Jumat, 25 Maret 2011
The King of Limbs: Dari Aktivitas Mendedah Isi Pesan Media sampai “Tungkai Siluman”
Sekadar Pembuka
Beberapa hari belakangan ini saya mendengarkan lumayan banyak album yang baru saya beli. Terdapat sembilan album penyanyi Indonesia dan tiga album penyanyi berbahasa Inggris yang berasal dari band kesukaan saya sejak lama yang sedang saya dengar-dengarkan. Entah mengapa, kesembilan album Indonesia tersebut belum menggerakkan saya untuk menakarnya. Kemungkinan besar karena saya sedang ingin melakukan aktivitas menafsir teks pada level dua dan tiga.
Seperti yang kita ketahui, menafsir teks itu ada tiga lapis, yaitu menafsirnya dengan menggunakan pengalaman “langsung” pada teks oleh si penafsir dan ditambahi oleh informasi faktual mengenai teks tersebut, dalam hal ini album. Kedua, yang sudah melingkupi yang kedua, penafsir menggunakan perspektif tertentu dengan mengaitkannya pada teks. Perspektif yang “setara” dengan isi teks adalah pemaknaan yang paling mungkin pada level kedua ini namun bukan berarti perspektif yang lebih luas tak bisa digunakan. Si penafsir juga bisa mengaitkan isi teks dengan pendekatan, perangkat epistemologis yang lebih luas dari perspektif, tertentu.
Artinya, si penafsir mengaitkan isi teks dengan konsep yang tak setara alias yang lebih besar. Terakhir, level ketiga yang sangat berbeda dengan aktivitas memaknai level pertama dan kedua. Pada level ketiga ini, dihasilkan teks baru sebagai buah pemaknaan. Hasil sebuah resensi misalnya, memang merupakan sebuah teks baru namun masih bisa dilacak pada teks yang ditafsir. Pada level ketiga, teks tafsiran menghasilkan sesuatu yang baru dan mungkin tidak lagi berkaitan dengan teks yang dimaknai. Bentuk fiksi yang muncul dari pemaknaan atas suatu teks adalah salah satu bentuk teks baru yang berbeda secara asali dengan teks awalnya.
Nah, album-album Indonesia yang sekarang ini sedang saya akses belum bisa membawa saya pada level menganalisis kedua dan ketiga. Tidak demikian halnya dengan ketiga album musisi Barat. Ketiganya membuat saya tergugah untuk menakar sekaligus mendedahnya dengan mengaitkannya pada “sesuatu” yang lebih besar. Apa yang lebih menarik dari sebuah teks selain ajakan untuk memahami realitas dengan lebih baik? Album terbaru Duran Duran dan REM menggugah saya karena mengingatkan saya dengan eksistensialisme. Sementara satu album lain membuat saya antusias mendalami sedikit tentang fenomenologi. Album tersebut adalah album terbaru Radiohead, “the King of Limbs”.
Tulisan yang tujuannya mereview kecil-kecilan atau menakar ini mau tak mau akan terlebih dahulu menjelaskan epistemologi pada cara mendekati isi pesan atau teks media, kemudian baru mendedah mengenai fenomenologi via tiga tokohnya, yaitu Edward Husserl, Maurice Merleau-Ponty, dan Alfred Schutz walau sebenarnya pemikir yang dapat digolongkan mengembangkan fenomenologi cukup banyak. Selain ketiga yang disebutkan sebelumnya, masih ada beberapa yang lain, misalnya Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, dan Jacques Derrida (lihat Adian, 2010). Tulisan ini kemudian diakhiri bagaimana di dalam teks album terkini Radiohead ini kemungkinan diterapkan tindakan-tindakan fenomenologis seperti yang teramati pada teks.
Coba Mendedah Isi Pesan atau Teks Media
Meskipun media disadari sebagai sebuah obyek kajian belum terlalu lama, pada abad ke-19, sebenarnya praktek kemediaan sudah dilakukan oleh manusia sejak awal peradaban, antara lain lewat berbagai upacara keagamaan (lihat O’Sullivan, Dutton, & Rayner, 1994: 76 – 77). Ada dua bentuk transfer dalam upacara keagamaan, yaitu pemukanya menjadi “penghubung” dan menjelaskan makna, dan makna tersebut didapatkan oleh masing-masing peserta upacara. Ini adalah bentuk encoding-decoding yang kemudian kita kenal melalui Stuart Hall. Makna bisa diandaikan hanya dibawa oleh pemuka agama dan dirinya menerjemahkan hal tersebut kepada para pengikut. Atau jalan kedua, si pemuka agama menyerahkan sepenuhnya pada para pengikutnya. Jadi bila ada sepuluh peserta upacara tersebut, berarti ada sepuluh makna yang berbeda pula. Hal yang sama terjadi dengan media. Ketika media membawa pesan, media dianggap kuat sehingga menghasilkan makna yang monolit pada audiens. Inilah yang muncul pada ilmu komunikasi awal. Sementara, di sisi yang lain, media tidaklah kuat-kuat amat, ia membawa teks yang memiliki ragam makna sesuai yang disusun oleh tiap audiens. Inilah yang disebut sebagai polysemia, yaitu spektrum keberagaman makna yang dimunculkan oleh isinya.
Sebelumnya, lebih luas lagi, kita bisa mengamati untuk “mendekati” realitas keilmuan dalam studi media atau ilmu komunikasi pada umumnya kita bisa menggunakan dua pendekatan besar, yaitu rasionalisme atau empirisisme. Kedua pendekatan untuk mengamati realitas media ini berasal dari dua aliran besar filsafat. Setelah filsafat riuh membicarakan entitas-entitas besar, yaitu agama, kehidupan setelah mati, dan negara, atau obyek-obyek kuasa, filsafat mempelajari cara manusia mendekati realitas atau kenyataan dalam kehidupan. Pendekatan pada realitas hidup ini pada akhirnya banyak menghasilkan cabang-cabang ilmu pengetahuan. Kedua aliran ini menjadi berbeda jauh sebenarnya dikarenakan berbeda dalam memandang dari mana kebenaran berasal. Rasionalisme menjawab: kebenaran berasal dari buah pikir dan budi manusia. Sementara itu empirisisme menunjukkan bahwa kebenaran ada di luar manusia sehingga manusia mesti mengutamakan pengalaman dan “berjarak” dengan dunianya. Pada pemikir yang berada di aliran rasionalisme adalah Rene Descartes, Baruch de Spinoza, Gottfried Wilhelm von Leibniz, dan Blaise Pascal. Sementara perintis empirisisme adalah Thomas Hobbes, John Locke, George Berkeley, dan David Hume (lebih mendalam lihat Hardiman, 2004).
Walau kedua aliran ini pada akhirnya berkembang menjadi banyak cabang dan juga ranting yang lebih kecil, pada dasarnya semua aliran pemikiran yang ada kemudian bisa dirujuk pada salah satunya atau berusaha menggabungkannya. Fenomenologi yang kita bicarakan misalnya, lebih memiliki karakter rasionalisme walau juga menggunakan sebagian prinsip empirisisme. Hal yang terpenting kemudian adalah menentukan lokus kita mengamati. Setiap ilmu selalu memiliki fokus dan lokus atau obyek formal dan obyek material. Fokus ilmu komunikasi adalah interaksi manusia yang menjalankan proses berbagai informasi melalui media. Sedangkan lokusnya terutama adalah media. Media sendiri memiliki tiga sub lokus, yaitu pesan atau teks, organisasi atau institusi, dan sistemik atau makro.
Dalam aktivitas mengamati teks berarti kita berada pada sub lokus teks atau pesan media. Walau sebenarnya konsepsi isi pesan adalah netral, bisa digunakan untuk pendekatan rasionalisme atau pun empirisisme, pada akhirnya pesan lebih identik dengan pendekatan empirisisme dan teks diidentikkan berada dalam pendekatan rasionalisme. Untuk menganalisis pesan atau teks media kita juga dapat melakukannya dengan berbagai metode, antara lain: analisis naratif, semiotika, pendekatan ideologis, dan pendekatan tipologis yang terdiri dari kajian genre, kajian kreator (auteur study), dan kajian kebintangan (star study) (Stokes, 2003: 51 – 97). Semuanya berada dalam “wilayah” pendekatan rasionalisme. Sementara itu metode untuk mendekati teks yang berada di wilayah empirisisme adalah analisis isi untuk dua variannya, analisis isi kuantitatif dan kualitatif.
Lalu di mana posisi fenomenologi? Fenomenologi di dalam ilmu komunikasi adalah salah satu dari beberapa tradisi yang ada untuk mengenali dan mendekati obyek keilmuan. Tradisi fenomenologi berfokus pada pengalaman personal dalam berinteraksi dengan manusia lain (Littlejohn, 2002: 13 – 14) walau begitu fenomenologi bisa digunakan untuk menganalisis pengalaman personal dalam memaknai teks. Relasi yang otentik antara pemakna dan teks diapresiasi lebih di dalam tradisi ini. Fenomenologi sendiri berada di dalam rumpun interpretif di dalam kajian teoritis Ilmu Komunikasi. Dua yang lain adalah post-positivis dan kritis (lihat Miller, 2002).
Berikutnya kita akan mencoba “meluas” lagi untuk mendapatkan rangkaian prinsip dan karakter dalam fenomenologi sehingga kita dapat menggunakannya untuk menganalisis teks, yang antara lain akan digunakan untuk mendedah album “the King of Limbs”. Fenomenologi akan dijabarkan melalui tiga tokohnya, Edward Husserl, Maurice Merleau-Ponty, dan Alfred Schutz.
Fenomenologi: Transendental, Persepsi, dan Sosial
Seperti halnya aliran pemikiran yang lain, fenomenologi tidaklah benar-benar koheren. Gerakan pemikiran ini beragam dan dibangun oleh beberapa pemikir melalui fokusnya masing-masing. Tiga di antara pemikir tersebut coba diceritakan serba sedikit yaitu Edward Husserl yang merupakan “pendiri” fenomenologi dengan konsepsinya fenomenologi transdental atau fenomenologi klasik, Maurice Merleau-Ponty dengan fenomenologi persepsi, dan Alfred Schutz dengan fenomenologi sosial.
Meskipun ketiga “jenis” fenomenologi di atas memiliki tujuan-tujuan teoritis dan metode yang berbeda, ketiganya memiliki kemiripan kerangka pikir. Pertama, semuanya berasal dari Idealisme Jerman, salah satu aliran pemikiran filsafat yang lain, yang mengatakan bahwa pengetahuan tidak ditemukan dalam pengalaman eksternal tetapi dalam kesadaran individu. Berikutnya, fenomenologi lebih merupakan pemahaman subyektif, bukan pencarian obyektivitas dan eksplanasi universal. Ketiga, makna berasal dari obyek yang khusus dalam kehidupan seorang individu. Artinya, makna merujuk pada pengalaman individu di dalam hidupnya sendiri. Terakhir, fenomenologi percaya bahwa dunia ini dijalani dan makna dikembangkan melalui bahasa (Miller, 2002: 49).
Marilah kita mendalami ketiga jenis fenomenologi. Pertama, fenomenologi transendental, yang seringkali juga disebut fenomenologi klasik. Fenomenologi ini dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), seorang ahli fisika dan matematika yang kemudian mencoba memahami mengapa kita mengetahui dunia hidup kita. Pusat perhatian fenomenologi ini adalah aktivitas keseharian kita dalam hidup, terutama hal-hal yang dianggap sebagai “common sense” yang cenderung hanya diterima apa adanya. Husserl mengatakan bahwa “the central endeavour of phenomenology is to transendend the natural attitude of daily life in order to render it an object for philosophical scrutiny and in order to describe and account for its essential structure” (Miller, 2002: 50). Fenomenologi ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih “murni” dan baru bisa dicapai bila bias personal, sejarah, nilai dan kepentingan di “transenden”-kan selama kita mendekati kenyataan.
Husserl pernah mengatakan bahwa ia adalah ein ewinge Anfanger, seorang pemula abadi (Bertens, 2002: 110). Pernyataan ini bukan hanya menunjukkan bahwa Husserl rendah hati, namun secara keilmuan pernyataan ini pulalah yang menjadi dasar bagi fenomenologi bahwa kita harus mendalami kenyataan sesuai dengan pengalaman kita dengan seantusias dan sebaik mungkin setiap kali. Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Fenomenologi dari namanya jelas mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri atau fenomena. Walau begitu, fenomena yang dimaksud oleh Husserl adalah istilah yang sama sekali baru. Hal ini berbeda dengan fenomena menurut Kant yang mengenalkan bahwa kita mengenal fenomena-fenomena dan bukan realitas itu sendiri. Dalam pandangan Kant, kesadaran dianggap tertutup dan terisolir dari realitas. Bagi Husserl, fenomena adalah sesuatu yang sama sekali berbeda, fenomena adalah realitas itu sendiri yang tampak. Menurutnya, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan kita dengan realitas. Realitas itu sendiri tampak pada kita (Bertens, 2002: 111).
