Awalnya saya tidak memperhatikan media sumber informasi ini. Namun ketika terjadi dua kasus pemberitaan media konvensional, media ini langsung menarik perhatian saya ketika banyak teman yang me-link situsnya di Facebook. Walau secara umum, masyarakat kita masih mengandalkan berita di media televisi, dua kesalahan yang dilakukan media terpopuler tersebut membuat sebagian masyarakat, terutama yang memiliki tingkat literasi digital tinggi, beralih pada sumber informasi yang berbasis pada media baru ini.
Dua kesalahan tersebut adalah ketika sebuah stasiun televisi berformat berita, melalui reporternya, kurang berhati-hati dalam memberikan informasi. Istilah awan panas yang seharusnya debu vulkanik disampaikan oleh sang reporter yang sontak menimbulkan kepanikan di masyarakat. Sempat muncul thread di FB untuk menolak stasiun televisi tersebut. Kasus bertambah ruwet ketika salah seorang pekerja di media tersebut lewat akun twitter stasiun televisi yang bersangkutan “menyerang” balik kritik dari masyarakat. Untungnya kisruh tersebut segera dibenahi sehingga tidak menimbulkan masalah lebih jauh bagi media yang bersangkutan.
Kesalahan media kedua, yang juga dilakukan oleh media televisi adalah kasus yang lebih mendapat perhatian kita, kali ini
lewat sebuah program infotainment. Sang pembawa acara di program tersebut memberikan kesimpulan yang terlalu berani dan menimbulkan kepanikan bahwa Yogya kemungkinan “terhapus” dari peradaban, bahwa Yogyakarta adalah kota malapetaka. Kesimpulan tidak berdasar tersebut, lebih bersumber pada klenik dan gosip seperti halnya infotainment pada umumnya, kemudian mendapatkan reaksi keras dari masyarakat.
Si pembawa acara yang dahulu menuai simpati karena menjadi korban dari perekaman ilegal pornografi, kemudian menjadi “pesakitan”. Program televisi dan pembawa acara tersebut akhirnya meminta maaf. Regulator penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia, kemudian juga bertindak dengan menghentikan sementara program infotainment tersebut. Kasus ini memecahkan rekor pengaduan masyarakat kepada KPI untuk tayangan yang dianggap tidak pantas. Kasus ini menjadi pelajaran bagi kita bersama bahwa infotainment itu lebih banyak negatifnya bagi masyarakat bila tidak dibenahi secara “sistemik”. Juga pelajaran bagi kita semua bahwa informasi melalui media mesti dipertimbangkan dengan masak, terutama pada kondisi kebencanaan seperti sekarang. Dari sisi pengaduan masyarakat untuk tayangan televisi yang sangat cepat, dalam tensi emosi tinggi, dan banyak jumlah aduannya, kasus ini mengingatkan kita pada kasus Smackdown beberapa tahun yang lalu.
Dua kesalahan itulah yang antara lain membuat media baru menjadi sumber informasi yang kembali “dilirik” oleh masyarakat. Media baru tersebut menyediakan, menyeleksi, dan mendistribusikan informasi melalui internet dan handphone. Peran media baru dalam erupsi Merapi, dan juga di seluruh tempat di Indonesia yang terkena bencana, menjadi lebih penting lagi. Media baru menjadi sumber informasi yang penting dan sangat membantu masyarakat, terutama korban.
Salah satu sumber informasi yang penting di dalam erupsi Merapi adalah Jalin Merapi yang merupakan singkatan dari Jaringan Informasi Lingkar Merapi. Media ini sepenuhnya berbasis visi kepublikan dan menyediakan, menyeleksi, dan mendistribusikan informasi berkaitan dengan erupsi Merapi. Kini Lintas Merapi menjadi rujukan banyak pihak untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan erupsi Merapi. Jalin Merapi sendiri telah terbentuk sejak 2006 lalu dan menjadi lebih tertata pada tahun 2010 ini ketika erupsi Merapi. Informasi yang didistribusikan oleh Jalin Merapi menggunakan beragam media, yaitu melalui website, situs jejaring sosial, Twitter dan Facebook, SMS GAteway, radio komunikasi, telepon, dan posko informasi di lapangan. Informasi lebih mendalam bisa diperoleh di situsnya, http://merapi.combine.or.id/.
Karena itulah, saya merasa sangat beruntung bisa berdiskusi di acara Angkringan Gayam di mana saya menjadi co-host bersama penyiar utama, Sondy Garcia, dengan rekan-rekan dari Lintas Merapi. Dalam obrolan tanggal 8 November 2010 itu, Lintas Merapi diwakili Elanto Wijoyono dan Adriani Zulivan. Berdasarkan diskusi ringan namun mendalam itu, bisa disimpulkan bahwa media baru memiliki tiga peran dalam erupsi Merapi kali ini, yang juga bisa diperluas menjadi bencana pada umumnya di Indonesia.
Pertama, media baru menyediakan, menyeleksi, dan mendistribusikan informasi tentang erupsi Merapi. Melalui para relawan yang ditempatkan di banyak titik, Lintas Merapi mendapatkan informasi dari tangan pertama. Relawan Lintas Merapi bertugas membantu secara langsung sekaligus mencari informasi di tempatnya bertugas. Karena sebagian partisipan di Lintas Merapi juga merupakan warga setempat, mereka lebih mengenal medan kerja sekaligus dapat memberi informasi yang relevan.
Setelah itu, informasi yang telah masuk diseleksi oleh “gatekeeper”. Seleksi ini juga penting karena mesti mempertimbangkan beberapa aspek. Aspek yang terpenting adalah mengutamakan korban. Berikutnya adalah aspek netralitas dari pesan. Walau netralitas sulit dicapai, namun informasi sebisa mungkin tidak berkaitan dengan kepentingan politik atau kepentingan yang lain. Adriani menyatakan bahwa informasi yang berbau politis, semisal kedatangan Presiden ke pengungsian, bukannya tak penting, namun informasi tersebut telah disampaikan oleh media umum. Iklan pun betul-betul diperhatikan agar tidak memberikan pengaruh pada informasi yang disampaikan. Dari sisi kehati-hatian ini, Lintas Merapi bisa menjadi contoh bagi media penyampai informasi agar berhati-hati dengan informasi yang disampaikannya.
Fungsi media baru yang kedua adalah menjadi fasilitas metamorfosis ide ke tindakan. Fungsi ini tidak hanya dilakukan oleh Lintas Merapi, namun juga oleh banyak pihak yang menggunakan media baru. Mereka melansir ide dan merelasikannya di akun media jejaring sosial dan handphone. Ide tersebut mendapatkan respon dari banyak individu lain. Pada akhirnya ide tersebut meluas menjadi ide yang lebih besar dan implementatif, serta menjadi tindakan. Banyak sekali posko bantuan terhadap pengungsi Merapi lahir dengan cara seperti ini, antara lain yang dilakukan oleh mbak Difla Rahmatika dan rekan-rekannya dari Gaia. Menurutnya, gerakan semacam ini sebenarnya sudah muncul sejak gempa yang melanda Yogyakarta pada tahun 2006 lalu. Namun dulu media jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter belum dipergunakan dengan intens seperti sekarang. Pada tahun 2006 dulu, blog dan handphone yang menjadi bentuk media baru utama yang digunakan untuk menyebarkan informasi.
Penggunaan media baru untuk kemanusiaan ini pada akhirnya juga mengundang kreativitas baru. Solidaritas yang kuat antar warga yang difasilitasi oleh media baru membuat bantuan yang bisa diberikan menjadi lebih beragam. Dari situs jejaring sosial bisa kita lihat bahwa bentuk bantuan tersebut tidak hanya bantuan makan lewat gerakan nasi bungkus di Yogyakarta, dan sumbangan pakaian pantas pakai, tetapi juga berbentuk sumbangan buku dan sarung. Singkatnya, ide membantu tersebut semakin beragam dan detail berkat media baru.
Fungsi kedua inilah yang dinamakan oleh Denis McQuail “teknologi partisipasi kolektif” dari media baru. Media tidak hanya berguna bagi produksi, penyimpanan, dan pendistribusian informasi. Lebih dari itu, media berguna sebagai tindakan partisipatif bersama. Media yang menjadi awal dan memantu tindakan sosial. Di dalam situasi bencana seperti sekarang, “teknologi partisipasi kolektif” ini bermunculan di mana-mana dan mendukung solidaritas kemanusiaan bersama.
Terakhir, adalah fungsi saling mengawasi antar media, terutama antara media baru dan media konvensional. Fungsi tersebut adalah menyeleksi dan mengawasi sumber informasi lain. Dua kasus pemberitaan yang tidak tepat oleh media televisi di atas adalah contohnya. Kedua kasus di atas muncul pertama-kali dan berfrekuensi tinggi di media baru. Media konvensional yang masih menjadi rujukan utama masyarakat kita, mau tidak mau harus lebih berhati-hati. Jangankan organisasi media, tokoh masyarakat pun mesti berhati-hati bertindak dan mengeluarkan pernyataan di mana pun, karena media baru mengawasinya dengan cermat.
Pun sebaliknya, media konvensional bisa mengawasi media baru. Kita pasti ingat bagaimana penggunaan media baru, handphone dan internet, untuk kejahatan, juga diberitakan di media konvensional. Dengan berbagai pemberitaan tersebut kini masyarakat juga berhati-hati dengan media baru dan dibekali dengan informasi dan kecakapan ketika menggunakan media baru. Saling mengawasi dan memberi inspirasi melalui antar media ini penting, tak lain tak bukan agar masyarakat Indonesia lebih baik lagi.
Selain itu, kita juga bisa mengawasi dan memberi masukan kepada negara tentang sistem media yang “dibangun” oleh negara, terutama sejak 1998. Kita bisa mempertanyakan bagaimana negara menyusun, memberlakukan, dan mengimplementasikan regulasi yang berkaitan dengan media dan informasi dari erupsi Merapi secara khusus dan seluruh bencana di Indonesia pada umumnya.Lintas Merapi misalnya, juga didukung dan dibentuk oleh jaringan radio komunitas Yogyakarta dan Jawa Tengah. Mengingat arti penting radio komunitas terutama dalam penyediaan informasi selama bencana, pemerintah semestinya membangun benar media penyiaran komunitas, dan juga publik. Tidak seperti sekarang di mana pemerintah lebih banyak memperhatikan media penyiaran komersial dan tidak memfasilitasi media penyiaran publik dan komunitas dengan memadai.
Kedua, karena informasi dalam situasi krisis, di dalam bencana seperti sekarang ini, sebagian tersampaikan lewat media baru, pemerintah mesti memperhatikan infrastruktur media baru dengan membuatnya terjangkau oleh semua anggota masyarakat, baik dari sisi biaya maupun kemudahan akses. Selain itu, regulasi yang terlalu membatasi warga pada haknya untuk memperoleh informasi juga dihilangkan. Bukankah hak atas informasi dan berkomunikasi warga dijamin oleh konstitusi kita?
Sungguh, banyak hikmah yang bisa kita ambil, banyak pembelajaran yang bisa kita petik, dari bencana yang melanda kita belakangan ini. Bencana bukanlah azab, melainkan sarana untuk pembelajaran dalam hidup bersama. Indonesia adalah negeri yang indah, bukan negeri malapetaka, karena itu, kita sebagai warga bisa terus berjuang bersama untuk kehidupan bersama yang lebih baik, khususnya kehidupan bermedia.
(Tulisan ini dipersembahkan untuk rekan-rekan Jalin Merapi dan para relawan yang telah bekerja tanpa pamrih berdasarkan prinsip kemanusiaan)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar