Rabu, 29 Juni 2011
Memahami Khalayak Lembaga Penyiaran Publik (Bagian 1)
Dengan berakhirnya Orde Baru yang juga berakhirnya sistem media yang otoriter masyarakat Indonesia dapat dikatakan memperoleh keberlimpahan informasi melalui beragamnya media dan teknologi informasi dan komunikasi. Sejak era keterbukaan dan demokrasi dirasakan oleh masyarakat Indonesia, yang menjadi penanda dari munculnya rejim baru, hampir semua jenis informasi dari semua jenis media bisa kita peroleh. Keadaan ini sesunguhnya adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, keberlimpahan informasi tersebut dapat membawa hal positif karena memberikan informasi yang berjumlah banyak dan beragam kepada kita. Namun, di sisi yang lain, keberlimpahan tersebut dapat membawa hal negatif di mana anggota masyarakat justru tenggelam di dalam lautan informasi tanpa bisa memanfaatkannya. Informasi tidak digunakan dengan baik sehingga menimbulkan kecemasan dan kebingungan untuk memilih dan memilah informasi yang tepat. Hal ini semakin diperparah dengan ketiadaan visi pengambil kebijakan yang bagus di dalam peraturan perundangan penyiaran untuk televisi dan radio. Sebaliknya, media yang bermotif komersial dan membawa kepentingan politik yang kental justru lebih terlihat dibandingkan dengan lembaga penyiaran publik.
Kedua jenis media tersebut, media yang bermotif terlalu komersial dan politis, memang masih berusaha diredam dan diawasi perkembangannya, tetapi dengan penegakan peraturan perundangan yang lemah dan regulasi yang tidak implementatif menjadikan sistem media yang berpihak pada publik sulit diwujudkan dalam waktu dekat ini. Oleh karena itu, kita memerlukan cara lain untuk memperbaiki kondisi bermedia masyarakat Indonesia. Salah satu cara untuk memperbaiki kondisi tersebut adalah memperkuat kapasitas lembaga penyiaran publik. Pemahaman khalayak oleh lembaga penyiaran publik yang baik adalah salah satu cara untuk memperkuat kapasitas kelembagaan media penyiaran. Khalayak adalah elemen yang utama cara melihatnya sebagai bagian dari warga masyarakat bukan sebagai konsumen seperti pada media penyiaran komersial.
Khalayak adalah “wilayah” di mana kita dapat memperbaiki kondisi media penyiaran di Indonesia. Selain itu, bagi pengelola media, pemahaman yang baik atas khalayak akan menjadikan operasionalisasi atau eksistensi media juga baik. Singkatnya, khalayak adalah elemen yang penting bagi media. Posisi ini bahkan semakin penting setidaknya karena dua alasan. Pertama, kondisi demokrasi yang semakin menguat di masyarakat yang diikuti oleh kesadaran hak-hak politik mereka, termasuk hak atas informasi sesuai dengan konstitusi Indonesia. Kedua, tuntutan akan posisi media penyiaran publik yang netral dan independen, serta memenuhi keterbukaan informasi publik.
Khalayak yang semakin aktif mengakses media juga menjadi alasan yang penting mengapa khalayak perlu dipahami dengan lebih baik lagi. Teknologi informasi dan komunikasi yang ada sekarang ini menjadikan aktivitas mengakses media semakin personal sekaligus aktivitas bersama. Teknologi juga menjadikan penggabungan individu dengan kepentingan bersama menjadi lebih mudah sehingga kritik dan masukan kepada pihak pengambil kebijakan juga lebih mudah diartikulasikan. Berkat kemajuan teknologi, pihak pengambil dan pelaksana kebijakan tak lagi bisa semena-mena dan tertutup.
Faktor terakhir pentingnya pemahaman terhadap khalayak adalah semakin meningkatnya pengetahuan mereka yang semakin tinggi. Kini, sebagian anggota masyarakat memiliki tiga kecakapan bermedia, yaitu literasi untuk media cetak, literasi media untuk media audio visual, dan literasi digital atau literasi media baru. Khalayak relatif tidak lagi mudah diperdaya oleh media. Pemantauan media kini tidak hanya dilakukan oleh pihak berwenang, regulator media, tetapi juga dilakukan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat sipil. Walau masih memiliki kekurangan di sana-sini, kecakapan bermedia tersebut sudah berkontribusi positif atas pemahaman masyarakat terhadap media. Jika media menyediakan sesuatu yang kurang tepat atau kurang etis maka masyarakat akan cenderung mengajukan kritik saat sekarang ini.
Begitu pentingnya memahami khalayak, terutama bagi lembaga penyiaran publik, sehingga semacam pengantar yang membahas pengertian dasar dan aspek-aspek riset khalayak perlu untuk didiskusikan di dalam tulisan. Tulisan ini berusaha menjabarkan konsepsi khalayak bagi lembaga penyiaran publik. Pada bagian awal akan dijelaskan siapa sebenarnya khalayak tersebut. Berikutnya, akan coba didedahkan kedudukan riset khalayak dalam proses komunikasi. Uraian akan ditutup dengan menjelaskan klasifikasi khalayak melalui pemahaman tipologi riset yang digunakan oleh peneliti sampai masa sekarang ini.
Mendefinisikan Khalayak
Secara sederhana khalayak dapat diartikan sebagai siapa pun yang mengakses isi media. Khalayak juga seringkali disebut sebagai audiens walaupun pengertiannya sedikit berbeda. Bila audiens dipandang lebih netral, khalayak cenderung dimaknai lebih dekat dengan karakter massa, yang cenderung sangat luas, irasional, dan peyoratif. Setiap individu yang mengakses media disengaja atau pun tidak disebut khalayak. Khalayak sendiri akan memiliki nama yang berbeda bila dikaitkan dengan media yang diaksesnya, yaitu pembaca untuk media cetak. Ragam media cetak adalah buku, suratkabar, dan majalah. Khalayak disebut pemirsa atau pendengar untuk emdia audio, yaitu radio siaran dan musik rekaman. Khalayak bernama pemirsa atau penonton untuk media audio visual, yaitu film dan televisi. Terakhir, khalayak disebut pengakses atau pengguna bila berkaitan dengan media baru, yaitu bila individu menggunakan internet, game, dan handphone. Walau begitu, pengakses jarang sekali disebut khalayak karena mereka melakukan aktivitas yang aktif dan cenderung lebih personal.
Selain itu, khalayak juga bisa langsung mengakses informasi atau pesan tanpa termediasi atau tanpa menggunakan media. Contoh kegiatan mengakses informasi tanpa termediasi misalnya menonton langsung sebuah pentas musik, pertandingan olahraga, bahkan menyaksikan sebuah program acara langsung di sebuah stasiun televisi. Komunikasi di dalam sebuah kelompok sosial juga termasuk jenis komunikasi tanpa termediasi tersebut. Namun, khalayak yang menyaksikan sebuah pertunjukan secara langsung jauh lebih terbatas dan sedikit saja jumlahnya bila dibandingkan dengan khalayak yang mengakses pertunjukan tersebut melalui media. Khalayak jauh lebih sering mendapatkan informasi secara tak langsung atau termediasi melalui berbagai media, termasuk media baru. Media baru secara umum juga mengubah cara khalayak mengakses pesan media, dari sifatnya yang bersama-sama menjadi lebih personal. Selain itu, media baru melalui perkembangan teknologi terkini juga memperkuat relasi sosial. Khalayak media baru tidak lagi bersifat atomistik, yaitu karakter yang saling tidak mengetahui dan tak terangkai antar individu khalayak seperti dalam konsep khalayak sebagai massa.
Berdasarkan aktivitas bermedia yang dilakukan oleh khalayak, khalayak sendiri bisa diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu khalayak pasif, khalayak aktif, dan khalayak partisipatif. Khalayak pasif adalah para individu yang mengakses pesan media secara “tidak sengaja” dan cenderung tak direncanakan dengan baik. Khalayak jenis ini juga menerima isi pesan media begitu saja seperti yang dibawa oleh media. Sebaliknya, khalayak aktif adalah jenis khalayak yang cenderung lebih mengakses isi pesan media dengan sengaja dan terencana. Khalayak jenis ini juga tidak dengan mudah “terintimidasi” oleh media. Khalayak aktif akan menciptakan realitas media yang kuat dan merupakan miliknya sendiri, yang bisa jadi berbeda atau bahkan merupakan kritik atas pesan media yang diterimanya. Bila pemahaman atas khalayak pasif secara implisit menunjukkan posisi media yang lebih kuat dibandingkan dengan khalayak, maka pemahaman atas khalayak aktif sebaliknya, khalayak aktif memiliki makna bahwa posisi khalayak lebih kuat bila dibandingkan dengan media. Khalayak aktif memiliki karakter yang kuat dan mampu “berhadapan” dengan isi pesan media.
Tipologi khalayak terakhir berdasarkan aktivitas bermedia adalah khalayak partisipatif. Khalayak jenis ini terutama dekat sekali degan media penyiaran publik di mana mereka tidak hanya memiliki pemaknaan yang berbeda atas pesan media yang diterima tetapi juga “bertindak” untuk berkontribusi dan mempengaruhi pesan media yang ada. Khalayak jenis ini bisa hadir secara aktif bila sebuah pesan media dihadiri oleh mereka secara langsung, misalnya program bincang-bincang di studio penyiaran. Bila pun tidak menghadiri secara langsung, mereka juga akan memberikan komentar atau masukan secara sukarela terhadap pesan media. Mereka juga bisa memproduksi dan mengkreasi pesan media yang baru yang merupakan respon atas pesan media yang mereka terima sebelumnya. Perbedaan khalayak partisipatif dengan khalayak aktif adalah pada tindakan. Pada khalayak partisipatif, tindakan mereka atas pesan media berusaha diwujudkan, sedangkan pada khalayak aktif “tindakan” tersebut lebih pada tataran pemaknaan yang berbeda dan berlangsung dalam pemikiran khalayak. Khalayak partisipatif terkadang pula berkumpul dengan sesamanya dan melakukan aktivitas bersama di luar aktivitas mengakses media, misalnya aktivitas off air pendengar untuk media radio, dan mereka juga sangat kritis memberikan masukan untuk program acara yang mereka gemari.
Selain dibedakan berdasarkan media dan apa yang dilakukannya, khalayak juga bisa diklasifikasikan dengan banyak cara. Ada empat tipologi khalayak sebagaimana dikemukakan oleh McQuail (1997:2). Pertama, khalayak berdasarkan tempat atau lokasi. Khalayak jenis ini terbagi menjadi dua, yaitu khalayak lokal dan khalayak nasional. Khalayak lokal sangat dekat dengan penguatan lokalisme yang positif walaupun persamaan bersama yang kuat tersebut relatif terbatas. Sementara khalayak nasional kemungkinan merupakan khalayak yang dibidik negara untuk memunculkan nasionalisme (lihat Dickinson, Harindranath, and Linne (ed), 1998: xiii). Di sini, terdapat relasi positif antara perkembangan media massa dengan nasionalisme di banyak negara pada awal abad keduapuluh dahulu. Pemerintah Orde Baru juga memanfaatkan media untuk memperkuat nasionalisme ketika berkuasa, terutarama media milik pemerintah, yang berada di bawah naungan sistem pers Pancasila dan Pembangunan.
Kedua, khalayak berdasarkan akumulasi personal, yang terdiri atas kelompok, berdasarkan gender, usia, pendapatan, dan sebagainya. Biasanya tipologi khalayak jenis ini berkaitan dengan kepentingan iklan bagi media komersial dan kepentingan pemberdayaan bagi media publik. Ketiga, khalayak berdasarkan isi pesan media. Khalayak jenis ini adalah khalayak untuk berita, hiburan, bahkan juga khalayak untuk iklan. Secara spesifik, khalayak memiliki keterkaitan tertentu atas jenis dan tipe pesan media disadari ataupun tidak. Keempat, khalayak berdasarkan waktu aksesnya pada pesan media, yaitu khalayak pada waktu utama (prime-time) atau khalayak pada siang hari (day-time) walaupun kini pemahaman tentang waktu utama sudah berubah, waktu utama juga tidak sama untuk tiap jenis media, misalnya untuk radio dan televisi. Kecenderungan khalayak juga banyak berubah sekarang ini, khalayak cenderung mengakses media sepanjang waktu, terutama untuk media baru.
