Sabtu, 24 Juli 2010

Inception: Di dalam Mimpi pun Kita Perlu Bekerja Keras


Kalimat judul di ataslah yang saya ingat terus ketika selesai menonton film “Inception”. Biasanya kita mendikotomikan mimpi dengan terjaga dalam klasifikasi yang saling berlawanan. Terjaga dianggap sebagai keutamaan karena identik dengan sadar, rasional, dan mengarah pada aktivitas fisik. Sementara, bermimpi lebih dianggap sebagai aktivitas relatif sia-sia, irrasional, dan membuang-buang waktu saja. Film ini menunjukkan bahwa ketika bermimpi sekali pun kita masih perlu bekerja keras mewujudkan keinginan kita. Mimpi pun terbangun dari elemen yang detail dengan persiapan dan eksekusi yang bagus agar terlihat “nyata”, bahkan di dalam mimpi kita memerlukan kerja-kerja riil agar keinginan kita terwujud. Bila belum terwujud, kita perlu menggalinya lagi pada level mimpi yang lebih rendah.

Beberapa hari sebelumnya, rekan saya yang tinggal di Inggris, Ragil, bertanya apa saya telah menonton film itu. Saya bilang saya belum menontonnya. Kemudian saya bertanya, baguskah film itu. Dia hanya menjawab singkat: kemungkinan besar film “Inception” akan menjadi film terbaik tahun ini. Ketika akhirnya saya mengakses film ini, saya setuju dengan pendapat teman saya itu, bahkan saya memasukkannya ke dalam lima film terbaik yang saya pernah saya tonton sepanjang hidup. Kemarin pun, rekan-rekan sekantor saya yang lebih muda menggoda saya bila mereka berempat akan menonton “Inception”. Saya pura-pura “kena” dengan ledekan tersebut, padahal saya pun sedang berada di lobi bioskop dengan label sama di kota berbeda. Mereka menonton di Yogya, saya menonton film yang sama di Bandung.

Menurut saya, film ini memiliki beberapa hal yang mirip dengan film yang dibintangi DiCaprio sebelumnya, “Shutter Island”. Di kedua film ini, si karakter utama memiliki masalah dengan kesadarannya, dan juga dengan mimpinya. Persamaan yang lain adalah, sang tokoh utama memiliki paradoks hubungan dengan istrinya. Perbedaannya, istri si tokoh utama di “Inception” benar-benar bersemayam di pikiran terdalam dan menjadi penghalang “tugas-tugas” Cobbs, tokoh yang diperankan oleh DiCaprio, di dalam mimpi.

Film seperti ini adalah film yang saya nanti-nantikan agak lama. Film dengan topik dan cara bertutur cerdas sekaligus juga cukup mudah dicerna sehingga sangat potensial menjadi populer. Tak heran bila film ini menjadi film terlaris sekarang ini di Amerika Serikat. Mengenai detail informasi mengenai film bisa dilihat di situs lain. Reviewnya pun sudah cukup banyak. Salah satu “takaran” yang bagus dibuat oleh rekan saya, M. Sulhan. Saya hanya ingin memaknainya secara personal. Bila tafsir itu juga bermakna untuk teman-teman, saya akan senang sekali.

Film ini adalah caper film. Menurut wikipedia, genre film ini adalah film tentang “pencurian” oleh seseorang atau sekelompok orang, mulai dari perencanaan sampai dengan penyelesaiannya. Uniknya, Christopher Nolan, penulis skenariao dan sutradara film ini, awalnya ingin membuat film horor tentang orang-orang yang bisa memasuki mimpi orang lain. Genre itu pada akhirnya berubah karena menurutnya, mustahil berkisah tentang mimpi tanpa melibatkan hati. Itulah sebabnya ia mengembangkan naskah film ini cukup lama, sekitar sepuluh tahun. Selain itu, Nolan cukup lama berkecimpung dengan topik mimpi. Setidaknya sejak film Memento (2000). Selain itu, Nolan dan timnya kemudian juga memutuskan ketika membicarakan mimpi, gambar yang muncul di film bisa sangat “mewah” dan luar biasa. Itulah sebabnya budget film ini sangat besar.

Film ini bercerita tentang Dominic "Dom" Cobb (diperankan oleh Leonardo DiCaprio) dan timnya, yang bertugas mencuri ide dari mimpi-mimpi orang lain. Akhirnya tugas mencuri tersebut diubah menjadi “menanam” ide di dalam mimpi seseorang dan berfungsi di dunia nyata orang tersebut. Inilah yang disebut “insepsi”. Menanamkan ide jauh lebih sulit bila dibandingkan dengan mencuri ide karena menanam ide bisa berarti memasuki mimpi tingkat ketiga, sebelum masuk pada alam bawah sadar yang ada di lapisan keempat.

Cobb yang memiliki spesialisasi memasuki mimpi orang lain tidak bekerja sendirian. Dia dibantu oleh anggota tim yang lain, yaitu: Arthur (diperankan oleh Joseph Gordon-Levitt), yang bertanggung jawab atas target yang mimpinya ingin dimasuki, Ariadne (diperankan oleh Ellen Page), yang bertugas menjadi arsitek dunia mimpi yang dibangun bersama Cobb, Eames (diperankan oleh Tom Hardy) yang bertugas menjadi orang lain di dalam mimpi, Yusuf si Ahli Kimia (diperankan oleh Dileep Rao) yang bertugas meramu “obat” yang memiliki dosis kuat sehingga mereka bisa memasuki mimpi lapisan terdalam, dan Saito (diperankan oleh Ken Watanabe), seorang pebisnis energi kaya yang pada awalnya menjadi target untuk disabot mimpinya tapi kemudian menjadi klien terakhir Cobb yang membiayai misi sekaligus menjadi anggota tim di dalam mimpi.

