Rabu, 04 Januari 2012

Pergi

Aku memandangi tas perjalanan yang ada di sampingku. Di bandara yang sibuk dan riuh bernama Cengkareng. Rasanya belum terlalu lama tas ini kubawa ke Nganjuk untuk menengok pakdhe yang waktu itu sakit. Tas ini pada akhirnya ikut "melayat" pakdhe karena sehari setelah aku datang menengok pakdhe pergi untuk selamanya. Duka di dalam hati belum selesai. Kini tas yang kubeli di Chennai, India, ini kubawa untuk perjalanan duka lagi. Kali ini ia kubawa ke Bandar Lampung lagi untuk melayat nyai yang tadi pagi pukul 09.00 tanggal 3 Januari 2012 pergi meninggalkan dunia ini selamanya. Nyai adalah nama lain untuk nenek, ibunya ayah. Aku tak tahu pasti seperti apa menuliskannya. Aku tidak begitu paham bahasa Lampung, terutama sub etnis Lampung keluargaku.

Benar, kedukaan membuat aku tak kritis. Biasanya aku mudah menemukan "ketidaksesuaian" di sekitarku dengan hanya melihat keadaan. Bila ada yang tak pas, hatiku akan gundah dan mencoba mencari penyebab ketidaksesuaian itu. Misalnya, maskapai penerbangan yang pesawatnya membawaku ke bandara Raden Intan masih menyebut Tanjung Karang dengan Bandar Lampung atau sebaliknya Tanjung Karang atau Bandar Lampung. Mungkin mereka yang tidak berasal dari Bandar Lampung tak tahu bahwa Bandar Lampung itu terdiri dari dua kota di masa lalu: Tanjung Karang dan Teluk Betung. Rasa gundah bisa kulewatkan juga ketika masih banyak penumpang yang mengaktifkan handphone bahkan beberapa menit sebelum pesawat lepas landas. Biasanya aku akan marah walau hanya di dalam hati.

Ini perjalanan pulang tersedih kedua setelah pulang tahun 2003 di mana ayah pada tahun itu ayahku meninggal. Ayah meninggal kurang dari dua bulan sebelum aku menikah. Rasanya, waktu itu bumi berhenti berputar. Sedih karena aku belum banyak membahagiakan ayah setelah bertahun-tahun berjuang keras menyekolahkan kami, aku dan ketiga adikku. Waktu itu perjalanan serasa begitu panjang dari Yogya ke Bandar Lampung. Hal yang sama terjadi pada perjalanan kali ini. Masih teringat sebuah kenangan delapan tahun itu wajah nyai yang sedih karena anak lelaki pertamanya meninggal. Waktu itu nyai masih segar bugar untuk seusianya.

Perjalanan dari bandara yang berasal dari nama pahlawan nasional ini juga terasa lama sekali menuju rumah duka. Aku tak tahu pasti yang kurasakan. Bukan rasa sedih yang mendalam karena mungkin ini jalan-Nya yang terbaik mengingat usia nyai yang 87 tahun. Mungkin rasa kehilangan, mungkin penyesalan karena pada pertemuan terakhir tak bisa bercakap-cakap dengan nyai karena waktu itu beliau sedang tidur. Rasa kehilangan dalam hati yang lumayan dalam karena pada usia 5 - 14 tahun nyai ikut membesarkanku selain kedua orang tuaku tentunya. Aku dan adik perempuanku tinggal di rumah nyai sampai menjelang kepindahan kami ke Yogyakarta. Aku dengar dari adik-adikku kedatanganku ditunggu sebelum nyai dimakamkan padahal waktu sudah menunjukkan pukul 21.20. Waktu yang larut untuk memakamkan.

Di rumah duka banyak keluarga yang memelukku. Kesedihan merebak. Dalam kesedihan dan kehilangan manusia memiliki mekanisme untuk menguranginya bersama-sama, begitu juga untuk memperkuatnya. Suasana begitu  mengharukan apalagi banyak anggota keluarga yang kemudian menangis lebih keras karena kata mereka aku begitu mirip ayah. Mungkin kepergian ayah yang mendadak delapan tahun itu belum mereka terima sepenuhnya. Mungkin juga semua orang yang kucintai ini memang merindukan ayah. Ayah tak pernah pergi dari hati dan pikiran mereka. Konsep "pergi" kemudian melayang-layang di benakku. Siapa yang pergi? kita memang bisa pergi kemana selain hidup dan meninggal? tidak ada individu yang benar-benar pergi bila bekasnya sudah ada di hati dan sosoknya tercetak dalam perjalanan hidup kita.

Selamat jalan nyai....nyai tak pernah pergi sepenuhnya dariku....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...