Sabtu, 10 Juli 2010

Musik untuk Mencintai (dan Mungkin Untuk Memusuhi)


Teman, kapan terakhir kali kau menangis? benar-benar menangis yang berasal dari dalam diri, bukan menangis karena orang-orang lain lebih dulu menangis. Aku baru-baru ini menagis. Ya, benar-benar menangis. Tidak keras memang, dan juga tanpa air mata yang menetes. Hanya tangis bisu untuk hati yang sendu. Aku kira, kau yang mengenalku cukup lama, sudah paham bahwa aku tidak pernah menangis. Bagiku hidup ini memang sudah tragedi dari sananya. Jadi tak ada gunanya menangis.

Teman, kau pun mungkin akan tertawa, atau paling tidak tersenyum, bila kau tahu penyebab yang membuatku menangis. Aku menangis karena mendengarkan sebuah lagu. Judul lagu itu "My Angels". Aku jadi teringat dengan orang-orang yang kucintai. Betapa lama waktu aku melupakan mereka. Betapa banyak kesempatan aku tidak memperhatikan mereka dengan tulus dan memadai. Lagu tanpa lirik itu betul-betul menghunjam sukmaku. Rasa sendu dan penyesalan mengalir terus semenjak aku mendengar lagu itu.

.......

Aku membaca email dari rekanku itu berulang-kali. Tidak percaya dia menuliskan hal yang melankolis seperti itu. Adalagi hal yang membuatku kaget, dia menyebut diriku teman. Apa yang menjangkiti hatinya sehingga "permusuhan" kami bertahun-tahun ini seperti menguap begitu saja. Dia menyebutku teman dengan indah lagi. Aku tak habis pikir dengan ucapannya. Aku tahu dia memang seringkali mengungkap isi hati penuh melankolia. Dia pernah menulis puisi dengan rajin walau belakangan ini tidak lagi menulis puisi di FB-nya. Tetapi menjadikan aku tujuan surat elektronik dengan menyebutku teman. Sakit apa pula "mantan temanku" ini?

Bukan aku sebenarnya yang menyebut "mantan teman" lebih dulu. Dia lah yang melakukannya pertama-kali. Aku sadar aku sudah lama tidak berinteraksi dengannnya dengan dekat akhir-akhir ini, karena itulah aku menggunggah foto kami di akun FB-ku. Bukan hanya foto kami berdua, tetapi bertiga. Dulu sekitar satu setengah dekade lalu kami begitu dekat. Aku tidak berharap apa-apa. Hanya ingin mengupload "kenangan" kami dulu. Dia mau berkomentar atau tidak, itu pilihannya.

Lalu, muncul komentar yang menyakitkan di foto yang aku unggah itu. Dia berkomentar begini: itu kan dulu, waktu kita berteman dekat. Satu teman sudah "kumatikan" sejak tahun 2000. Satunya lagi, dirimu, aku "matikan" sebagai teman dekat pada tahun 2007, bersama lima orang mantan teman yang lain". Aku tidak kaget sebenarnya karena toh beberapa tahun terakhir kami memang tidak dekat. Aku hanya kaget dengan keterus-terangannya. Ibarat menggaris-bawahi sesuatu yang sudah terlihat jelas. Aku agak menyesal mengunggah foto kami itu. Permainan sakit menyakiti ini sepertinya jadi tidak pernah berakhir. Sepertinya dia juga tidak ingin mengakhirinya.

Aku tetap bertanya-tanya, apa yang membuatnya merubah persepsinya mengenai aku sebagai teman-mantan teman? aku tak tahu, tetapi aku mencoba memahaminya dengan mendengarkan lagu yang dia katakan membuatnya menangis. Lagu tersebut dibawakan oleh Indro Hardjodikoro dan termaktub di dalam album "Feels Free" yang baru saja dirilis. Mudah saja mencarinya karena album ini sudah ada di beberapa toko CD yang mulai langka di Yogyakartaa. Segera aku putar lagu "My Angels" dan kemudian aku merasakan emosi yang relatif sama dengan temanku tadi. Perasaan sendu dan ingin memaafkan segalanya.

"My Angels" aku baca sebagai metafor atas orang-orang yang kita cintai atau pernah kita cintai. Orang yang dekat dan yang pernah dekat dengan kita. Terus terang, perasaannya yang terkuat adalah munculnya keinginan untuk berbuat hal terbaik untuk istri dan anak semata wayangku. "My Angels" yang dekat dengan diriku. Bahkan aku rela mati untuk dua orang yang paling kucintai ini. Lalu kemudian terbayang teman-teman dekat dan mantan teman-temanku, apakah aku sudah melakukan hal-hal terbaik untuk mereka? apakah aku tidak membuat luka permanen di dalam hati mereka seperti yang diasumsikan kulakukan pada temanku si pengirim email? apakah konflik masa lalu, langsung ataupun tidak langsung, mengubah personalitas dan interaksinya? beberapa tanya terus saja bergelayut.

Aku terus mendengarkan album ini. Sudah terlanjur membelinya dan berarti aku mesti mendengarkannya sampai selesai. Semua lagu bagus. Aku jadi ingin bercerita banyak karena album ini, musik tanpa lirik memang cenderung mengundang kita untuk berkontemplasi dan memaknainya secara personal di dalam hati. Ada hasrat kuat untuk mengisi lirik versi kita sendiri ketika mendengarkan lagu instrumental. Lagu "My Angels" yang merupakan duet Indro, dan sohibnya, Tohpati, memang lagu dengan komposisi paling kuat dan paling potensial melumerkan kekerasan hati. Bukan berarti lagu-lagu lain tidak bagus. Lagu-lagu lain lumayan bagus, terutama bagi dirinya yang tidak dekat dengan nuansa jazz.

Album yang dirilis oleh "Indro Hardjodikoro" ini berjudul "Feels Free" dan relatif baru dirilis. Total ada sepuluh lagu di sini yang semuanya instrumental dengan bass, instrumen yang dimainkan Indro sebagai fokus, yaitu:

1. Titik Awal
2. I Like Surprises
3. My Angels
4. Greenland
5. Feels Free
6. Psychopath
7. Drum & Bass
8. Menyapa Pagiku
9. Lost City
10. Senja

Aku ingin berterima kasih pada temanku yang telah memperkenalkan album ini. Paling tidak, pengetahuan musikku sedikit bertambah. Sebelumnya, aku tidak tahu bassis Indonesia yang keren seperti Indro Hardjodikoro. Aku hanya tahu Mark King, bassis Level 42, dan John Taylor, bassis Duran Duran, yang menjadi model bagi karakter fiksi terkenal 1980-an, Lupus. Pengetahuanku kebanyakan merujuk pada musik Barat dan hanya yang berasal dari dekade 1980-an.

Aku juga ingin berterima kasih pada temanku yang telah mengakhiri permusuhan kami selama kurang lebih tiga tahun ini. Paling tidak aku lebih baik, temanku yang satu lagi sudah dimusuhinya sekitar sepuluh tahun. Dia memusuhi lebih baik dibandingkan dengan menyintai orang lain. Aku ingin dekat kembali dengannya dan berteman seperti dulu. Aku ingin menemuinya besok hari. Ingin rasanya memeluknya esok. Bah, mengapa aku juga jadi melankolis seperti dirinya? terus terang aku adalah orang yang rasional dan cenderung menggangap menulis puisi itu aktivitas yang memalukan, tidak seperti dirinya.

Ternyata sebelum tengah malam dia mengirim SMS, "Hei, anggap saja emailku padamu itu tidak pernah ada. Aku tidak akan pernah lagi menganggapmu sebagai teman sebelum kau minta maaf karena turut membantu orang-orang itu menstigma diriku tidak loyal, tidak kompeten, dan stigma-stigma lainnya di tahun 2007 lalu. Kita akan tetap menjadi musuh yang baik bagi masing-masing 'kan?"

Ah, ternyata email darinya itu hanya fiksi. Begitu juga tulisan ini, kecuali album yang direview.

Jangan-jangan dari sisi Penulis Hidup, semua karakter, kita ini pun hanya fiksi.

Aku hanya ingin mendengarkan album ini sekali lagi....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...