Jumat, 10 Februari 2012

Problem Media Penyiaran di Indonesia

Permasalahan utama dalam media penyiaran Indonesia adalah tidak konsistennya pemerintah sebagai salah satu regulator penyiaran Indonesia, mandulnya regulator penyiaran yang lain, Komisi Penyiaran Indonesia, dan ketidaktaatan penyelenggara penyiaran di Indonesia, terutama stasiun televisi swasta yang beroperasi secara nasional. Di atas semuanya, ketidaktaatan pada regulasi utama media penyiaran adalah hulunya, yaitu pengabaian terhadap Undang Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang sudah berlangsung selama satu dekade.



Berikut ini pasal-pasal yang tidak ditaati tersebut atau minimal memerlukan penjelasan lebih mendetail pada regulasi yang berada di bawahnya, seperti Peraturan Pemerintah. Pasal-pasal tersebut adalah:


Pasal 6


(1) Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional.


(2) Dalam sistem penyiaran nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


(3) Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal.


(4) Untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi penyiaran.


Coba kita lihat penjelasan Pasal 6 tersebut:


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan pola jaringan yang adil dan terpadu adalah pencerminan adanya keseimbangan informasi antardaerah serta antara daerah dan pusat.


Hanya satu ayat yang dijelaskan di dalam UU, yaitu ayat (3). Penjelasan ini pun tidak memberikan penjabaran yang utuh mengenai stasiun berjaringan dan jenis penyiaran apa saja yang mesti membentuk stasiun jaringan. Ayat-ayat yang lain di dalam Pasal 6 ini tidak dijelaskan, padahal ayat (2) memerlukan penjelasan yang lebih memadai, terutama untuk menjawab pertanyaan: bagaimana negara menggunakan spektrum frekuensi radio untuk sebesar-besarnya kemampuan rakyat?

Pada regulasi yang merupakan turunannya juga tidak ditemukan penjelasan yang memadai mengenai Sistem Siaran Berjaringan. Tafsir yang kemudian muncul oleh Lembaga Penyiaran Swasta adalah "hanya" menyiarkan konten bermuatan lokal pada pagi hari. Tafsir ini tidak memadai sebagai implementasi UU Penyiaran.Pasal kedua yang diabaikan adalah Pasal 18, yang berbunyi sebagai berikut:


(1) Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.


(2) Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi.


(3) Pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran lokal, regional, dan nasional, baik untuk jasa penyiaran radio maupun jasa penyiaran televisi, disusun oleh KPI bersama Pemerintah.


(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pembatasan kepemilikan silang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.


Tidak ada penjelasan untuk pasal yang sebenarnya sangat krusial karena mengatur kepemilikan lembaga penyiaran, juga kaitannya dengan kepemilikan institusi media yang lain selain media penyiaran. Kita bisa berargumen bahwa penjelasan yang memadai akan muncul dalam peraturan di bawahnya, terutama Peraturan Pemerintah. Ternyata dugaan tersebut salah. Persoalan kepemilikan dan pemindahtangan ijin siaran inilah yang menjadi problem mendasar bagi dunia media penyiaran Indonesia. 


Pasal ketiga UU nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang memerlukan elaborasi lebih mendalam dan implementasi yang lebih tegas adalah Pasal 20. Pasal tersebut berbunyi:


Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi masing-masing hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu) saluran siaran pada 1 (satu) cakupan wilayah siaran.


Di dalam UU Penyiaran sendiri tidak ada penjelasan terhadap pasal ini. Hal yang sungguh disayangkan mengingat pasal ini sangat penting.


Pasal keempat adalah Pasal 31, yang berbunyi:


(1) Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiara radio atau jasa penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun penyiaran lokal.


(2) Lembaga Penyiaran Publik dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah negara Republik Indonesia.


(3) Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas.


(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sistem stasiun jaringan disusun oleh KPI bersama pemerintah.


(5) Stasiun penyiaran lokal dapat didirikan di lokasi tertentu dalam wilayah negara Republik Indonesia dengan wilayah jangkauan siaran terbatas pada lokasi tersebut.


(6) Mayoritas pemilikan modal awal dan pengelolaan stasiun penyiaran lokal diutamakan kepada masyarakat di daerah tempat stasiun lokal itu berada.


Dari enam ayat yang ada di dalam pasal ini hanya satu ayat yang dijelaskan, yaitu Ayat (6). Penjelasan ayat tersebut adalah sebagai berikut:


Yang dimaksud dengan diutamakan ialah diberikan prioritas kepada masyarakat di daerah itu atau yang berasal dari daerah itu. Mayoritas pemilikan modal awal dan pengelolaan stasiun hanya dapat diberikan kepada pihak dari luar daerah apabila masyarakat setempat tidak ada yang berminat.


Sama seperti pasal lain yang perlu dijelaskan dengan memadai, pasal ini juga sangat krusial dalam menentukan arah sistem penyiaran Indonesia. Kelima ayat yang lain di dalam Pasal 31 ini dibiarkan terbuka dan menjadi pintu masuk bagi multitafsir yang pada akhirnya merugikan masyarakat Indonesia.


Pasal terakhir yang memerlukan penjelasan lebih mendalam dan penegakan yang lebih tegas adalah Pasal 34. Pasal ini berbunyi:


(1) Izin penyelenggaraan penyiaran diberikan sebagai berikut:


a. Izin penyelenggaraan penyiaran radio diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun;


b. Izin penyelenggaraan penyiaran televisi diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun.


(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b masing-masing dapat diperpanjang.


(3) Sebelum memperoleh izin tetap penyelenggaraan penyiaran, lembaga penyiaran radio wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 6 (enam) bulan dan untuk lembaga penyiaran televisi wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 1 (satu) tahun.


(4) Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain.


(5) Izin penyelenggaraan penyiaran dicabut karena:


a. tidak lulus masa uji coba siaran yang telah ditetapkan;


b. melanggar penggunaan spektrum frekuensi radio dan/atau wilayah jangkauan siaran yang ditetapkan;


c. tidak melakukan kegiatan siaran lebih dari 3 (tiga) bulan tanpa pemberitahuan kepada KPI;


d. dipindahtangankan kepada pihak lain;


e. melanggar ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran; atau


f. melanggar ketentuan mengenai standar program siaran setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.


(6) Izin penyelenggaraan siaran dinyatakan berakhir karena habis masa izin dan tidak diperpanjang kembali.


Penjelasan dari pasal ini juga tidak memadai. Hanya Ayat (4) yang dijelaskan, itu pun masih ditafsirkan berbeda oleh pihak penyelenggara penyiaran. Penjelasan ayat tersebut adalah sebagai berikut:


Yang dimaksud dengan izin penyelenggaraan penyiaran dipindahtangankan kepada pihak lain, misalnya izin penyelenggaraan penyiaran yang diberikan kepada badan hukum tertentu, dijual, atau dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain.


Secara tekstual Undang Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran lumayan bagus walau pasal-pasalnya perlu dijelaskan lebih memadai, namun undang-undang ini sejak awal ditolak oleh lembaga penyelenggara penyiaran, yaitu pihak stasiun televisi yang tergabung dalam Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) . Penolakan tersebut terutama disebabkan oleh kondisi yang sudah telanjur menguntungkan pihak televisi swasta. Sejak undang-undang ini disahkan ATVSI sudah melakukan gerakan anti UU Penyiaran dengan melakukan kampanye hitam bahwa UU Penyiaran telah mematikan kebebasan pers. Pihak televisi swasta berusaha mempengaruhi masyarakat dengan menayangkan sejenis Iklan Layanan Masyarakat (Public Service Announcement) yang menunjukkan suasana “berkabung” atas matinya kebebasan pers sebagai akibat disahkannya UU Penyiaran. Selain itu, pihak stasiun televisi yang beroperasi secara nasional tersebut juga berupaya menyiarkan program acara talkshow yang mendeskreditkan UU Penyiaran ini (lihat Syah, 2011: 94).


Setelah satu dekade UU Penyiaran diberlakukan, paling tidak ada tiga hal yang belum juga ditegakkan oleh UU ini. Tiga hal tersebut adalah sistem siaran berjaringan bagi Lembaga Penyiaran Swasta televisi, pemindahtanganan izin siaran, belum jelasnya masalah perizinan siaran, dan munculnya Lembaga Penyiaran Publik lokal. Pertama, penerapan sistem televisi berjaringan yang tidak membolehkan stasiun televisi swasta bersiaran secara nasional melainkan meliputi beberapa wilayah siaran yang terbatas, sampai tahun 2012 ini belum juga dipenuhi. Sistem berjaringan bahkan telah berkali-kali mengalami penundaan. Pada akhir 2007 misalnya, Menkominfo pada waktu itu, Muhammad Nuh, menyatakan bahwa penerapan sistem televisi berjaringan akan ditunda sampai Desember 2009 (Armando, 2011: 258).


Permasalahan kedua adalah pemindahtanganan izin penyiaran yang tidak dibolehkan di dalam UU Penyiaran. Kenyataannya, kini sepuluh stasiun televisi yang semestinya berjaringan namun bersiaran secara nasional, dimiliki semakin sedikit perusahaan karena pemindahtanganan kepada pihak lain. Pemindahtanganan ini terjadi pada stasiun televisi TV7 kepada pihak Trans Corporation yang sudah memiliki Trans TV, pemindahtanganan izin siaran TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) dan Global TV kepada pihak MNC yang telah mempunyai RCTI, pemindahtanganan Lativi menjadi TV One, dan mergernya Indosiar dan SCTV.


Permasalahan berikutnya adalah masalah perijinan yang tidak jelas. Hal ini dipicu oleh munculnya Kompas TV yang diluncurkan kepada publik pada tanggal 17 Agustus 2011 kemarin. Sebelum acara peluncuran tersebut, KPI merilis legal opinion yang menyatakan Kompas TV belum memiliki izin siaran. Pihak Kompas TV kemudian menjawab bahwa mereka bukan stasiun televisi melainkan penyedia konten (content provider) untuk stasiun televisi, terutama stasiun televisi lokal. Kasus Kompas TV menunjukkan bahwa masalah perizinan perlu tegas diatur dengan detail, termasuk misalnya struktur kepemilikan untuk lembaga penyiaran lokal.


Permasalahan terakhir yang bisa dilihat adalah munculnya Lembaga Penyiaran Publik lokal di beberapa daerah. Lembaga penyiaran tersebut adalah stasiun radio yang awalnya dimiliki dan dikelola oleh pemerintah. UU Penyiaran telah menentukan bahwa hanya dikenal tiga jenis lembaga penyiaran, yaitu Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Komunitas, dan Lembaga Penyiaran Swasta. Lembaga penyiaran yang dijalankan oleh pemerintah tidak lagi dibolehkan. Bila ada lembaga penyiaran yang dikelola oleh pemerintah sebelum UU Penyiaran disahkan, lembaga penyiaran tersebut mesti berubah menjadi Lemabaga Penyiaran Komunitas atau Lembaga Penyiaran Swasta. Perubahan bentuk stasiun radio yang sebelumnya dijalankan oleh pemerintah menjadi Lembaga Penyiaran Publik lokal dimungkinkan sejauh di daerah di mana LPP lokal didirikan tidak terjangkau oleh RRI dan TVRI. Argumen tersebut muncul karena sesungguhnya di dalam UU Penyiaran sudah diatur bahwa yang dimaksud dengan Lembaga Penyiaran Publik adalah RRI untuk radio dan TVRI untuk televisi.


*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...