Permasalahannya, Cobb masih merasa bersalah dengan kematian istrinya, Mallorie “Mall” Cobb (diperankan oleh Marion Cotillard). Mal selalu berusaha menggagalkan misi Cobb di dalam mimpi karena ingin Cobb tinggal bersamanya di dalam alam mimpi selamanya. Hubungan cinta dan rasa bersalah antara Cobb dan Mal inilah yang menjadi salah satu kekuatan film: paradoks emosi. Inilah yang membuat film ini tidak menjadi film aksi biasa.

Kembali konsep dualitas yang saya pahami sedikit itu berguna untuk mendedah film ini. Daripada mendikotomikan mimpi dan terjaga di dalam film ini, di mana terjaga dan mimpi saling menegasikan, saya melihatnya justru keduanya saling melengkapi. Dualitas, dua elemen, dua level, ada untuk saling melengkapi satu sama lain. Bermimpi dan terjaga ternyata memiliki rasionalitasnya sendiri. Bermimpi ternyata memiliki banyak level dan elemennnya juga banyak. Di dalam mimpi ternyata ada arsitek dan “bangunan”-nya Sementara itu, untuk bermimpi dengan baik dan benar, serta menghasilkan sesuatu yang konstruktif, perlu dilakukan persiapan yang baik ketika sadar. Di sinilah saya kira, kelebihan Nolan dan timnya mengeksplorasi konsep mimpi, antara lain konsep lucid dream, yang artinya mimpi yang disadari. Ketika bermimpi kita sadar sedang bermimpi.

Kemudian saya sadari selama filmya, bagaimana cerita dikemas menarik tetapi tetap dengan menjaga kebenaran dan kedalaman ilmu pengetahuan, terutama ilmu eksakta. Saya mendapati bahwa, kerja-kerja riil bahkan diperlukan di dalam mimpi. Bila kita jeli menghitung waktu di tiap lapisan mimpi, waktu tersebut berkorelasi dengan perpangkatan angka yang lebih banyak di tiap level. Entah mengapa, rasanya pilihan yang agak saya sesali mempelajari ilmu eksakta, terutama fisika, sewaktu SMA, kali ini terasa menguntungkan dan menyejukkan, minimal membantu saya memahami teks media jenis begini dengan lebih baik.

Teks media apa pun, dalam tulisan ini teks film, dapat diamati dari dua sudut pandang. Kita melihat apa yang disampaikan di dalam teks dan bagaimana satuan ide atau informasi digelontorkan sepanjang teks. Dari sisi keduanya, film ini bagus sekali. Salah satu film terjenius yang saya tonton. Mimpi sebagai hal yang diperbincangkan, disampaikan dengan definisi baru dan relatif lebih kompleks. Sementara cara menyampaikan narasi juga relatif baru: dunia nyata, dunia mimpi dalam beberapa level, dan dunia bawah sadar. Ketiga “dunia” tersebut cukup baik dijelaskan dan dirangkai satu sama lain.

Di atas semuanya, cara-cara yang “populer” tetap ditampilkan, misalnya Arthur dan Aemes yang bertolak belakang. Arthur lebih kaku sementara Aemes mengklaim dirinya lebih imajinatif. Ternyata di mimpi pun tetap ada orang yang “kaku” dan “bebas”, tadinya argumen saya, di dalam mimpi itu orangnya bebas semua. Juga adegan Arthur dan Ariadne yang berciuman untuk mengalihkan perhatian, padahal tindakan itu tidak diperlukan. Juga adegan akhir film yang secara cerdas menunjukkan ending yang terbuka untuk membuka pada sekuel yang kedua. Kemungkinan profit yang besar ternyata tidak lepas dari Hollywood, bahkan untuk film “jenius” sekalipun. Untungnya, motif-motif tersebut bisa dipertanggungjawabkan dengan kualitas yang sangat bagus.

Hal ini cukup ironis bila kita lihat yang terjadi dalam film Indonesia sejauh ini. Ketika menonton film ini, saya mengamati film-film Indonesia yang diputar dalam waktu yang bersamaan dan yang akan diputar. Terlihat bagaimana tidak ada perubahan yang cukup signifikan untuk film Indonesia yang masih memperbincangkan hal-hal usang dengan cara lama, mistis dan cenderung porno. Dua film yang saya amati posternya adalah “Pocong Keling” dan “Selimut Berdarah”. Atau mungkin terlalu jauh ya membandingkan film kita dengan film Hollywood. Saya saja yang mungkin lancang membandingkannya

Sebagai penutup, film ini tetap menjaga adagium yang mempertanyakan “apa yang riil, apa yang disebut mimpi?” sekaligus memberikan tafsir terbuka bahwa hidup ini juga mimpi dan mimpi bisa sangat riil. Hal ini terlihat pada akhir film, totem Cobb, yang menjadi penanda keberadaan dirinya di dalam mimpi, tetap berputar. Tetap berputar berarti menunjukkan bahwa Cobb masih bermimpi. Bukankah pertanyaannya sama dengan kita: bagaimana kita mewujudkan mimpi dalam kehidupan nyata dan juga di dalam mimpi itu sendiri?

(Catatan: semua informasi penting di dalam tulisan ini didapatkan dari situs imdb dan wikipedia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...