Kamis, 31 Maret 2011

Daysleeper

Antara hampa dan mimpi kau datang. Apakah ada kebebasan memilih dalam hidup ini? Apakah kau yang di sana tak berniat menyakitiku lagi? Siapakah yang datang menggedor pintu demikian keras namun setelah dipersilakan masuk, pergi begitu saja tanpa meninggalkan jejak sama sekali? Kau selalu berdalih tidak berniat menyakiti namun mengapa kini relasi sekarang biru dengan bilur panjang bernama kedukaan dan kehampaan?
Di saat sedikit saja aku mempertanyakan luka dan hampa yang telah kau buat, kau bilang aku pendendam. Katamu, apa pun yang sudah berlalu anggap saja berlalu. Janganlah mengingat masa lalu kita. Bagaimana pun juga kita ini saling menyayangi mesti saling menyakiti. Bila kau terlukai anggap saja itu semua untuk kebaikan dirimu sendiri. Bukankah dunia ini memang berisi luka dan duka, aku hanya mengingatkannya kembali. Aku tak bisa berbicara apa-apa lagi. Semua sudah digariskan. Kita tinggal menjalani. Aku tak ingin mengingatnya walau beratus bayang datang silih berganti. Apa lagi yang tersisa bila aku letih dan menyerah?
Pergerakan waktu tak bisa kuikuti lagi. Entah siang atau malam. Fajar atau pagi. Cinta atau benci, atau ribuan gradasi rasa di antaranya. Ah, bahkan dirimu pun tak bisa kukenali lagi. Terkadang kau menjadi dementor, manusia kaca, buta cakil, Irfan Bachdim, Selly si “Penipu Cantik”, Brad Pitt, beruang, Barbie, ikan mas koki, Natalie Portman, Nurdin Halid. Entahlah, semua menghablur dan menyatu. Semua bergantian datang dan pergi. Muncul dan menghilang. Adakah sesuatu yang konstan dan tak bergerak?
Antara sebuan tentara koalisi ke Libya dan kekalahan Jerman dalam laga persahabatan, kau datang mengenalkan nihilisme dalam hidup. Semua tak bermakna, semua bisa menghilang dengan cepat, tanggalkan semua prinsip, visi kepublikan yang kau anut hanyalah ilusi dan utopia. Kau selalu berkata jangan takut dengan kegelapan yang kau bawa. Mengapa takut? Toh hidup telah gelap dengan sendirinya. Cahaya pelan-pelan meredup. Tak ada konsep ideal. Semuanya meredup dalam ruang hampa.
Di saat sedikit saja aku mendebatmu, kau berargumen hanya menjalankan fenomenologi terhadapku. “Kembali pada benda-benda” katamu. “Kembali pada hampa-hampa” batinku. Aku tetap menganut konsepsi ideal itu seredup apa pun, sebesar apa pun resikonya. Untuk apa hidup bila tak ada sesuatu yang diperjuangkan. “Kembali pada kata-kata” hasratku menggedor sukma pelan-pelan, tak hampa-hampa. Memenuhi otak dan hati segera.
Pergerakan hidup tak bisa kukenali lagi. Tak ada masa lalu, masa kini, dan masa depan. Semua menyatu. Siap-siap menerkam keragaman identitas. Kau bilang hidup harus satu komando dan semua mesti sama dengan dirimu. Bila tak mengikutimu, aku bukan hanya dibenci namun distigma semua hal negatif yang mungkin dimiliki seorang manusia. Di mana harapan? Siapa yang bertanggung-jawab kecuali diri sendiri? Orang-orang lain tak penting. Dunia tak penting. Hal yang penting hanya kesadaran. Namun aku tak tahu di mana kesadaran itu. Apa rasanya? Seperti bergelas kopi yang kuminum sejak kemarin? Bagaimana memesannya pada pemilik hidup? Secara digital atau analog? Semua yang hitam dan putih menyatu perlahan dan pasti. Semua ini, terutama dirimu, terlalu manis, terlalu jelas, dan tak terlalu pintar. Semua berwarna abu-abu dalam bidang datar tiga dimensi yang menutupi segalanya. Kini, kau ada di mana? Datang sajalah, selamatkan aku walau eksistensimu selalu membawa sembilu.
Warna abu-abu memenuhiku. Semuanya menghilang. Ada rasa damai perlahan mengalir…Harus tetap sadar! Harus tetap terjaga apa pun resikonya, aku berteriak sekuat tenaga walau mungkin hatiku sendiri saja hampir tak mendengar apa pun lagi.

######

Terinspirasi oleh lagu REM dari album “Up” (1998):
"Daysleeper"

Receiving department, 3 a.m.
Staff cuts have socked up the overage
Directives are posted.
No callbacks, complaints.
Everywhere is calm.

Hong Kong is present
Taipei awakes
All talk of circadian rhythm

I see today with a newsprint fray
My night is colored headache grey
Daysleeper

The bull and the bear are marking their territories
They're leading the blind with their international glories

I'm the screen, the blinding light
I'm the screen, I work at night.

I see today with a newsprint fray
My night is colored headache grey
Don't wake me with so much.
Daysleeper.

I cried the other night
I can't even say why
Fluorescent flat caffeine lights
Its furious balancing

I'm the screen, the blinding light
I'm the screen, I work at night

I see today with a newsprint fray
My night is colored headache grey
Don't wake me with so much.
The ocean machine is set to nine
I'll squeeze into heaven and valentine
My bed is pulling me,
Gravity
Daysleeper. Daysleeper.
Daysleeper. Daysleeper. Daysleeper.

BBB (Belajar Bermedia Bersama) 12

“Kembali pada benda-benda”. Itulah kalimat yang saya ingat betul belakangan ini, terutama karena membaca serba sedikit konsep yang dikenal dengan nama fenomenologi dari Edward Husserl. Bila diterapkan pada pesan faktual atau jurnalisme pada media, kira-kira kalimatnya menjadi “kembali pada fakta itu sendiri”. Namun di sinilah susahnya. Fakta tidak pernah berdiri sendiri. Fakta juga selalu dimaknai berkaitan dengan posisi. Sebenarnya para pelaku jurnalisme sendiri sudah melakukan banyak cara agar fakta tetap berada dalam porsinya. Bila pun fakta dimaknai, pemaknaan itu tetaplah berada dalam koridor kepentingan publik. Kini kita mengenal jurnalisme makna, yaitu jurnalisme yang tidak semata-mata merujuk pada makna namun pada makna yang dibawanya sesuai dengan makna kehidupan bersama atau visi kepublikan.

Sayangnya, masih ada person media yang tidak memahami bahwa kerja jurnalistik diawali dan berakhir untuk kehidupan bersama. Kenyataan ini semakin menguat bila kita mengamati media di Indonesia, terutama televisi. Berita cenderung mengarah pada personalisasi padahal berita itu selalu merujuk pada arti penting kehidupan bersama. Dua berita pada akhir minggu kemarin menunjukkan bagaimana personalisasi tersebut terjadi, yaitu pemberitaan mengenai anggota DPR dari Partai Demokrat yang bernomor kursi ganda dengan penumpang lain. Entah mengapa “serangan” hanya mengenai Roy Suryo. Terlepas dari dia salah atau benar, media tidak mencoba melihat sistem penomoran maskapai yang kacau. Maskapai tersebut, seperti yang seringkali diberitakan, memang terkenal karena kekacauan sistem dan frekuensi keterlambatannya yang tinggi.

Bila media semata-mata media menumpukan kesalahan pada Roy Suryo, kita hanya mendapat kesimpulan bahwa menjadi pejabat publik itu harus tidak boleh menang sendiri. Tetapi bila kita merujuk pada sistem informasi penumpang di penerbangan yang kacau balau, kita bisa belajar bersama bahwa untuk memperbaiki transportasi udara itu memerlukan banyak usaha. Kita mesti mengingat berapa banyak martir, penumpang dan kru pesawat yang meninggal pada tahun 2002 – 2005 ketika industri penerbangan sangat longgar dan keselamatan penumpang bukan menjadi perhatian utama. Kita bisa mendapatkan manfaat lebih banyak dari jurnalisme bila media membidik visi kepublikan.

Hal yang sama terjadi dengan pemberitaan “Selly si Penipu Cantik”. Rata-rata media, termasuk media terkemuka, memberikan atribut pada kata sifat yang sama, cantik, padahal apa relevansi antara kejahatan dan kecantikan? Seolah-olah ingin disampaikan bahwa perempuan yang cantik tak akan menipu. Hal yang masih mirip adalah pemberitaan mengenai kematian Syakira beberapa waktu yang lalu. Pemberitaan lebih melihat bahwa Syakira adalah waria, bukan pada sistem keamanan negeri ini di mana orang dengan mudah memiliki senjata api dan main tembak seenaknya sendiri pada orang lain. Semua berita tersebut menjadi tidak fokus karena satu hal, semuanya merujuk pada personalisasi. Kelihatan visi dan prinsip-prinsip infotainment sudah mulai merasuki isi semua jenis berita padahal berita dunia hiburan (entertainment) di luar sana tetap merujuk pada visi kepublikan. Hal ini misalnya terlihat sewaktu Madonna dengan mudah mengadopsi anak dari negara-negara Afrika. Pemberitaan berfokus bukan pada si Madonna yang mau mengadopsi anak melainkan pada sistem adopsi yang sangat longgar padahal sistem seperti itu akan memudahkan perdagangan manusia.

Isu personalisasi dalam pemberitaan itulah yang pada minggu keduabelas di tahun 2011 ini mengemuka. Bukan berarti tidak ada kasus-kasus mengenai komunikasi yang lain. Minggu ke-12 kemarin malah cukup banyak terjadi peristiwa yang berkaitan dengan kemediaan. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain: munculnya domain baru xxx sebagai “rumah” bagi situs porno, teror bom buku yang masih marak sampai saat ini, sekaratnya PDS HB Jassin, dan rencana mergernya SCTV dan Indosiar.

Pengesahan domain xxx, yang akan segera bersanding dengan www disikapi beragam oleh berbagai pihak. Ada yang mengganggap bahwa inilah legalisasi dari aktivitas pornografi dan simpati pihak berwenang atasnya. Pihak yang menentang ini terutama berasal dari kelompok agamawan. Sementara itu industri pornografi sendiri bukannya setuju bulat penuh. Ada juga yang menentang domain xxx tersebut karena justru memudahkan pihak berwenang untuk “menghantam” mereka. Isu ini terjadi di Amerika Serikat walau sebentar lagi pasti akan berimbas untuk seluruh dunia.

Pemberitaan mengenai teror bom juga masih mengemuka seminggu kemarin itu. Kali ini lebih karena tertangkapnya beberapa orang iseng yang meneror melalui SMS dan telepon. Orang-orang tersebut rupanya mengambil keuntungan dari tidak bekerjanya sistem informasi tentang pengamanan masyarakat dari teror. Negara yang tidak memadai sistemnya jelas menjadi titik celah utama. Bila intelejen negara memiliki informasi yang bagus, tentunya para pelakunya sudah tertangkap sekarang. Masyarakat yang mudah panik adalah titik celah berikutnya. Orang-orang tersebut yang secara psikologis “sakit” memuaskan hasratnya dalam situasi teror seperti sekarang. Hal ini terlihat dari pernyataan yang diberikan oleh salah satu pelaku teror bom lewat SMS bahwa tindakannya tersebut semata-mata hanya iseng dan ingin melihat orang-orang panik. Pernyataan itu sungguh menyedihkan mengingat psikologi seperti ini kemungkinan besar “mewabah” di banyak warga yang mengalami kesulitan hidup dan tak paham hukum. Media jangan sampai menjadi titik celah berikutnya. Media adalah penyedia informasi di dalam kehidupan bersama. Baiknya sebuah masyarakat juga didukung oleh penyediaan informasi yang memadai oleh medianya.

Hal lain yang juga menarik untuk didiskusikan adalah hampir matinya Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Hal ini ironis mengingat bantuan dana yang jauh lebih besar diberikan kepada organisasi kemasyarakatan yang tak jelas. Sementara PDS HB Jassin “hanya” mendapat 50 juta rupiah. Jumlah yang relatif tak memadai mengingat ribuan koleksi yang disimpan di sana. Namun hal ini juga menjadi “biasa” mengingat negara ini memang tidak memiliki perhatian yang tinggi pada output media, terutama yang bernilai sejarah, sejak lama. Aktivitas dokumentasi yang lumayan barulah di media film. Lembaga yang melakukan pendokumentasian film tersebut adalah sinematek yang relatif baik dalam menyimpan semua karya film anak bangsa. Jangan sampai nanti kita baru menyadari kealpaan kita ketika karya sastra Indonesia di masa lalu sudah ada di negara lain, kemudian negara itu mengklaimnya. Kekhawatiran tersebut bukannya tak beralasan, buku-buku berbahasa Melayu kuno di Medan dan Padang banyak yang sudah dibeli oleh orang-orang dari Malaysia. Kita mafhum apa yang akan terjadi tiga empat tahun nanti bila kondisi ini dibiarkan.

Kejadian terakhir yang juga ramai dibicarakan, didiskusikan, dan didebat, adalah rencana mergernya SCTV dan Indosiar. Rencana ini jelas melanggar prinsip demokrasi yang utama, yaitu keberagaman pemilik media, dan pada gilirannya keberagaman isi media. Namun sepertinya rencana ini akan berjalan mulus mengingat tiga kejadian yang hampir sama sebelumnya, yaitu penguasaan MNC pada tiga stasiun televisi, yaitu RCTI, TPI, dan Global TV, kemudian pengambilalihan TV7 oleh Trans Corporation, dan penggabungan Lativi dengan ANTV, yang kemudian berganti nama menjadi TV One. Karena sebelumnya “dibolehkan”, rencana merger SCTV dan Indosiar kemudian seolah-olah adalah hal biasa, padahal kita tahu bahwa UU nomor 32 tentang Penyiaran melindungi masyarakat dari pemusatan kepemilikan media penyiaran pada segelintir orang.

Pasal 18 UU Penyiaran berbunyi: Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi. Kemudian, pasal 20 menyatakan: Lembaga penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi masing-masing hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu) saluran siaran pada 1 (satu) cakupan wilayah siaran. Inilah prinsip utama dari kepemilikan media penyiaran yang mesti ditaati oleh pihak yang ingin mendirikan lembaga penyiaran swasta. Sayangnya, di negeri tercinta ini implementasi aturan memang jauh dari yang tertulis. Cobalah kita tengok penegakan sistem penyiaran berjaringan yang tidak jelas sampai sekarang. Kemungkinan revisi UU Penyiaran yang sedang berjalan, di mana draft versi pemerintah yang dinilai sangat mengakomodir industri penyiaran, adalah cara lain untuk mangkir dari implementasi UU Penyiaran yang sedang berlaku.

Melihat berbagai kejadian di atas, saya hanya berkesimpulan bahwa kita sebagai pembelajar dan sebagai bagian dari masyakarat sipil mesti terus bergerak sesuai dengan peran dan posisi masing-masing. Tak ada kata lain kecuali ajakan untuk terus bergerak bersama membenahi kehidupan bermedia kita. Sebab media adalah urusan kita bersama. Sebab media itu ada untuk memperjuangkan visi kepublikan bagi kita semua. Bila bukan menjadi urusan kita, siapa yang turut memperbaiki kondisi hidup bersama kita?

###

Jumat, 25 Maret 2011

The King of Limbs: Dari Aktivitas Mendedah Isi Pesan Media sampai “Tungkai Siluman”



Sekadar Pembuka
Beberapa hari belakangan ini saya mendengarkan lumayan banyak album yang baru saya beli. Terdapat sembilan album penyanyi Indonesia dan tiga album penyanyi berbahasa Inggris yang berasal dari band kesukaan saya sejak lama yang sedang saya dengar-dengarkan. Entah mengapa, kesembilan album Indonesia tersebut belum menggerakkan saya untuk menakarnya. Kemungkinan besar karena saya sedang ingin melakukan aktivitas menafsir teks pada level dua dan tiga.

Seperti yang kita ketahui, menafsir teks itu ada tiga lapis, yaitu menafsirnya dengan menggunakan pengalaman “langsung” pada teks oleh si penafsir dan ditambahi oleh informasi faktual mengenai teks tersebut, dalam hal ini album. Kedua, yang sudah melingkupi yang kedua, penafsir menggunakan perspektif tertentu dengan mengaitkannya pada teks. Perspektif yang “setara” dengan isi teks adalah pemaknaan yang paling mungkin pada level kedua ini namun bukan berarti perspektif yang lebih luas tak bisa digunakan. Si penafsir juga bisa mengaitkan isi teks dengan pendekatan, perangkat epistemologis yang lebih luas dari perspektif, tertentu.

Artinya, si penafsir mengaitkan isi teks dengan konsep yang tak setara alias yang lebih besar. Terakhir, level ketiga yang sangat berbeda dengan aktivitas memaknai level pertama dan kedua. Pada level ketiga ini, dihasilkan teks baru sebagai buah pemaknaan. Hasil sebuah resensi misalnya, memang merupakan sebuah teks baru namun masih bisa dilacak pada teks yang ditafsir. Pada level ketiga, teks tafsiran menghasilkan sesuatu yang baru dan mungkin tidak lagi berkaitan dengan teks yang dimaknai. Bentuk fiksi yang muncul dari pemaknaan atas suatu teks adalah salah satu bentuk teks baru yang berbeda secara asali dengan teks awalnya.

Nah, album-album Indonesia yang sekarang ini sedang saya akses belum bisa membawa saya pada level menganalisis kedua dan ketiga. Tidak demikian halnya dengan ketiga album musisi Barat. Ketiganya membuat saya tergugah untuk menakar sekaligus mendedahnya dengan mengaitkannya pada “sesuatu” yang lebih besar. Apa yang lebih menarik dari sebuah teks selain ajakan untuk memahami realitas dengan lebih baik? Album terbaru Duran Duran dan REM menggugah saya karena mengingatkan saya dengan eksistensialisme. Sementara satu album lain membuat saya antusias mendalami sedikit tentang fenomenologi. Album tersebut adalah album terbaru Radiohead, “the King of Limbs”.

Tulisan yang tujuannya mereview kecil-kecilan atau menakar ini mau tak mau akan terlebih dahulu menjelaskan epistemologi pada cara mendekati isi pesan atau teks media, kemudian baru mendedah mengenai fenomenologi via tiga tokohnya, yaitu Edward Husserl, Maurice Merleau-Ponty, dan Alfred Schutz walau sebenarnya pemikir yang dapat digolongkan mengembangkan fenomenologi cukup banyak. Selain ketiga yang disebutkan sebelumnya, masih ada beberapa yang lain, misalnya Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, dan Jacques Derrida (lihat Adian, 2010). Tulisan ini kemudian diakhiri bagaimana di dalam teks album terkini Radiohead ini kemungkinan diterapkan tindakan-tindakan fenomenologis seperti yang teramati pada teks.

Coba Mendedah Isi Pesan atau Teks Media
Meskipun media disadari sebagai sebuah obyek kajian belum terlalu lama, pada abad ke-19, sebenarnya praktek kemediaan sudah dilakukan oleh manusia sejak awal peradaban, antara lain lewat berbagai upacara keagamaan (lihat O’Sullivan, Dutton, & Rayner, 1994: 76 – 77). Ada dua bentuk transfer dalam upacara keagamaan, yaitu pemukanya menjadi “penghubung” dan menjelaskan makna, dan makna tersebut didapatkan oleh masing-masing peserta upacara. Ini adalah bentuk encoding-decoding yang kemudian kita kenal melalui Stuart Hall. Makna bisa diandaikan hanya dibawa oleh pemuka agama dan dirinya menerjemahkan hal tersebut kepada para pengikut. Atau jalan kedua, si pemuka agama menyerahkan sepenuhnya pada para pengikutnya. Jadi bila ada sepuluh peserta upacara tersebut, berarti ada sepuluh makna yang berbeda pula. Hal yang sama terjadi dengan media. Ketika media membawa pesan, media dianggap kuat sehingga menghasilkan makna yang monolit pada audiens. Inilah yang muncul pada ilmu komunikasi awal. Sementara, di sisi yang lain, media tidaklah kuat-kuat amat, ia membawa teks yang memiliki ragam makna sesuai yang disusun oleh tiap audiens. Inilah yang disebut sebagai polysemia, yaitu spektrum keberagaman makna yang dimunculkan oleh isinya.

Sebelumnya, lebih luas lagi, kita bisa mengamati untuk “mendekati” realitas keilmuan dalam studi media atau ilmu komunikasi pada umumnya kita bisa menggunakan dua pendekatan besar, yaitu rasionalisme atau empirisisme. Kedua pendekatan untuk mengamati realitas media ini berasal dari dua aliran besar filsafat. Setelah filsafat riuh membicarakan entitas-entitas besar, yaitu agama, kehidupan setelah mati, dan negara, atau obyek-obyek kuasa, filsafat mempelajari cara manusia mendekati realitas atau kenyataan dalam kehidupan. Pendekatan pada realitas hidup ini pada akhirnya banyak menghasilkan cabang-cabang ilmu pengetahuan. Kedua aliran ini menjadi berbeda jauh sebenarnya dikarenakan berbeda dalam memandang dari mana kebenaran berasal. Rasionalisme menjawab: kebenaran berasal dari buah pikir dan budi manusia. Sementara itu empirisisme menunjukkan bahwa kebenaran ada di luar manusia sehingga manusia mesti mengutamakan pengalaman dan “berjarak” dengan dunianya. Pada pemikir yang berada di aliran rasionalisme adalah Rene Descartes, Baruch de Spinoza, Gottfried Wilhelm von Leibniz, dan Blaise Pascal. Sementara perintis empirisisme adalah Thomas Hobbes, John Locke, George Berkeley, dan David Hume (lebih mendalam lihat Hardiman, 2004).

Walau kedua aliran ini pada akhirnya berkembang menjadi banyak cabang dan juga ranting yang lebih kecil, pada dasarnya semua aliran pemikiran yang ada kemudian bisa dirujuk pada salah satunya atau berusaha menggabungkannya. Fenomenologi yang kita bicarakan misalnya, lebih memiliki karakter rasionalisme walau juga menggunakan sebagian prinsip empirisisme. Hal yang terpenting kemudian adalah menentukan lokus kita mengamati. Setiap ilmu selalu memiliki fokus dan lokus atau obyek formal dan obyek material. Fokus ilmu komunikasi adalah interaksi manusia yang menjalankan proses berbagai informasi melalui media. Sedangkan lokusnya terutama adalah media. Media sendiri memiliki tiga sub lokus, yaitu pesan atau teks, organisasi atau institusi, dan sistemik atau makro.

Dalam aktivitas mengamati teks berarti kita berada pada sub lokus teks atau pesan media. Walau sebenarnya konsepsi isi pesan adalah netral, bisa digunakan untuk pendekatan rasionalisme atau pun empirisisme, pada akhirnya pesan lebih identik dengan pendekatan empirisisme dan teks diidentikkan berada dalam pendekatan rasionalisme. Untuk menganalisis pesan atau teks media kita juga dapat melakukannya dengan berbagai metode, antara lain: analisis naratif, semiotika, pendekatan ideologis, dan pendekatan tipologis yang terdiri dari kajian genre, kajian kreator (auteur study), dan kajian kebintangan (star study) (Stokes, 2003: 51 – 97). Semuanya berada dalam “wilayah” pendekatan rasionalisme. Sementara itu metode untuk mendekati teks yang berada di wilayah empirisisme adalah analisis isi untuk dua variannya, analisis isi kuantitatif dan kualitatif.

Lalu di mana posisi fenomenologi? Fenomenologi di dalam ilmu komunikasi adalah salah satu dari beberapa tradisi yang ada untuk mengenali dan mendekati obyek keilmuan. Tradisi fenomenologi berfokus pada pengalaman personal dalam berinteraksi dengan manusia lain (Littlejohn, 2002: 13 – 14) walau begitu fenomenologi bisa digunakan untuk menganalisis pengalaman personal dalam memaknai teks. Relasi yang otentik antara pemakna dan teks diapresiasi lebih di dalam tradisi ini. Fenomenologi sendiri berada di dalam rumpun interpretif di dalam kajian teoritis Ilmu Komunikasi. Dua yang lain adalah post-positivis dan kritis (lihat Miller, 2002).

Berikutnya kita akan mencoba “meluas” lagi untuk mendapatkan rangkaian prinsip dan karakter dalam fenomenologi sehingga kita dapat menggunakannya untuk menganalisis teks, yang antara lain akan digunakan untuk mendedah album “the King of Limbs”. Fenomenologi akan dijabarkan melalui tiga tokohnya, Edward Husserl, Maurice Merleau-Ponty, dan Alfred Schutz.

Fenomenologi: Transendental, Persepsi, dan Sosial

Seperti halnya aliran pemikiran yang lain, fenomenologi tidaklah benar-benar koheren. Gerakan pemikiran ini beragam dan dibangun oleh beberapa pemikir melalui fokusnya masing-masing. Tiga di antara pemikir tersebut coba diceritakan serba sedikit yaitu Edward Husserl yang merupakan “pendiri” fenomenologi dengan konsepsinya fenomenologi transdental atau fenomenologi klasik, Maurice Merleau-Ponty dengan fenomenologi persepsi, dan Alfred Schutz dengan fenomenologi sosial.

Meskipun ketiga “jenis” fenomenologi di atas memiliki tujuan-tujuan teoritis dan metode yang berbeda, ketiganya memiliki kemiripan kerangka pikir. Pertama, semuanya berasal dari Idealisme Jerman, salah satu aliran pemikiran filsafat yang lain, yang mengatakan bahwa pengetahuan tidak ditemukan dalam pengalaman eksternal tetapi dalam kesadaran individu. Berikutnya, fenomenologi lebih merupakan pemahaman subyektif, bukan pencarian obyektivitas dan eksplanasi universal. Ketiga, makna berasal dari obyek yang khusus dalam kehidupan seorang individu. Artinya, makna merujuk pada pengalaman individu di dalam hidupnya sendiri. Terakhir, fenomenologi percaya bahwa dunia ini dijalani dan makna dikembangkan melalui bahasa (Miller, 2002: 49).

Marilah kita mendalami ketiga jenis fenomenologi. Pertama, fenomenologi transendental, yang seringkali juga disebut fenomenologi klasik. Fenomenologi ini dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), seorang ahli fisika dan matematika yang kemudian mencoba memahami mengapa kita mengetahui dunia hidup kita. Pusat perhatian fenomenologi ini adalah aktivitas keseharian kita dalam hidup, terutama hal-hal yang dianggap sebagai “common sense” yang cenderung hanya diterima apa adanya. Husserl mengatakan bahwa “the central endeavour of phenomenology is to transendend the natural attitude of daily life in order to render it an object for philosophical scrutiny and in order to describe and account for its essential structure” (Miller, 2002: 50). Fenomenologi ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih “murni” dan baru bisa dicapai bila bias personal, sejarah, nilai dan kepentingan di “transenden”-kan selama kita mendekati kenyataan.

Husserl pernah mengatakan bahwa ia adalah ein ewinge Anfanger, seorang pemula abadi (Bertens, 2002: 110). Pernyataan ini bukan hanya menunjukkan bahwa Husserl rendah hati, namun secara keilmuan pernyataan ini pulalah yang menjadi dasar bagi fenomenologi bahwa kita harus mendalami kenyataan sesuai dengan pengalaman kita dengan seantusias dan sebaik mungkin setiap kali. Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Fenomenologi dari namanya jelas mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri atau fenomena. Walau begitu, fenomena yang dimaksud oleh Husserl adalah istilah yang sama sekali baru. Hal ini berbeda dengan fenomena menurut Kant yang mengenalkan bahwa kita mengenal fenomena-fenomena dan bukan realitas itu sendiri. Dalam pandangan Kant, kesadaran dianggap tertutup dan terisolir dari realitas. Bagi Husserl, fenomena adalah sesuatu yang sama sekali berbeda, fenomena adalah realitas itu sendiri yang tampak. Menurutnya, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan kita dengan realitas. Realitas itu sendiri tampak pada kita (Bertens, 2002: 111).

Dua istilah penting dari fenomenologi klasik yang dikembangkan Husserl adalah intensionalitas dan reduksi. Intensionalitas menunjukkan bahwa fenomena harus dimengerti sebagai apa yang menampakkan diri. Ia mengatakan bahwa “kesadaran bersifat intensional yang sebetulnya sama dengan “realitas yang menampakkan diri”. Hal ini mengingatkan kita pada semboyan Husserl bagi filsafatnya yaitu “kembalilah pada benda-benda sendiri”. Istilah lain yang juga penting adalah reduksi, yang berarti proses tampaknya rangkaian fenomena pada kesadaran. Lebih jauh konsep ini berkembang menjadi reduksi fenomenologis atau di dalam kata Yunani disebut epokhe. Epokhe adalah istilah penting di dalam fenomenologi transendental dan menjadi pijakan bagi Husserl walau beberapa muridnya sendiri menentangnya berkaitan dengan epokhe ini. Apa sebenarnya epokhe ini? Di dalam hidup keseharian kita sungguh-sungguh ada sebagaimana diamati dan dijumpai. Dengan begitu kita percaya pada adanya dunia. Inilah yang disebutnya sebagai sifat natural yang mesti disingkirkan dalam memahami fenomenologi. Epokhe bukan suatu kesangsian dalam melihat dunia melainkan netralisasi. Bagi Husserl reduksi berarti: ada tidaknya dunia nyata itu tidak relevan. Hal yang relevan adalah kesadaran. Praktek reduksi inilah yang disebut sebagai “sikap fenomenologis” (Bertens, 2002: 113).

Kedua, fenomenologi persepsi oleh Maurice Merleau-Ponty (1908 – 1961). Bila Husserl meletakkan dasar fenomenologi, Merleau-Ponty adalah pengembangnya, terutama bila dikaitkan dengan psikologi. Ciri khas fenomenologi Merleau-Ponty adalah kedwiartian. Menurutnya, dunia di mana kita hidup atau realitas yang kita alami tidak akan bisa direduksi satu saja (Bertens, 2006: 142). Selain kedwiartian, hal yang penting di dalam filsafat persepsi adalah intensionalitas. Jika Husserl menggunakan paham tersebut untuk menunjukkan kesadaran dengan obyeknya. Jadi, terutama dalam konteks pengenalan. Sementara itu, pada Merleau-Ponty, intensionalitas digunakan untuk melukiskan kaitan subyek dengan dunianya. Menurutnya, kaitan subyek dengan dunia bersifat prarefleksif yang berarti mendahului segala refleksi dan kesadaran. Ini berarti intensionalitas bukan merupakan keterkaitan pada taraf pengenalan, melainkan pada taraf eksistensi (Bertens, 2006: 146). Satu hal penting lain dari fenomenologi persepsi adalah mengaitkannya dengan tubuh. Menurut Merleau-Ponty, perspesi memiliki arti lebih luas daripada sekadar dengan mata dalam mengamati suatu obyek. Persepsi meliputi hubungan kita dengan dunia, terutama pada taraf inderawi. Dengan adanya persepsi manusia “mengakar” pada dunia (Bertens, 2006: 152).

Tema persepsi ini mengarahkan suatu tema lain yang sangat penting bagi Merleau-Ponty, yaitu tubuh. Persepsi selalu melibatkan tubuh. Persepsi juga berlangsung di dalam dan melalui tubuh. Merleau-Ponty pernah mengatakan bahwa “tubuh yang mengetahui lebih banyak tentang dunia dibandingkan diri kita sendiri” (Bertens, 2006: 153). Tubuh memerankan subyek. Tubuh adalah subyek persepsi. Inilah pandangan Merleau-Ponty yang terkenal dengan istilah “tubuh-subyek”. Tubuh bukan merupakan semacam alat yang dipakai oleh subyek diri. Seorang yang pandai memainkan piano tidak “menggunakan” jari-jarinya. Seorang pemain sepakbola tidak “menggunakan” kaki-kakinya. Tubuh mereka “tahu” tetapi bukan pada pengetahuan teoritis pada pikiran saja. Tubuh dan subyek tidak merupakan dua hal yang berbeda. Tubuh sendiri adalah subyek. Tubh melibatkan kita dalam dunia dan merupakan perspektif kita dalam dunia (Bertens, 2006: 154).

Masih berkaitan dengan tubuh, Merleau-Ponty menguatkan argumennya dengan merumuskan suatu istilah yang unik, yaitu tungkai siluman (phantom limb). Istilah ini menunjukkan contoh kuat bahwa tubuh dan subyek tidaklah terpisah dan “mengada” di dalam dunia. Tungkai siluman adalah sebuah contoh fenomena untuk mempertegas bahwa kita adalah bagian tubuh kita, dan kesadaran tidak hanya terkunci di dalam kepala. Bentuk pengalaman seorang pasien yang tangan atau kakinya telah diamputasi, tapi masih merasakan penginderaan pada bagian tubuh yang hilang tersebut. Ini adalah sebuah gejala tubuh yang tidak bisa dijelaskan secara tuntas oleh pendekatan obyektif-psikologi dan fisiologi (Adian, 2010: 151).

Ketiga, fenomenologi sosial oleh Alfred Schutz (1899 – 1959). Dengan menggunakan fenomenologi transendental sebagai pondasi, Schutz berusaha lebih berfokus pada aspek dunia sosial dari pengalaman keseharian. Di area yang kemudian dikenal dengan nama fenomenologi sosial ini ia mengutamakan relasi antar individu di dalam kelompok, bukan hanya pada biografi personal tetapi juga pada kelompok budaya atau pun kelompok-kelompok mikro tertentu. Pengalaman seseorang di dalam kehidupannya sehari-hari bisa dijelaskan berdasarkan kehidupan di dalam kelompoknya. Relasi sosial inilah yang menjadi salah satu sumber pengetahuan untuk menjelaskan fenomena kehidupan keseharian. Salah satu contoh misalnya aktivitas makan bersama di dalam keluarga. Pada keluarga beretnis Jawa misalnya, tindakan personal sangat ditentukan oleh hirarki di dalam keluarga. Salah satu kutipan menarik dari Shutz adalah: “To see this world in its massive complexity, to outline and explore its essential features, and to trace out its manifold relationships were the composite parts of his central task...a phenomenology of the natural attitude” (Miller, 2002: 50).

Rangkaian Tindakan Fenomenologis oleh Radiohead?

Setelah mencerna pengantar yang terpaksa agak panjang, pertanyaannya, apa yang bisa kita lakukan untuk menakar album “the King of Limbs”? tentu saja jawabnya adalah dengan menggunakan fenomenologi. Fenomenologi diimplementasikan melalui dua cara, tindakan penafsir dan hadirnya di dalam teks. Album-album Radiohead selalu memaksa kita untuk mencernanya pelan-pelan, mendalam, dan unik. Secara singkat ini bisa dianggap sebagai tindakan fenomenologis pada candraan penafsir atas teks. Saya pribadi baru merasa pada album inilah saya benar-benar menyukai dan memahami dengan agak mendalam. Sejak kemunculan “Creep” yang menjadi salah satu lagu kebangsaan saya ketika kuliah sebenarnya saya sudah menyukai Radiohead namun itu adalah sebentuk suka yang kurang paham. Pun dengan seluruh album Radiohead dari “Pablo Honey” (1993) sampai “In Rainbows” (2007). Semuanya saya sukai namun tidak muncul pemahaman yang menggedor kesadaran. Barulah pada album ini, ketika saya coba dengan cara fenomenologis, saya lumayan memahaminya.

Bila berdasarkan fenomenologi yang muncul pada teks, kita bisa langsung merujuknya pada tiga jenis yang sudah didedahkan sebelumnya. Pertama, fenomenologi persepsi, tungkai siluman (phantom limb) adalah istilah yang paling mudah terlihat. Saya sendiri secara tak sengaja mendapatkan phantom limb istilah ini ketika membaca-baca bahan-bahan untuk tulisan ini. Phantom limb dan the King of Limbs, adakah hubungannya? Sepertinya tidak karena judul album tersebut diandaikan mengutip dan berkait dengan sebuah kisah dongeng. Namun bila kita amati dengan mendalam, sampul album menunjukkan gambar tungkai semi abstrak. Mungkin saja Radiohead memaksudkannya sebagai raja tungkai.

Album dibuka oleh lagu “Bloom” yang merupakan manifesto fenomenologis album ini, universal sekaligus merujuk pada kesadaran subyek yang coba mencerna dunia: Open your mouth wide/ The universe will sigh/ And while the ocean blooms/ It's what keeps me alive/ So why does it still hurt?/ Don't blow your mind with whys….
Berdasarkan pengertian tungkai siluman ini, kita bisa paham mengapa lagu-lagu di album ini begitu bisa “menghantui” kita. Jumlah lagu yang relatif sedikit dan durasi yang hanya tiga puluh tujuh menit tidaklah masalah. Bahkan ketika semua lagu sudah diputar pun, album ini masih seperti terdengar. “Tungkai siluman” menghantui kita terus setelahnya. Bagaimana mungkin kita bisa melupakan “Lotus Flower” yang sangat bagus secara musikal maupun lirik? We would shrink and then be quiet as mice/And while the cat is away/ Do what we want/ Do what we want// There's an empty space inside my heart/ Where the weeds take root/ So now I set you free/ I'll set you free….

Fenomenologi transendental sebagai hal yang muncul sangat dekat dengan sikap fenomenologis yang dipilih oleh Husserl. Menurut saya, Radiohead selalu berusaha menjadi pemula yang antusias pada semua albumnya. Mereka sangat konsisten untuk menghasilkan karya yang berkelas dan tidak sama dengan sebelumnya. Mereka rela belajar membuat musik dari perangkat yang sama sekali berbeda. Mereka belajar dari Miles Davis untuk membuat musik bukannya pada band alternatif atau rock yang sudah lebih dahulu terkenal. Mungkin pengalaman mereka yang sudah terkenal lewat “Creep” di album pertama yang membuat mereka selalu belajar “mengada”. Popularitas terlampau cepat membuat mereka tersakiti. Mereka baru merasa bahagia dengan eksistensinya pada album “Amnesiac” (2001).

Coba simak lagu “Morning Mr. Magpie” ini yang menunjukkan bagaimana kesadaran bisa selalu berjibaku dengan realitas. Lirik sengaja saya kutip lengkap untuk menunjukkan betapa puitisnya lirik yang mereka tulis: You got some nerve coming here/ You got some nerve coming here/ You stole it all/ Give it back/ You stole it all/ Give it back// Good morning Mr. Magpie/ How are we today?/ Now you've stolen all the magic/ And took my memory// You know you should/ But you don't/ You know you should/ But you don't// Good morning Mr. Magpie/ How are we today?/ Now you've stolen all the magic/ Took my melody

Fenomenologi jenis terakhir, yaitu fenomenologi sosial merujuk pada kesimpulan bahwa relasi bersama penting sejauh dia dianggap penting. Saya lihat Radiohead memahami cara membuat album yang bagus. Tentunya mereka belajar dari banyak orang. Sebenarnya agak mudah dilihat dan didengar album yang bagus dan sangat bagus bila dibandingkan dengan album yang buruk. Di luar pemahaman itu, kelebihan dari Radiohead adalah mereka mampu membuat sesuatu yang sangat bagus dalam versi sendiri. Album ini memang sangat bagus, seperti juga album-album mereka terdahulu. Kapan mereka berhenti membuat album bagus? Sepertinya mereka tidak akan berhenti membuat album bagus. Kata mereka di dalam lagu penutup “Separator”: If you think this is over, then you're wrong….Kemungkinan besar Radiohead membuat album yang sangat bagus lagi dan lagi.

Penyanyi : Radiohead
Judul : The King of Limbs
Tahun : 2011

Daftar Lagu:
1.Bloom
2.Morning Mr Magpie
3.Little by Little
4.Feral
5.Lotus Flower
6.Codex
7.Give Up to the Ghost
8.Separator


Referensi
Adian, Donny Gahral (2010). Pengantar Fenomenologi. Depok: Penerbit Koekoesan.
Bertens, K. (2002). Filsafat Barat Kontemporer: Inggris – Jerman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bertens, K. (2006). Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hardiman, F. Budi (2004). Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. 7th Edition. Belmont: Wadsworth.

Miller, Katherine (2002). Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts. Boston: McGraw Hill.

O’Sullivan, Brian Dutton, and Philip Rayner (1994). Studying the Media: An Introduction. London: Edward Arnold.

Stokes, Jane (2003). How to Do Media and Cultural Studies. London: Sage Publications.

Senin, 21 Maret 2011

Collapse Into Now: Memaknai Kondisi Sekarang Sekali Lagi



Beberapa minggu belakangan ini saya bahagia sekali berkaitan dengan media musik rekaman yang saya dengar. Bagaimana tidak bahagia bila tiga band kesukaan saya sejak dulu merilis album baru, yang semuanya bagus sekali. Ketiga album tersebut adalah Duran Duran, “All We Need is Now”, Radiohead, “King of Limbs”, dan satu yang akan coba saya takar, REM, “Collapse Into Now”. Rasa bahagia itu bertambah karena melalui ketiga album yang dirilis di tiga bulan pertama tahun 2011 ini saya bisa mempelajari pimikiran yang mendedah “sekarang” dengan lebih mendalam. Apa yang paling membahagiakan dari aktivitas memaknai teks selain melaluinya kita bisa belajar konsep-konsep besar?



Terdapat dua ide “besar” yang berupaya mengeksplorasi konsep “sekarang” dengan baik, yaitu eksistensialisme dan fenomenologi. Dalam hidup yang indah namun serba permukaan ini, banyak orang berusaha apa yang akan dilakukan nanti dan juga cara mimpi-mimpi diwujudkan. Hal ini dengan mudah kita temui dalam berbagai acara televisi yang sibuk berbicara tentang impian yang mesti dicapai walau sebagaian besar adalah utopia, harapan yang tak mungkin terwujud. Contohnya adalah menjadi kaya dengan cepat dan menjadi orang yang berkulit putih. Atau pembahasan tersebut berada pada sisi sebaliknya, merutuki apa yang terjadi pada masa lalu. Tindakan-tindakan yang dilakukan kemarin ditinjau kembali, bahkan disesali berlebihan. Kondisi sekarang memang tak pernah lepas dari masa lalu atau juga menjadi refleksi atas masa depan namun telaah berlebihan pada keduanya seringkali membuat kita lengah dan abai terhadap kondisi sekarang.



Pada titik ini eksistensialisme dan fenomenologi bermakna banyak. Eksistensialisme membuat kita lebih memahami kondisi “mengada” diri sendiri dengan sebaik-baiknya. Kemudian keadaan “mengada” itu transenden tentang eksistensi pihak lain. Hal inilah yang membedakan “mengada” dalam pengertian faham eksistensialisme dengan konsepsi cogito ergo sum yang jauh sebelumnya dilansir oleh Rene Descartes. Fenomenologi berawal dari hal yang sedikit berbeda. Walau sama-sama berlokus dalam kedirian, fenomenologi adalah cara personal dan intim dalam menakar kenyataan dan menyampaikannya pada pihak lain. Fenomenologi adalah versi lain dari eksistensialisme yang antara lain mengutamakan pengisahan pada dunia.



Duran Duran dan REM secara eksplisit menyatakan bahwa kondisi sekaranglah yang paling penting dalam memaknai kehidupan. Duran Duran menyampaikan kita tak perlu apa-apa lagi, tidak perlu kemarin atau esok hari. Hal yang kita perlukan adalah sekarang. Tak kurang dan tak lebih. Sementara REM lebih ekstrem lagi. Mereka tergugu dalam kondisi kekinian. Hidup betul dalam kondisi sekarang. Pada titik ini, REM tidak lagi menganggap kondisi kekinian sebagai bagian yang menyedihkan seperti yang dipahami oleh awam dalam eksistensialisme walau mereka juga tidak terlalu mengelu-elukan kondisi sekarang dan mikro sebagai hal yang sangat penting seperti kesalahkaprahan atas fenomenologi bagi sebagian orang.



Album ini dibuka dengan lagu cepat dan sangat dekat dengan eksistensialisme, “Discoverer”. Mengapa kita tidak menjelajahi dunia dengan baik, tak takut, dan lebih sering tertawa mengeksplorasinya? On the city and your skin now, I didn't have to be afraid, I didn't have to feel so stupid, I can see myself , I can feel… Laughing, Discover. Lagu kedua membicarakan hal yang membahagiakan dalam kekinian. Seringkali yang membuat bahagia itu adalah sesuatu yang sederhana, misalnya membunyikan rima dalam sebuah lagu… I think I'll sing in a rhyme, I'll give it one more time, I'll show the kid, how to do it fine, fine fine fine.



Kondisi yang “mengada” yang personal dan transenden muncul dalam lagu yang mengingatkan kita bahwa REM masihlah besar, “Uberlin”, … I know, I know, I know what I am chasing, I know, I know, I know that this is changing me, kesadaran bahwa diri selalu berubah. Kesadaran bahwa diri selalu mengejar sesuatu. Namun kita tak pernah lepas dari orang lain, manusia “mengada” yang lain…Hey now, take the U-Bahn, five stops, change the station, Hey now, don't forget that change will save you, Hey now, count a thousand-million people, that's astounding, Chasing through the city with their stars on bright. Lagu yang mirip adalah lagu “That Someone Is You”. Lagu yang menunjukkan orang lain adalah penting, berlawanan dengan manifesto yang seringkali dikutip dari Jean Paul Sartre, "neraka adalah orang lain",…. That someone is you, That someone is you, That someone has pulled me up and out of cartoon quicksand, Pulled me up and out of me!



“Mengada”-nya diri tidak akan dapat dilepaskan dari tempat. Kita berdiri dan berubah diawali dari suatu tempat…this place needs me here to start this place is the beat of my heart….storm didn't kill me, the government changed, hear the answer call, hear the song rearranged, hear the tress, the ghosts and the buildings sing, with the wisdom to reconcile this thing. Bahkan dalam beberapa kasus telaah eksistensialisme menganggap tubuh sebagai "lokasi" terkecil diri. Lagu kelima adalah lagu terbagus di album ini menurut saya. Menunjukkan bagaimana mereka masih belum kehilangan taji. Lagu ini mengingatkan pada lagu-lagu mereka sampai era “Out of Time” (1991), yang bernuansa akustik dan harmonisasi vokal. Apa lagi yang membahagiakan selain sesuatu yang terjadi, sesuatu yang terwujud… It happened today. Hooray! Hooray!, It happened. Hip, hip, hooray!



Sementara itu kesadaran “mengada” akan waktu terpermanai secara jelas di lagu “Every Day Is Yours to Win”. Setiap hari adalah momen yang mesti kita “menangkan” dalam level diri. Hari ini, bukan kemarin atau esok. Kita adalah “pahlawan” untuk diri masing-masing… Every day is new again, Every day is yours to win, And that's how heroes are made, I wanted (I wanted) to win (to win), so I'd said it again: That's how heroes are made. Walau begitu, tak apa bila kita ingin mengamati lagi masa lalu, namun kita gunakan dalam konteks kekinian. Hal ini tersirat dalam lagu “Walk It Back”… Time reversing me why erasing me vice and tried to start again… Time, time, time it cannot revive, You, you can't turn away, You asked me to stay, but something needs to change.



Lagu “Alligator Aviator Autopilot Antimatter” adalah contoh jenis “mengada” yang lain, yaitu “mengada” dalam hal memaknai sesuatu. Lagu ini lagu yang paling sulit dicerna maknanya dan musiknya seperti berasal dari album “New Adventure in Hi-Fi” (1996). Itulah sebabnya beberapa review melihat album ini merupakan akumulasi dari beberapa album di masa lalu REM. Di dalam menjelajahi hidup, seringkali kita mengalami kontradiksi dalam “mengada”… I feel like a contradiction, I'm a walking science-fiction, I don't know which way to turn, I've got a lot to learn, I've got a lot of lot to learn.



Album ini sangat bagus. Pada akhirnya tidak hanya membuat kita belajar dan berusaha menjelajahi hidup dengan berani dan sebaik-baiknya, sekali pun misalnya hidup kita sendiri bisa teruk. Album ini juga menunjukkan bahwa masa lalu, juga masa depan, bisa didamaikan untuk kedalaman hari ini, keutamaan sekarang. Album ini membuat rangkaian pikiran dan perasaan dalam mendengarkan semua album REM tergambar dengan oke. Kembali pada karakter eksistensialisme: album yang bagus ketika dimaknai “mengada” sendirian, sekaligus bagus ketika dimaknai “transenden” dalam sebuah kumpulan album.



Penyanyi : R.E.M.

Judul : Collapse Into Now

Tahun : 2011



Daftar lagu:

1. Discoverer

2. All the Best

3. Ãœberlin

4. Oh My Heart

5. It Happened Today

6. Every Day Is Yours to Win

7. Mine Smell Like Honey

8. Walk It Back

9. Alligator Aviator Autopilot Antimatter

10. That Someone Is You

11. Me, Marlon Brando, Marlon Brando and I

12. Blue

Jumat, 18 Maret 2011

Mawar, Hujan, dan Waktu Batu

“Serahkan saja semuanya pada hujan”, ujarmu

Mengalirlah, menjauhlah sampai hilang

Hati ini tidak terepresentasi lagi oleh mawar

Di dalam waktu yang berhenti ini imaji dirimu sudah kusapih sejak lama



Di luar waktu yang tak beringsut, seperti batu, asa atas dirimu terkubur untuk selamanya

Bilur luka ini diusapi oleh kenangan selalu

Mendekatlah, mencumbulah, namun jangan sampai menstigma lagi

Larungkan saja kebersamaan itu sampai hujan selesai menyeka perih

“Aku tak bisa menunggu selamanya”, tukasmu



“Apakah memang interaksi hati kita selalu berjeda”

Apa pun yang kucinta adalah apa pun yang selalu kau benci?

Tidak pernah ada cukup waktu untuk mencintai atau pun menjauhimu

Hentikan saja waktu dan biarkan saja semuanya berlalu



Lanjutkan saja hidup dan pejamkan mata agar ketika esok kita terbangun, semua seperti sediakala

Tidak pernah ada cukup hampa agar semua luka sirna

Apa pun yang ku ucapkan akan tetap membuatmu pergi

“Waktu membatu di sini, dan pasti aku tak akan menantimu lagi”



Terinspirasi oleh lagu:

Why Can't It Wait 'Till Morning

oleh Fourplay feat. Phil Collins



Why can't it wait 'til morning?

We can talk about it then

'Cos I've had a drink too many

And my troubles, well I ain't got any



Why can't it wait 'til daylight?

Things will seem much clearer then

I'm tired and my eyes are weary

And I just want you lying here with me



So close your eyes

I'll make it oh, so nice



Well I don't wanna think about what we've said

And I don't wanna know why we hurt ourselves

'Cos I just wanna hold you so close to me

It'll take care of itself and I wanna sleep



So why can't it wait 'til next time?

'Cos that time may never come

Stay here with your arms around me

You're going nowhere without me



So close your eyes

I'll make it oh, so nice for you



#####

Mawar dan Harpa

Betapa bahagianya dirimu,

memulai pagi dengan setangkai mawar.

Mengulasi hari dengan sekuntum hasrat.

Dalam kemasan kecil tentu saja.

Merah, kering, dan terekam dengan baik.



Betapa bahagianya dirimu,

mengakrabi citra dirinya dengan berdenting harpa

Meruapi senja bersama sedenting sayang.

Dalam renungan bergema pastinya.

Merdu, bersih, dan tersimpan dengan hati-hati.



Betapa bahagianya dia.

Kau cintai dengan sepenuh raga, melebihi cintamu pada segelas kopi dan berbait-bait puisi.

Tak ada yang berlebihan dalam menyayangi.



Betapa hampanya dirimu dan dia bila tak saling menyapa.

Dalam hidup ini tentu saja ada pengorbanan satu dua kali.

Tak ada ruang dan waktu dalam mencintai.



Betapa rapuhnya kita.

Semesta memberi banyak namun kita tak bisa menerima semuanya.

Dia, aku, atau siapa pun hanyalah mengada dalam fragmen-fragmen kecil.

Di hati, hanya di hatimu dia berubah menjadi narasi besar.

Bagaimana dia, terlihat atau berahasia, mengekspresikan cinta?

Tentunya bukan hanya melalui sekuntum mawar dan berdenting harpa.



Kita ini penyaksi dalam hidup yang profan dan sakral

Dia itu ada dan terus berharap

Apakah akan selamanya?

Sabtu, 12 Maret 2011

Percakapan

Pagi tak lagi bergayut pada sepi

bergegas merayapi asa

setiap detik adalah menulis cinta

setiap rinai hujan mencairkan rindu

...dan pada kehidupan yang Dia ciptakan

setiap denyut nadi adalah kasmaran

(Medan, 04/03/2011)



Kau di ujung sana menyapaku,"tak ada yang abadi"

Bisikmu pada sepi yang melindu

Tak ada juga upaya mendaku

Menghampa sahaya

Aku di sudut ini hanya bisa berargumen, "tak ada yang biasa

Semuanya personal

Segala yang mengada tertiup angin dan menjadi debu

Tak eksis

Mengalir sahaja

Kita, ingin pergi ke mana?

(Medan, 07/03/2011)



Berdiskusi tentang cinta yang kering dan rongga luka yang dibuatnya

Menyapa imaji

Tak ada kebertubuhan berlebih

Beragih bagi diri saling berlabuh pada hasrat diri yg lain

Menagih janji

Tak lebih dari kekosongan tak bertepi

Bila tak ada beranda, dari mana kau akan memasukinya?

(Solo-Yogya, 10-12/03/2011)

BBB (Belajar Bermedia Bersama) 9

Lumayan banyak peristiwa yang berkaitan dengan media yang terjadi di minggu kesembilan di tahun 2011 yang baru saja berakhir. Sebagian berasal dari peristiwa yang berlangsung minggu-minggu sebelumnya. Sebagian peristiwa yang lain berasal dari minggu kesebelas sendiri. Peristiwa pertama adalah kisruh di PSSI. Sayangnya media sering memberitakan tentang PSSI versus pemerintah, dan juga FIFA, dengan tidak lengkap. Sejak awal sebenarnya, bila media sudah langsung mencari sumber informasi statuta FIFA yang digunakan PSSI rejim Nurdin Halid untuk berlingdung, sudah bisa terlihat bahwa ada pelintiran makna oleh pihak PSSI. Sebenarnya media bisa mencari jejak historis alasan FIFA membekukan federasi sepakbola di beberapa negara yang menunjukkan bagaimana pemerintah otoriter negara tertentu terhadap federasi sepakbola. Untuk kasus PSSI, yang otoriter bukanlah pemerintah melainkan federasi sepakbolanya sendiri. Melacak informasi berdasarkan bukti historis adalah tugas media yang memiliki sumber daya. Media sebenarnya memiliki kemampuan untuk menjelaskan sebuah peristiwa sesuai dengan duduk masalahnya, bukan malah ikut riuh dan terbawa dalam polemik pendapat tak berujung.



Peristiwa kedua adalah juga peristiwa yang berasal dari minggu sebelumnya, yaitu rencana boikot asosiasi pengimpor film Amerika. Ternyata, boikot tersebut tak terbukti. Film-film dari Hollywood masih saja diputar. Memang media telah memberitakan pihak pengimpor film tersebut akan duduk bersama dengan pemerintah untuk menyelesaikan bea masuk film yang merupakan pangkal permasalahan dari rencana boikot tersebut. Sayangnya, tidak ada pemberitaan bagaimana proses pertemuan tersebut, apa yang dibicarakan dan di mana pertemuan dilakukan. Bila rencana boikot tersebut juga dianggap sebagai momentum perbaikan perfilman Indonesia, apakah ada insan perfilman nasional yang dilibatkan. Media semestinya tidak “menghentikan” pemberitaan tentang rencana boikot tersebut. Perlu juga diberitakan proses diskusi pemerintah dengan asosiasi pengimpor film itu karena publik berhak tahu, karena semua kegiatan pemerintah adalah tindakan kepublikan yang bisa dan boleh diketahui publik sesuai dengan amanat UU Keterbukaan Informasi Publik.



Tiga peristiwa yang lain adalah berbagai peristiwa yang terjadi pada minggu kesebelas, tidak berasal dari minggu sebelumnya. Peristiwa pertama adalah pelarangan game Mortal Combat terbaru di Australia karena dianggap fitur yang dimunculkan di dalam game tersebut terlalu sadis, terutama pada bagian brutality ketika mengalahkan lawan dalam permainan. Walau terjadi di negara lain, semestinya hal ini jadi pelajaran bagi kita bahwa game juga jenis pesan media yang mesti diamati dan diawasi demi melindungi kepentingan publik. Seperti kita ketahui, game di negeri ini dianggap tidak berbahaya karena hanya merupakan “permainan” dan tidak berbahaya. Selain itu, game lebih dianggap sebagai pesan media untuk anak-anak, padahal banyak game yang sebenarnya ditujukan untuk orang dewasa, baik game tersebut hadir di konsol, komputer, maupun handphone. Baik game tersebut dimainkan offline atau pun online. Beragam jenis game online yang sekarang ini marak dan menumbuhkan banyak game centre relatif berkembang tanpa pengawasan oleh siapa pun.



Berdasarkan urutan waktu, kasus yang kedua adalah peristiwa yang menunjukkan visi kepublikan yang kuat dari media. Sebuah suratkabar terkemuka di tengah minggu kemarin memberitakan tentang dua orang pasien yang berasal dari masyarakat miskin yang mesti menginap dan dirawat di lorong RSCM. Hal tersebut terjadi karena rumah sakit tersebut tidak memiliki kamar lagi sehingga pasien pemegang Jamkesmas tersebut tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan dengan layak. Akibat pemberitaan tersebut keesokan harinya kedua pasien tadi sudah dipindahkan ke bangsal. Pihak rumah sakit menjelaskan bahwa fasilitas yang tidak memadai adalah penyebab pasien miskin tidak segera dirawat. Peristiwa ini menunjukkan bahwa media masih memiliki peran penting untuk mengawasi pemerintah. Pemerintah mesti diingatkan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat sebagai kewajiban mereka. Media komersial sangat mungkin mewujudkan visi kepublikan tidak hanya pada media publik atau media komunitas. Pada dasarnya semua jenis media beroperasi untuk memenuhi kepentingan publik.



Kasus terakhir peristiwa kemediaan yang terjadi adalah kasus, lagi-lagi, pemecatan siswa gara-gara berkomentar tidak pantas tentang sekolahnya di situs jejaring sosial. Tiga orang siswa sebuah SMK di Bogor sempat dikeluarkan oleh pihak sekolahnya “hanya” karena berkomentar di status Facebook. Salah satu berkomentar “sekolah gue korupsi lho….”. Dua yang lain juga ikut dikeluarkan karena me-like status tersebut. Kejadian ini menunjukkan literasi media baru yang tidak dipahami dengan memadai pada siswa. Mereka tidak sadar bahwa apa pun pernyataan lewat status FB berpotensi dibaca oleh berbagai pihak, termasuk sekolah mereka, bukan hanya rekan-rekan mereka saja. Respon pihak sekolah tersebut juga berlebihan. Bila memang tidak ada korupsi mengapa mesti mengeluarkan siswa? Pihak sekolah memang berhak memberikan hukuman karena kejadian tersebut namun berlebihan bila langsung mengeluarkan siswa karena siswa juga memiliki hak untuk mendapatkan fasilitas pendidikan. Pada akhirnya memang ketiga siswa tersebut memang diterima kembali di sekolahnya. Walau kasus ini jelas merupakan pekerjaan rumah kita bersama untuk terus menumbuhkan literasi media baru di masyarakat dan mengingatkan terus pemerintah untuk menyusun regulasi yang benar-benar berpihak pada kepentingan publik.



Menjadi pembelajar ilmu tentang media memang mengasyikkan dan mencerahkan. Secara personal, menjadi pembelajar ilmu komunikasi menjadikan saya terus kasmaran pada hidup yang fana, dan pada keadaan melampaui hidup yang tak fana (semoga paragraf terakhir ini tak dianggap berlebihan :D )



#####

Lagu Tema James Bond


Kumpulan lagu atau album memang berfungsi untuk memberkas kenangan. Berbagai kenangan akan tersimpan dengan baik di dalam tiap lagu yang personal dan selalu menunggu untuk diakses kembali. Hal yang lain adalah mengakses bersama kemudian membincangkannya lebih mengasyikkan daripada hanya mendengarkan dan memaknainya sendirian. Itulah yang terjadi ketika saya mengakses atau mendengarkan lagu-lagu tema James Bond. Semua lagu tema utama film James Bond itu memberkas banyak kenangan. Lagu-lagu tema James Bond semakin asyik didengar-dengarkan ketika kita memaknainya bersama rekan-rekan. Itulah sebabnya mendengarkan lagu-lagu tema James Bond. Saya dan tiga rekan membincangkan lagu-lagu James Bond tersebut dengan antusias, lagu apa yang disukai oleh masing-masing, adegan yang diingat dalam beberapa film James Bond ketika lagu-lagu tersebut muncul, dan perbandingan imaji tiap aktor yang pernah membintangi James Bond.

Ketika membicarakannya dengan rekan-rekan itulah saya teringat dengan beberapa hal yang saya maknai dan tahu, yang mungkin tidak pernah terungkap dari beberapa sumber lain. Lagu-lagu James Bond yang paling saya suka adalah yang berasal dari a-ha dan Duran Duran. Kelihatanlah saya ini produk tahun 1980-an. Lagu yang dinyanyikan oleh a-ha adalah “the Living Daylights”, yang berjudul sama dengan filmnya. Film ini menjadi film James Bond yang paling saya sukai. Lagu lain yang berasal dari film James Bond yang saya paling suka dinyanyikan oleh Duran Duran yang berjudul “A View to A Kill”. Lagu ini sekaligus menjadi lagu tema James Bond yang menduduki chart paling tinggi di tangga lagu di Inggris dan Amerika Serikat. Mungkin pada masanya, lagu ini berada dalam pusat popularitas Duran Duran yang sangat populer pada pertengahan dekade 1980-an.

Hal lain yang unik berkaitan dengan lagu tema James Bond adalah lagu “Goldeneye” yang dinyanyikan oleh Tina Turner. Pertama-kali mendengarkan lagu ini saya merasakan sekali “aura” U2, dan ternyata benar. Lagu ini diciptakan oleh Bono dan the Edge. Lagu “Goldeneye” awalnya akan dinyanyikan oleh U2 secara langsung namun tidak jadi. U2 tidak jadi menyanyikannya karena waktunya sangat berdekatan dengan lagu mereka yang menjadi lagu tema untuk film “Batman Forever”, “Hold Me, Thrill Me, Kiss Me, Kill Me”. Rupanya mereka memperhitungkan juga kehadiran mereka di telinga penyuka musik. Sayangnya sumber informasinya tidak saya catat padahal saya membaca informasi tersebut berkali-kali. Informasi ini sekaligus menunjukkan bahwa kehadiran lagu U2 di telinga pendengar diperhitungkan sekali oleh mereka. Kuncinya adalah jangan sampai pendengar bosan dengan kehadiran mereka terlalu sering.

Hal terakhir yang juga unik berkaitan dengan lagu tema James Bond berhubungan dengan salah satu band favorit saya yang lain, Pet Shop Boys. Duo tersebut sangat mengharapkan lagu mereka terpilih menjadi lagu tema James Bond, apalagi mereka pernah diminta secara informal, sampai-sampai mereka membuat lagu bernuansa James Bond yang berjudul “This Must Be the Place I Waited Years to Leave”. Entah serius atau tidak hal ini terungkap dalam booklet yang mereka tulis dalam album “Behaviour” (1990) versi “Further Listening”. Mereka menanti dan menanti namun lagu mereka tidak pernah terpilih menjadi lagu tema James Bond. Lagu tersebut kemungkinan tidak sejalan dengan citra James Bond walau menurut saya lagu ini adalah lagu yang bagus di dalam album yang bagus pula.

Demikianlah hal-hal tak penting berkaitan dengan pemaknaan lagu-lagu James Bond yang saya rasakan bersama teman-teman (mereka saya taut, ditambah dua rekan lain). Banyak hal yang bisa kita dapat dengan mendengarkan, membincangkan, dan mendokumentasikan lagu, antara lain lagu-lagu tema James Bond ini. Mendengarkan lagu, memberkasnya dalam kenangan atau sebaliknya, memberkas kenangan dalam lagu, memaknainya, sendirian atau bersama-sama, menjadikan kita kasmaran pada hidup dan hal-hal lain yang mungkin belum terungkap bahkan oleh diri kita sendiri.

*******

Mati Satu Lagi

Seperti biasa bila ada waktu dan keperluan lain, misalnya belanja kebutuhan harian, saya menyambangi pusat perbelanjaan. Kemarin saya mendatangi sebuah pusat perbelanjaan di Maliboro. Ada dua situs atau tempat yang pasti saya datangi bila ke mal, yaitu ke toko CD dan toko buku. Setelah belanja sebentar kemudian saya ke lantai dua untuk melihat-lihat CD new release di toko CD Bulletin. Saya cukup terkejut ketika mendapati toko CD di mal tersebut sudah tak ada. Seminggu tidak ke mal ini, ternyata toko CD ini sudah mati. Penyebabnya jelas, toko CD sudah tidak lagi menguntungkan secara ekonomi. Ditutupnya toko CD ini, Bulletin, bukan yang pertama. Di Yogya sudah ada tiga Bulletin yang ditutup, yang saya tahu, walau mereka juga membuka dua toko baru yang tetap sepi pengunjung. Toko CD Aquarius juga ditutup di beberapa kota besar, yang saya tahu di Bandung dan Jakarta, Aquarius Pondok Indah.



Ditutupnya toko CD Bulletin di Malioboro Mall agak mengejutkan dan menyedihkan bagi saya karena sejak dulu saya mengakses banyak CD dan kaset di toko ini. Namun yang lebih menyedihkan adalah ditutupnya toko CD Kotamas bertahun-tahun lalu, sekitar tahun 2007. Kotamas adalah tempat saya membeli kaset pertama-kali dengan uang sendiri. Toko itu juga menjadi tempat yang paling sering saya kunjungi sepulang sekolah sewaktu SMA dulu. Jalurnya begini, sepulang sekolah saya naik bus kota jalur 12. Berhenti di perpustakaan Daerah di sekitar Samsat dan bila ada waktu membaca dan meminjam buku di sana. Setelah itu, melintasi stasiun Tugu dan mampir di radio Unisi untuk memesan lagu. Biasanya saya memesan lagu untuk diputar pada malam hari ketika siaran radio masih menemani belajar. Kunjungan-kunjungan mengasyikkan tersebut kemudian berakhir di Kotamas yang berada di ujung jalan Malioboro.



Bisa dikatakan toko kaset tersebut adalah toko yang legendaris bagi penggemar musik seperti saya karena ternyata banyak koleksi langka dan bagus di sana. Para pemburu pesan media musik rekaman dari kota-kota lain berdatangan mencari kaset-kaset langka itu, antara lain dari Bandung dan Jakarta. Saya juga sempat melihat sendiri begitu banyak kaset, terutama kaset album musisi Barat, unik yang beredar seperti album-album Sonic Youth dan berbagai kompilasi “ajaib”, antara lain kompilasi “Earthrise” 1 dan 2, “Pop is Dead” 1 sampai 3, dan “Help”, kompilasi pertama yang dirilis lembaga “War Child”. Namun sejak krisis 1998 kaset-kaset yang beredar hanyalah kaset-kaset yang dianggap menguntungkan secara ekonomis. Dua kaset yang saya beli di toko ini yang sangat berkesan adalah U2 “Zooropa” karena walau harganya hanya Rp. 12.000,- waktu itu tetapi berdampak “sistemik” pada uang makan sebulan sebagai anak kost. Juga kaset the Best-nya Simpe Mind yang saya beli menjelang toko tutup. Saya memaksa untuk masuk padahal para karyawannya hampir menutup toko. Waktu itu saya benar-benar ingin mendengarkan “Don’t You (Forget about Me)” yang baru saja dengar di sebuah film.



Satu lagi toko kaset atau toko CD yang berkesan bagi saya adalah M Studio. Toko ini dahulu berada di Galleria Mall. Toko ini ditutup karena alasan yang sama dengan toko sejenisnya: tidak ada lagi yang datang membeli kaset atau CD. Musik populer masih didengar oleh masyarakat namun kebanyakan mendengarkannya dari CD ilegal atau mendengarkan satu dua lagu melalui berlangganan RBT. Kebanyakan masyarakat Indonesia menyukai musik namun kebanyakan tidak mau membeli CD yang dinilai lebih mahal. Kita bisa menyalahkan pemerintah atas regulasi yang tidak mendukung media musik rekaman padahal pemerintah sudah mencanangkan industri kreatif sebagai salah satu industri unggulan. Kita juga bisa menyalahkan aparat hukum yang tidak tegas dalam menjalankan UU Hak Cipta di mana karya anak bangsa sendiri marak dibajak dan hasil bajakannya sangat mudah didapat, bahkan dijual di toko-toko resmi dan pada pameran pembangunan.

Ironi yang paling tragis adalah ketika pemerintah pusat mengumumkan industri kreatif sebagai unggulan namun di sisi lain membolehkan penjualan barang-barang bajakan kebanyakan di pameran pembangunan yang diselenggarakan pemerintah daerah.



Tutupnya sebuah toko CD tidak hanya berarti berkurangnya tempat mendapatkan pesan media musik rekaman, namun juga hilangnya kesempatan pengakses musik populer untuk memahami media tersebut di luar konteks mengkonsumsi, misalnya bertemu dengan sesama pengakses atau mengamati ragam jenis CD yang beredar. Itulah sebabnya di Jakarta, beberapa toko CD digabung dengan toko buku dan kafe agar pengalaman mengakses CD bukan sekadar tindakan personal namun juga sarana berbagi pengalaman mengakses dan memaknai pesan. Sayangnya, belum ada toko CD yang bukan hanya sekadar menjual pesan media audio dan audio-visual di Yogyakarta.



Selain itu, pengakses musik rekaman juga sebaiknya diberi pemahaman bahwa mengakses pesan media bajakan itu tidak etis, bahkan melanggar hukum. Bila memang pemerintah menabalkan industri kreatif sebagai salah satu industri unggulan, pembajakan mesti ditindak tegas oleh pemerintah dan aparat hukum. Selain itu, pemerintah sebaiknya menyusun regulasi yang membuat pesan media musik rekaman, juga seluruh pesan media, murah dan mudah untuk diakses oleh masyarakat. Terakhir, pemerintah, secara langsung atau dengan memberi dukungan yang kuat dan intens, membangun semacam pusat dokumentasi audio untuk musik rekaman Indonesia. Semacam perpustakaan di setiap daerah atau seperti pusat dokumentasi film, Sinematek, agar apreasiasi dan telaah musik populer sebagai media bisa lebih bagus lagi.



Semoga tak lagi ada toko CD yang mati walau mati adalah keadaan kodrati. Semoga kita bisa terus berbenah. Begitu kata saya dalam hati sambil berjalan melewati toko yang kosong. Rasanya sungguh aneh ke Malioboro Mall tanpa toko ini. Rasanya sedih juga tempat yang saya kunjungi agak rutin dalam bertahun-tahun ini sudah tak ada lagi. Semoga saja rasa kehilangan ini terus memacu kita, paling tidak saya sendiri, untuk memahami kondisi bermedia lebih tajam dan mendalam. Apa pun yang saya sampaikan pada sanubari, masih ada ruang kosong di sana walau ruang kosong itu perlahan terisi lagi.



*****

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...