Minggu, 14 November 2010

Berkomunikasi pada Saat Bencana

Belum kering airmata kita atas bencana banjir dan tanah longsor di Wasior, sebagai bagian dari warga Indonesia, kita harus bersedih lebih mendalam lagi dengan bencana erupsi Merapi dan tsunami di Mentawai. Kita bersedih karena saudara-saudara kita menjadi korban dari ketiga bencana tersebut. Sebenarnya masih ada satu bencana lagi yang lebih “kecil”, yaitu banjir di seantero Jakarta sekitar seminggu lalu. Jadi dalam waktu kurang dari sebulan, negeri kita tercinta ini telah diterpa oleh empat bencana.

Penanganan pengungsi dan rehabilitasi pasca bencana masih terus dilakukan oleh kita bersama sampai sekarang. Walau masih ada kekurangan di sana-sini, secara umum penanganannya cukup baik, terutama yang dilakukan oleh berbagai kelompok di dalam masyarakat. Demikian juga dengan pemerintah, walau pun kurang cepat pada awalnya, juga telah melakukan penanganan yang signifikan. Selain penanganan langsung, aspek lain yang juga penting di dalam bencana adalah aspek komunikasi.

Berkomunikasi di dalam bencana perlu diperhatikan oleh kita semua sebab penanganan langsung yang baik tidak akan berguna jika proses komunikasi antar pihak tidak ditata dengan baik pula. Proses komunikasi yang baik juga akan membuat penanganan bencana akan lebih mudah. Begitu pula sebaliknya. Proses komunikasi tersebut dilakukan oleh beberapa pihak, yaitu pihak yang berwenang, dalam hal ini pemerintah, media, dan masyarakat.

Di dalam situasi bencana sendiri paling tidak terdapat dua karakter komunikasi. Pertama, di dalam bencana informasi yang benar dan akurat sangatlah diperlukan bagi masyarakat. Pihak yang berwenang mesti memberikan informasi yang benar dan secara periodik karena informasi mengenai bencana memang diperlukan oleh masyarakat, apalagi masyarakat yang terkena imbas dari bencana tersebut. Karena pihak berwenang tidak mungkin menjangkau banyak audiens dalam waktu yang cepat maka diperlukan media untuk membantu distribusi informasi tersebut. Dengan demikian media seharusnya memberikan informasi yang benar dan tepat pula, serta tentunya disertai informasi tambahan yang relevan dan analisis yang memperkaya pemahaman kita.

Hal inilah yang kurang dipenuhi oleh media, terutama televisi, pada masa awal erupsi Merapi. Reporter yang tidak bisa membedakan awan panas dan abu vulkanik membuat masyarakat panik adalah salah satu kelemahan media, padahal informasi tersebut adalah informasi yang sifatnya elementer. Media semestinya membekali wartawannya dengan pengetahuan yang memadai tentang kebencanaan dan kecakapan jurnalistik yang baik.

Karakter kedua dari berkomunikasi di dalam bencana adalah muatan emosi yang tinggi. Berbagai pihak semestinya memberikan informasi atau pesan komunikasi yang menciptakan kondisi yang lebih baik. Bencana telah membuat kita terterpa kesedihan, janganlah kesedihan tersebut ditambahi oleh berbagai pernyataan tidak simpatik.
Salah satu contoh pernyataan tidak simpatik tersebut disampaikan oleh seorang wakil rakyat untuk bencana di Mentawai. Pernyataan bahwa bencana tsunami adalah resiko bagi warga masyarakat yang tinggal di sana sangatlah tidak tepat dan menimbulkan kesedihan baru bagi kita semua. Belum lagi tindakan beberapa wakil rakyat yang tetap pergi untuk studi banding ke luar negeri pada saat bencana terjadi. Pergi untuk studi banding itu adalah pesan yang negatif dalam proses komunikasi di mana seharusya para petinggi negeri ini berempati pada masyarakat yang menderita karena bencana.

Di dalam situasi bencana juga tidak etis mengharap pamrih secara eksplisit alias tidak tulus karena proses komunikasi di dalam bencana bermuatan emosi yang tinggi. Beberapa kasus pemasangan bendera partai politik, korporasi, dan produk di area bencana Merapi jelas merupakan tindakan tak etis. Sampai-sampai ada yang memberi julukan “festival” karena begitu meriahnya suasana di area bencana. Bila mau membantu sebaiknya ya membantu saja tanpa memikirkan “balasan”, apalagi bila pamrih tersebut secara jelas diungkapkan. Di dalam bencana, kepentingan sosial adalah kepentingan yang seharusnya paling dikedepankan, bukan kepentingan politis atau kepentingan mencari profit.

Lalu, bagaimana sebaiknya berkomunikasi pada saat bencana? Pada prinsipnya, semua pihak berkomunikasi dengan bijak pada saat bencana. Media berusaha sebaik mungkin memberikan informasi yang benar dan akurat, para tokoh publik memberikan pernyataan yang konstruktif bukannya malah memperkeruh suasana, dan kita sebagai bagian masyarakat membantu sekuat dan sebisa mungkin, sesuai dengan kemampuan kita dengan saling membagi informasi untuk penanganan bencana.

Semua anggota masyarakat mesti berpikir dan bertindak atas dasar kemanusiaan bahwa bencana yang menimpa saudara-saudara kita setanah air adalah nestapa kita juga. Inilah esensi hidup berbangsa dan bernegara bahwa kita saling membantu dan menguatkan di kala sedang menderita dan saling memberi inspirasi di saat sedang berbahagia. Bukankah tujuan dari kita berkomunikasi adalah menempatkan diri kita pada titik kemanusiaan tertinggi, saling menghargai sesama manusia tanpa sekat-sekat pembeda?

(Tulisan ini dalam versi sedikit lebih singkat dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu, 13 November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...