Selasa, 20 Juli 2010

Shutter Island: Kesadaran, Narasi Diri, dan Kegilaan



Sejak dimulai film ini sudah menunjukkan kita akan pentingnya kesadaran. Edward "Teddy" Daniels (diperankan oleh Leonardo DiCaprio) mengawali kisah dengan monolog "Kuatkan dirimu Teddy. Kuatkan dirimu". Itu adalah upayanya untuk tetap "sadar" agar tidak mabuk laut. Adegan ini bisa menjadi peringatan bagi yang menonton film ini untuk berhati-hati dengan apa yang dilihat sepanjang film dan mesti memperkuat kesadaran kita utuh penuh selama menonton.

Kesadaran adalah salah satu problem utama dari film ini, bahkan juga bagi kehidupan. Sadarkah kita selama kita hidup? atau kita justru sadar selama situasi tidak sadar (dalam tidur misalnya)? dua hal ini adalah pertanyaan esensial yang bisa kita pertanyakan pada diri sendiri. Kesadaran kita sebagai penonton juga diperlukan agar tidak "diperdaya" oleh teks film. Sejak awal saya sudah memprediksinya karena saya mendapatkan informasi bahwa film ini film "berat" dan susah ditafsir. Karena itulah saya bersiap-siap. Pengalaman menonton "The Sixth Sense" (1999) dan "The Others" (2001) dulu saya jadikan bekal. Dugaan saya betul. Sama seperti kedua film tersebut, film ini pun mutitafsir dan adegan di bagian akhir bisa mengubah pemaknaan kita pada film secara keseluruhan.

Walau begitu, film ini tidak memberikan tautan yang kuat atas tafsir yang berbeda di akhir. Tidak seperti "The Sixth Sense" yang kemudian menyadarkan kita betapa kita telah terperdaya sejak awal. Tidak seperti "The Others" yang sama sekali tidak memberikan petunjuk sampai adegan paling akhir. Fim ini memberikan banyak petunjuk yang tersebar di seluruh bagian film. Semua "petunjuk" itu pun bisa ditafsirkan beragam.

Film ini bercerita tentang Edward "Teddy" Daniels dan rekannya, Chuck Aule (diperankan oleh Mark Ruffalo), Marshall AS, yang menyelidiki hilangnya seorang pasien rumah sakit dan juga tahanan di sebuah pulau di lepas pantai Massachusetts bernama Rachel Solando. Rumah sakit tersebut menahan sekaligus merawat pasien-pasien yang pernah melakukan kejahatan brutal. Hal ini digambarkan dengan ucapan Dr. John Cawley (diperankan oleh Ben Kingsley), kepala rumah sakit, bahwa mereka melebur moral dan perawatan psikologis kepada "pasien". Tetapi film menjadi rumit karena informasi demikian banyak yang mesti dicerna, termasuk upaya Teddy mencari "pembunuh" istrinya, Dolores Chanal.

Sepanjang film kita disuguhi adegan yang berisi dialog dan gambar nan memusingkan. Kita mesti sesadar mungkin menerima semua informasi dari film ini. Ketika memasuki kamar Solando yang hilang misalnya, ada petunjuk "the law of 4, who is 67". Petunjuk ini penting sampai akhir film dan menentukan narasi lain di luar narasi yang diplotkan sejak awal di film. Narasi secara sederhana bisa kita artikan sebagai alur cerita linear, ada awal, tengahan (karena panjang), dan akhir. Narasi di dalam fiksi biasanya melibatkan protagonis dan antagonis, serta para pendukung keduanya.

Inilah yang menjadi poin penting kedua. Ternyata narasi yang disampaikan di film sejak awal bukanlah narasi tunggal. Ada dua narasi di sini walau keduanya sama rumit dan mesti "disatukan" bila ingin dicerna secara baik dan benar. Multi narasi ini yang menjadi persoalan utama di dalam film. Pencipta teks dan juga tokoh utama merasa bahwa narasi versi mereka adalah si Teddy berjuang untuk menemukan kembali tahanan yang hilang sekaligus membuka kebobrokan pengobatan mental di sana dan "pencucian otak" dilakukan demi kepentingan negara. Kita mesti ingat film ini bersetting tahun 1952 dan Nazi baru saja kalah.

Narasi yang dipegang teguh oleh Teddy ternyata salah. Narasi baru yang ditawarkan oleh Cawley dkk berbeda jauh, bahwa Teddy adalah pasien ke-67 itu. Selama dua tahun Teddy berusaha mengingkari kenyataan bahwa ketiga anaknya meninggal karena ditenggelamkan oleh istrinya dan semua orang di rumah sakit berperan dan bertindak sesuai dengan "keinginan" Teddy. Saya tidak akan bercerita lebih jauh karena kasihan teman-teman yang belum menonton film ini.... :)

Benturan dua narasi inilah yang menjadi poin penting sepanjang film. Munculnya kejelasan narasi kedua mengubah struktur pemahaman kita atas seluruh teks. Di dalam kehidupan nyata pun sesungguhnya kita melakukan "pertempuran" yang sama, bagaimana menguatkan narasi diri dan berjuang menghantam hempasan dari narasi-narasi luar yang mungkin tidak sesuai menurut kita. Bisa dikatakan, di sinilah problem utama kehidupan personal. Biasanya di dalam narasi diri, kita sendirilah protagonisnya. Sementara pihak-pihak antagonis adalah orang-orang yang tidak sesuai dengan kita. Orang-orang yang berusaha menawarkan atau bahkan memaksa narasi versi mereka. Permasalahannya, narasi mana yang benar? di dalam hidup yang sebenarnya, narasi hidup itu akan terus-menerus berkelindan sampai Pencipta Narasi menghentikannya.

Narasi diri ini selanjutnya berkaitan erat dengan kegilaan. Teddy misalnya dianggap gila karena mengembangkan narasi diri yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Tetapi apa itu sebenarnya kenyataan, dan juga kegilaan? siapa yang berhak menentukan kegilaan seseorang? di satu sisi, film ini berbicara ke arah sana. Ada kritik atas institusi bernama rumah sakit jiwa dan bidang ilmu bernama psikologi di film ini. Kegilaan ditentukan oleh satu pihak yang "berkuasa" atas ilmu dan perangkat institusnya. Salah satu adegan favorit saya di film ini adalah ketika Teddy bertemu dengan Solando yang sebenarnya, yang ternyata adalah perawat yang berusaha mengungkapkan kebobrokan rumah sakit Boston's Shutter Island Ashecliffe. Katanya kira-kira begini sekali kau dimasukkan dalam kategori gila, semua yang kau lakukan akan ada dalam kategori tersebut".

Permainan kata-kata atau anagram muncul di akhir film. Andrew Laeddis, yang dianggap oleh Teddy sebagai pembunuh istrinya, ternyata adalah dirinya sendiri. Andrew Laeddis adalah anagram dari Edward Daniels. Di dalam narasi yang ada di luar diri, dialah sebenarnya pembunuh istri dan secara tidak langsung, anak-anaknya.

Musuh terbesar kita adalah diri sendiri. Begitu kira-kira pesan lain yang kita dapat dari film ini. Saya jadi ingat dengan salah satu komik Superman yang saya baca sewaktu kanak-kanak. Superman bertanya kepada tokoh yang juga selamat dari planet Krypton. Siapa musuh terbesar saya? Orang "bijak itu menjawab: Marsepun. Kita tahu bahwa jawaban itu adalah permainan huruf pula. Sejak membaca sampai sekarang saya teringat dengan dialog itu.

Konsep kegilaan yang digunakan di film ini sedikit berbeda dengan film "A Beautiful Mind" (2001) di mana kegilaan dinyatakan secara tersamar mirip dengan kejeniusan. Di film Shutter Island ini, kegilaan dianggap mekanisme menolak kenyataan yang sangat pahit. Walau begitu, adegan terakhir di dalam film justru menguatkan saya pada pilihan pertama: narasi diri. Bahwa narasi dirilah yang penting. Di dalam film ini, bila narasi diri Teddy yang kita pegang, bisa dikatakan dia tak berhasil menentang dominasi dan hegemoni institusi kejiwaan yang menentukan kegilaan dan kewarasan.

Bila narasi di dalam hidup kita serahkan pada diri sendiri dan Pencipta, sementara narasi di dalam film diserahkan pada para penontonnya. Inilah yang paling penting dari tafsir atas teks, kelahiran polysemia, yaitu kondisi di mana keberagaman tafsir terjadi dan muncul di audiens. Hal lain yang juga penting dari film ini adalah: audiens yang sadar adalah audiens yang mampu menikmati pesan media dengan baik. Karena itu sadarlah ketika mengakses media, jangan terbius, dan terus berusaha membentur-benturkan narasi yang kita bangun di dalam diri dan narasi teks yang ada di luar diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...