Kita juga perlu memahami dua faktor besar dalam memahami khalayak, yaitu berbagai faktor yang ada di sisi khalayak dan berbagai faktor yang ada di sisi media (McQuail, 2005: 429 – 430). Kedua sisi tersebut, sisi khalayak dan sisi media, ibarat kedua sisi mata uang yang saling melengkapi. Tiap sisi hadir untuk melengkapi sisi yang lain. Terdapat delapan faktor yang harus kita ketahui berkenaan dengan sisi khalayak, yaitu: pertama, atribut personal seperti usia, gender, posisi dalam keluarga, situasi pendidikan dan kerja, tingkat pendapatan, juga gaya hidup (lifestyle), bila relevan. Terdapat beberapa indikasi perbedaan personalitas yang memainkan peran penting dalam telaah pesan media. Informasi pertama ini adalah informasi terpenting yang harus dimiliki atau diketahui oleh media sebelum memproduksi pesan.
Kedua, latar belakang sosial dan milieu, terutama direfleksikan sebagai kelas sosial, edukasi, agama, pandangan politik, budaya lingkungan kerja, dan budaya lokalitas tempat khalayak berdomisili. Di dalam konsep ini kita juga dapat merujuk pada konsep cultural capital, yaitu cita rasa dan kecakapan kultural yang dipelajari, yang seringkali ditransmisikan antargenerasi di dalam keluarga, sistem pendidikan, dan kelas sosial. Informasi jenis kedua ini sifatnya lebih cair, mikro, dan abstrak serta bisa didapatkan melalui riset etnografi. Ketiga, kebutuhan yang berkaitan dengan media (media-related needs), berbagai hal yang mirip dengan yang telah dijelaskan sebelumnya. Kebutuhan khalayak atas media bisa bersifat personal ataupun juga ditujukan untuk kelompok. Selain itu kebutuhan khalayak atas media bisa berkaitan erat dengan pihak pemberi informasi dan dapat berfungsi untuk mengalihkan perhatian masyarakat secara luas. Kebutuhan khalayak atas media ini dipahami secara luas sebagai keseimbangan antara kepentingan personal dengan latar belakang personal dan lingkungan sosial khalayak.
Keempat, cita rasa dan preferensi personal atas genre, format atau isi pesan media secara spesifik. Informasi keempat ini juga bisa didapatkan melalui riset khalayak yang sifatnya kultural. Belakangan ini, informasi mengenai cita rasa dan preferensi personal semakin diperlukan oleh media, terutama bagi media yang memfokuskan diri pada target khalayak yang spesifik. Kelima, kebiasaan umum dalam menghabiskan waktu luang dengan menggunakan media dan ketersediaan menjadi khalayak dalam waktu yang spesifik. Seiring dengan meningkatnya penggunaan media sepanjang waktu, kesediaan untuk menjadi khalayak juga berkaitan erat dengan lokasi untuk mengakses pesan. “Ketersediaan” khalayak juga berkaitan dengan potensi ekonomi, contohnya adalah kemampuan khalayak untuk membeli tiket menonton di bioskop dan biaya berlangganan saluran televisi kabel.
Keenam, apresiasi atas berbagai pilihan yang tersedia dan jenis informasi yang dimiliki juga memainkan peran penting dalam pembentukan khalayak. Anggota khalayak yang semakin aktif dan partisipatif dapat dimanfaatkan media untuk mengajak khalayak yang lain. Dengan demikian, khalayak jenis ini sebaiknya mendapatkan penghargaan yang lebih baik dari media. ketujuh, konteks penggunaan media yang spesifik. Keragaman ini terjadi berdasarkan media namun secara umum merujuk pada pada sosiabilitas dan lokasi penggunaan media. Hal yang paling relevan dalam dalam informasi ini adalah jawaban apakah seorang khalayak mengakses pesan media sendirian atau bersama-sama, entah bersama rekan sebaya, anggota keluarga yang lain, pasangan, dan sebagainya. Informasi tentang lokasi tempat media diakses juga penting, apakah media diakses di rumah, di tempat kerja, dalam perjalanan, ataupun di dalam bioskop. Untuk mendengarkan siaran radio misalnya, kebanyakan khalayak mendengarkannya sambil berkendaraan sehingga akses radio siaran di kota besar sangat mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan kota kecil. Kedua informasi ini dapat menunjukkan bahwa penggunaan media yang spesifik dapat digunakan untuk memahami pemilihan pesan media oleh khalayak.
Kedelapan, kesempatan seringkali berperan penting dalam terpaan media. Informasi mengenai intervensi media mengurangi kemampuan untuk menjelaskan berbagai pilihan atau komposisi khalayak. Informasi tentang kesempatan khalayak dalam mengakses media mirip dengan informasi mengenai kondisi situasi spesifik khalayak mengakses media tapi sifatnya lebih cair. Siaran radio yang bagus tidak mungkin didengarkan oleh seorang khalayak yang sedang menghadapi ujian misalnya. Kesempatan bagi khalayak untuk mengakses isi pesan media bergantung pada aktivitas khalayak. Informasi semacam ini sangat penting dipahami oleh media.
Sementara itu, sisi yang kedua atau sisi yang melekat pada audiens, terdapat lima faktor yang harus kita perhatikan. Pertama, sistem media, yaitu tinjauan umum atas preferensi dan pilihan yang dipengaruhi oleh penataan dalam level nasional. Sistem media berkaitan dengan jumlah jangkauan dan tipe media yang tersedia bagi masyarakat. Kemampuan masyarakat juga dipengaruhi oleh karakteristik berbagai media yang ada. Sistem adalah setting paling makro di mana suatu media beroperasi. Untuk kasus Indonesia yang sistem medianya lebih terpaku pada media komersial, konsepsi mengenai khalayak lebih diarahkan sebagai konsumen daripada sebagai warga.
Kedua, struktur dari penataan media. Bila sistem merujuk pada penataan relasi dan hadir pada level konseptual, struktur lebih merujuk pada penataan prosedur dan ada pada level praksis. Struktur berkaitan erat dengan pola umum apa saja yang disediakan oleh media untuk masyarakat. Struktur juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh ekspektasi khalayak. Struktur baru juga dapat terbentuk dalam jangka menengah atau jangka panjang. Faktor struktur media ini berbentuk informasi yang lebih riil dibandingkan dengan faktor sebelumnya. Contoh paling terlihat adalah penataan media bervisi kepublikan. Media dalam visi kepublikan yang tidak serius diwujudkan membuat media publik rentan sekali diintervensi oleh pemerintah.
Ketiga, pilihan isi pesan yang tersedia. Informasi ini meliputi format dan genre pesan media yang spesifik, yang ditawarkan pada khalayak pada waktu dan tempat yang spesifik. Semakin banyak pilihan pesan media yang tersedia bagi khalayak akan semakin baik, terutama menyangkut keberagaman isi. Jumlah pesan media pada kondisi tertentu tidak relevan dalam konteks keberagaman karena bisa saja secara kuantitas jumlah program acara media penyiaran berjumlah banyak namun ragamnya tidak terlalu banyak. Keempat, publisitas media. Informasi dalam aspek ini meliputi periklanan dan penciptaan imaji oleh media, sekaligus berarti juga kemampuan media untuk menciptakan pemasaran intensif dari berbagai produk media yang tersedia. Seringkali, khalayak lebih terpengaruh pada citra media yang bersangkutan bukan pada isi pesan media. Hal ini sebenarnya tidak selalu sejalan karena bisa jadi pesan yang berkualitas baik bisa muncul dari organisasi media yang tidak terlalu populer.
Kelima, waktu dan presentasi pesan. Seleksi dan penggunaan media dipengaruhi oleh strategi yang spesifik berkaitan dengan waktu penyampaian pesan, penjadwalan, penempatan, juga desain isi pesan. Semua itu berkaitan dengan jenis dan jumlah khalayak yang diharapkan terjangkau. Faktor terakhir ini berkaitan dengan strategi penyampaian pesan oleh media yang bersangkutan. Strategi media pada penataan dan penajdwalan pesan bisa berbeda untuk beberapa jenis media. Untuk media penyiaran penataan penyampaian pesan disebut programming, untuk media game diberi nama gameplay, sementara untuk media cetak dinamakan rubrikasi.
(lebih lengkapnya lihat buku "Panduan Riset Khalayak: Desain dan Metode untuk Lembaga Penyiaran Publik" (2011) karya Puji Rianto, Iwan Awalludin, Anna Susilaningtyas, dan Wisnu Martha)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar