Sabtu, 31 Juli 2010
Salt: “Menggarami” Hidup, Mendalami Teks
Rasanya sebulan terakhir ini ada sesuatu yang cukup akrab saya geluti. Ini sekaligus menguatkan pepatah: apa-apa yang kita pikirkan dan kita rasakan terus-menerus, nantinya apa-apa itu akan datang sendiri pada kita. Itulah yang terjadi dengan teks media film bagi saya. Sebulan ini saya begitu “dekat’ dengan film karena saya pikirkan terus, saya kemudian mulai mendapatkan film-film lumayan bagus berharga murah di sebuah toko buku besar, waktu yang agak senggang sehingga bisa menonton film di rumah, sampai kesempatan menonton di bioskop yang jadi lumayan sering. Padahal beberapa waktu yang lalu sulit sekali mencari waktu agak luang untuk menonton. Ternyata dalam waktu seminggu saya bisa menonton film dua kali, “Inception” dan “Salt”. Frekuensi yang lumayan tinggi, karena sebelumnya saya memerlukan penjadwalan waktu berbulan-bulan untuk menonton di bioskop.
Saya menonton “Salt” dengan seorang teman. Rasanya memang akan garing sekali bila menonton sendirian. Lagipula, teman saya itu berulang tahun, sekalian menghadiahi sesuatu untuknya walau agak terlambat. Dengan menonton film bersama, kami bersimbiosis mutualisme (interaksi yang sama-sama menguntungkan). Saya mendapatkan teman menonton, dia mendapatkan semangat untuk menyelesaikan "tugas" besarnya. Semoga.
Setelah menonton film “Salt”, sampai detik ini, ada satu kata kerja yang terus menerus tercetak di pikiran, “menggarami”. Jelas kata tersebut sangat berkaitan erat dengan judul film yang saya tonton di bioskop terakhir ini. Tetapi memang detailnya selalu tidak bisa diduga bahkan oleh yang memikirkannya. Telaah kita mungkin menyebar dan berkembang tidak terduga. Seperti kita ketahui, teks akan selalu berkait dengan teks lain. Juga ide, ide akan selalu berelasi dengan ide yang lain.
Paling tidak kata “menggarami” itu memiliki tiga makna bagi saya. Pertama, menggarami artinya memperkuat rasa. Apa yang “digarami” di dalam film ini? Bagi saya yang digarami adalah identitas. Identitas selalu cair dan merupakan relasi dari berbagai elemen. Identitas tokoh utama film ini, Evelyn Salt, memang problem utama sejak awal dan terus menerus menjadi pertanyaan pirsawan, bukan pirsawati, sampai akhir film. Hal ini sejalan dengan pertanyaan yang dimunculkan di poster film ini “Who is Salt?”. Identitas yang paling “digarami” adalah identitas sebagai spion (mata-mata).
Kita maklum bahwa penentu identitas seringkali institusi di luar diri; etnis, jenis kelamin, umur, kelas, agama, dan ideologi, adalah hal-hal "besar" itu. Walau begitu, identitas juga berarti apa yang kita upayakan, kita bentuk, kita rasakan, untuk diri sendiri. Identitas juga tidak pernah monolit. Karena itulah, walau Salt selalu digadang-gadang sebagai agen yang hebat, dia tetaplah seorang istri yang sangat menyintai suaminya.
Evelyn Salt (Angelina Jolie) adalah mata-mata yang ditanam Russia di Amerika Serikat selama bertahun-tahun. Paling tidak identitas sebagai spionase inilah yang dikenalkan pada penonton sejak awal. Salt memiliki identitas sebagai agen ganda, yaitu agen CIA dan Russia. Identitas yang lain adalah sebagai istri seorang arachnologist, ahli laba-laba, berkewarganegaraan Jerman, Mike Krause (August Diehl). Pada akhirnya, identitas sebagai istri ini pula yang membuatnya berbalik membela Amerika Serikat karena suaminya dibunuh oleh KGB. Dia membela Amerika Serikat karena semua yang dimilikinya “dihabisi” oleh pihak Russia.
Bukan hanya identitas Salt yang dipertanyakan mestinya, karena semua karakter mungkin untuk dipertanyakan identitasnya, katakanlah identitas Ted Winter (Liev Schreiber), rekan dan kolega Salt, Peabody (Chiwetel Ejiofor), agen ONCIX yang mengejar Salt, dan Orlov (Daniel Olbrychski), agen Russia yang berpura-pura ingin membelot ke Amerika Serikat dan membuka identitas Salt. Penyampaian cerita yang cepat membuat penonton bertanya-tanya siapa protagonis dan antogis kisah ini, yang terus memberi kejutan sampai akhir.
Karakter Salt ini pada awalnya akan diperankan oleh Tom Cruise dengan nama Edwin A. Salt. Namun karena Tom Cruise sibuk dengan pekerjaan lain dan menganggap karakter Salt terlalu dekat dengan karakter Ethan Hawke di Mission Impossible, karakter ini kemudian diperankan oleh Angelina Jolie dengan mengubahnya menjadi agen perempuan bernama Evelyn Salt. Dari sisi bisnis langkah ini relatif tepat karena karakter agen rahasia perempuan masih jarang di film. Akhir cerita yang terbuka membuka kesempatan pada sekuel demi sekuel layaknya film Hollywood yang sukses. Pilihan pemeran utama pada Angelina Jolie menjadi Evelyn Salt, membuat cerita berubah, pun pada adegan-adegan di dalam film. Adegan Salt “menutup” kamera, tak bisa membayar taksi, dan luka di perut sepertinya memang “dipersiapkan” untuk Jolie.
Pemaknaan “menggarami” kedua adalah membuat lebih atas suatu keadaan, tetapi lebih perih, seperti pada kalimat menggarami luka. Saya pikir mengakses pesan atau teks media itu seperti menggarami luka. Mengakses teks berarti “perih” sekaligus membuat ketagihan. Kita jadi ingin mengobati perih itu dengan mencari informasi sebanyak mungkin dan memaknai sedalam mungkin. Ketika mengakses film ini misalnya, bagi penonton yang rasa ingin tahunya luar biasa akan mencoba menggali konsep spionase dan politik internasional dengan mendalam. Mengapa itu perlu dilakukan? Karena kesempatan penafsir terbuka untuk mendalaminya dan kedalaman dan keluasan pemaknaan itulah penentu posisi bagi penafsir.
“Menggarami” luka untuk mendalami teks lebih baik berpotensi membuat pengakses belajar banyak dan meningkatkan literasi pada individu. Bila “perih” itu terasa, pengakses itu berusaha menghilangkannya dengan membaca lebih mendalam lagi. Ini akan menjadi modus bagi pengakses dan pengkreasi pesan media yang baik.
Pemaknaan terakhir dari kata kerja “menggarami” adalah melakukan pekerjaan yang sia-sia dan tidak berpengaruh pada bagian yang lebih luas. Hal ini dekat dengan kalimat seperti “menggarami lautan”. Topik spionase adalah hampir seperti fiksi. Kita mengetahui aktivitas spionase internasional itu ada dan memainkan peran dalam perubahan politik. Katakanlah peristiwa di Indonesia pada tahun 1965, dan mungkin juga peran spionase dalam berakhirnya Perang Dingin pada tahun 1989/90. Kita mengetahui keberadaan spionase tetapi tidak memahaminya dengan detail karena aktivitas spionase itu bersifat rahasia, termasuk proyek-proyek menciptakan “super-human” seperti Salt ini.
Satu bagian kecil ataupun bagian yang besar yang menjadi “garam” di dalam lautan fiksi, tidak akan berpengaruh besar karena ketika struktur fiksi sudah ada, elemen-elemen informasi di dalamnya adalah pendukung belaka. Hal ini hampir sama seperti dunia sihir dalam novel-novel Harry Potter, elemen tambahan yang berasal dari legenda di Barat, seperti karakter Medusa dan Banshee, menjadi penguat dan penambah baik keseluruhan kisah.
Begitulah tafsir saya akan film Salt ini. Paling tidak, film ini kembali membuat saya ingin “menggarami” hidup saya lebih baik lagi dengan terus memaknai teks dengan sebaik-baiknya. Di bagian akhir ini, saya cukup jenuh dengan istilah garam yang simbolis, saya hanya ingin menggarami, memberi garam sedikit dan memadai, semangkuk bakso di depan saya ini supaya menjadi lebih sedap untuk dimakan.
Silakan "menggarami" hidup. Selamat menghidupi diri dengan sebaik-baiknya....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
menggarami juga bisa berarti melakukan sesuatu yang sia-sia. seperti makna pada frasa menggarami lautan.
BalasHapusmenaburkan teks spionase di antara ribuan teks hollywood, belum lagi teks yg berasal dari media lain, bisa saja menjadi pekerjaan sia-sia bagi audiens sekarang. alih-alih merasakan asinnya teks, audiens justru menjadi kebas lidahnya. semua teks, nilai, ide yang ditawarkan oleh teks, terasa hambar saja.