Sabtu, 12 Maret 2011

Mati Satu Lagi

Seperti biasa bila ada waktu dan keperluan lain, misalnya belanja kebutuhan harian, saya menyambangi pusat perbelanjaan. Kemarin saya mendatangi sebuah pusat perbelanjaan di Maliboro. Ada dua situs atau tempat yang pasti saya datangi bila ke mal, yaitu ke toko CD dan toko buku. Setelah belanja sebentar kemudian saya ke lantai dua untuk melihat-lihat CD new release di toko CD Bulletin. Saya cukup terkejut ketika mendapati toko CD di mal tersebut sudah tak ada. Seminggu tidak ke mal ini, ternyata toko CD ini sudah mati. Penyebabnya jelas, toko CD sudah tidak lagi menguntungkan secara ekonomi. Ditutupnya toko CD ini, Bulletin, bukan yang pertama. Di Yogya sudah ada tiga Bulletin yang ditutup, yang saya tahu, walau mereka juga membuka dua toko baru yang tetap sepi pengunjung. Toko CD Aquarius juga ditutup di beberapa kota besar, yang saya tahu di Bandung dan Jakarta, Aquarius Pondok Indah.



Ditutupnya toko CD Bulletin di Malioboro Mall agak mengejutkan dan menyedihkan bagi saya karena sejak dulu saya mengakses banyak CD dan kaset di toko ini. Namun yang lebih menyedihkan adalah ditutupnya toko CD Kotamas bertahun-tahun lalu, sekitar tahun 2007. Kotamas adalah tempat saya membeli kaset pertama-kali dengan uang sendiri. Toko itu juga menjadi tempat yang paling sering saya kunjungi sepulang sekolah sewaktu SMA dulu. Jalurnya begini, sepulang sekolah saya naik bus kota jalur 12. Berhenti di perpustakaan Daerah di sekitar Samsat dan bila ada waktu membaca dan meminjam buku di sana. Setelah itu, melintasi stasiun Tugu dan mampir di radio Unisi untuk memesan lagu. Biasanya saya memesan lagu untuk diputar pada malam hari ketika siaran radio masih menemani belajar. Kunjungan-kunjungan mengasyikkan tersebut kemudian berakhir di Kotamas yang berada di ujung jalan Malioboro.



Bisa dikatakan toko kaset tersebut adalah toko yang legendaris bagi penggemar musik seperti saya karena ternyata banyak koleksi langka dan bagus di sana. Para pemburu pesan media musik rekaman dari kota-kota lain berdatangan mencari kaset-kaset langka itu, antara lain dari Bandung dan Jakarta. Saya juga sempat melihat sendiri begitu banyak kaset, terutama kaset album musisi Barat, unik yang beredar seperti album-album Sonic Youth dan berbagai kompilasi “ajaib”, antara lain kompilasi “Earthrise” 1 dan 2, “Pop is Dead” 1 sampai 3, dan “Help”, kompilasi pertama yang dirilis lembaga “War Child”. Namun sejak krisis 1998 kaset-kaset yang beredar hanyalah kaset-kaset yang dianggap menguntungkan secara ekonomis. Dua kaset yang saya beli di toko ini yang sangat berkesan adalah U2 “Zooropa” karena walau harganya hanya Rp. 12.000,- waktu itu tetapi berdampak “sistemik” pada uang makan sebulan sebagai anak kost. Juga kaset the Best-nya Simpe Mind yang saya beli menjelang toko tutup. Saya memaksa untuk masuk padahal para karyawannya hampir menutup toko. Waktu itu saya benar-benar ingin mendengarkan “Don’t You (Forget about Me)” yang baru saja dengar di sebuah film.



Satu lagi toko kaset atau toko CD yang berkesan bagi saya adalah M Studio. Toko ini dahulu berada di Galleria Mall. Toko ini ditutup karena alasan yang sama dengan toko sejenisnya: tidak ada lagi yang datang membeli kaset atau CD. Musik populer masih didengar oleh masyarakat namun kebanyakan mendengarkannya dari CD ilegal atau mendengarkan satu dua lagu melalui berlangganan RBT. Kebanyakan masyarakat Indonesia menyukai musik namun kebanyakan tidak mau membeli CD yang dinilai lebih mahal. Kita bisa menyalahkan pemerintah atas regulasi yang tidak mendukung media musik rekaman padahal pemerintah sudah mencanangkan industri kreatif sebagai salah satu industri unggulan. Kita juga bisa menyalahkan aparat hukum yang tidak tegas dalam menjalankan UU Hak Cipta di mana karya anak bangsa sendiri marak dibajak dan hasil bajakannya sangat mudah didapat, bahkan dijual di toko-toko resmi dan pada pameran pembangunan.

Ironi yang paling tragis adalah ketika pemerintah pusat mengumumkan industri kreatif sebagai unggulan namun di sisi lain membolehkan penjualan barang-barang bajakan kebanyakan di pameran pembangunan yang diselenggarakan pemerintah daerah.



Tutupnya sebuah toko CD tidak hanya berarti berkurangnya tempat mendapatkan pesan media musik rekaman, namun juga hilangnya kesempatan pengakses musik populer untuk memahami media tersebut di luar konteks mengkonsumsi, misalnya bertemu dengan sesama pengakses atau mengamati ragam jenis CD yang beredar. Itulah sebabnya di Jakarta, beberapa toko CD digabung dengan toko buku dan kafe agar pengalaman mengakses CD bukan sekadar tindakan personal namun juga sarana berbagi pengalaman mengakses dan memaknai pesan. Sayangnya, belum ada toko CD yang bukan hanya sekadar menjual pesan media audio dan audio-visual di Yogyakarta.



Selain itu, pengakses musik rekaman juga sebaiknya diberi pemahaman bahwa mengakses pesan media bajakan itu tidak etis, bahkan melanggar hukum. Bila memang pemerintah menabalkan industri kreatif sebagai salah satu industri unggulan, pembajakan mesti ditindak tegas oleh pemerintah dan aparat hukum. Selain itu, pemerintah sebaiknya menyusun regulasi yang membuat pesan media musik rekaman, juga seluruh pesan media, murah dan mudah untuk diakses oleh masyarakat. Terakhir, pemerintah, secara langsung atau dengan memberi dukungan yang kuat dan intens, membangun semacam pusat dokumentasi audio untuk musik rekaman Indonesia. Semacam perpustakaan di setiap daerah atau seperti pusat dokumentasi film, Sinematek, agar apreasiasi dan telaah musik populer sebagai media bisa lebih bagus lagi.



Semoga tak lagi ada toko CD yang mati walau mati adalah keadaan kodrati. Semoga kita bisa terus berbenah. Begitu kata saya dalam hati sambil berjalan melewati toko yang kosong. Rasanya sungguh aneh ke Malioboro Mall tanpa toko ini. Rasanya sedih juga tempat yang saya kunjungi agak rutin dalam bertahun-tahun ini sudah tak ada lagi. Semoga saja rasa kehilangan ini terus memacu kita, paling tidak saya sendiri, untuk memahami kondisi bermedia lebih tajam dan mendalam. Apa pun yang saya sampaikan pada sanubari, masih ada ruang kosong di sana walau ruang kosong itu perlahan terisi lagi.



*****

1 komentar:

  1. Sedih juga Mas Wisnu dengar toko CD Bulletin ditutup. Saya sendiri sangat suka mengumpulkan CD musik Indonesia dan Barat. Mmg kita hrs belajar menghargai hasil karya dg tdk membeli CD bajakan. Bgmnpun juga mendengarkan musik dari CD asli mrpkan kenikmatan tersendiri yg tdk tergantikan dg media yg lain. Mdh2an kita bisa belajar dr peristiwa ini.

    BalasHapus

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...