Antara hampa dan mimpi kau datang. Apakah ada kebebasan memilih dalam hidup ini? Apakah kau yang di sana tak berniat menyakitiku lagi? Siapakah yang datang menggedor pintu demikian keras namun setelah dipersilakan masuk, pergi begitu saja tanpa meninggalkan jejak sama sekali? Kau selalu berdalih tidak berniat menyakiti namun mengapa kini relasi sekarang biru dengan bilur panjang bernama kedukaan dan kehampaan?
Di saat sedikit saja aku mempertanyakan luka dan hampa yang telah kau buat, kau bilang aku pendendam. Katamu, apa pun yang sudah berlalu anggap saja berlalu. Janganlah mengingat masa lalu kita. Bagaimana pun juga kita ini saling menyayangi mesti saling menyakiti. Bila kau terlukai anggap saja itu semua untuk kebaikan dirimu sendiri. Bukankah dunia ini memang berisi luka dan duka, aku hanya mengingatkannya kembali. Aku tak bisa berbicara apa-apa lagi. Semua sudah digariskan. Kita tinggal menjalani. Aku tak ingin mengingatnya walau beratus bayang datang silih berganti. Apa lagi yang tersisa bila aku letih dan menyerah?
Pergerakan waktu tak bisa kuikuti lagi. Entah siang atau malam. Fajar atau pagi. Cinta atau benci, atau ribuan gradasi rasa di antaranya. Ah, bahkan dirimu pun tak bisa kukenali lagi. Terkadang kau menjadi dementor, manusia kaca, buta cakil, Irfan Bachdim, Selly si “Penipu Cantik”, Brad Pitt, beruang, Barbie, ikan mas koki, Natalie Portman, Nurdin Halid. Entahlah, semua menghablur dan menyatu. Semua bergantian datang dan pergi. Muncul dan menghilang. Adakah sesuatu yang konstan dan tak bergerak?
Antara sebuan tentara koalisi ke Libya dan kekalahan Jerman dalam laga persahabatan, kau datang mengenalkan nihilisme dalam hidup. Semua tak bermakna, semua bisa menghilang dengan cepat, tanggalkan semua prinsip, visi kepublikan yang kau anut hanyalah ilusi dan utopia. Kau selalu berkata jangan takut dengan kegelapan yang kau bawa. Mengapa takut? Toh hidup telah gelap dengan sendirinya. Cahaya pelan-pelan meredup. Tak ada konsep ideal. Semuanya meredup dalam ruang hampa.
Di saat sedikit saja aku mendebatmu, kau berargumen hanya menjalankan fenomenologi terhadapku. “Kembali pada benda-benda” katamu. “Kembali pada hampa-hampa” batinku. Aku tetap menganut konsepsi ideal itu seredup apa pun, sebesar apa pun resikonya. Untuk apa hidup bila tak ada sesuatu yang diperjuangkan. “Kembali pada kata-kata” hasratku menggedor sukma pelan-pelan, tak hampa-hampa. Memenuhi otak dan hati segera.
Pergerakan hidup tak bisa kukenali lagi. Tak ada masa lalu, masa kini, dan masa depan. Semua menyatu. Siap-siap menerkam keragaman identitas. Kau bilang hidup harus satu komando dan semua mesti sama dengan dirimu. Bila tak mengikutimu, aku bukan hanya dibenci namun distigma semua hal negatif yang mungkin dimiliki seorang manusia. Di mana harapan? Siapa yang bertanggung-jawab kecuali diri sendiri? Orang-orang lain tak penting. Dunia tak penting. Hal yang penting hanya kesadaran. Namun aku tak tahu di mana kesadaran itu. Apa rasanya? Seperti bergelas kopi yang kuminum sejak kemarin? Bagaimana memesannya pada pemilik hidup? Secara digital atau analog? Semua yang hitam dan putih menyatu perlahan dan pasti. Semua ini, terutama dirimu, terlalu manis, terlalu jelas, dan tak terlalu pintar. Semua berwarna abu-abu dalam bidang datar tiga dimensi yang menutupi segalanya. Kini, kau ada di mana? Datang sajalah, selamatkan aku walau eksistensimu selalu membawa sembilu.
Warna abu-abu memenuhiku. Semuanya menghilang. Ada rasa damai perlahan mengalir…Harus tetap sadar! Harus tetap terjaga apa pun resikonya, aku berteriak sekuat tenaga walau mungkin hatiku sendiri saja hampir tak mendengar apa pun lagi.
######
Terinspirasi oleh lagu REM dari album “Up” (1998):
"Daysleeper"
Receiving department, 3 a.m.
Staff cuts have socked up the overage
Directives are posted.
No callbacks, complaints.
Everywhere is calm.
Hong Kong is present
Taipei awakes
All talk of circadian rhythm
I see today with a newsprint fray
My night is colored headache grey
Daysleeper
The bull and the bear are marking their territories
They're leading the blind with their international glories
I'm the screen, the blinding light
I'm the screen, I work at night.
I see today with a newsprint fray
My night is colored headache grey
Don't wake me with so much.
Daysleeper.
I cried the other night
I can't even say why
Fluorescent flat caffeine lights
Its furious balancing
I'm the screen, the blinding light
I'm the screen, I work at night
I see today with a newsprint fray
My night is colored headache grey
Don't wake me with so much.
The ocean machine is set to nine
I'll squeeze into heaven and valentine
My bed is pulling me,
Gravity
Daysleeper. Daysleeper.
Daysleeper. Daysleeper. Daysleeper.
Kamis, 31 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now&...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar