Dia masih menatap kosong monitor di depannya. Sudah sekitar seperempat jam tidak ada tulisan yang bisa diketikkan di keyboard dan muncul di layar monitor. Semua yang dia pikirkan dan rasakan hanya ada di dalam diri dan kelihatannya terlalu kacau dan kompleks untuk menjadi sebuah tulisan bahkan untuk satu kalimat pun tidak muncul juga. Janjinya pada diri sendiri belum jua ditepati. Tahun ini dia berjanji untuk menulis paling tidak dua tulisan per hari setelah tahun-tahun sebelumnya hanya satu tulisan per hari. Ternyata menulis itu seperti ombak, kadang bisa berdebur kencang, kadang kecil saja, kadang juga tidak ada sama sekali bila tak ada angin. Tetapi dia berusaha tidak panik. Keadaan seperti ini datang terus. Menulis juga mengalami pasang surut walau kini surutnya semakin lebih kerap datang.
Menulis baginya kini adalah sebuah kondisi eksistensial. Menulis, bahkan bila tidak menulis, ada rasa perih yang tak lepas dari kondisi "mengada". Bila menulis tetapi dia merasa tak puas dengan tulisannya, ada rasa "perih" di dada. Mengapa aku tak bisa menulis dengan bagus? tanyanya pada diri sendiri. Apalagi bila cukup lama, sekian hari, tak menulis. Ada luka menganga sepertinya. Ada kondisi dan keadaan yang "bolong" di dalam dirinya. Dia mengingat salah satu pengalaman anehnya. Dia dengan antusias menyampaikan pada istrinya bahwa tulisan-tulisannya yang sempat hilang di FB muncul lagi dan itu membuatnya semangat menulis lagi. Sementara istrinya menyampaikan thesis sudah selesai ditulis dan akan ujian pendadaran beberapa hari lagi. Dia ingat sekali lagi betapa rasanya hatinya mencelos. Dia hanya sekadar menyampaikan antusiasmenya yang kembali lagi dalam menulis sementara istrinya menyampaikan pencapaian yang jauh lebih besar: menulis satu karya yang sekaligus merupakan suatu kewajiban. Dia sendiri sampai sekarang belum menyelesaikan kewajiban menulis akademiknya yang telah tertunda tiga tahun. Semestinya sudah mewujud sekarang, begitu sesalnya.
Dia agak menyesali mengetahui konsep eksistensialisme. Sungguh sebuah konsep yang "mewah" untuk dipahami namun ketika dirasakan sendiri, rasanya sungguh tak enak. Ternyata penderitaan batin dan kekosongan dalam diri bisa hadir karena dia belum atau tidak melakukan aktivitas yang dia pikir, dan semestinya, menjadi aktivitas utama hidupnya, selain meneliti dan menyampaikannya di diskusi. Eksistensialisme bukan sekadar mendalami keadaan "mengada" namun menunjukkan dengan jelas bahwa manusia tidak mungkin tidak menderita dalam proses "mengada" itu.
Dia merasa kosong. Namun perlahan optimisme dan antusiasme itu muncul lagi. Muncul sedikit demi sedikit dan perlahan tetapi tetap hadir. Eksistensialisme tidak melulu berbincang tentang "penderitaan". Walau sepintas tak ada jalan keluar dalam kondisi "mengada", manusia adalah makhluk yang cerdas pikiran dan hatinya, dan akan selalu menemukan jalan keluar dari kondisi yang dihadapinya, sesulit apa pun kondisi tersebut. Karena itulah, dia mencoba "mengada" sekali lagi, terutama dalam aktivitas menulis karena menulis adalah kondisi eksistensial dirinya, karena menulis adalah pekerjaan utamanya. Dia harus tetap antusias dan optimis dalam menulis. Dimulai kembali dengan tulisan cepat ini. Dia ingin keadaan mengadanya benar-benar bisa dinikmati dan menghasilkan tulisan demi tulisan.
Tiba-tiba keyboard menjadi sahabat jejarinya lagi....
Pelan-pelan dia menulis lagi....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar