Selasa, 13 Juli 2010

Hidup adalah Kumpulan Interaksi dan Paradoks-paradoksnya


Kehidupan ini adalah paradoks tak berujung. Kalimat inilah yang menjadi esensi dari film “Up in the Air” yang baru saya tonton. Menurut saya, film ini bagus dan tidak biasa. Film bagus itu bagi saya indikatornya sederhana saja. Pertama, suatu film bagus karena menyampaikan hal-hal biasa dengan cara yang “luar biasa”, atau paling tidak, menyampaikan isi pesannnya dengan cara berbeda. Atau kedua, film yang bagus bisa juga menyampaikan hal luar biasa dengan cara yang biasa atau normal. Sebagai tambahan, sebuah film akan bagus bagi saya bila Original Soundtrack-nya juga bagus. Saya tidak pernah salah dalam melihat film berdasarkan OST-nya ini. Semua film yang OST-nya saya sukai biasanya bagus. Sebut saja film-film Quentin Tarantino, mulai “Pulp Fiction” sampai “Kill Bill”. Untuk film “pop”, film yang melibatkan Drew Barrymore biasanya mempunyai OST yang bagus dan melibatkan lagu-lagu dari dekade 1980-an.

Banyak film yang saya “timbun” di rumah. Saya belum sempat menonton film-film tersebut karena beberapa penyebab, antara lain fokus saya lebih pada beberapa kerjaan yang belum selesai dan album-album musik yang belum saya takar. Hasrat terbesar saya pada pesan media adalah musik rekaman, yang lain menyusul di belakangnya. Tetapi beberapa malam itu berbeda. Tidak ada siaran Piala Dunia karena sedang istirahat menunggu partai perempat-final. Juga tidak ada album musik yang mesti saya akses. Bermain game FM juga tidak lagi mengasyikkan karena ada pertandingan yang asli di Piala Dunia. Sementara, salah satu tugas wajib sudah saya selesaikan sambil menunggu mengerjakan tugas selanjutnya.

Karena itulah saya menonton film ini. Awalnya, saya menganggap film ini biasa saja, tipikal film-film Hollywood yang bercerita tentang hal biasa dengan cara biasa pula. Ternyata saya salah. Banyak hal baru saya pahami dari satu adegan ke adegan yang lain. Selain itu cara menyampaikan beberapa topik yang relatif banyak dengan “mulus” dan enak diikuti, adalah hal lain yang saya pahami dari film ini. Film ini bercerita tentang Ryan Bingham (diperankan oleh George Clooney), seseorang yang tugasnya menyampaikan kabar pemecatan pada orang lain. Film ini sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat Amerika Serikat yang sedang menghadapi banyak pemutusan kerja sebagai akibat krisis ekonomi yang berat. Bagian awal film yang berkisah tentang komentar orang yang dipecat adalah salah satu bagian yang bagus dalam film ini.

Ryan melakukan pemecatan, seperti yang dinarasikan olehnya, karena orang yang seharusnya menyampaikan berita tersebut terlalu takut untuk menyampaikannya langsung. Menarik bagaimana melihat respon orang0-orang yang dipecat pada Ryan, mereka marah tetapi sadar tidak bisa berbuat apa-apa pada Bingham yang “hanya” menjalankan tugasnya.

Ryan juga memiliki pekerjaan “kedua”, sebagai motivator untuk orang-orang yang berprofesi mirip dengannya. Metafora kehidupan sebagai tas perjalanan yang dibawa ketika kita pergi realtif baru walau sebenarnya sudah pernah disampaikan U2 dalam lagu-lagunya di album “All You can’t Leave Behind”, yang dirilis pada tahun 2000. Ryan berfilosofi bahwa semakin sedikit hubungan kita dengan manusia lain, akan semakin mudah dan efisien kehidupan kita, terutama untuk mencapai sesuatu yang kita tuju.
Di dalam perjalanan itulah dia bertemu dengan Alex Goran (diperankan oleh Vera Farmiga), yang juga memiliki profesi yang mengharuskannya terbang mengitari Amerika tetapi jumlah jarak penerbangannya masih kalah dibandingkan Bingham. Bermula dari obrolan biasa dan berbagi tentang motif masing-masing menempuh perjalanan sering dan jauh dengan pesawat terbang, hubungan cinta mereka terus berkembang dengan cara mencari “titik singgung” di kota-kota pertemuan dalam perjalanan mereka masing-masing.

Interaksi lain yang juga penting adalah dengan Natalie Keener (diperankan oleh Anna Kendrick). Pekerja baru di tempat Bingham bekerja. Pekerja baru yang brilian tetapi membawa ide yang kemungkinan besar menghilangkan keharusan Bingham untuk “terbang” lagi. Natalie mengusulkan kabar pemecatan tersebut disampaikan secara online yang sejak awal ditentang oleh Bingham. Natalie-lah yang meminta Bingham untuk “membuka” dirinya pada Alex. Di dalam interaksi inilah keduanya belajar dari masing-masing. Bingham belajar bagaimana untuk tetap optimis dan membuka diri pada orang lain, sementara Natalie belajar untuk menerima realitas pahit dalam berinteraksi cinta dengan orang lain.

Interaksi ketiga yang digambarkan di film ini adalah interaksi di dalam keluarga. Bingham adalah orang yang jarang berinteraksi dengan keluarganya, tetapi sewaktu kakak perempuannya, Kara, memintanya untuk membantu Julie mengumpulkan foto dari kota-kota yang dia kunjungi, Ryan Bingham mulai “kembali” pada keluarganya. Dia menghadiri pernikahan adiknya Julie bersama Alex. Cara film berkisah tentang karakter Ryan melalui kunjungannya inilah yang menarik dan pas porsinya sehingga film ini terasa tidak mengulur-ngulur adegan seperti sinetron-sinetron di layar televisi kita.

Interaksi yang juga penting dengan manusia lain adalah interaksi Ryan dengan rekan sekaligus boss-nya, Craig Gregory (diperankan oleh Jason Bateman). Interaksi tersebut digambarkan egaliter, kemungkinan karena mereka berdua rekan kerja dan sudah lama bekerja sama. Rangkaian dialog antara Ryan dan Craig, terutama saat Craig mengenalkan inovasi yang dibawa oleh Natalie, adalah percakapan yang “tegang” antara rekan sekaligus boss.

Lalu di mana paradoksnya? Paradoks yang paling penting berasal dari keseluruhan film, yaitu bagaimana menyampaikan berita buruk pada para pekerja oleh orang yang tidak saling mengenal. Interaksi dengan orang lain yang baru dikenal dengan konsekuensi yang menakutkan ternyata lebih mungkin dilakukan. Sementara itu, paradoks terpenting dari film ini terletak pada interaksi cinta dan interaksi kerja Ryan. Interaksi cinta Ryan dan Alex menjadi sebuah paradoks ketika Ryan membuka dirinya lebih. Ketika dia ingin mengejar cinta Alex, ternyata dia keliru besar karena Alex sudah memiliki keluarga. Inilah paradoks terbesar di film yang jarang muncul di film-film Hollywood. Tadinya saya kira film ini tipikal penyelesaiannya. Ternyata tidak sama sekali.

Paradoks kedua terbesar adalah bagaimana Ryan belajar dari Natalie mengenai prinsip hidupnya yang absurd. Filosofi kehidupan bisa “dimasukkan” ke dalam tas perjalanan adalah konsep yang absurd. Itu yang disampaikan oleh Natalie pada Ryan walau pada akhirnya Natalie juga belajar dari Ryan tentang kenyataan pahit interaksi dengan manusia lain. Di dalam konteks kerja ternyata pada akhirnya pemahaman Ryan yang benar. Inovasi yang dibawa Natalie untuk menyampaikan pemecatan melalui internet ternyata salah. Pemahaman Ryan bahwa pemecatan mesti menunjukkan emosi secara langsung dengan elegan adalah pemahaman yang benar.

Interaksi dengan keluarga ternyata juga memiliki paradoks. Ryan jarang sekali berinteraksi dengan keluarganya, terutama karena sebagian besar hidupnya yang dihabiskan di perjalanan. Walau begitu Ryan mengangetkan keluarganya dengan datang ke pesta pernikahan Julie dan menjadi “pahlawan” dengan membujuk calon suami adiknya untuk tetap menjalankan upacara pernikahan. Kemampuan motivator Ryan justru muncul pada saat yang penting.

Tidak hanya itu, paradoks juga muncul di akhir film ketika jarak perjalanan Ryan sudah mencapai satu juta mil. Ryan adalah orang termuda yang mencapai jarak tersebut. Harapan inilah yang sejak awal dikejar olehnya, termasuk digunakannya untuk merayu Alex. Ironisnya, ketika Ryan mencapai jarak itu, dia justru tidak menyadarinya. Paradoks cantik terakhir!

Di luar filmnya, OST-nya juga bagus sekali. Album soundtrack film ini mampu menggambarkan filmnya: saat-saat penerbangan yang sepi, kepedihan dan keriaan dari interaksi dengan manusia lain, dan optimisme pada interaksi tersebut. Kehadiran Elliott Smith di OST film ini juga menyenangkan saya. Penyanyi paling sendu di dunia favorit saya ini mampu menggambarkan kepedihan dan kemustahilan mendapatkan cinta dalam hidup. Inilah pandangan hidup yang mungkin membuatnya mengakhiri hidup justru di tengah puncak karir bermusiknya. Paradoks kehidupan yang lain.

Film ini membuat saya ingin terus mencari dan mengakses film-film lain, tak hanya mendengarkan album musik. Film ternyata mengasyikkan juga untuk diakses dan ditakar-takar. Sesuatu yang agak telat saya ketahui. Saya ingin mencari paradoks-paradoks yang lain dalam teks media….walau mungkin bisa saja paradoks-paradoks itu mudah saya temukan di kehidupan sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...