Jumat, 12 November 2010

Hegemoni dan Ketaksejajaran Makna atas Bencana

Situasi belakangan ini turut menjadikan suasana hati saya sedih sekaligus khawatir. Warna abu-abu yang belum sepenuhnya pudar di jalan-jalan kota Yogyakarta memperkuat rasa sedih atas meninggalnya banyak warga dalam erupsi Merapi. Selain itu, rasa khawatir yang muncul di hati minggu kemarin hampir sebesar rasa khawatir pada tahun 2006, ketika gempa menggoyang rumah saya. Kekhawatiran yang sekaligus menguatkan rasa pasrah ketika berhadapan dengan alam dan Penciptanya.



Rasa sedih dan khawatir itu masih ada sampai sekarang dan membuat saya agak malas menulis. Walau begitu, banyak juga pelajaran dan inspirasi yang kita dapatkan, terutama bagi saya pribadi. Pelajaran utama tentu saja solidaritas antar warga yang kembali terlihat dengan jelas. Masyarakat kita tanpa dikomando bahu-membahu membantu sesama tanpa memikirkan pamrih. Solidaritas antar manusia sangat terasa di tengah relasi antar warga Indonesia yang secara umum relatif tersekat-sekat. Untuk Yogyakarta, fenomena ini sudah ditunjukkan pada tahun 2006 lalu dan semakin menguat pada waktu erupsi Merapi sekarang ini.



Dua tulisan dari rekan saya di FB ini tentang erupsi Merapi juga turut mencerahkan dan membantu memunculkan niat saya untuk menulis kembali setelah lama tak menulis di sini. Tulisan pertama berjudul “Terima Kasih Merapi” memukau saya, terutama pada sudut pandang positif yang ditawarkan. Tulisan kedua berjudul “Merapi, Kesejajaran Makna, dan ‘Kematian’ Kita” yang berfokus pada pemaknaan empatik atas erupsi Merapi, pun sama memukaunya. Kedua rekan saya itu memang sering menulis dengan sangat bagus dan memukau. Tidak seperti saya yang tulisannya seringkali biasa saja dan cenderung terlalu personal…hehe….



Bagi saya pemaknaan atas meninggalnya mbah Maridjan sebenarnya merupakan akibat langsung tak langsung dari hegemoni makna yang ada. Mbah Maridjan adalah “korban” dari hegemoni makna oleh penguasa yang membuat ia bertahan menjalankan tugasnya sampai mengorbankan nyawa. Hal yang lebih menyedihkan adalah mbah Maridjan kemudian “ditinggalkan” oleh pemberi mandat. Pemaknaan mbah Maridjan sebagai juru kunci justru menjadikan dia sentrum perhatian sekaligus korban dari posisi yang dijalani. Saya setuju dengan argumen yang menyatakan bahwa tidak akan pernah ada makna yang sejajar persis akan apa pun karena setiap orang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang unik pada masing-masing diri. Namun dalam kasus meninggalnya mbah Maridjan tafsir hegemonik itulah yang terasa.



Hegemoni penguasa tersebut kemudian diperkuat oleh sebagian besar media selama bertahun-tahun. Dedikasi dan kedirian mbah Maridjan yang luar biasa pun kemudian dimaknai dalam koridor juru kunci tersebut. Ironisnya, sedikit media yang kritis memberikan tafsir alternatif. Walau pada akhirnya tafsir hegemonik tersebut diingkari sendiri, makna utama inilah yang terus mengemuka sampai sekarang ini. Media sebagai pemberi tafsir hegemoni utama telah menjelaskan “tugasnya” dengan baik sengaja atau tak sengaja.



Permasalahan lainnya adalah lokus dan waktu makna tersebut ditempatkan. Makna bagi diri sendiri adalah bebas. Derajat kebebasan tafsir atau pemaknaan tersebut setinggi kemungkinan detail makna yang bisa muncul. Namun persoalannya adalah bila makna tersebut ditempatkan dalam kehidupan publik. Bila makna yang tak sejajar dengan visi kepublikan ditempatkan dalam ruang publik tentu akan menimbulkan persoalan.



Lokus publik di sini juga dapat berwujud dua, yaitu pemakna atau individu yang menyampaikan makna tersebut dan isu yang disampaikan. Posisi pemakna di tengah-tengah kita, masyarakat, berperan bagi terperhatikannya komentar dia. Semakin tinggi posisi pemakna di masyarakat, akan semakin tinggi tingkat perhatian masyarakat padanya. Penempatan makna tersebut juga bisa menjadi lebih intens diamati oleh masyarakat bila muncul di media. Dengan demikian, tidak hanya tafsir tokoh masyarakat yang diamati intens, para pewarta dan pembaca berita juga berada dalam lokus pemaknaan yang lebih diamati oleh kita.



Konteks kedua adalah waktu dan situasi pemaknaan atas sesuatu. Komunikasi bencana memiliki karakter yang bermuatan emosi tinggi sehingga para pemakna yang muncul di media semestinya bijak dalam melontarkan komentar. Bila dilacak sejak erupsi awal Merapi sampai sekarang, cukup banyak pemakna yang tidak bijak melontarkan komentar baik yang berasal dari “tokoh” maupun pekerja media yang muncul di teks media.



Komentar-komentar tidak layak tadi sebenarnya bersumber pada ketaksejajaran makna. Mereka tak paham lokus dan waktu pemaknaan tersebut disampaikan. Pemaknaan yang tidak pantas sesuai dengan yang tertangkap di media, baik media lama maupun media baru, diawali dengan pemaknaan bahwa erupsi Merapi, atau bencana apa pun, adalah azab. Pemaknaan seperti ini sesungguhnya membuat para korban lebih menderita lagi setelah menderita secara langsung.

Pemaknaan seperti di atas biasanya disampaikan oleh para tokoh yang berasal dari kalangan agamawan, atau minimal yang coba merepresentasikan komunitas agama. Tafsir seperti ini sebenarnya telah muncul sejak bencana besar pertama kita rasakan, gempa dan tsunami di Aceh pada tahun 2004. Pemaknaan bahwa bencana adalah azab akan menemukan nilainya bila disampaikan untuk komunitas agama bukan dalam ranah yang lebih luas, seluruh publik. Publik yang beragam, rasional, dan cenderung transparan tidak cocok dengan tafsir yang “menyalahkan” tersebut.



Pemaknaan tak pantas kedua atas bencana muncul dari “tokoh” sebagai akibat tak memahami kondisi “mengada” di tengah bencana. Kondisi warga yang menjadi pengungsi tidak akan mungkin dirasakan utuh oleh orang yang tidak merasakan, namun komentar dan pemaknaan semestinya komentar atau pemaknaan itu tetaplah empatik. Komentar salah seorang wakil rakyat yang menyalahkan warga atas bencana di Mentawai, bahwa bencana itu adalah konsekuensi bagi yang tinggal di pulau, adalah tak layak. Juga dengan komentar seorang menteri yang menganggap bahwa kehidupan pengungsi itu sudah enak, padahal keadaan sesungguhnya tidak demikian, siapa yang bisa hidup “enak” bila hidup dalam kondisi serba darurat. Istilah “klentheng-klentheng” kemudian menjadi sindiran bagi pejabat yang tak peka dengan kehidupan pengungsi tersebut. Kritik dari warga atas kedua komentar tokoh tersebut juga banyak muncul di media massa dan media interaktif.



Pemaknaan atas bencana ketiga dan terakhir, serta mungkin yang paling menghebohkan, adalah pemaknaan yang bersumber dari pekerja media, seorang pemandu acara, yang menyampaikan kemungkinan bahwa Yogyakarta, kota indah ini, akan hilang dari peradaban. Pemaknaan inilah yang menjadi topik hangat selama beberapa hari. Komentar atau pemaknaan yang bahkan mengundang regulator media yang biasanya kurang aktif, Komisi Penyiaran Indonesia, untuk bertindak cepat. KPI, sebagai akibat penayangan program infotainment itu, kemudian memanggil seluruh redaksi berita tv dan memberi sanksi pada program infotainment tersebut dalam waktu sehari. Walau si pembawa acara menyanggah pernah berkomentar bahwa Yogyakarta adalah kota malapetaka namun esensi dari ucapannya di program acara infotainment tersebut tetaplah sama: menyebarkan ketakutan luar biasa di masyarakat.



Lalu, bagaimana memunculkan pemaknaan atas bencana yang sesuai dengan lokus dan waktu, sekaligus juga mencerahkan? Pertama, menempatkan tafsir atas bencana sesuai dengan visi kepublikan. Sebelum mengeluarkan komentar, para pemakna yang memiliki konsekuensi publik itu seharusnya memperhatikan terlebih dahulu pada konteks tempat dan waktu. Visi kepublikan, terutama pada implikasi untuk banyak orang, mesti diperhatikan. Jangan sampai komentar malah berimplikasi negatif pada masyarakat. Visi kepublikan tidak menempatkan motif ekonomi dan politik sebagai tujuan utama, melainkan fungsi sosiokultural dari pesan media. Hal ini sulit dilakukan oleh media kita, terutama televisi, yang bertahun-tahun dibangun dengan pondasi kepentingan ekonomi dan politik yang terlalu kuat. Bukan berarti visi kepublikan media di Indonesia tidak bisa dibangun. Hanya saja diperlukan upaya yang lebih keras lagi oleh kita semua untuk mewujudkannya.



Kedua, pemaknaan atas bencana bisa mencerahkan bila pemaknaan tersebut relatif positif atau konstruktif dan mengarahkan pada tindakan kolektif yang bermanfaat bagi kehidupan bersama. Walau apa yang terjadi pada masa depan berkaitan dengan bencana tidak dapat diprediksi karena keterbatasan informasi yang kita miliki, sebaiknya kita tetap memilih pemaknaan yang positif. Apa artinya memilih pemaknaan yang malah menimbulkan “bencana” susulan, karena informasi yang tak akurat dan pemaknaan menakutkan? Hegemoni dan ketaksejajaran makna adalah inheren dalam proses komunikasi, namun semestinya visi kepublikan terus meneruskan diperjuangkan oleh kita semua, terutama media dan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...