Kau tahu, menurutku bukan hanya teknologi informasi dan komunikasi yang mampu menaklukkan ruang dan waktu. Dalam konteks relasi kita, rindu adalah "piranti" yang dapat menundukkan ruang-waktu yang seolah beku itu. Rindu pada dirimu tak bisa diantisipasi walau aku berusaha sangat keras: aku berusaha melupakanmu. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, aku semakin jua mengingatmu dan menginginkanmu. Tanpa pertahanan, tiada perlawanan, dirimu selaku lekat dalam benak dan hatiku.
Rindu ini membuatmu hadir terus 60 detik dalam semenit, 60 menit dalam sejam, 24 jam dalam sehari. Tidur pun aku bermimpi tentangmu dan tentang kehidupanmu yang indah itu. Tak ada jeda dalam mengingatmu. Aku tak berani bertanya apakah di sana kau merasakan hal yang sama.
Rindu ini menjadikan gambaran dirimu selalu utuh walau jarak sangat jauh memisahkan. Senyummu, caramu membicarakan hal-hal yang kau sukai; filsafat, sepakola, dan film, bahkan cara matamu mendelik bila kau merasa kuganggu bila sedang membaca atau menonton. Seolah-olah kau memang hadir di hadapanku. Seringkali bahkan kupikir aku bisa mencium wangi tubuhmu walau itu jelas manipulasi indera karena sangat merindukanmu.
Rindu itu adalah sebuah permainan di mana aku selalu kalah. Berulang-kali aku merasa bisa melewati hari tanpa memikirkanmu dengan bekerja sekeras mungkin. Nyatanya, baru semenit dua menit, aku sudah kembali mengingatmu. Semua tentangmu, banyak hal tentang yang kau sukai dan tak sukai. Lihat, bahkan aku selalu kalah telak dalam permainan "rindu".
Lalu, pada malam ketika tiada teman yang bisa diajak berbagi hari, berbincang, dan tertawa, saat aku bisa lagi memakai "topeng" tegar, aku kembali merindukanmu. Tangis yang terkadang hadir dengan diam-diam. Sampai warna hari menjadi jingga karena mentari terbit baru sungai kecil di lanskap wajahku mengering dan kemudian aku kenakan topeng yang sama lagi. Begitu terus sampai enam bulan ini. Teman-temanku, juga keluargaku menyangka aku orang yang kuat menerima kepergianmu. Kepergianmu untuk selamanya. Aku tak setegar yang mereka kira.
Lalu, aku meralat bahwa waktu bisa dikalahkan. Ruang atau jarak dalam relasi mungkin bisa ditaklukkan. Kita sudah menjalaninya sekitar tiga tahun. Aku di Yogya dan kau di Jakarta. Dan aku masih ingat berusaha keras melarangmu ke Yogya dengan sepeda motor waktu itu. Rasakan unsur petualangannya, sayang....begitu katamu. Itu kalimat yang terakhir kuingat darimu. Kalimat yang kemudian memisahkan ruang kita: ruang dunia dan ruang yang melampaui hidup.
Waktu, waktu tak bisa dikalahkan. Aku tak bisa memaksakan diri untuk hidup di waktu tiga setengah tahun dikurangi enam bulan dari sekarang. Bila mungkin aku hanya ingin hidup antara 12 Juni 2009 sampai 29 Juni 2011, dan mengulangnya kembali ketika sudah tanggal 29 Juni pukul 24.00, asalkan itu bersamamu. Aku ingin memelukku erat, berdiskusi tentang filsafat apa pun yang kau suka tanpa menunjukkan kebingunganku, kali ini aku tak akan marah bila tak mengerti, tidak memarahimu ketika begadang semalaman karena olahraga konyol di mana satu bola dikejar 24 orang itu, ah...bahkan jumlah pemainnya pun aku tak tahu pasti, aku...hanya ingin bermutasi menjadi ribuan partikel dan memasuki lini waktu lalu. Sayangnya, aku pasti tak bisa.
Rindu, tak pernah menaklukkan waktu. Serindu apa pun waktu bersama itu tak akan kembali. Sekeras apapun kita memeluk kenangan dengan rasa sayang, masa lalu tak akan hadir lagi kecuali dalam kemasannya yang lain. Bila kau itu teks, aku hanya bisa mengeja dirimu melalui tulisan-tulisan yang kau buat; puisi-puisimu di blog (kau baru menuliskan 147 puisi selama tiga tahun dari 1000 yang kau janjikan), tulisan-tulisan absurdmu di Facebook, dan beberapa cerpen yang pernah kau berikan.
Di sini, aku masih mengejamu. Meski kadang terpatah, aku ingin mengejamu dengan lembut. Mesti kadang dadaku sampai sesak karena ingin kehadiranmu, aku bahagia kau pernah hadir dalam hidupku. Aku merindukanmu, maka aku ada...di sini hidup bahagia apa adanya meski ruang dan waktu dalam relasi kita tidak sepenuhnya dapat kutaklukkan.
-- untuk seseorang yang dirinya ingin dieja dengan lembut dan disketsa dengan santun --
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar