Selasa, 21 Februari 2012

Memahami Media Baru (Bagian 5 - Selesai)

Komunikasi Publik: Memperkuat Komunikasi di dalam dan untuk Masyarakat


Media baru dipandang dengan optimisme tinggi, yaitu menempatkan kembali publik, atau dalam pengertian luas masyarakat, di dalam proses komunikasi. Komunikasi publik sendiri memiliki dua definisi. Pertama, komunikasi dalam publik, yaitu proses komunikasi yang berlangsung di dalam institusi masyarakat sipil. Berkomunikasi dalam wilayah masyarakat sipil menjadikan relasi antar individu lebih dekat dalam fungsi relasi untuk integrasi dan saling memahami, bukan untuk mencari profit atau “menguasai” individu lain. Artinya proses komunikasi yang terjadi di dalam ranah masyarakat dan dilakukan oleh individu dalam masyarakat. Motif utamanya adalah sosiokultural, yaitu mengutamakan terciptanya relasi, mengelola konflik, dan saling memahami antar kelompok dengan baik.

Kedua, komunikasi publik dapat bermakna proses komunikasi untuk publik atau bervisi kepublikan, untuk institusi masyarakat sipil. Publik adalah bagian dari masyarakat yang rasional, terbuka, dan bergerak untuk banyak orang, pelibatan dan berguna. Proses komunikasi macam ini bisa terjadi di dua wilayah yang lain, negara dan pasar, tidak hanya ranah masyarakat. Negara mesti berperan di sini, antara lain menyediakan media dan sarana pendukung yang digunakan untuk masyarakat. Untuk media penyiaran, apa yang sudah berusaha kita bentuk, lembaga penyiaran publik, adalah contoh terbaik. Untuk media baru, kita masih menunggu strategi yang bagus dari pemerintah, bagian dari negara, untuk membuat masyarakat mendapatkan haknya atas informasi melalui ketersediaan “kanal” yang memadai.

Untuk meningkatkan kualitas pada isi media baru, paling tidak ada dua hal yang mesti diperhatikan. Pertama, produser atau kreator menyadari sepenuhnya makna remediasi yang menjamin dua esensi komunikasi tercapat, keterbukaan dan otonomi individu, sekaligus relasi yang memadai dengan individu lain. Isi media internet jangan sampai hanya “membicarakan” diri sendiri atau lebur dalam kepentingan pihak lain. Relasi yang memberdayakanlah yang berusaha diwujudkan melalui isi media internet.

Kedua, semua jenis media baru, terutama internet, berpotensi untuk memperkuat publik asalkan kita mengetahuinya. Dengan demikian, isi media baru diarahkan pada pelibatan individu untuk saling berkolaborasi satu sama lain sesuai dengan premis awal bahwa internet adalah media terbuka. Bila isi media internet ternyata bermotif politis atau pun ekonomi, fungsi sosiokulturalnya tetaplah dimasukkan. Bila sudah lebih mengutamakan komunikasi publik, maka “teman” yang tercipta akan lebih banyak. Kembali pada kutipan dari film the social network di awal tulisan, apalah artinya mempunyai sedikit musuh bila kita punya begitu banyak teman? dan teman yang banyak akan berarti lebih bila semua kolaboratif mencapai tujuan bersama dengan bantuan media baru yang telah “terbuka” dari awal kehadirannya.

Walau optimisme sangatlah kuat terhadap media baru, bukan berarti media baru tidak memiliki persoalan bagi kita sebagai individu dan bagian dari publik. Apa sesungguhnya persoalan di dalam media baru? Paling tidak ada dua persoalan penting yang penulis sebut sebagai “tegangan”. Bisa jadi memang tegangan tersebut memang persoalan, namun bisa jadi juga tegangan tersebut adalah potensi atau kesempatan baru yang diberikan oleh media baru.

Internet dan semua jenis media baru, memang potensial memberikan kontribusi positif pada kehidupan bersama. Walau memiliki efek negatif, kita harus tetap optimis pada media baru. Memilih bersikap optimis atas peran media baru dalam kehidupan bersama bukan berarti media baru tidak memiliki efek negatif. Paling tidak ada dua hal penting yang mesti diperhatikan, yaitu “tegangan realitas” dan “tegangan identitas” dari penggunaan media baru.

Pertama, tegangan realitas, di mana pengguna media baru memiliki kemungkinan tidak dapat memadukan realitas sosial sesungguhnya dengan realitas media, baik lama dan baru. Hal ini bisa terjadi bila seorang individu yang mengakses media baru merasa menemukan hal-hal baru yang mengasyikan di dunia barunya tersebut dan menganggap bahwa kehidupan yang sesungguhnya kurang mengasyikkan. Agar tegangan realitas ini tidak terjadi, sepertinya para pengguna media baru, beberapa komunitasnya, sudah menemukan cara mengatasinya walau pada kasus lain realitas maya di media baru justru menjadi lebih penting dari realitas sesungguhnya. Berkomunikasi di dunia maya sebaiknya dipadankan dengan berkumpul secara rutin, misalnya melalui “temu blogger” atau melalui “kopdar” sesama anggota komunitas maya tersebut. Seperti halnya media lama, media baru hadir untuk menjadi “perluasan” manusia. Bila pada media lama menjadi perluasan pikiran manusia seperti kata Marshall McLuhan, pada media baru, perluasan manusia itu bahkan menjadi perluasan atas eksistensinya pada dunia maya.

Kedua, tegangan yang terjadi adalah tegangan identitas. Tegangan kedua ini bisa terjadi ketika individu tidak cukup kuat meleburkan diri sekaligus berposisi ketika berinteraksi dengan komunitasnya. Idealnya, individualitas tidak “dihilangkan” oleh kolektivisme, begitu pula sebaliknya. Seringkali ada yang beranggapan bahwa individualitas mesti dileburkan sepenuhnya di dalam komunitas. Atau hal yang negatif lainnya, memaksakan kedirian personal terlalu masuk ke dalam komunitas. Idealnya, media semestinya menjembatani diri dan kelompok dalam berkomunikasi. Media baru memperluas eksistensi seseorang individu bukannya malah “mengamputasinya”. Pada titik inilah menurut penulis media baru berperan lebih baik dibandingkan media massa atau media lama, sebab tanpa perluasan eksistensi ini, tidak akan muncul partisipasi sosial kolektif.

Tegangan identitas dan tegangan realitas pun saling mempengaruhi satu sama lain. Kemudian ada semacam kekhawatiran bagaimana media baru justru menghilangkan relasi dalam dunia sesungguhnya. Banyak pihak melihat bahwa anak muda Indonesia sangat aktif di dunia maya, namun tidak demikian halnya untuk keaktivan di dunia nyata. Menurut penulis, bukan berarti mereka tidak menghargai dunia nyata dan relasinya, tetapi dalam kasus kita di Indonesia, kita memang lebih nyaman berinteraksi dalam dunia maya di mana perbedaan dan keberagaman dihargai dan dianggap sebagai rahmat. Sementara di dalam dunia nyata kita, perbedaan justru melahirkan konflik yang terkadang membahayakan inidvidu. Apresiasi terhadap perbedaan di dalam dunia nyata tidaklah sebaik di dunia maya. Inilah hal-hal yang belum selesai dan masih berkembang berkaitan dengan perkembangan media baru dan implikasinya bagi interaksi sosial. Kita perlu memperbaiki kondisi kehidupan, tidak hanya di dunia maya, namun di dunia nyata kita, yang selama ini cenderung kita terima apa adanya.

*****




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...