Dua istilah penting dari fenomenologi klasik yang dikembangkan Husserl adalah intensionalitas dan reduksi. Intensionalitas menunjukkan bahwa fenomena harus dimengerti sebagai apa yang menampakkan diri. Ia mengatakan bahwa “kesadaran bersifat intensional yang sebetulnya sama dengan “realitas yang menampakkan diri”. Hal ini mengingatkan kita pada semboyan Husserl bagi filsafatnya yaitu “kembalilah pada benda-benda sendiri”. Istilah lain yang juga penting adalah reduksi, yang berarti proses tampaknya rangkaian fenomena pada kesadaran. Lebih jauh konsep ini berkembang menjadi reduksi fenomenologis atau di dalam kata Yunani disebut epokhe. Epokhe adalah istilah penting di dalam fenomenologi transendental dan menjadi pijakan bagi Husserl walau beberapa muridnya sendiri menentangnya berkaitan dengan epokhe ini. Apa sebenarnya epokhe ini? Di dalam hidup keseharian kita sungguh-sungguh ada sebagaimana diamati dan dijumpai. Dengan begitu kita percaya pada adanya dunia. Inilah yang disebutnya sebagai sifat natural yang mesti disingkirkan dalam memahami fenomenologi. Epokhe bukan suatu kesangsian dalam melihat dunia melainkan netralisasi. Bagi Husserl reduksi berarti: ada tidaknya dunia nyata itu tidak relevan. Hal yang relevan adalah kesadaran. Praktek reduksi inilah yang disebut sebagai “sikap fenomenologis” (Bertens, 2002: 113).
Kedua, fenomenologi persepsi oleh Maurice Merleau-Ponty (1908 – 1961). Bila Husserl meletakkan dasar fenomenologi, Merleau-Ponty adalah pengembangnya, terutama bila dikaitkan dengan psikologi. Ciri khas fenomenologi Merleau-Ponty adalah kedwiartian. Menurutnya, dunia di mana kita hidup atau realitas yang kita alami tidak akan bisa direduksi satu saja (Bertens, 2006: 142). Selain kedwiartian, hal yang penting di dalam filsafat persepsi adalah intensionalitas. Jika Husserl menggunakan paham tersebut untuk menunjukkan kesadaran dengan obyeknya. Jadi, terutama dalam konteks pengenalan. Sementara itu, pada Merleau-Ponty, intensionalitas digunakan untuk melukiskan kaitan subyek dengan dunianya. Menurutnya, kaitan subyek dengan dunia bersifat prarefleksif yang berarti mendahului segala refleksi dan kesadaran. Ini berarti intensionalitas bukan merupakan keterkaitan pada taraf pengenalan, melainkan pada taraf eksistensi (Bertens, 2006: 146). Satu hal penting lain dari fenomenologi persepsi adalah mengaitkannya dengan tubuh. Menurut Merleau-Ponty, perspesi memiliki arti lebih luas daripada sekadar dengan mata dalam mengamati suatu obyek. Persepsi meliputi hubungan kita dengan dunia, terutama pada taraf inderawi. Dengan adanya persepsi manusia “mengakar” pada dunia (Bertens, 2006: 152).
Tema persepsi ini mengarahkan suatu tema lain yang sangat penting bagi Merleau-Ponty, yaitu tubuh. Persepsi selalu melibatkan tubuh. Persepsi juga berlangsung di dalam dan melalui tubuh. Merleau-Ponty pernah mengatakan bahwa “tubuh yang mengetahui lebih banyak tentang dunia dibandingkan diri kita sendiri” (Bertens, 2006: 153). Tubuh memerankan subyek. Tubuh adalah subyek persepsi. Inilah pandangan Merleau-Ponty yang terkenal dengan istilah “tubuh-subyek”. Tubuh bukan merupakan semacam alat yang dipakai oleh subyek diri. Seorang yang pandai memainkan piano tidak “menggunakan” jari-jarinya. Seorang pemain sepakbola tidak “menggunakan” kaki-kakinya. Tubuh mereka “tahu” tetapi bukan pada pengetahuan teoritis pada pikiran saja. Tubuh dan subyek tidak merupakan dua hal yang berbeda. Tubuh sendiri adalah subyek. Tubh melibatkan kita dalam dunia dan merupakan perspektif kita dalam dunia (Bertens, 2006: 154).
Masih berkaitan dengan tubuh, Merleau-Ponty menguatkan argumennya dengan merumuskan suatu istilah yang unik, yaitu tungkai siluman (phantom limb). Istilah ini menunjukkan contoh kuat bahwa tubuh dan subyek tidaklah terpisah dan “mengada” di dalam dunia. Tungkai siluman adalah sebuah contoh fenomena untuk mempertegas bahwa kita adalah bagian tubuh kita, dan kesadaran tidak hanya terkunci di dalam kepala. Bentuk pengalaman seorang pasien yang tangan atau kakinya telah diamputasi, tapi masih merasakan penginderaan pada bagian tubuh yang hilang tersebut. Ini adalah sebuah gejala tubuh yang tidak bisa dijelaskan secara tuntas oleh pendekatan obyektif-psikologi dan fisiologi (Adian, 2010: 151).
Ketiga, fenomenologi sosial oleh Alfred Schutz (1899 – 1959). Dengan menggunakan fenomenologi transendental sebagai pondasi, Schutz berusaha lebih berfokus pada aspek dunia sosial dari pengalaman keseharian. Di area yang kemudian dikenal dengan nama fenomenologi sosial ini ia mengutamakan relasi antar individu di dalam kelompok, bukan hanya pada biografi personal tetapi juga pada kelompok budaya atau pun kelompok-kelompok mikro tertentu. Pengalaman seseorang di dalam kehidupannya sehari-hari bisa dijelaskan berdasarkan kehidupan di dalam kelompoknya. Relasi sosial inilah yang menjadi salah satu sumber pengetahuan untuk menjelaskan fenomena kehidupan keseharian. Salah satu contoh misalnya aktivitas makan bersama di dalam keluarga. Pada keluarga beretnis Jawa misalnya, tindakan personal sangat ditentukan oleh hirarki di dalam keluarga. Salah satu kutipan menarik dari Shutz adalah: “To see this world in its massive complexity, to outline and explore its essential features, and to trace out its manifold relationships were the composite parts of his central task...a phenomenology of the natural attitude” (Miller, 2002: 50).
Rangkaian Tindakan Fenomenologis oleh Radiohead?
Setelah mencerna pengantar yang terpaksa agak panjang, pertanyaannya, apa yang bisa kita lakukan untuk menakar album “the King of Limbs”? tentu saja jawabnya adalah dengan menggunakan fenomenologi. Fenomenologi diimplementasikan melalui dua cara, tindakan penafsir dan hadirnya di dalam teks. Album-album Radiohead selalu memaksa kita untuk mencernanya pelan-pelan, mendalam, dan unik. Secara singkat ini bisa dianggap sebagai tindakan fenomenologis pada candraan penafsir atas teks. Saya pribadi baru merasa pada album inilah saya benar-benar menyukai dan memahami dengan agak mendalam. Sejak kemunculan “Creep” yang menjadi salah satu lagu kebangsaan saya ketika kuliah sebenarnya saya sudah menyukai Radiohead namun itu adalah sebentuk suka yang kurang paham. Pun dengan seluruh album Radiohead dari “Pablo Honey” (1993) sampai “In Rainbows” (2007). Semuanya saya sukai namun tidak muncul pemahaman yang menggedor kesadaran. Barulah pada album ini, ketika saya coba dengan cara fenomenologis, saya lumayan memahaminya.
Bila berdasarkan fenomenologi yang muncul pada teks, kita bisa langsung merujuknya pada tiga jenis yang sudah didedahkan sebelumnya. Pertama, fenomenologi persepsi, tungkai siluman (phantom limb) adalah istilah yang paling mudah terlihat. Saya sendiri secara tak sengaja mendapatkan phantom limb istilah ini ketika membaca-baca bahan-bahan untuk tulisan ini. Phantom limb dan the King of Limbs, adakah hubungannya? Sepertinya tidak karena judul album tersebut diandaikan mengutip dan berkait dengan sebuah kisah dongeng. Namun bila kita amati dengan mendalam, sampul album menunjukkan gambar tungkai semi abstrak. Mungkin saja Radiohead memaksudkannya sebagai raja tungkai.
Album dibuka oleh lagu “Bloom” yang merupakan manifesto fenomenologis album ini, universal sekaligus merujuk pada kesadaran subyek yang coba mencerna dunia: Open your mouth wide/ The universe will sigh/ And while the ocean blooms/ It's what keeps me alive/ So why does it still hurt?/ Don't blow your mind with whys….
Berdasarkan pengertian tungkai siluman ini, kita bisa paham mengapa lagu-lagu di album ini begitu bisa “menghantui” kita. Jumlah lagu yang relatif sedikit dan durasi yang hanya tiga puluh tujuh menit tidaklah masalah. Bahkan ketika semua lagu sudah diputar pun, album ini masih seperti terdengar. “Tungkai siluman” menghantui kita terus setelahnya. Bagaimana mungkin kita bisa melupakan “Lotus Flower” yang sangat bagus secara musikal maupun lirik? We would shrink and then be quiet as mice/And while the cat is away/ Do what we want/ Do what we want// There's an empty space inside my heart/ Where the weeds take root/ So now I set you free/ I'll set you free….
Fenomenologi transendental sebagai hal yang muncul sangat dekat dengan sikap fenomenologis yang dipilih oleh Husserl. Menurut saya, Radiohead selalu berusaha menjadi pemula yang antusias pada semua albumnya. Mereka sangat konsisten untuk menghasilkan karya yang berkelas dan tidak sama dengan sebelumnya. Mereka rela belajar membuat musik dari perangkat yang sama sekali berbeda. Mereka belajar dari Miles Davis untuk membuat musik bukannya pada band alternatif atau rock yang sudah lebih dahulu terkenal. Mungkin pengalaman mereka yang sudah terkenal lewat “Creep” di album pertama yang membuat mereka selalu belajar “mengada”. Popularitas terlampau cepat membuat mereka tersakiti. Mereka baru merasa bahagia dengan eksistensinya pada album “Amnesiac” (2001).
Coba simak lagu “Morning Mr. Magpie” ini yang menunjukkan bagaimana kesadaran bisa selalu berjibaku dengan realitas. Lirik sengaja saya kutip lengkap untuk menunjukkan betapa puitisnya lirik yang mereka tulis: You got some nerve coming here/ You got some nerve coming here/ You stole it all/ Give it back/ You stole it all/ Give it back// Good morning Mr. Magpie/ How are we today?/ Now you've stolen all the magic/ And took my memory// You know you should/ But you don't/ You know you should/ But you don't// Good morning Mr. Magpie/ How are we today?/ Now you've stolen all the magic/ Took my melody
Fenomenologi jenis terakhir, yaitu fenomenologi sosial merujuk pada kesimpulan bahwa relasi bersama penting sejauh dia dianggap penting. Saya lihat Radiohead memahami cara membuat album yang bagus. Tentunya mereka belajar dari banyak orang. Sebenarnya agak mudah dilihat dan didengar album yang bagus dan sangat bagus bila dibandingkan dengan album yang buruk. Di luar pemahaman itu, kelebihan dari Radiohead adalah mereka mampu membuat sesuatu yang sangat bagus dalam versi sendiri. Album ini memang sangat bagus, seperti juga album-album mereka terdahulu. Kapan mereka berhenti membuat album bagus? Sepertinya mereka tidak akan berhenti membuat album bagus. Kata mereka di dalam lagu penutup “Separator”: If you think this is over, then you're wrong….Kemungkinan besar Radiohead membuat album yang sangat bagus lagi dan lagi.
Penyanyi : Radiohead
Judul : The King of Limbs
Tahun : 2011
Daftar Lagu:
1.Bloom
2.Morning Mr Magpie
3.Little by Little
4.Feral
5.Lotus Flower
6.Codex
7.Give Up to the Ghost
8.Separator
Referensi
Adian, Donny Gahral (2010). Pengantar Fenomenologi. Depok: Penerbit Koekoesan.
Bertens, K. (2002). Filsafat Barat Kontemporer: Inggris – Jerman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bertens, K. (2006). Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hardiman, F. Budi (2004). Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. 7th Edition. Belmont: Wadsworth.
Miller, Katherine (2002). Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts. Boston: McGraw Hill.
O’Sullivan, Brian Dutton, and Philip Rayner (1994). Studying the Media: An Introduction. London: Edward Arnold.
Stokes, Jane (2003). How to Do Media and Cultural Studies. London: Sage Publications.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now&...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Saya penikmat Psikologi Komunikasi dan Radiohead.
BalasHapusTulisan yang begitu kreatif, great job My friend!
@Pernadi, terima kasih kembali ya.... :)
BalasHapus