahaman atas konteks. Pemahaman atas konteks biasanya dimiliki oleh pembelajar media yang serius, terutama yang mengetahui metode analisis teks media. Asumsi ini juga terjadi pada kasus pemberitaan crop circle. Berkaitan dengan keragaman informasi, kualitasnya bisa dikatakan tak memadai. Pada tahap awal pemberitaan informasi tidak cukup beragam dan lebih diarahkan pada kesimpulan bahwa crop circle dibuat oleh bukan manusia, terutama yang disampaikan oleh televisi. Pada fase selanjutnya, setelah pihak yang memiliki otoritas datang, informasi juga tidak beragam karena berita sudah “diarahkan” pada kesimpulan bahwa crop circle itu buatan manusia. Pihak yang “memiliki” otoritas memang cenderung mengarahkan pada kesimpulan bahwa crop circle itu dibuat oleh manusia. Hal yang sama terjadi di semua negara di mana crop circle muncul. Menurut Wendratama, hal ini terjadi karena otoritas biasanya berusaha mencegah panik massa dan tidak menunjukkan ketidakmampuan pemerintah.
Hal yang mengejutkan adalah komentar Ayu Rukini. Menurutnya, warga sudah jengah didatangi oleh wartawan. Dia juga menganggap wartawan sudah memiliki kesimpulan sendiri sehingga pertanyaan yang diajukan cenderung mengarah pada kesimpulan bahwa crop circle itu dibuat oleh manusia. Wartawan kemudian dianggap sama dengan pihak berwenang yang memaksakan pendapatnya. Ketika akan berangkat untuk diskusi kali ini pun, bu Ayu mewanti-wanti agar tidak ada wartawan yang datang karena khawatir dengan pertanyaan yang menyudutkan seperti yang dilakukan oleh polisi. Wartawan secara umum dianggap tidak berusaha merekonstruksi kembali kejadian melalui pelaporannya.
Hal yang sama terjadi pada aspek nilai informasi kedalaman. Informasi yang disampaikan oleh berita di beberapa media rata-rata kurang mendalam. Selain detail proses munculnya crop circle yang tidak memadai, hal lain yang bisa diamati adalah penyimpulan polisi bahwa pembuatnya adalah manusia. Kesimpulan tersebut didasarkan pada desas-desus yang muncul pada sebuah situs dan tidak bisa dianggap akurat. Apalagi ketika media masuk ke fakultas MIPA UGM, media hanya menggunakan sumber resmi, yaitu dekan fakultas MIPA dan humas UGM. Pertanyaannya, mengapa tidak melacak mahasiswanya secara langsung? Sumber informasi yang mengatakan bahwa pembuat crop circle adalah mahasiswa MIPA UGM sebenarnya kurang valid karena berdasarkan gosip belaka dan pengakuan yang belum tentu kebenarannya.
Aspek nilai informasi keluasan malah lebih tidak memadai lagi dijabarkannya. Sebuah informasi menjadi pintu masuk bagi audiens untuk memahami realitas dengan baik. Sayangnya media mengaitkannya dengan informasi ataupun realitas lain yang kurang luas. Pada fase awal kasus crop circle ini dikaitkan dengan UFO (Unidentified Flying Object). Sayangnya sumber penguat informasinya hanya dari situs youtube yang kurang memadai dan film the Signs yang bertema crop circle. Sayangnya lagi, mengapa informasi faktual mesti diperkuat dengan informasi fiksional? Sebuah kejadian nyata yang dikaitkan dengan film fiksi pastilah tidak memadai pelaporannya. Padahal masih banyak sumber lain yang layak dipercaya. Sumber lain itu misalnya film dokumenter yang berjudul Crop Circles: Cross Overs from Another Dimension (2006) yang mendedah fenomena tersebut secara ilmiah, seperti yang disampaikan oleh Wendratama. Feature terkemuka tersebut menjelaskan fenomena crop circle dengan sangat bagus. Salah seorang peserta yang berprofesi sebagai wartawan juga berpendapat bahwa di dalam menulis berita wartawan pun tidak dibolehkan mengambil dari sumber yang kurang dipercaya, antara lain situs-situs yang informasinya kurang layak.
Pada fase kedua pun, ketika pemberitaan menyimpulkan bahwa crop circle itu buatan manusia, penarikan kesimpulannya tidak memadai. Siapa “manusia” yang membuatnya dalam waktu kurang dari dua jam, karena menurut Ayu Rukini, sampai pukul 03.00 tidak ada aktivitas manusia di persawahan tempat crop circle ditemukan, sementara sekitar pukul 05.00 pagi masyarakat sudah “menemukan” keberadaan crop circle tersebut. Ketika polisi kemudian melansir pernyataan bahwa pembuat crop circle bisa dihukum, pada awalnya wartawan juga tidak merujuk aturan hukum apa yang dilanggar. Pun ketika pihak MIPA UGM menyatakan bersedia mengganti kerugian petani yang sawahnya menjadi “korban” crop circle, media tidak menelisik mengapa pernyataan tersebut muncul. Bila tidak bisa dibuktikan mahasiswa adalah pembuatnya, mengapa mesti mengganti kerugian petani? apakah petani memang benar-benar rugi? banyak pertanyaan yang masih bisa diajukan oleh wartawan agar kita bisa "membaca" realitas dengan lebih lengkap.
Sungguh, kasus ini adalah topik yang menarik untuk dianalisis oleh para pembelajar media, yaitu bagaimana sebuah fakta dilaporkan. Bila sebuah kejadian dilaporkan, laporan tersebut memadai dan memenuhi aspek faktualitas karena faktalah yang diurusi oleh pemberitaan. Pada dasarnya, laporan jurnalistik dan tulisan ilmiah itu sama saja, yaitu bagaimana menyampaikan fakta dengan benar sesuai dengan prinsip-prinsip pelaporan. Perbedaannya, pemberitaan itu ada di wilayah kehidupan sehari-hari, sementara tulisan ilmiah itu berada dalam wilayah dunia akademis. Persamaan yang lain adalah bagaimana keduanya mampu memberikan informasi yang baik dan berguna dalam kehidupan publik, agar lebih baik, agar lebih tercerahkan.
Diskusi ini menghadirkan dua narasumber utama, yaitu ibu Ayu Rukini, penduduk Desa Jogomangsan, Rejosari, Berbah, Sleman, yang kediamannya paling dekat dengan persawahan tempat pola crop cirlce “ditemukan”. Pembicara yang lain adalah Wendratama, pendiri situs dibalikberita.org, situs yang berusaha mendedah isu-isu penting yang kurang lengkap atau bahkan tidak dilaporkan oleh media, dan juga peneliti di PKMBP. Diskusi pemberitaan media tentang crop circle ini pun tidak dimaksudkan untuk lebur pada polemik apakah crop circle itu buatan manusia atau bukan, melainkan ingin memperbincangkan peran media yang kurang optimal dalam memberitakannya.
Sejak kemunculannya pertama-kali, 23 Januari 2011 polemik dan debat telah mengemuka. Dua pertanyaan yang menarik untuk ditelusuri adalah bagaimana proses kejadiannya, sebuah pola crop circle yang rumit, bisa muncul di persawahan? dan pertanyaan, siapa yang membuatnya? Pertanyaan pertama dan kedua memang sulit dipisahkan bila media ingin melaporkannya dalam berita. Kenyataannya, pertanyaan kedualah yang terus menerus dimunculkan oleh media, terutama televisi tanpa coba merekonstruksi kejadian dengan sebaik-baik dan secermat-cermatnya.
Berkaitan dengan kasus pemberitaan crop circle ini, bisalah kita meminjam salah satu konsepsi milik Denis McQuail untuk menakar kualitas berita, faktualitas. Faktualitas adalah satu dari enam konsep untuk menilai apakah sebuah berita memiliki kualitas yang memadai. Faktualitas adalah dasar bagi sebuah berita dan merupakan yang terpenting dibandingkan dengan lima yang lain. Definisinya adalah fakta atau kenyataan empiris yang dilaporkan dalam pesan media. Apa dan bagaimana kenyataan yang dilaporkan oleh media menentukan kualitas berita. Faktualitas terdiri dari tiga aspek, yaitu nilai informasi, keterbacaan (readability), dan kemampuan untuk dicek (checkability). Berita tentang crop circle akan coba dianalisis melalui ketiga aspek tersebut, terutama aspek nilai informasi. Nilai informasi sendiri terdiri dari tiga pintu masuk, yaitu keragaman, kedalaman, dan keluasan informasi faktual (lihat Denis McQuail (1992). Media Performance:Mass Communication and the Public Interest. London: Sage Publications. 205-206).
Walaupun berpijak pada peristiwa, seringkali persoalan informasi yang dilaporkan dalam berita tidak sama persis antar media. Hal ini disebabkan tiap informasi selalu melekat nilai dan posisi. Ini disebut oleh McQuail sebagai dimensi evaluatif dari informasi, sementara faktualitas sejatinya ada dalam dimensi informatif. Dengan demikian, untuk mengamati sekumpulan informasi muncul di media, kita mesti juga memiliki pemahaman atas konteks. Pemahaman atas konteks biasanya dimiliki oleh pembelajar media yang serius, terutama yang mengetahui metode analisis teks media. Asumsi ini juga terjadi pada kasus pemberitaan crop circle. Berkaitan dengan keragaman informasi, kualitasnya bisa dikatakan tak memadai. Pada tahap awal pemberitaan informasi tidak cukup beragam dan lebih diarahkan pada kesimpulan bahwa crop circle dibuat oleh bukan manusia, terutama yang disampaikan oleh televisi. Pada fase selanjutnya, setelah pihak yang memiliki otoritas datang, informasi juga tidak beragam karena berita sudah “diarahkan” pada kesimpulan bahwa crop circle itu buatan manusia. Pihak yang “memiliki” otoritas memang cenderung mengarahkan pada kesimpulan bahwa crop circle itu dibuat oleh manusia. Hal yang sama terjadi di semua negara di mana crop circle muncul. Menurut Wendratama, hal ini terjadi karena otoritas biasanya berusaha mencegah panik massa dan tidak menunjukkan ketidakmampuan pemerintah.
Hal yang mengejutkan adalah komentar Ayu Rukini. Menurutnya, warga sudah jengah didatangi oleh wartawan. Dia juga menganggap wartawan sudah memiliki kesimpulan sendiri sehingga pertanyaan yang diajukan cenderung mengarah pada kesimpulan bahwa crop circle itu dibuat oleh manusia. Wartawan kemudian dianggap sama dengan pihak berwenang yang memaksakan pendapatnya. Ketika akan berangkat untuk diskusi kali ini pun, bu Ayu mewanti-wanti agar tidak ada wartawan yang datang karena khawatir dengan pertanyaan yang menyudutkan seperti yang dilakukan oleh polisi. Wartawan secara umum dianggap tidak berusaha merekonstruksi kembali kejadian melalui pelaporannya.
Hal yang sama terjadi pada aspek nilai informasi kedalaman. Informasi yang disampaikan oleh berita di beberapa media rata-rata kurang mendalam. Selain detail proses munculnya crop circle yang tidak memadai, hal lain yang bisa diamati adalah penyimpulan polisi bahwa pembuatnya adalah manusia. Kesimpulan tersebut didasarkan pada desas-desus yang muncul pada sebuah situs dan tidak bisa dianggap akurat. Apalagi ketika media masuk ke fakultas MIPA UGM, media hanya menggunakan sumber resmi, yaitu dekan fakultas MIPA dan humas UGM. Pertanyaannya, mengapa tidak melacak mahasiswanya secara langsung? Sumber informasi yang mengatakan bahwa pembuat crop circle adalah mahasiswa MIPA UGM sebenarnya kurang valid karena berdasarkan gosip belaka dan pengakuan yang belum tentu kebenarannya.
Aspek nilai informasi keluasan malah lebih tidak memadai lagi dijabarkannya. Sebuah informasi menjadi pintu masuk bagi audiens untuk memahami realitas dengan baik. Sayangnya media mengaitkannya dengan informasi ataupun realitas lain yang kurang luas. Pada fase awal kasus crop circle ini dikaitkan dengan UFO (Unidentified Flying Object). Sayangnya sumber penguat informasinya hanya dari situs youtube yang kurang memadai dan film the Signs yang bertema crop circle. Sayangnya lagi, mengapa informasi faktual mesti diperkuat dengan informasi fiksional? Sebuah kejadian nyata yang dikaitkan dengan film fiksi pastilah tidak memadai pelaporannya. Padahal masih banyak sumber lain yang layak dipercaya. Sumber lain itu misalnya film dokumenter yang berjudul Crop Circles: Cross Overs from Another Dimension (2006) yang mendedah fenomena tersebut secara ilmiah, seperti yang disampaikan oleh Wendratama. Feature terkemuka tersebut menjelaskan fenomena crop circle dengan sangat bagus. Salah seorang peserta yang berprofesi sebagai wartawan juga berpendapat bahwa di dalam menulis berita wartawan pun tidak dibolehkan mengambil dari sumber yang kurang dipercaya, antara lain situs-situs yang informasinya kurang layak.
Pada fase kedua pun, ketika pemberitaan menyimpulkan bahwa crop circle itu buatan manusia, penarikan kesimpulannya tidak memadai. Siapa “manusia” yang membuatnya dalam waktu kurang dari dua jam, karena menurut Ayu Rukini, sampai pukul 03.00 tidak ada aktivitas manusia di persawahan tempat crop circle ditemukan, sementara sekitar pukul 05.00 pagi masyarakat sudah “menemukan” keberadaan crop circle tersebut. Ketika polisi kemudian melansir pernyataan bahwa pembuat crop circle bisa dihukum, pada awalnya wartawan juga tidak merujuk aturan hukum apa yang dilanggar. Pun ketika pihak MIPA UGM menyatakan bersedia mengganti kerugian petani yang sawahnya menjadi “korban” crop circle, media tidak menelisik mengapa pernyataan tersebut muncul. Bila tidak bisa dibuktikan mahasiswa adalah pembuatnya, mengapa mesti mengganti kerugian petani? apakah petani memang benar-benar rugi? banyak pertanyaan yang masih bisa diajukan oleh wartawan agar kita bisa "membaca" realitas dengan lebih lengkap.
Sungguh, kasus ini adalah topik yang menarik untuk dianalisis oleh para pembelajar media, yaitu bagaimana sebuah fakta dilaporkan. Bila sebuah kejadian dilaporkan, laporan tersebut memadai dan memenuhi aspek faktualitas karena faktalah yang diurusi oleh pemberitaan. Pada dasarnya, laporan jurnalistik dan tulisan ilmiah itu sama saja, yaitu bagaimana menyampaikan fakta dengan benar sesuai dengan prinsip-prinsip pelaporan. Perbedaannya, pemberitaan itu ada di wilayah kehidupan sehari-hari, sementara tulisan ilmiah itu berada dalam wilayah dunia akademis. Persamaan yang lain adalah bagaimana keduanya mampu memberikan informasi yang baik dan berguna dalam kehidupan publik, agar lebih baik, agar lebih tercerahkan.
Selasa, 08 Februari 2011
If You Tolerate This Your Children will be Next
Berita itu sungguh menyedihkan dirinya. Indonesia yang katanya negara berdasar Pancasila yang mengedepankan keberagaman dan perbedaan keyakinan ternyata hanya ada di dalam buku-buku masa lalu. Para pendiri negara ini sudah tahu bahwa keberagaman itu adalah keutamaan negeri ini. Kenyataannya, kini kita diuji terus atas jalan yang kita pilih bersama. Ternyata berbeda keyakinan itu mematikan seperti yang terlihat dalam kasus pembantaian kelompok Ahmadiyah di desa Ciumbulan, Cikeusik, Pandeglang kemarin. Dia hanya memandang kosong pada kehidupan bersama bernama Indonesia yang semakin jauh dari harapan.
Sedihnya lagi, aparat keamanan seperti tidak bertindak ketika pembantaian terjadi seperti yang terlihat di video yang tersebar luas di internet. Apalagi kemarin, sang Raja Menye hanya mengatakan prihatin, tidak mengutuk keras dan kemudian bertindak cepat menangkap para pelaku pembunuhan yang sebenarnya sudah ada “di depan mata”. Negara, terutama pemerintah, telah gagal melindungi dan memenuhi hak-hak warga negara yang paling mendasar, hak untuk bebas berkeyakinan dan hak atas rasa aman. Kita akan menghadapi kekerasan yang terus meningkat bila penanganan negara seperti ini. Tidak hanya pemerintah, legislatif juga mesti dikritik karena tidak dengan segera bertindak dengan mengeluarkan pernyataan keras atas kejahatan kemanusiaan seperti ini.
Para tokoh juga memberikan andil terjadinya peristiwa ini karena seringkali tidak mengedepankan filosofi hidup secara damai dan berdampingan. Pada kenyataannya, tidak mungkin di dalam masyarakat Indonesia yang plural ini kita tidak berdampingan dengan kelompok agama, etnis, ataupun kelompok ideologi lain. Pagi tadi dia masih mendengar tokoh agama yang masih “membenarkan” pembunuhan yang terjadi di Cikeusik di televisi. Tiba-tiba saja dia sangat rindu dengan para tokoh agama yang mengedepankan kehidupan bersama tanpa kekerasan dan menghargai pluralisme seperti Gus Dur. Mestinya yang dipentingkan adalah bukan keselamatan hidup kelompok sendiri melainkan seluruh warga Indonesia. Bukankah tujuan hidup kita berbangsa dan bernegara adalah meningkatkan harkat dan bermartabat manusia Indonesia?
Media juga mesti bijak dalam memberitakan peristiwa ini. Pertama, media seharusnya tidak menggunakan kalimat-kalimat yang provokatif atau pun “menutupi” kejadian ini. Penggunaan judul “bentrok” adalah tidak tepat karena ini bukan bentrok melainkan pembantaian karena bentrok menggambarkan posisi dua pihak berkonflik terbuka yang relatif setara. Mana bisa serangan sekitar 1.500 atas 21 orang disebut bentrok? Juga dengan kata “penyerangan Ahmadiyah”. Kata penyerangan Ahmadiyah juga tidak tepat karena bukan Ahmadiyah yang menyerang. Mereka malah yang diserang.
Ada juga berita tentang pemuda Ahmadiyah yang menyerang dan membacok duluan, terutama berita di situs berita pada saat awal pemberitaan media. Tetapi berita itu hanya bersumber dari satu pihak. Ada juga berita yang cenderung menyalahkan Ahmadiyah, antara lain berita tentang “penginsyafan” di Banten oleh gubernurnya. Tetapi korbannya adalah pihak Ahmadiyah dan seharusnya aparat pemerintah terus mendorong polisi menangkap para pembantai itu, bukannya malah “menyalahkan” pihak korban. Di negara ini memang semua tindakan aparat pemerintah serba berkebalikan.
Sebagai bagian dari warga negara Indonesia kita patut khawatir kejadian seperti ini akan terus berulang bila negara tidak bertindak cepat, masyarakat juga mesti bertindak dengan mengedepankan dialog, namun negaralah yang memegang tanggung-jawab terbesar karena memiliki kemampuan untuk menegakkan hukum. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang. Pelakunya mesti dihukum dan dicari model yang tepat agar kejadian serupa tidak terulang. Aparat keamanan juga mesti melindungi tiap warga negara. Apa jadinya bila tiap kelompok, terutama kelompok agama, “menyiapkan diri” untuk berkonflik terbuka dengan kelompok lain karena tidak percaya aparat tidak dapat melindungi mereka?
Aparat negara mesti menjalankan Konstitusi. Jangan sampai negeri indah yang plural ini hanya diketahui oleh anak cucu kita sebagai negara yang gagal di mana kekerasan yang dikedepankan, seperti yang terjadi di beberapa negara Afrika dan Amerika Latin. Jangan sampai kita menoleransi kejadian ini sedikit pun karena bisa jadi nantinya anak-anak kita sendiri yang menjadi korban.
*****
If You Tolerate This Your Children will be Next
The future teaches you to be alone
The present to be afraid and cold
So if I can shoot rabbits
Then I can shoot fascists
Bullets for your brain today
But we'll forget it all again
Monuments put from pen to paper
Turns me into a gutless wonder
And if you tolerate this
Then your children will be next
And if you tolerate this
Then your children will be next
Will be next
Will be next
Will be next
Gravity keeps my head down
Or is it maybe shame
At being so young and being so vain
Holes in your head today
But I'm a pacifist
I've walked La Ramblas
But not with real intent
And if you tolerate this
Then your children will be next
And if you tolerate this
Then your children will be next
Will be next
Will be next
Will be next
Will be next
And on the street tonight an old man plays
With newspaper cuttings of his glory days
And if you tolerate this
Then your children will be next
And if you tolerate this
Then your children will be next
Will be next
Will be next
Will be next
(Terima kasih untuk Bucek yang mengingatkan saya pada lagu ini. Lagu bagus dari Manic Street Preachers ini berbincang tentang perang sipil di Spanyol dan bahaya kekerasan bila dikedepankan dalam kehidupan bersama. Lagu ini berasal dari album Manic Street Preachers “This is My Truth Tell Me Yours” yang dirilis tahun 1998)
Sabtu, 05 Februari 2011
Duran Duran - All We Need is Now
Urgensi Sekarang
Apa persamaan album terkini Duran Duran dengan Smashing Pumpkins? Keduanya berbeda walau bagi saya, kedua band ini adalah “penyelamat” atas masa lalu yang bisa saja teruk. Namun keduanya menyelamatkan hidup karena kedua band ini memberi keindahan. Duran Duran selalu mengingatkan dunia warna-warni 80-an, sementara Smashing Pumpins membuat saya merasa “nyaman” dalam kondisi gelap sekali pun, terutama melewati fase hidup di tahun 90-an. Lebih luas dari tafsir diri saya, kedua band ini adalah ikon pada jamannya masing-masing.
Mengapa keduanya saya anggap sama saat ini, alasannya adalah keduanya mementingkan makna sekarang sebagai titik masuk pembicaraan yang didedah sedikit mendalam. Duran Duran mengambil judul album teranyarnya dengan “All You Need is Now”. Sekiranya ini adalah manifesto sederhana bagi mereka untuk tidak mementingkan masa lalu dan masa depan, masa sekarang inilah yang penting dan mesti disyukuri. Smashing Pumpkins sudah cukup lama mengangkat topik sekarang dalam lagu-lagu mereka. Setidaknya ada dua lagu mereka senang membincangkan masa sekarang, kebetulan keduanya adalah lagu hit mereka. Lagu pertama adalah “Today” dari album terbaik mereka di tahun 1993, “Siamese Dream”. Kedua, adalah lagu “1979” dari album terbaik kedua mereka “Mellon Collie and Infinite Sadness” yang dirilis pada tahun 1995. Petikan lirik di lagu tersebut urgency of now (seperti yang dilafalkan Billy Corgan walau liriknya tertulis urgency of sound)...terus menerus ada di kepala saya sejak pertama kali mendengarkannya.
Karena itulah kita membicarakan makna “sekarang” sebagai titik masuk untuk menakar album terakhir Duran Duran ini. Membicarakan Duran Duran tentu saja kita membicarakan masa lalu mereka yang gilang gemilang. Bagi manusia yang menjadi remaja pada era 80-an kemungkinan besar tahu dengan banyak lagu hit Duran Duran, pengemasan tampilan mereka, dan juga salah satu pionir bagi invasi band-band Inggris ke Amerika yang kedua di dekade yang penuh warna itu. Lagu-lagu seperti “Planet Earth”, “Rio”, “Save A Prayer”, dan “Union of the Snake” adalah hit awal yang sangat melekat. Bahkan ketika mereka “membubarkan diri” dan sibuk dengan proyek masing-masing, kelima personel Duran Duran masih membuat musik bagus di band yang berbeda. “Arcadia” dan “Power Station”, dua band yang dibentuk oleh para personel Duran Duran pada tahun 1985 masih memberikan jejak yang manis pada dunia musik populer.
Setelah itu Duran Duran memasuki fase kedua dalam karir mereka. Walau tidak sebesar fase pertama, mereka masih mengeluarkan lagu-lagu hebat semisal “Notorius”, “Skin Trade”, dan “I don’t Want Your Love”. Pada fase inilah kita bisa ingat dengan ikon budaya populer 1980-an dan 1990-an di Indonesia, yaitu serial Lupus. Lupus adalah bentuk kekaguman Hilman, penulisnya, atas Duran Duran. Beberapa indikatornya adalah gaya rambut Lupus yang mirip dengan John Taylor, nama rekan Lupus, Boim Le Bon, yang mengambil nama vokalis Duran Duran, Simon Le Bon, juga judul lagu “Notorius” yang pernah digunakan sebagai judul bab di serial Lupus.
Pada tahun 1990, Duran Duran mengeluarka album yang kurang sukses berjudul “Liberty”. Kegagalan itu ditebus pada album berikutnya. Setelah vakum tiga tahun, mereka merilis lagi album yang kembali menempatkan mereka sebagai pusat perhatian pencinta musik. Pada tahun 1993 mereka merilis album self title atau dikenal juga dengan “Wedding Album”. Bagi saya album ini bukan saja album terbaik mereka, namun juga memiliki makna personal yang menemani transisi kehidupan di era pelajar ke kuliah. Siapa penyuka musik yang tidak teringat dengan lagu “Come Undone” dan “Ordinary World”?
Setelah itu tidak ada lagi album “comeback” briian yang mereka buat. Hal yang sama tidak terjadi untuk album “Astronout” (2006) yang mereka rilis setelah enam tahun tidak mengeluarkan album. Album penanda kembalinya formasi awal Duran Duran ini tidak sehebat album comeback pada tahun 1993 itu walau album ini terkategori bagus. Setelah itu mereka meluncurkan album “eksperimental” yang juga tidak meledak, “Red Carpet Massacre” (2007). Album yang menurut saya menjauh dari gaya bermusik Duran Duran.
Sekaranglah saatnya mereka mengeluarkan album bagus lagi. Album terakhir ini mengembalikan roh Duran Duran fase awal. Menurut saya album ini termasuk bagus walau belum seperti dua album terbaik mereka, yaitu “Wedding Album” dan “Rio”. Pecinta Duran Duran sejak lama diberikan nuansa masa lalu seperti lagu-lagu era awal. Inilah arti pentingnya menafsirkan kembali masa lalu dalam konteks kekinian. Pecinta Duran Duran masa kini bisa mendapatkan dinamisnya perubahan di dekade kedua milenium ini. Itulah sebabnya Duran Duran tidak lekang oleh jaman setelah berkarya kurang lebih tiga dekade seperti berkuasanya rejim Husni Mubarak di Mesir. Mubarak ingin segera dilengserkan, Duran Duran masih terus ditunggu hasil kreasinya.
Mendengarkan kesembilan lagu di album ini saya seperti kembali ke masa lalu tetapi bukan untuk mengenang-ngenang belaka, namun untuk mendapatkan yang baik dalam konteks sekarang. Dikembangkan dan dirasakan dalam-dalam hal yang baik itu. Saya sangat tidak sabar menunggu album ini dalam versi CD yang akan dirilis bulan Maret 2011 yang akan memuat lima lagu tambahan.
Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan masa lalu dan masa depan, walau begitu untuk mencecap indahnya hidup, kita memang memerlukan masa sekarang. Di sini sekarang kita menghidupi hidup kita. Saya rasa ada untungnya mengetahui sedikit filsafat eksistensialisme, saya diingatkan keras untuk menghargai sekarang. Duran Duran mengingatkannya dengan lembut melalui album ini. Walau setelah dibaca tindakan ini menjadi masa lalu, saya menikmati benar saat ini ketika menulis ditemani segelas kopi panas, buku Djenar Maesa Ayu yang sudah selesai dibaca di meja komputer, sambil mendengarkan album Duran Duran “All You Need is Now”. Waktu saat sekarang ini indah sekali.
Judul Album : All You Need is Now
Penyanyi : Duran Duran
Daftar Lagu:
1. All You Need Is Now
2. Blame The Machines
3. Being Followed
4. Leave A Ligtht On
5. Safe (feat. Ana Matronic)
6. Girl Panic
7. The Man Who Stole A Leopard (feat. Kelis)
8. Runaway Runaway
9. Before The Rain
Langganan:
Postingan (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...