Kamis, 31 Maret 2011

BBB (Belajar Bermedia Bersama) 12

“Kembali pada benda-benda”. Itulah kalimat yang saya ingat betul belakangan ini, terutama karena membaca serba sedikit konsep yang dikenal dengan nama fenomenologi dari Edward Husserl. Bila diterapkan pada pesan faktual atau jurnalisme pada media, kira-kira kalimatnya menjadi “kembali pada fakta itu sendiri”. Namun di sinilah susahnya. Fakta tidak pernah berdiri sendiri. Fakta juga selalu dimaknai berkaitan dengan posisi. Sebenarnya para pelaku jurnalisme sendiri sudah melakukan banyak cara agar fakta tetap berada dalam porsinya. Bila pun fakta dimaknai, pemaknaan itu tetaplah berada dalam koridor kepentingan publik. Kini kita mengenal jurnalisme makna, yaitu jurnalisme yang tidak semata-mata merujuk pada makna namun pada makna yang dibawanya sesuai dengan makna kehidupan bersama atau visi kepublikan.

Sayangnya, masih ada person media yang tidak memahami bahwa kerja jurnalistik diawali dan berakhir untuk kehidupan bersama. Kenyataan ini semakin menguat bila kita mengamati media di Indonesia, terutama televisi. Berita cenderung mengarah pada personalisasi padahal berita itu selalu merujuk pada arti penting kehidupan bersama. Dua berita pada akhir minggu kemarin menunjukkan bagaimana personalisasi tersebut terjadi, yaitu pemberitaan mengenai anggota DPR dari Partai Demokrat yang bernomor kursi ganda dengan penumpang lain. Entah mengapa “serangan” hanya mengenai Roy Suryo. Terlepas dari dia salah atau benar, media tidak mencoba melihat sistem penomoran maskapai yang kacau. Maskapai tersebut, seperti yang seringkali diberitakan, memang terkenal karena kekacauan sistem dan frekuensi keterlambatannya yang tinggi.

Bila media semata-mata media menumpukan kesalahan pada Roy Suryo, kita hanya mendapat kesimpulan bahwa menjadi pejabat publik itu harus tidak boleh menang sendiri. Tetapi bila kita merujuk pada sistem informasi penumpang di penerbangan yang kacau balau, kita bisa belajar bersama bahwa untuk memperbaiki transportasi udara itu memerlukan banyak usaha. Kita mesti mengingat berapa banyak martir, penumpang dan kru pesawat yang meninggal pada tahun 2002 – 2005 ketika industri penerbangan sangat longgar dan keselamatan penumpang bukan menjadi perhatian utama. Kita bisa mendapatkan manfaat lebih banyak dari jurnalisme bila media membidik visi kepublikan.

Hal yang sama terjadi dengan pemberitaan “Selly si Penipu Cantik”. Rata-rata media, termasuk media terkemuka, memberikan atribut pada kata sifat yang sama, cantik, padahal apa relevansi antara kejahatan dan kecantikan? Seolah-olah ingin disampaikan bahwa perempuan yang cantik tak akan menipu. Hal yang masih mirip adalah pemberitaan mengenai kematian Syakira beberapa waktu yang lalu. Pemberitaan lebih melihat bahwa Syakira adalah waria, bukan pada sistem keamanan negeri ini di mana orang dengan mudah memiliki senjata api dan main tembak seenaknya sendiri pada orang lain. Semua berita tersebut menjadi tidak fokus karena satu hal, semuanya merujuk pada personalisasi. Kelihatan visi dan prinsip-prinsip infotainment sudah mulai merasuki isi semua jenis berita padahal berita dunia hiburan (entertainment) di luar sana tetap merujuk pada visi kepublikan. Hal ini misalnya terlihat sewaktu Madonna dengan mudah mengadopsi anak dari negara-negara Afrika. Pemberitaan berfokus bukan pada si Madonna yang mau mengadopsi anak melainkan pada sistem adopsi yang sangat longgar padahal sistem seperti itu akan memudahkan perdagangan manusia.

Isu personalisasi dalam pemberitaan itulah yang pada minggu keduabelas di tahun 2011 ini mengemuka. Bukan berarti tidak ada kasus-kasus mengenai komunikasi yang lain. Minggu ke-12 kemarin malah cukup banyak terjadi peristiwa yang berkaitan dengan kemediaan. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain: munculnya domain baru xxx sebagai “rumah” bagi situs porno, teror bom buku yang masih marak sampai saat ini, sekaratnya PDS HB Jassin, dan rencana mergernya SCTV dan Indosiar.

Pengesahan domain xxx, yang akan segera bersanding dengan www disikapi beragam oleh berbagai pihak. Ada yang mengganggap bahwa inilah legalisasi dari aktivitas pornografi dan simpati pihak berwenang atasnya. Pihak yang menentang ini terutama berasal dari kelompok agamawan. Sementara itu industri pornografi sendiri bukannya setuju bulat penuh. Ada juga yang menentang domain xxx tersebut karena justru memudahkan pihak berwenang untuk “menghantam” mereka. Isu ini terjadi di Amerika Serikat walau sebentar lagi pasti akan berimbas untuk seluruh dunia.

Pemberitaan mengenai teror bom juga masih mengemuka seminggu kemarin itu. Kali ini lebih karena tertangkapnya beberapa orang iseng yang meneror melalui SMS dan telepon. Orang-orang tersebut rupanya mengambil keuntungan dari tidak bekerjanya sistem informasi tentang pengamanan masyarakat dari teror. Negara yang tidak memadai sistemnya jelas menjadi titik celah utama. Bila intelejen negara memiliki informasi yang bagus, tentunya para pelakunya sudah tertangkap sekarang. Masyarakat yang mudah panik adalah titik celah berikutnya. Orang-orang tersebut yang secara psikologis “sakit” memuaskan hasratnya dalam situasi teror seperti sekarang. Hal ini terlihat dari pernyataan yang diberikan oleh salah satu pelaku teror bom lewat SMS bahwa tindakannya tersebut semata-mata hanya iseng dan ingin melihat orang-orang panik. Pernyataan itu sungguh menyedihkan mengingat psikologi seperti ini kemungkinan besar “mewabah” di banyak warga yang mengalami kesulitan hidup dan tak paham hukum. Media jangan sampai menjadi titik celah berikutnya. Media adalah penyedia informasi di dalam kehidupan bersama. Baiknya sebuah masyarakat juga didukung oleh penyediaan informasi yang memadai oleh medianya.

Hal lain yang juga menarik untuk didiskusikan adalah hampir matinya Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Hal ini ironis mengingat bantuan dana yang jauh lebih besar diberikan kepada organisasi kemasyarakatan yang tak jelas. Sementara PDS HB Jassin “hanya” mendapat 50 juta rupiah. Jumlah yang relatif tak memadai mengingat ribuan koleksi yang disimpan di sana. Namun hal ini juga menjadi “biasa” mengingat negara ini memang tidak memiliki perhatian yang tinggi pada output media, terutama yang bernilai sejarah, sejak lama. Aktivitas dokumentasi yang lumayan barulah di media film. Lembaga yang melakukan pendokumentasian film tersebut adalah sinematek yang relatif baik dalam menyimpan semua karya film anak bangsa. Jangan sampai nanti kita baru menyadari kealpaan kita ketika karya sastra Indonesia di masa lalu sudah ada di negara lain, kemudian negara itu mengklaimnya. Kekhawatiran tersebut bukannya tak beralasan, buku-buku berbahasa Melayu kuno di Medan dan Padang banyak yang sudah dibeli oleh orang-orang dari Malaysia. Kita mafhum apa yang akan terjadi tiga empat tahun nanti bila kondisi ini dibiarkan.

Kejadian terakhir yang juga ramai dibicarakan, didiskusikan, dan didebat, adalah rencana mergernya SCTV dan Indosiar. Rencana ini jelas melanggar prinsip demokrasi yang utama, yaitu keberagaman pemilik media, dan pada gilirannya keberagaman isi media. Namun sepertinya rencana ini akan berjalan mulus mengingat tiga kejadian yang hampir sama sebelumnya, yaitu penguasaan MNC pada tiga stasiun televisi, yaitu RCTI, TPI, dan Global TV, kemudian pengambilalihan TV7 oleh Trans Corporation, dan penggabungan Lativi dengan ANTV, yang kemudian berganti nama menjadi TV One. Karena sebelumnya “dibolehkan”, rencana merger SCTV dan Indosiar kemudian seolah-olah adalah hal biasa, padahal kita tahu bahwa UU nomor 32 tentang Penyiaran melindungi masyarakat dari pemusatan kepemilikan media penyiaran pada segelintir orang.

Pasal 18 UU Penyiaran berbunyi: Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi. Kemudian, pasal 20 menyatakan: Lembaga penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi masing-masing hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu) saluran siaran pada 1 (satu) cakupan wilayah siaran. Inilah prinsip utama dari kepemilikan media penyiaran yang mesti ditaati oleh pihak yang ingin mendirikan lembaga penyiaran swasta. Sayangnya, di negeri tercinta ini implementasi aturan memang jauh dari yang tertulis. Cobalah kita tengok penegakan sistem penyiaran berjaringan yang tidak jelas sampai sekarang. Kemungkinan revisi UU Penyiaran yang sedang berjalan, di mana draft versi pemerintah yang dinilai sangat mengakomodir industri penyiaran, adalah cara lain untuk mangkir dari implementasi UU Penyiaran yang sedang berlaku.

Melihat berbagai kejadian di atas, saya hanya berkesimpulan bahwa kita sebagai pembelajar dan sebagai bagian dari masyakarat sipil mesti terus bergerak sesuai dengan peran dan posisi masing-masing. Tak ada kata lain kecuali ajakan untuk terus bergerak bersama membenahi kehidupan bermedia kita. Sebab media adalah urusan kita bersama. Sebab media itu ada untuk memperjuangkan visi kepublikan bagi kita semua. Bila bukan menjadi urusan kita, siapa yang turut memperbaiki kondisi hidup bersama kita?

###

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...