Rabu, 31 Maret 2010

Hanya Karena Sebuah Album


Saya mencoba mengingat, kapan terakhir kali saya tercerahkan oleh konten media tertentu? Menonton lagi “Adaptation” tentu saja mencerahkan, begitu juga membaca lagi buku Bill Kovach & Tom Rosenstiel, “The Elements of Journalism”. Tetapi saya mencoba mengingat, kapan saya mendengar sebuah album yang benar-benar mencerahkan. Bagi penggemar musik seperti saya, waktu terakhir kali tercerahkan oleh sebuah album adalah saat yang penting.

Album yang mencerahkan adalah album yang mampu “mengikat” waktu dan kejadian. Lampau dan kini, demikian juga kejadian kiri dan kanan. Artinya ada momen yang menjadikan kita ingin lebih mereguk keindahan hidup. Album yang mampu melakukan hal-hal begitu sudah agak jarang saya rasakan. Tentunya dengan mengeluarkan dari daftar, band-band favorit saya, Sonic Youth, U2, Depeche Mode, Pearl Jam, Pet Shop Boys, Radiohead, Nine Inch Nails, Manic Street Preachers, dan REM, mereka semua tidak pernah mengecewakan ketika merilis album. Tetapi bagaimana dengan penyanyi atau band lain? Tentunya ada banyak, salah satunya adalah album ini, “Only by the Night” oleh Kings of Leon.

Album ini sebagai sebuah kesatuan lagu, maupun per lagu, adalah materi yang sangat bagus. Album ini, kita putar dengan cara bagaimana pun dari lagu mana pun, album ini tetap bagus karena materinya memang bagus, tidak membosankan, dan beragam. Dan yang terpenting adalah saya merasakan semangat kuat untuk hidup lebih baik lagi. Efek seperti ini mirip ketika saya mendengarkan “Murray Street” dan “Achtung Baby”, atau paling tidak mirip dengan “Ga Ga Ga Ga Ga” oleh Spoon. Untuk itu sudah merindukan banyak hal pada masa lalu saya.

Lagu pembuka “Closer” sudah mengajak kita memasuki atmosfer aneh dari sebuah tempat yang baru kita datangi. Aneh, indah, dan memberikan kita optimisme bahwa kita bisa menaklukkan apa saja. Begitu juga pada lagu kedua dan ketiga.

Album dari band yang mungkin bila ditujukan untuk remaja bernama Followill Brothers ini, membuat saya ingin kembali mengulik album-album lama mereka. Ya, mereka bisa disebut dengan nama “Followill Brothers” karena sejatinya mereka bersaudara, tiga saudara kandung dan satu saudara sepupu. Ternyata ketiga album awal mereka sebelum album ini juga cukup bagus. Aha Shake Heartbreak (2003), Youth & Young Manhood (2004), dan Because Of The Times (2007), menunjukkan perjalanan mereka mencari bentuk. Walau begitu, album “Only by the Night” (2008) inilah mereka menemukan format ideal musik mereka.

Pantas saja mereka dinominasikan mendapatkan Grammy. Album yang keren sekali. Menurut saya seharusnya album ini mendapatkan penghargaan lebih atau paling tidak sama dengan Taylor Swift. Si gadis remaja itu saja mendapatkan banyak sekali Grammy, tujuh bila tidak salah. Semestinya band ini juga.

Selain yang sudah saya kisahkan di awal, album ini berefek positif bagi saya. Hanya karena sebuah album saya memikirkan hal-hal yang saya kangeni. Saya jadi merindukan suasana dan teman-teman dekade 1990-an. Saya juga kangen dengan suasana hati penuh optimisme sekaligus “lembut” seperti ini, katakanlah optimisme yang tidak garang dan meluap-luap, hanya muncul di hati tetapi kita yakin mencapai banyak hal. Sudah cukup lama perasaan semacam ini tak muncul.

Hanya karena sebuah album, album ini, saya jadi ingin mencoba mengulik lagi konsep identitas. Saya pernah meneliti konsep identitas di majalah HAI dengan menggunakan perspektif Foucauldian pada tahun 2000. Dan album ini membuat saya memikirkan riset itu lagi. Ada dua lagu tentang identitas di album ini, kebetulan keduanya menggunakan kata “somebody”, “Use Somebody” dan “Be Somebody”. Pertanyaannya, siapa seseorang itu, siapa kita, dan bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain, juga apa ancangan kita pada identitas yang dibayangkan? Kembara intelektualitas sepertinya menanti lagi dalam topik identitas dan media.

Album ini menunjukkan (kembali) pada saya bahwa inspirasi itu datangnya tidak terduga. Dia datang dari depan atau belakang, kiri atau kanan, dari sebuah album atau mungkin dari sebuah buku suci. Inspirasi bisa datang dari mana saja. Semua orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah, kata seorang cendekia pendidikan, dan kita bisa menambahkan, semua pesan media adalah sumber inspirasi.

Apakah mendengarkan album bisa begitu penting? Jawabannya bagi saya, ya. Hanya karena sebuah album, saya merasa dapat menghidupi hidup dengan lebih berani dan ingin lebih berusaha menjadikan hidup saya sendiri kontemplatif. Hanya karena sebuah album hidup pada suatu hari bermula kembali…sebermula adalah kata, sebermula adalah bunyi (yang indah)

Penyanyi : Kings of Leon
Judul : Only by the Night
Tahun : 2008

Daftar lagu:
1. Closer
2. Crawl
3. Sex on Fire
4. Use Somebody
5. Manhattan
6. Revelry
7. 17
8. Notion
9. I Want You
10. Be Somebody
11. Cold Desert

Sistem Media


Apa itu sistem media? Sistem media adalah cara memandang media melampaui institusinya, dari kejauhan, dan meliputi keseluruhannya (holistik). Cara pandang ini adalah cara pandang yang umum sejak kelahiran studi media sampai dengan dekade 1980-an, walau di Indonesia masih marak sampai dengan 1990-an. Cara pandang ini dianggap sudah ketinggalan jaman walaupun sampai sekarang masih tetap digunakan, terutama untuk membandingkan fenomena media di berbagai negara.

Cara pandang seperti ini disebut dengan cara pandang sistemik atau makro. Sistem dilihat sebagai interaksi berbagai elemen yang berfungsi secara spesifik tetapi ketika berinteraksi, kemudian muncul fungsi-fungsi baru. Sistem sosial, termasuk sistem media, adalah sistem yang terbuka. Terbuka terhadap perubahan yang terjadi di luar sistem, yang dikenal sebagai lingkungan eksternal.

Sistem media biasanya digunakan untuk mengkomparasikan. Dengan demikian kita tidak bisa menjelaskan suatu sistem media tanpa membandingkannya dengan sistem yang lain. Komparasi sistem media pun bisa melalui dua cara. Pertama, membandingkan dua atau beberapa sistem media dalam konteks waktu yang sama, misalnya membandingkan sistem media di Indonesia dengan sistem media Malaysia masa sekarang. Kedua, membandingkan satu sistem media dalam konteks waktu yang berbeda. Misalnya membandingkan sistem media Indonesia masa sekarang dengan sistem media Indonesia pada masa Orde Baru.

Berbicara tentang sistem media, tentu saja kita tidak bisa melepaskan diri dari tipologi sistem media pertama yang dirilis oleh Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm (1956). Mereka bertiga menulis buku yang mengharu-biru dunia akademis ilmu komunikasi. Buku mereka adalah “Four Theories of the Press”. Selanjutnya, kita juga mengenal beberapa tipologi sistem media yang dikenalkan oleh Robert G. Picard (1985), Whitney R. Mundt (1991), J. Herbert Altschull (1995), dan William A. Hachten (1996).

Sistem media, atau dahulu lebih dikenal sebagai sistem pers, adalah cara menganalisis dengan melihat relasi media dengan tiga institusi yang lain, negara, masyarakat dan pasar. Sistem pers kemudian digantikan dengan istilah sistem media karena dua alasan. Pertama, pers dianggap hanya mengakomodir telaah untuk pesan faktual. Sementara pesan fiksional pun sebenarnya penting bagi sebuah “sistem”. Kita tahu bagaimana di sistem politik yang otoriter, ketika warga masyarakat sulit mendapatkan informasi, mereka lebih mengandalkan pesan fiksional yang relatif masih bisa diakses.

Selain itu, sistem media lebih dapat mengakomodir perkembangan media lebih jauh. Sebagaimana kita ketahui, pers diartikan secara sempit hanya pada media cetak, sementara perkembangan media sekarang ini sudah sedemikian maju. Kini kita mengenal ragam media baru yang lahir dan intens digunakan masyarakat pada tahun 1990-an sampai dengan sekarang.

Setelah Siebert, Petterson, dan Scramm, banyak ahli yang berusaha menyusun dan menunjukkan model lain dari sistem media. Salah satunya adalah Daniel C. Hallin dan Paolo Mancini. Sistem media yang mereka lansir terdapat dalam buku Comparing Media Systems: Three Models of Media and Politics. Cambridge: Cambridge University Press, yang diterbitkan tahun 2004.

Mereka membuat tiga model sistem media, yaitu (hal.67):
• Mediterranean or polarized pluralist model (Perancis, Yunani, Italia, Portugal, Spanyol)
• Northen European or Democratic Corporatist Model (Austria, Belgium, Denmark, Finlandia, Jerman, Belanda, Norwegia, Swedia, Swiss)
• North Atlantic or Liberal Model (Inggris, AS, Kanada, Irlandia)

Ketiga sistem tersebut disusun setelah mereka menelusuri data “empiris” dari negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Tujuan keduanya antara lain adalah untuk memberikan alternatif telaah sistem yang lebih empiris bila dibandingkan dengan sistem media terdahulu.

Dasar argumen bagi komparasi sistem media menurut Hallin dan Mancini dibagi berdasarkan aspek berikut ini (hal. 21):
• The development of media markets, with particular emphasis on the strong or weak development of a mass circulation press
• Political parallelism; the degree and nature off the links between the media and political parties or, more broadly, the extent to which the media system reflects the major political divisions in society
• The development of journalistic profesionalism
• The degree and nature of state intervention in the media system

Upaya yang dilakukan oleh Hallin dan Mancini sudah cukup bagus karena mereka memberikan alternatif dari tipologi sistem media yang meraja selama beberapa dekade. Walau begitu, ada beberapa catatan ataupun kritik atas tipologi yang dijelaskan oleh Hallin dan Mancini.

Pertama, mereka menyarankan untuk “melepaskan diri” dalam menganalisis sistem media. Mereka beranggapan bahwa tipologi Siebert, Petterson, dan Schramm, cenderung menempatkan media sebagai pihak yang selalu sangat terintervensi oleh pihak lain, katakanlah negara. Justru telaah mereka menunjukkan hal yang sama, intervensi oleh kekuatan politik, padahal pada awalnya mereka ingin memberikan pemahaman sistem media yang berbeda dari para pendahulunya.

Kedua, argumen Hallin dan Mancini atas pembagian atau dasar mengkomparasi sistem, hampir tidak memasukkan konten media fiksional dan media baru. Padahal seperti kita ketahui bersama, fenomena bermedia sejak dekade, katakanlah, 2000-an awal, adalah dekade yang marak dengan kedua fenomena tersebut.

Ketiga, tipologi sistem media yang dianggap salah satu yang paling baru ini juga tidak memasukkan perkembangan media baru. Seperti kita pahami bersama, perkembangan media baru berpotensi besar mengubah cara kita mengkomparasikan sistem. Media baru memiliki karakter berbeda dengan media konvensional dalam hal produksi, penyimpanan, tampilan, dan distribusi pesan.

Di atas semua itu, upaya untuk memberikan “jalan keluar” dari konsepsi yang mengurat mengakar tetap patut diapresiasi. Paling tidak, perbandingan sistem media versi Hallin dan Mancini menunjukkan pada kita semua bahwa telaah makro masih cukup penting dan berguna untuk melihat fenomena yang semakin dinamis seperti sekarang. Sumbangan lain yang juga penting adalah memberikan input bahwa mengolah berbagai informasi yang empiris penting bagi telaah yang makro. Konsepsi mengenai sistem media adalah gambar besar di pikiran kita. Hal terpenting adalah cara gambaran tersebut membantu kita memahami berbagai fenomena.

Siksa Neraka


Bila mendengar kata “neraka”, apa yang ada di benak teman-teman? Apakah neraka itu sebuah tempat imajiner di kepala kita, yang akan ditempati oleh sebagian dari umat manusia? Atau neraka itu sudah ada di tempat kita hidup sekarang ini? Silakan dijawab sendiri dan kemungkinan tafsirnya bisa beragam sekali.

Hal yang saya tahu, neraka adalah tempat yang sangat sangat mengerikan, sesuai dengan cerita-cerita guru mengaji saya dulu. Neraka kemudian beroposisi biner dengan surga. Surga dan neraka digambarkan begitu berbeda dan tentu saja, surga adalah harapan banyak orang sementara neraka adalah sesuatu yang harus dihindari.

Apa gambaran neraka bagi anak muda sekarang? Gambaran ini mesti dicek melalui telaah yang berhati-hati. Hal yang jelas, penggambaran neraka dalam film-film terbaru, terutama yang dari Barat, memberikan gambaran yang berbeda. Coba kita tengok film “Constantine” dan “Hell Boy” di mana para “penghuni” neraka memberontak dan malah menjadi penyelamat dunia.

Entahlah. Mengeksplorasi “neraka” dalam konteks kekinian mungkin cukup sulit bagi saya bila hanya mengandalkan bacaan yang sedikit. Hal yang jelas bagi saya adalah neraka itu mengerikan. Salah satunya bersumber dari bacaan-bacaan jaman dulu. Ada sebuah buku kecil yang benar-benar saya “takuti” isinya. Saya lupa judulnya pada awalnya. Saya hanya bisa mengingat bahwa saya takut dengan buku itu. Setiap membacanya membuat saya takut setengah mati.

Beberapa waktu yang lalu secara ajaib saya mendapatkan buku tersebut dari seorang teman yang baru pulang berdinas dari Gorontalo. Ternyata buku itu berjudul “Siksa Neraka” dan setelah saya baca-baca lagi, buku tersebutlah yang pernah saya baca tentang neraka, yang kemudian menjadi sumber utama pengetahuan saya selama bertahun-tahun.

Tadinya saya ingin mengunggah sampul buku dan beberapa halaman yang ada di dalam buku ini tetapi saya urungkan. Gambar-gambar tersebut terlalu ofensif dan saya khawatir akun facebook saya diblokir. Intinya, penggambaran buku kecil ini begitu mengerikan. Saya kutipkan saja tulisan di sampul belakangnya: adik-adik pembaca, inilah selintas gambaran tentang neraka….Apabila kita telanjur berbuat dosa maka segeralah bertaubat, agar mendapat ampunan Allah dan terhindar dari siksa neraka…Adik-adik? Penulis buku ini bilang seperti itu, berarti secara eksplisit buku ini ditujukan pada anak-anak.

Coba kita tengok salah satu halamannya, tepatnya di halaman 30, …sesaat kemudian benda-benda itu datang dengan berbentuk “rokok daun ganja”, suntikan yang berisi cairan “morphin”, “heroin” dan lain sebagainya! Mereka segera menggunakan benda-benda itu dan seketika itu pula daging dan kulit mereka yang melekat di tubuh menjadi rontok hancur luluh. Kalimat tersebut disertai gambar yang vulgar. Ini baru satu halaman. Hampir semua halaman berisi gambar yang tidak pantas untuk anak-anak. Hal yang sama sudah dapat dilihat dari sampul depan buku kecil atau komik ini. Gambarnya sudah kelewat sadis. Uniknya, ada lingkaran kecil bertuliskan “cergam tauladan”.

Saya bertanya pada teman-teman yang lebih tua dan yang lebih muda dari saya. Teman yang lebih tua, umurnya di pertengahan 40-an, bilang dia dulu juga membaca buku ini. Begitu pula teman saya yang jauh lebih muda, usianya pertengahan 20-an. Dia juga “hidup” dalam kurun waktu yang begitu lama. Walau harganya murah, sekitar dua ribu lima ratus rupiah, buku ini pastinya sudah sangat menguntungkan bagi kreatornya. Ini dengan catatan bila penulisnya masih orang atau organisasi yang sama.

Tertera di sampul buku penerbit buku ini adalah CV. Pustaka Agung Harapan Surabaya dan juga penulisnya, MB. Rahimsyah AR dan Irsyadul Anam. Tetapi tidak ada sama sekali keterangan alamat dan juga klasifikasi umur pembaca buku ini. Jelas buku ini akan merugikan bila dibaca oleh anak-anak yang belum memiliki pemahaman agama yang memadai. Walau begitu, buku semacam ini adalah fenomena lain “media cetak” atau barang cetakan yang hadir di wilayah tak terperhatikan, murah, dan ditujukan biasanya untuk kelas bawah. Buku semacam ini mirip dengan barang cetakan berisi teka-teki silang dan notasi lagu yang berharga murah, dicetak seadanya, namun laris luar biasa.

Kembali pada pertanyaan awal, apa makna “neraka” bagi teman-teman?
apakah seperti kebanyakan tafsir yang bersumber dari agama, atau laksana tafsir seorang tokoh eksistensialis, bahwa neraka adalah orang lain (dan juga di dalam hati kita sendiri)?

Info buku
Judul : Siksa Neraka, Cergam Tauladan
Pelukis : MB Rahimsyah AR
Cerita : Irsyadul Anam
Tahun : tanpa keterangan
Penerbit : CV Pustaka Agung Harapan Surabaya
Harga : Rp. 2500,-
Jumlah halaman : 32 hal. Gambar hitam putih

Rabu, 24 Maret 2010

Manajemen Media dan Majalah Supranatural



Manajemen media adalah sub kajian di dalam ilmu komunikasi yang memiliki paling tidak empat karakter. Karakter-karakter tersebut adalah multidisplin, multi level, peka dengan situasi kontekstual, dan dekat dengan perkembangan teknologi. Kajian manajemen media menggabungkan dan mengombinasikan konsep-konsep dari ilmu lain, semisal ekonomi, politik, hukum, psikologi, bahkan juga budaya. Untuk mendedah pasar media misalnya, kita memerlukan kajian ekonomi (media). Sementara itu, untuk melihat sumber daya manusia dalam fungsi kreasi atau produksi pesan, kita memerlukan beberapa pengetahuan dari disiplin ilmu psikologi.

Karakter multilevel ditunjukkan melalui level telaah untuk meninjau kasus-kasus manajemen media. Kajian ini utamanya melihat level organisasi (atau bolehlah dianggap pula institusi) tetapi juga memerlukan pemahaman komunikasi interpersonal dan sistemik. Untuk menjalankan fungsi manajemen yang bagus dan tepat, diperlukan pemahaman kepemimpinan dan kepengikutan dengan baik dan bagus pula. Dengan demikian, manajemen media memerlukan telaah komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok.

Demikian juga dengan pemahaman atas konteks yang lebih luas, pengelola media mesti memahami situasi eksternal yang terjadi di luar organisasinya agar dapat merumuskan strategi yang tepat dan tindakan yang etis dan tidak melanggar hukum. Menerbitkan Playboy adalah pilihan yang tepat sebagai sebuah strategi dan waktu itu tidak melanggar hukum walau secara norma sosial belumlah cukup diterima oleh kelompok tertentu.

Karakter kedua ini secara langsung membawa konsekuensi pada karakter ketiga dan keempat. Dengan demikian, studi manajemen media sangatlah peka konteks. Artinya, merilis media sekarang ini mesti sangat memperhatikan kondisi eksternal yang terjadi, bukan hanya pada level nasional, melainkan juga global. Perilisan film “Sang Pemimpi” misalnya, sudah tepat bila memperhatikan kompetitor dari film nasional. Ternyata konstelasi di audiens berbeda, film “Avatar” yang dirilis bersamaan menjadikan fokus penonton lebih tertuju bukan pada film “Sang Pemimpi”.

Karakter yang terakhir adalah sangat peka dengan perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi terkini berpengaruh pada produksi, tampilan, penyimpanan, dan distribusi pesan, sehingga sungguh besar pengaruhnya. Perkembangan teknologi pada level individu pekerja media juga memberikan kontribusi yang besar pada institusi media. Walau begitu ada pula pengaruh negatif teknologi pada pekerja dan institusi media.

Apa yang diharapkan setelah kita mempelajari manajemen media? Tentu saja agar kita lebih memahami kajian tersebut dan pada akhirnya, ketika kita telah bekerja nantinya, harapannya di media atau bahkan “mendirikan” media, kita dapat membuat keputusan manajerial dengan tepat pula.

Untuk memahami manajemen media, paling tidak para pembelajar mesti memahami tiga aspek. Hal ini terutama sangat dekat karakter manajemen media yang multi disiplin. Pertama, kita mesti memahami konteks di mana media tersebut beroperasi, terutama dinamika hubungan empat entitas; masyarakat, negara, pasar, dan teknologi media. Kedua, kita mengetahui pesan dengan mendalam. Klasifikasi jenis dan format pesan perlu kita kenal dengan baik. Pemahaman inilah yang menjadi pembeda utama dengan telaah manajemen bidang yang lain. Istilah rubrikasi di dalam media cetak misalnya, perlu diketahui dengan mendalam, karena dari sinilah kita mengenal output manajemen.

Terakhir, kita mesti memahami fungsi manajemen karena dari sinilah kebijakan manajerial terimplementasi. Apa saja fungsi manajemen? Fungsi-fungsi manajemen adalah sebagai berikut: perencanaan, pengorganisasian, penyusunan personel kerja, pengordinasian, dan pengawasan. Obyek dari fungsi manajemen adalah sumber daya yang dikelola oleh organisasi media. Fungsi manajemen bertujuan mewujudkan tercapainya efisiensi sumber daya dan efektivitas pesan. Seperti kita ketahui bersama, efisiensi dan efektivitas adalah dua tujuan utama dari implementasi fungsi manajemen.

Kita akan mencoba menerapkan pengetahuan dasar tentang manajemen media di atas melalui kasus yang ada. Salah satu jenis media yang cukup diakses pasar namun kurang kita perhatikan, dapat menjadi kasus di mana pengetahuan mendasar yang telah didiskusikan sebelumnya dapat digunakan untuk menganalisis. Kasus tersebut adalah implementasi manajemen media pada majalah supranatural.
Ada dua majalah yang saya amati dengan singkat, yaitu Victory dan Misteri. Mungkin ada majalah lain yang bicara tentang fenomena supranatural, tetapi kedua majalah inilah yang saya akses.

Majalah “hantu-hantuan” ini bisa muncul karena pasarnya memang ada. Selama masyarakat kita masih percaya penuh dengan hal-hal berbau supranatural, majalah seperti ini akan terus ada. Permintaan terus menerus ada sehingga produk akan selalu coba disediakan oleh produsen.

Hal yang bersifat supranatural kemungkinan besar sulit hilang dalam waktu dekat di masyarakat kita. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan bersimbiosisnya penggunaan media baru dengan fenomena supranatural misalnya. Kita tentunya masih ingat dengan kejadian beberapa waktu lalu yang menghebohkan masyarakat, di mana handphone menjadi wahana bagi santet. Mungkin memang para hantu sudah bisa mengakses media baru sehingga mereka pun dapat memodernisasi “kesaktiannya” :D

Karena kasus yang kita amati ada pada level output media, yang dapat kita amati adalah semua yang muncul di dalam kedua majalah tersebut. Pertama, rubrikasi kedua majalah. Victory mengutamakan reportase dari berbagai tempat di tanah air. Selain itu, majalah ini mengangkat topik yang sedang populer. Pada edisi 4 tahun 2010 ini diangkat artikel utama “Sumpah Maut atas nama Pocong”. Liputan ini mengambil beberapa kasus di Indonesia dengan menggunakan tokoh agama dan tokoh supranatural sebagai sumbernya. Walau sepintas ada dua sumber, tokoh supranatural memberikan opini yang senada dengan tokoh agama.

Sementara itu, majalah Misteri lebih mengutamakan artikel opini untuk mendedah fenomena supranatural. Hal ini misalnya terlihat dalam edisi 5 – 19 Maret 2010 pada rubrik Misteri Sejati yang berjudul “ Akibat Bersekutu dengan Susuk Intan”. Tidak ada informasi yang menunjukkan bahwa tulisan ini adalah produk jurnalistik. Lebih banyak opini dan mengutip berbagai sumber.

Hal yang menarik dari sisi pasar adalah iklan yang muncul di dalam kedua majalah ini. Keduanya dipenuhi dengan iklan jimat dan sebagainya, juga iklan-iklan perseorangan dari para “orang sakti”, baik yang melekatkan dirinya dengan simbol agama dan yang tidak. Iklan benar-benar sangat dominan di dalam kedua majalah ini. Dari sisi pendanaan, mudah dilihat kedua majalah ini beroperasi dengan dana memadai, bahkan mungkin sangat menguntungkan.

Sumber daya pekerja media juga digunakan dengan optimal karena keduanya memiliki sumber daya manusia yang sedikit. Sumber daya informasi yang akan diolah menjadi konten media juga sungguh optimal, terutama pada Misteri. Informasi yang didapat tentang fenomena supranatural dapat dicari dengan cukup mudah pada sumber-sumber lain, terutama dari internet. Apalagi semua sumber tersebut tidak disertai rujukan yang memadai. Tidak hanya tulisan, gambar dan foto yang digunakan pun tidak menunjukkan sumbernya. Kedua majalah ini mengeluarkan biaya yang sedikit dalam memproduksi pesannya dengan keuntungan yang lumayan besar.

Walau kepentingan publik bukanlah hal utama yang digunakan untuk melihat manajemen media, tetapi tetap kita pertanyakan pula, apa makna kehadiran majalah jenis ini di masyarakat. Kemungkinan besar secara manajerial, kedua majalah ini efektif dan efisien dalam mengelola sumber daya. Pasar juga menyerapnya dengan baik. Tetapi apa peran kehadiran kedua majalah ini dalam kehidupan publik? Hal yang paling penting saja, menunjukkan akuntabilitas produksi pesan, kedua majalah ini sulit. Kedua majalah ini mengangkat fenomena yang memang sulit diverifikasi dan ada di luar wilayah “kepublikan” yang digadang-gadang oleh para pembelajar.

Bagaimana mungkin para “makhluk halus” disesuaikan dengan prinsip-pirnsip jurnalistik? Atau pendekatan kita, para pembelajar, yang kurang tepat untuk mengamati fenomena ini. Toh, pembacanya juga baik-baik saja dan tidak mempertanyakan. Sekali lagi, selama sebagian masyarakat kita masih percaya dengan fenomena supranatural, selama itu pula media jenis ini akan terus hadir.

Ngomong-ngomong, apa para hantu juga memerlukan media tentang manusia, atau apakah mereka juga mempelajari media ya? :D

Selasa, 23 Maret 2010

Musik Kamar dan Pikiran yang Mengembara


Mendengar dua atau lebih album yang mirip, kemungkinan kita akan tergerak untuk mengkomparasinya. Begitu pun ketika saya mendengarkan album ini. Dengan segera saya membandingkannya dengan album Endah dan Ressa dan juga dengan album Andre Harihandoyo and Sonic People.album-album yang mirip secara musikal. Album ini berada sedikit di bawah keduanya ketika dibandingkan. Tidak seperti kedua album yang lain itu, yang juga menggunakan gitar gitar sebagi elemen utama dan aransemen sederhana, yang begitu solid kumpulan lagunya.

Album ini tidak berbicara dalam topik yang khusus. Album ini didefinisikan oleh penyanyinya sebagai “rekaman kamar”. Kemudian album ini benar-benar sekadar “musik kamar”. Album yang diproduksi dan dihayati di kamar tanpa menerobos ke luar. Album ini memberikan rasa tenang tetapi hanya itu saja. Musik yang diangkat kurang mengajak kita pada pengembaraan pikiran.

Jangan sepelekan pikiran yang mengembara. Pikiran adalah kekuatan terbesar manusia. Pikiran yang mengembara tersebut bisa dimunculkan melalui musik yang sederhana dan hanya sekadar dinikmati di dalam kamar, sendirian dan memanjakan diri sendiri. Stephen King misalnya, dia menulis karya-karyanya di sebuah kamar yang menghadap dinding. Walau begitu kita tahu bahwa novel-novelnya penuh dengan imajinasi dan menunjukkan kembara pikiran.

Album ini sebenarnya bisa diarahkan pada pikiran yang mengembara. Antara lain melalui lagu “Memilihmu”, yang menganalogikan memilih kekasih itu seperti memasuki dan belajar di sekolah unggulan. Coba bila situasi sekolah unggulan dimunculkan, pasti makna kembara pikiran itu akan lebih terasa. Lagu-lagu lain muncul dengan suasana yang mirip. Walau enak didengar, tidak ada hal baru yang disampaikan. Suasana yang dibangun adalah suasana yang tenang dan damai di kamar ataupun di rumah.

Album ini juga potret dari kondisi musik Indonesia sekarang ini. Di wilayah musik indie juga bisa terdengar musik yang relatif mirip. Tidak apa sebenarnya. Tetapi memunculkan musik yang relatif mirip dengan yang sebelumnya apalagi bila album-album sebelumnya itu lebih sukses, adalah sesuatu yang beresiko dianggap sebagai epigon.
Walau begitu pilihannya sama. Bila kita ingin mendengarkannya di kamar, musik yang dibawa adalah musik yang enak. Bila kita ingin mengembarakan pikiran, album ini belum ada di sana. Tidak lebih dan tidak kurang.

Penyanyi : Adhitia Sofyan
Album : Quiet Down
Tahun : 2009

Daftar Lagu:
1. Adelaide Sky
2. Memilihmu
3. Blue Sky Collapse
4. Invisible
5. Greatest Cure
6. In to You
7. Reality
8. Deadly Storm Lightning Thunder
9. W.Y.L.
10. City of Flowers
11. Number One

Pengulangan dan “Tipu-tipu”….eh, Strategi Industri


Dirilisnya album ini dapat memberikan semacam pandangan tentang kondisi musik Indonesia terkini. Kondisi di mana industri benar-benar mengoptimalkan sumber daya yang dimilikinya sekaligus abai terhadap kualitas secara umum. Dengan mengatasnamakan strategi, industri rekaman membolak-balik dan mendaur-ulang materi yang telah ada. Sebenarnya dari sisi pendengar, tidak banyak hal yang terlalu baru bila demikian. Kumpulan lagu atau album atau kompilasi, adalah cara terbaik untuk melihat tipu-tipu, eh...strategi industri musik populer tersebut.

Kita mengamati sisi "dalam" albumnya dulu. Dari sisi pesannnya, album ini tidak ada yang baru. Topik yang diangkat adalah hal-hal umum seputar cinta. Musiknya sih emang terasa lebih keras, terutama pada lagu-lagunya yang baru. Ada lima lagu baru yang lumayan untuk didengar-dengar.

Walau bagi saya cukup susah juga karena saya menganggap band ini agak kocak karena pernah muncul di dalam iklan produk seluler dengan jenaka. Sejak itu, imaji di kepala saya tidak pernah berubah: band ini tetap “lucu” sekali pun menyanyikan lagu dengan “serius”.

Lima lagu yang lain adalah lagu lama yang dibawakan dalam versi akustik. Beberapa bagus karena lagu-lagu itu menjelma menjadi “lagu baru”, lagu lama tetapi dengan tafsir berbeda. Tetapi tidak lebih dari itu. Selebihnya, album ini setengahnya adalah pengulangan dan tipu-tipu industri untuk merilis materi setengah baru dengan lebih mudah.

Kita bisa bertanya pada industri musik Indonesia secara umum yang belum berkembang, atau sengaja tidak dikembangkan lebih maju? Entahlah, menurut saya, bila memang tidak ada materi lagu yang baru, kenapa tidak merilis mini album saja? Atau album yang khusus ber-akustik ria?

Sebagai sebuah konten, album ini tidak solid dan tidak memberikan hal baru pada pendengar. Apakah ini efek dari kemajuan teknologi media dan perkembangan pasar yang justru tidak membuat kondisi musik Indonesia secara keseluruhan lebih baik? Kita akan memerlukan obrolan panjang untuk mendiskusikannya.

Sementara ini kita nikmati saja musik dari band yang pada album debutnya dianggap akan besar, proyek sampingan dari Andra yang akan mengatasi “proyek utamanya”.
Sepertinya kita perlu merevisi pandangan tersebut.

Penyanyi : Andra and the Backbone
Album : Love, Faith & Hope
Tahun : 2010

Daftar Lagu:
1. Pagi Jangan Cepat Datang
2. Tunggu Aku
3. Jalanmu Bukan Jalanku
4. Mimpi Burukku
5. Love, Faith & Hope
6. Muak (versi akustik)
7. Lagi dan Lagi (versi akustik)
8. Pujaan Hati (versi akustik)
9. Terdalam (versi akustik)
10. Seperti Hidup Kembali (versi akustik)

Potret Musik Indonesia Terkini


Tindakan profesional, apa pun bidangnya, dapat ditakar melalui dua hal, yaitu aktivitas profesional itu sendiri dan output kerjanya. Keduanya berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain walau dapat pula dilihat secara terpisah.

Di dalam bermusik, aktivitas profesional termanifestasi melalui penciptaan, penampilan, dan pendistribusian yang oke. Penciptaan musik profesional merujuk pada karya yang tidak meniru, apalagi mengkopi persis, karya orang lain. Penampilan musik yang bagus merujuk pada kesungguhannya terutama dalam pentas langsung. Jadi, sebenarnya musik yang dimainkan dengan bohong-bohongan dan penonton yang juga pura-pura menikmati, adalah tindakan pementasan musik yang tidak profesional. Bahkan lebih jauh daripada itu, kegiatan tipu-tipu saja. Tidak otentik dan tidak riil.

Begitu juga pendistribusian musik. Pendistribusian hasil karya musik dimulai dari pendokumentasian, pengemasan, dan penghantaran musik pada pendengar dengan baik untuk menunjukkan tindakan yang profesional. Pendokumentasian musik asal-asalan sebelum dikemas menunjukkan bahwa musisi dan pekerja pendukungnya belumlah serius bekerja.

Begitu juga dengan pengemasan. Pengemasan yang serius ditunjukkan melalui pengemasan output, misalnya memikirkan tampilan di album dan lain sebagainya. “Pengemasan” musisi juga memiliki pengertian lain, yaitu imaji yang berusaha ditumbuhkan dan ditanamkan pada si pencipta musik. Bila pengemasan itu hanya epigon dari musisi yang sudah ada, atau bahkan sama persis dengan imaji yang sedang populer, tentulah pengemasan itu kurang profesional.

Setelah aktivitas, tindakan profesional tersebut dapat dilihat dengan sangat mudah dan terverifikasi pada outputnya. Aktivitas yang bagus cenderung akan menghasilkan output yang bagus. Dengan demikian, mudah sebenarnya untuk menakar musisi. Pertama, ada tidak karyanya? Bila tidak pernah berkarya, apa yang bisa dinilai? Sekali pun misalnya, musisi tersebut dan para pendukungnya berkoar-koar bahwa si musisi hebat. Kedua, bila sudah ada output karya, dan ini jauh lebih bagus daripada tidak berkarya sama sekali, setidaknya musisi tersebut menjadi lebih mudah dirujuk dan diverifikasi oleh beragam pihak.

Akumulasi dari output bagus tiap musisi akan membentuk kondisi yang bagus pula secara umum. Di dalam “industri” musik sudah lumrah diketahui bahwa ada dua aras musik, yaitu musik major dan musik independen. Di banyak negara, perkembangan musik indie semakin tinggi persentasenya bila dibandingkan dengan musik yang beredar secara keseluruhan. Di Amerika Serikat misalnya, persentase musik indie sudah mencapai sekitar 15 persen. Sayang, kita tidak punya data yang sahih untuk musik indie Indonesia. Walau begitu kita bisa merasakan bahwa kehadiran musi indie sudah mulai semakin terasa dan tertangkap oleh radar pendengaran kita.

Di dalam kasus Indonesia, musik major atau seringkali juga disebut mainstream memang mengarah dalam kondisi yang kurang bagus. Perkembangan pasar dengan mengeksploitasi penggemar musik hanya sebagai konsumen, perkembangan teknologi media yang tidak diikuti oleh kemantapan penerapan hukum, dan regulator yang tidak paham, adalah tiga faktor yang saling bertali-temali dan pada akhirnya membuat musik Indonesia semakin terpuruk.

Musik menjadi semacam komoditas yang diperdagangkan tanpa mempedulikan kualitas. Musik mainstream kemudian menjadi senada, membosankan, dan penuh tindakan tidak profesional dan tidak otentik. Wajar bila kemudian para penikmat musik sering memandang musisi mainstream sebagai musisi tidak serius dan hanya mementingkan keuntungan semata. Tidak semua musisi mainstream seperti yang saya gambarkan di atas. Tetap ada juga musisi mainstream yang bagus dan menghasilkan output yang keren.

Kritik dari penikmat musik tersebut dianggap oleh seorang musisi sebagai “salah tempat”, menurutnya band mainstream tidak ada hubungannya dengan keberadaan mereka di major label maupun indie. Musisi itu adalah Anji, vokalis Drive. Ia mengutarakan isi hatinya di dalam majalah Rolling Stone Indonesia edisi Maret 2010. Menurut saya, pendapat Anji juga salah alamat karena wajar orang berkesimpulan musisi mainstream adalah musisi major label karena bila mereka “tidak mainstream”, mana lah bisa dikontrak label major? Kebanyakan musisi mainstream juga menghasilkan karya yang senada seirama tanpa keberagaman. Satu band sukses merilis irama melayu, band-band lain kemudian mengikuti. Di mana fenomena seperti ini terjadi bila bukan di musik mainstream?

Pemutaran lagu-lagu dan penampilan musisi di banyak acara musik pagi hari di televisi semakin memperparah kualitas mereka tersebut. Seingat saya Drive pun pernah tampil di program musik bohongan tersebut. Bagaimana bisa disebut berkualitas bila bernyanyi saja lipsinc, dengan iringan minus one. Apa bedanya dengan kita para pendengar, yang menyanyikannya secara karaoke di rumah? Juga dengan penonton bayaran yang bohong-bohongan menikmati musik? Memang ada pula penggemar musik sungguhan yang hadir tetapi “kepalsuan” dan “ketidakotentikan” tetaplah yang meraja.

Jadi pembelaan seorang praktisi televisi di majalah Trax edisi Maret 2010 juga tidak dapat dibenarkan. Febry Meuthia, Manager Music & Variety Program SCTV, yang melahirkan acara Inbox, menulis opininya yang berjudul “Televisi Itu Etalase”. Pembelaan habis-habisan darinya untuk menunjukkan bahwa musik dan televisi bisa bersinergi ke arah yang lebih baik. Kenyataannya, minimal saya, melihat acara tersebut di pagi hari, sama saja dengan mengorbankan sepanjang hari saya menjadi kelabu.

Televisi memang etalase. Siapa bilang televisi itu hanya lembaga pendidikan atau lembaga sosial? Permasalahannya adalah apakah etalase itu memajang “komoditi” yang oke atau tidak. Apakah komoditi itu bisa merujuk pada keinginan publik yang elegan.

Walau demikian, kita juga beruntung sekarang ini karena musik Indonesia relatif sudah bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sama halnya dengan pesan media yang lain; film, buku, dan majalah. Tetapi apa gunanya posisi tuan rumah tersebut bila secara kualitas outputnya tidak meningkat dan tindakan profesional tidak muncul dalam kredo kerja atau tindakan profesional?

Atau apakah kita bisa membiarkan kondisi ini tetap di tangan regulator yang membiarkan 94% output musik yang beredar adalah bajakan? Pemerintah yang katanya menggalakkan industri kreatif tetapi sekaligus menyediakan gerai penjualan musik bajakan di pameran pembangunan di semua daerah. Pameran pembangunan adalah cara formal pemerintah menunjukkan kemajuan di tiap daerah.

Apakah menjual konten media bajakan bisa disebut sebagai kemajuan?

(keterangan gambar: Salah satu "pengawal" menuju musik Indonesia lebih berkualitas)

Rabu, 17 Maret 2010

Literasi Media untuk Para Pendidik


Pada tahun 2003, sewaktu saya dan teman-teman meneliti literasi media pada remaja tiga kota, literasi media belumlah banyak “diolah” oleh berbagai pihak. Atau kemungkinan besar sudah dilakukan oleh berbagai pihak tetapi dengan nama yang berbeda. Riset yang dilakukan oleh saya, mbak Yayuk (Rahayu), Puji Rianto, Pitra Narendra, dan Iwan Awaluddin tersebut didanai oleh kementerian riset dan teknologi.

Sedianya riset tersebut berlangsung tiga tahun, sampai dengan tahun 2005. Namun di tahun 2004 riset tersebut dihentikan dengan alasan yang sampai sekarang tidak kami ketahui. Kami sudah berusaha menanyakannya tetapi tidak pernah dibalas. Kami juga sudah menelepon tetapi tidak ada penjelasan yang memadai. Ternyata pada tahun itu semua riset sosial dihentikan. Kasus tersebut adalah contoh apartheid-isme untuk ilmu-ilmu sosial. Ketidakjelasan itu juga menyulitkan kami karena kami tidak bisa mempublikasikannya karena juga berkaitan dengan perjanjian yang dibuat sebelumnya.

Walau begitu, kami tetap menelaah literasi media dengan serius. Kemudian berusaha mengkampanyekannya pada masyarakat. Sejak beberapa tahun yang lalu, literasi media mulai diperhatikan oleh banyak pihak di Yogyakarta. Setidaknya, berbagai elemen masyarakat sipil, NGO dan kampus, mulai mengembangkan literasi media. Berbagai pihak yang dulunya melakukan kampanye literasi media dengan nama berbeda, mulai bersinergi. Pada tahun 2008 lalu misalnya, paling tidak ada tiga organisasi masyarakat sipil yang berusaha mengkampanyekan literasi media. Ketiganya adalah PKMBP (Pusat Kajian Media dan Budaya Populer), MPM (Masyarakat Peduli Media), dan ECCD-RC (Pusat Informasi dan Pelayanan Anak Usia Dini).

PKMBP berfokus pada penumbuhan literasi media pada pelaksana fungsi kehumasan, MPM menggeluti literasi media secara langsung di masyarakat. Sementara ECCD-RC mengkampanyekan literasi media di kalangan dunia pendidikan, yaitu pendidik untuk anak usia dini dan pendidikan dasar.
Modul ini adalah buah karya kegiatan ECCD-RC tersebut. Saya berkontribusi mengisi salah satu naskah di dalam modul itu. Hal ini membuat saya bahagia, setidaknya saya memberikan kontribusi walaupun sedikit pada penggalakan literasi media pada masyarakat Yogyakarta.

Modul ini berusaha memberikan pemahaman yang komprehensif tentang literasi media kepada pendidik usia dini dan dasar, dan sebisa mungkin mudah diaplikasikan. Pada setiap bagian terdapat latihan agar para pendidik nantinya bisa melatih para pembelajar. Bagian pertama buku ini berjudul “Memahami Literasi Media”. Mencoba memberikan pengertian awal mengenai literasi media. Bahasan di dalam bab ini adalah definisi literasi media, literasi media dan anak, dan cara mengimplementasikan literasi media di kelas.

Bagian kedua berjudul “Memahami Hak Anak dalam Kerangka Literasi Media”. Di dalam bab ini didiskusikan literasi media dalam kerangka hak anak dan peran guru di dalam implementasi literasi media bagi anak. Seperti kita ketahui, anak memiliki hak mendapatkan informasi dan hiburan dari berbagai media, termasuk dari televisi. Sementara kewajiban orang dewasa, orang tua di sekolah dan guru di sekolah, adalah membantu anak memahami pesan media dengan baik.

Bagian ketiga sudah lebih terfokus, yaitu “Memahami Isi Media”. Bab ini membahas isu paling penting dari literasi media, yaitu isi atau pesan media karena hampir semua audiens berinteraksi secara langsung dengan pesan media. Sementara ranah literasi media, institusi dan efek, lebih perlu dipahami oleh pembelajar di bidang ilmu komunikasi. Para pembelajar tersebut bertujuan memiliki tingkat literasi pada level menengah dan tinggi, sementara kebanyakan anggota masyarakat hanya perlu memahami literasi di level awal dan menengah.

Bagian keempat berjudul “Teori Dampak Media”. Ini adalah wilayah literasi media yang lain yang perlu diketahui. Dampak yang mendetail dipelajari di dalam studi, sedangkan dampak media dalam konteks pembelajaran perlu dipahami oleh para pendidik. Di dalam bab ini dipelajari teori awal dampak media, antara lain teori Belajar Sosial (Social Learning Theory), teori Kultivasi, dan teori Penguatan (nilai).
Bagian kelima, sesuai dengan bidang kerja para pendidik, berjudul “Pengembangan Kurikulum PAUD (KB, TPA, TK) yang Terintegrasi dengan Literasi Media. Modul ini ditutup dengan penjelasan mengenai “Penerapan Literasi Media dalam KTSP”. KTSP kependekan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Bagian ini disusun agar literasi media dapat membantu pembelajaran di kelas. Di luar penjelasan tiap bab, modul ini menjadi lebih “hidup” dengan ilustrasi dari Dhanan Arditya. Modul menjadi lebih menarik dengan ilustrasi yang pas dan menghibur.

Kekurangan modul ini adalah pada distribusinya, karena modul ini merupakan bagian dari kerjasama dengan yayasan TIFA dan bertujuan untuk menyosialisasi pemahaman tertentu, modul ini tidak dijual sehingga tidak tersedia di banyak tempat. Anggota masyarakat yang ingin mengaksesnya kemungkinan harus mencari sendiri ke sektetariat ECCD-RC. Kelebihannya, modul ini menjadi bagian dari dokumen besar mengenai literasi media yang ada di Yogyakarta dan menjadi dokumentasi kegiatan yang mungkin untuk ditingkatkan di masa mendatang. Tentunya agar literasi media semakin dipahami oleh masyarakat dan relasi masyarakat dengan media, terutama televisi, akan semakin seimbang.

Semoga.

Judul : Modul Literasi Media untuk Pendidik Usia Dini dan Dasar
Tahun : 2009
Penerbit : ECCD-RC (Early Childhood Care Development-Resource Centre) dan Yayasan Tifa
Koordinator tim : Beni Antono
Editor : Puji Rianto
Kontributor : Demitria Budiningrum
D. Danarka Sasangka
Elga Andriana
Hasanah Safriyani
Puji Rianto
Wisnu Martha Adiputra

Rabu, 10 Maret 2010

Manajemen Media dan Media tentang Sepakbola


Sebuah media cetak olahraga terkemuka, tabloid Bola, Sabtu 6 Maret 2010 kemarin merilis edisi yang mereka sebut “edisi hattrick”. Bola mengeluarkan edisi ketiga setelah Senin dan Kamis. Bila mau jujur, Bola “bukan” berisi berita olahraga secara umum. Media ini diisi berita tentang sepakbola secara dominan. Sekitar enam puluh persen isinya adalah tentang sepakbola.

Sepakbola memang unik, sampai sekarang prestasi nyata sepakbola Indonesia tidaklah bagus, tetapi media, terutama media cetak, tentang sepakbola lahir bak jamur di musim hujan. Bila kita mengunjungi lapak-lapak penjual media cetak atau ke bagian majalah di toko buku dan supermarket, media cetak tentang sepakbola dengan mudah kita lihat. Ada yang seperti Bola, berformat tabloid. Ada pula yang berformat majalah, juga suratkabar harian. Format majalah lebih banyak jumlahnya, sebagian besar adalah franchise dari majalah yang telah terbit di luar negeri, bahkan ada majalah sepakbola yang didedikasikan hanya untuk satu klub.

Tulisan ini akan mencoba mendiskusikan alasan maraknya media cetak tentang sepakbola belakangan ini dari sudut pandang manajemen media. Manajemen media, seperti kita ketahui bersama, adalah sub bagian di dalam kajian media yang membahas aspek “tengahan” atau meso dari media. Manajemen media tidak hanya mempelajari kecakapan dalam memproduksi media, juga tidak hanya mempelajari hal yang “seharusnya” dari media. Kedua aspek tersebut dipelajari, pemahaman tentang aspek produksi dan konteks dari sebuah media beroperasi.

Manajemen media berurusan dengan sumber daya dan output dari organisasi media. Sumber daya meliputi dana, pekerja media, informasi yang telah dimiliki, juga teknologi, sementara output adalah pesan yang dihasilkan oleh media. Keduanya harus saling berhubungan. Bila hanya membahas pesan, mungkin hanya menjadi kajian pesan media atau kecakapan motorik yang diutamakan. Bila hanya membahas semata-mata mengelola sumber daya, kemungkinan lebih dekat dengan kajian ekonomi.

Pada aras lain, kajian manajemen media berurusan dengan implementasi fungsi manajemen di dalam organisasi media. Ia tidak berkaitan langsung dengan keadaan di luar atau “lingkungan” media walau pembelajar media mesti memikirkan juga pengaruh konteks dalam rangka pengelolaan sumber daya dengan efisien untuk menghasilkan pesan yang efektif. Pada gilirannya manajemen media berupaya untuk menciptakan media yang berkinerja dengan baik, salah satu indikatornya adalah profit yang didapat. Profit adalah salah satu aspek saja karena kemunculan media bermotif sosiokultural belakangan ini marak. Ada yang tetap bermotif profit uang walau sedikit. Ada pula yang tidak sama sekali, misalnya zine yang kebanyakan digagas anak muda.

Dengan demikian, penerbitan Bola edisi Sabtu adalah hal yang baik dari perspektif manajemen media walau mungkin tidak dari sudut pandang ekonomi politik. Pengelola Bola memiliki banyak sumber daya informasi mengenai sepakbola. Informasi yang menurut saya berlebihan bagi masyarakat Indonesia. Informasi tersebut bisa diolah dalam format analisis yang memang direncanakan muncul di dalam edisi Sabtu tersebut. Walau dibanderol kurang dari setengah harga kedua edisi lainnya, harga Bola edisi Sabtu Rp 2.500,- sementara kedua edisi lainnya Rp 6.000, - kecuali bila berformat khusus (menghadirkan poster berwarna), Bola edisi Sabtu akan tetap diakses penggemar sepakbola yang membutuhkan informasi yang lebih mendalam.

Selain itu dalam konteks yang lebih luas, animo masyarakat pada tahun ini diperkirakan meningkat drastis. Tahun ini adalah tahun penyelenggaraan Piala Dunia. Sudah sangat terlihat bagaimana sepakbola digunakan habis-habisan untuk menarik perhatian masyarakat, antara lain pada pesan iklan. Ceruk pasar baru juga tercipta bagi penggemar bola setiap tahun karena pemberitaan tentang sepakbola yang sangat intens, terutama liga-liga Eropa. Program di luar siaran, off air, juga sangat marak nantinya. Keuntungan yang didapat kemungkinan malah lebih tinggi dari siarang program on air sendiri.

Dari sisi sumber daya manusia, terutama pekerja media, produksi berita tentang sepakbola tidaklah seproblematik pemberitaan politik misalnya. Di Indonesia kita bisa memilih untuk mengakses berita tentang sepakbola dalam semua “olahannya”, mulai dari informasi hasil pertandingan sampai telaah pertandingan yang sangat mendalam, dikaitkan dengan filsafat dan politik internasional misalnya. Hal ini bisa dilihat dari tulisan para pakar atau akademisi atau budayawan. Katakanlah tulisannya Sindhunata.
Dengan demikian, bukan hanya sedang menarik perhatian, berita sepakbola secara teknis manajerial lebih mudah untuk diproduksi dan kurang memiliki potensi menimbulkan kontrovesi. Hal ini sedikit berbeda bila media memproduksi pesan tentang politik misalnya, atau tentang sepakbola nasional.

Kenyataannya, pesan tentang sepakbola nasional hanyalah menjadi sampiran. Kebanyakan pembaca kemungkinan malas membacanya karena pemberitaan kebanyakan bukan pada pertandingan sepakbola itu sendiri, melainkan pada konflik tanpa akhir, untuk PSSI, dan tanpa prestasi dari sepakbola Indonesia. Sepakbola luar negeri lebih menarik diakses karena bercerita tentang pertandingannya dan tentang drama dalam kehidupan manusia.

Permasalahannya, di mana kepentingan publik dengan begitu maraknya media tentang sepakbola ini? juga harapan kita akan kondisi persepakbolaan negeri tercinta ini? Apakah semua format pesan media tentang sepakbola tersebut sudah benar-benar menuntun kita menciptakan kondisi persepakbolaan yang kondusif dan berprestasi baik? Walau manajemen media tidak seperti kajian ekonomi politik media yang secara inheren mengharuskan terpenuhinya “filsafat moral publik”, walau “realitas “ yang muncul dalam media relatif sangat lengkap, harapan kita tentunya merupakan akumulasi asa kita bersama akan sepakbola nasional, bahwa segala wacana dan segala realitas media mewujud dalam realitas empiris.

Sabtu, 06 Maret 2010

Bunyi sebagai Tekstur: Datang dalam Rupa Suara yang Sendirian dan Indah


Mendengarkan album ini kita akan disuguhkan “atmosfer” yang indah. Kita tidak akan bisa melarikan diri. Kita hanya bisa mengikuti tekstur musik yang diberikan oleh para musisi muda yang sangat potensial. Ada dua hal yang terus menghentak pikir dan rasa saya ketika mendengarkan album ini berulang-ulang.
Awal yang saya rasakan dan kemudian pikirkan adalah: apakah kita bisa memikirkan bunyi-bunyian sebagai tekstur di dalam sebuah lagu? Bunyi bukan hanya sebagai elemen yang merangkai dirinya sendiri menjadi sebuah lagu tetapi bunyi sebagai bunyi. Melihat bagian mikro di antara rangkaiannya sendiri, bukan pada keseluruhannya. Begitulah kira-kira menjelaskannya.

Inilah yang saya rasakan ketika mendengar semua lagu pada album “Turun dalam Rupa Cahaya”. Saya merasakan momen yang murni sekaligus kompleks pada tiap bunyi yang dihasilkan, juga suasana sepi sekaligus membuat isi kepala riuh. Serta tindakan tak sadar memecahkan setiap elemen bunyi dan menyatukannya kembali.

Selain itu mendengarkan album ini membuat saya teringat dengan beberapa penulis puisi dan prosa yang lama sekali tidak saya baca kembali. Secara langsung ketika mendengar album ini, saya teringat dengan Afrizal Malna dan Made Wianta. Menurut beberapa ulasan yang saya baca dan juga saya rasakan ketika membaca puisi-puisi mereka, keduanya memang memperlakukan kata sebagai tekstur yaitu elemen-elemen terkecil dari prosa, dan mungkin juga menengah di dalam puisi, sebagai unsur tersendiri.
Belakangan saya baru tahu bila Sutardji Calzoum Bachri sudah lebih dulu melakukannya, memperkuat unsur kata sebagai tekstur, pada dekade 1970-an.

Dengan antusias saya mencari buku-buku karangan ketiga penulis tersebut. Saya ingat pernah membaca tetapi saya tidak yakin memilikinya. Saya mendapatkannya di rak buku saya! Dan saya sadar sudah lama sekali saya tidak ke bagian rak buku yang menyimpan buku-buku puisi dan prosa. Ini menjadi pengalaman personal bagi saya. Saya harus lebih sering menyambangi “kawan lama” saya tersebut. Mungkin saya agak mengabaikan tetapi saya yakin saya tidak pernah melupakan mereka.

Saya baca-baca bukunya Sutardji, “Hujan Menulis Ayam” (2001), tetapi sepertinya buku ini bukan buku puisi. Kemungkinan saya membacanya, buku puisi itu, lebih lama lagi. Mungkin pada masa SMA di buku-buku bahasa Indonesia. Saya jadi tidak bisa mengeksplorasi kata sebagai struktur.

Begitu pula yang saya dapatkan ketika membuka-buka buku Afrizal Malna, “ Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia” (2003). Sekali lagi, ini bukan buku puisi. Saya kemudian ingat buku puisi yang saya maksud dari penulis ini adalah “Arsitektur Hujan”, dan saya ingat pula, buku ini saya baca di sebuah toko buku besar di awal kuliah dulu. Saya tidak ingat isinya tetapi saya ingat betapa antusiasnya saya mencerna buku puisi itu. Rasanya saya tidak ingin pergi dari toko buku itu. Saya terpesona dengan untaian kata yang menurut saya baru, pada waktu itu. Melebihi puisi “konvensional” yang saya tahu.

Barulah ketika mengakses buku Made Wianta yang berjudul “ Kitab Suci Digantung di Pinggir Jalan New York” (2003), saya merasakan kembali sensasi kata sebagai stuktur dari bagian yang lebih besar. Misalnya dalam puisi tertanggal (dan juga berjudul?) “8 Februari 2002”, kita tidak merasakan suatu yang utuh dari puisi ini: menunggu jiwa membalikkan telapak tangan/menghujat pedang sedang konferensi/aliran darah memicu keberuntungan/cuma-cuma.

Apa makna yang kita rasakan dari puisi di atas? Jawabannya: tidak ada. Baik itu makna ataupun panduan logika yang solid. Tetapi begitulah puisi jenis ini. Kata-kata hanya dilepaskan dan diletakkan dalam format puisi bukan untuk membentuk makna dan satuan yang lebih besar.

Begitulah, hal yang sama terjadi ketika kita mencerna album ini. Walau musik jauh lebih sulit dipisah-pisahkan, semua lagu ini menjadikan bunyi sebagai tekstur bunyi tersendiri. Hal yang agak berbeda bila kita melihat kata, yang meskipun sangat sedikit, justru menjadikan musik terbingkai. Kita bisa menyimak “Jalur Gaza” untuk contoh kasus ini.

Lagu lain yang bisa kita pahami dari kata yang muncul walau hanya dari judul, adalah “Ray Manzarek”. Ada yang ingat siapa dia? Manzarek adalah salah seorang personel band terkenal. Hal yang jelas adalah di lagu ini kehadiran unsur dari band yang dikutip tadi dan semacam perasaan dilematis menjadi “orang kedua” di band, di mana teman kita yang satu lagi jauh lebih terkenal dan menjadi ikonnya.

“Kupu-kupu Besi” mengingatkan kita pada band ini sekaligus perasaan gamang bila kita terdampar di sebuah bandar udara, bukan ketika dalam penerbangan semata. Bagi saya ini semacam potret dualitas perasaan ketika berada di bandara, rasa kosong menunggu penerbangan di ruang bandara yang berlangit-langit tinggi, kekhawatiran pada alat transportasi yang masih belum sepenuhnya aman, dan mimpi yang akan digapai di tempat tujuan.

Lagu-lagu lain yang didominasi oleh musik memberikan sensasi unik. Saya pribadi merasakan atmosfer suara di Yogya yang berbeda. Inilah hal kedua yang menghentak kepala dan hati saya ketika pertama-kali mendengarkan album ini. Yogya adalah tempat lahirnya banyak band bagus. Saya sendiri merasakan hal tersebut. Sejak saya mencoba mendalami pengetahuan saya pada musik Indonesia, tempat tinggal saya ini memberikan banyak musik yang kaya dan berkualitas sangat bagus. Airportradio ada dalam varian yang sama kualitasnya tetapi tetap sangat unik.

Suasana (atmosfer) yang mencerahkan sekaligus “menghujam” selalu saya rasakan setiap mendengarkan album ini. Baik di rumah, di tempat kerja, maupun di jalan. Track favorit saya adalah “Pengantar Pesan Mimpi”. Lagu ini menjadi semacam sintesa saya atas Yogya, rangkuman pemahaman untuk hati dan simpulan pengetahuan untuk otak. Saya masih selalu menganggap “mimpi” sebagai satuan besar, belum lagi melabel mimpi sebagai tekstur yang layak dibangun pelan-pelan, bertahap, dan pada akhirnya juga akan meng-ada pada kehidupan.

Album ini album terkeren sejauh ini di tahun 2010, untuk bulan Maret yang selalu magis, minimal bagi saya, si “Pisces Iscariot”.

Penyanyi : Airportradio
Album : Turun dalam Rupa Cahaya
Tahun : 2009

Daftar Lagu:
1. Preambule
2. Jalur Gaza
3. Pengantar Pesan Mimpi
4. Turun dalam Rupa Cahaya
5. Lonely When I'm Better
6. Kupu-kupu Besi
7. Noise Never End
8. Ray Manzarek
9. From the Eye
10. Solving Labyrinth
11. Asmarandhana

Menyibak Langit Berita: Memahami Konteks Jurnalisme Televisi Indonesia Terkini

Di akhir" pertemuan" ini apa yang mesti ditulis ya? maksudnya pertemuan dengan perkuliahan dan hari kerja, walau sebenarnya seringkali saya "bekerja" sampai Sabtu, bahkan Minggu. Tetapi bukankah bekerja katanya sama dengan berlibur? sehingga perlu juga meninggalkan jejak tulisan untuk akhir minggu :D. Begitulah yang saya pikirkan, tetapi beberapa ide belum dieksekusi menjadi tulisan. Beberapa tulisan sudah hampir jadi tetapi tetap belum selesai. Jadi, saya coba melihat-lihat apa yang telah ditulis dan belum diunggah di internet.

Melihat-lihat file dokumen, saya jadi ingin mengupload makalah saya yang dipresentasikan pada tanggal 16 Februari 2010 lalu. Bukan apa-apa sih, daripada tersimpan mendingan dibagi. Mana tahu bisa bermanfaat bagi teman lain dan juga bagi saya sendiri tentunya. Tulisan singkat ini ditulis untuk acara diskusi “Di Balik Langit Berita TV One” yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, TV One, dan Komako (Korps Mahasiswa Komunikasi) UGM.

Kebiasaan menulis dan mendokumentasikannya menjadi semakin penting artinya bagi saya. Teman-teman sekantor-lah yang menginspirasi hal tersebut. Belakangan teman-teman sefakultas sering muncul di suratkabar nasional. Hari ini mas Dodi yang hadir di Kompas. Beberapa waktu yang lalu ada Sigit, mas Anton Damanik, juga mas Cornelis Lay dan mas Ari Dwipayana. Saya sendiri akan berusaha lebih keras lagi untuk menulis dengan baik. Semoga juga bisa menyusul mereka yang rajin "mengisi" media nasional (dan juga jurnal). Seharusnya juga bukan "semoga" melainkan "harus". :D

Dengan berniat untuk berdiskusi lebih jauh, ini tulisan saya tentang jurnalisme televisi terkini di Indonesia:

Pengantar
Bagaimana kita melihat jurnalisme televisi di Indonesia sekarang ini? Inilah pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab. Untuk menjawabnya, kita perlu menyibak sejarah dan konteks yang ada sejauh ini. Paling tidak ada dua alasan yang menjelaskan mengapa pertanyaan tersebut lumayan sulit dijelaskan. Pertama, kita harus menjelaskan jurnalisme penyiaran Indonesia secara historis karena kondisi dan keadaan terkini terjadi sebagai akibat berbagai kejadian pada masa lalu. Penengokan historis tersebut minimal dengan mengamati berbagai peristiwa penting pada masa Reformasi yang dimulai pada tahun 1998.

Sebagaimana kita ketahui, runtuhnya Orde Baru seperti membuka kotak pandora di mana berbagai “kerusakan” muncul. Kerusakan tersebut juga dianggap karena kebebasan bermedia yang berlebihan, terutama pada masa awal Reformasi. Kita masih mengingat bagaimana peran media dan kebebasan pers dinilai negatif oleh sebagian anggota masyarakat pada berbagai konflik di Maluku, Kalimantan Tengah dan Barat, serta Sulawesi Tengah. Walaupun masa Reformasi juga memunculkan banyak potensi yang mengarahkan bangsa ini pada demokrasi seperti yang kita lihat melalui kondisi terkini jurnalisme secara umum dan jurnalisme televisi secara khusus di mana televisi telah memberikan ruang baru berekspresi dan beropini.

Kesulitan kedua untuk menelaah konteks jurnalisme televisi juga berasal dari karakter kajian media itu sendiri. Telaah media, terutama televisi sebagai bentuk media yang paling salah dimengerti, tidak pernah berada di dalam ruang hampa. Mengkaji televisi harus melibatkan entitas lain. Argumen ini disampaikan oleh Dedy N. Hidayat yang mengatakan bahwa media massa tidak pernah menjadi realita pada dirinya sendiri. Media massa akan selalu menjadi bagian dari dinamika berbagai aras, sosial, budaya, politik, dan ekonomi (dalam Sudibyo, 2009: x). Ketika kita berusaha mendedah pesan media, terutama berita, secara tidak langsung kita akan menempatkan entitas politik, ekonomi, dan sosiokultural sebagai konteksnya.

Dengan demikian kita tidak mungkin melepaskan telaah media televisi, terutama dalam aspek faktual, dari berbagai entitas dan kepentingan lain. Entitas lain yang dianggap paling dominan adalah entitas politik. Televisi Indonesia sarat dengan kepentingan politik sejak awal. Sejak kemunculannya pertama-kali pada tahun 1962 dalam event Asian Games ke-4, televisi Indonesia sarat dengan kepentingan politik. Hal ini semakin diperkuat oleh rejim otoriter Orde Baru yang memberikan peran stasiun televisi pertama Indonesia, TVRI, sebagai alat promosi persatuan nasional. Indikasi politis semakin kuat melalui penguasaan sebagian kecil keluarga dan kerabat keluarga Presiden Soeharto pada era kelahiran televisi swasta pada akhir 1980-an dan awal 1990-an (lihat Sen & Hill, 2001: 125).

Kondisi ini masih berlaku sampai sekarang. Jurnalisme televisi selalu sarat dengan kepentingan, terutama kepentingan politik. Tulisan singkat ini berusaha menunjukkan konteks (politik) jurnalisme televisi tersebut melalui pemaparan beberapa peristiwa penting, bagaimana kondisi jurnalisme televisi saat sekarang ini, dan tulisan ini ditutup dengan telaah pada rekomendasi ke arah yang semoga konstruktif. Arah alternatif yang mungkin ditempuh oleh jurnalisme televisi Indonesia.

Berbagai Peristiwa Penting

Secara historis jurnalisme televisi Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai peristiwa atau faktor berikut ini: runtuhnya Orde Baru, bangkitnya era keterbukaan, lahirnya UU no. 32 tahun tentang Penyiaran, otonomi daerah, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, berkembangnya era komunikasi politik terkini, dan perkembangan trend jurnalisme itu sendiri.

Pertama, runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998. Ketika itu presiden Soeharto “dipaksa” turun dari kekuasaannya oleh mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat setelah berkuasa selama tiga dekade lebih sedikit. Salah satu faktor langgengnya Orde Baru berkuasa adalah kemampuannya mengatur dan mengontrol media. Indoktrinasi masyarakat dilakukan melalui dua media penyiaran milik pemerintah, RRI dan TVRI. Sementara itu penguasaan media swasta atau non-pemerintah dilakukan dengan ketat dan sistemik. Kontrol dan hegemoni itu terbangun dari berbagai lini pemberitaan. Mulai dari narasumber yang boleh diwawancarai sampai dengan teguran langsung bila pemberitaan tidak sesuai dengan kepentingan pemerintah.

Keruntuhan Orde Baru dalam beberapa aspeknya adalah keruntuhan yang sebenarnya tidak diduga. Pada tahun 1994, pemerintah Orde Baru masih melakukan pembredelan terhadap tiga media cetak ternama pada waktu itu, Tempo, Detik, dan Editor. Juga pada tahun 1996 di mana terjadi penghentian penayangan acara Perspektif di SCTV yang dipandu oleh Wimar Witoelar (lihat Hidayat, Gazali, Suwardi & Ishadi S. K. (ed), 2000: 3-4). Jadi, ketika Orde Baru runtuh pada tahun 1998, banyak pengelola organisasi media yang sebenarnya tidak menyangka apalagi Orde Baru melakukan kontrol yang sangat ketat bahkan di saat-saat terakhir runtuh, antara lain melalui tv poll dan “pembungkaman” melalui subsidi harga kertas di tengah krisis ekonomi.

Kontrol yang dilakukan oleh Orde Baru terhadap media, terutama televisi, adalah kontrol yang meliputi hampir semua lini pemberitaan dan struktur media. Ragam kontrol tersebut yaitu: kontrol terhadap kepemilikan institusi media, kontrol terhadap pekerja media, termasuk individu yang mengisi jabatan tertentu, kontrol terhadap produk teks pemberitaan, kontrol terhadap sumber daya, antara lain kertas dan frekuensi siaran, dan kontrol akses ke media (Hidayat, Gazali, Suwardi & Ishadi S. K. (ed), 2000: 6). Dengan banyak kontrol tersebut sulit bagi media menjadi pengontrol bagi jalannya proses pemerintahan. Media hampir tak berkutik karena kontrol ada di semua level. Media bahkan benar-benar menjadi alat hegemoni yang sangat penting selain pendidikan formal di sekolah-sekolah.

Peristiwa pertama tersebut membawa pada peristiwa atau konsekuensi kedua, yaitu kebangkitan era keterbukaan. Dibubarkannya Departemen Penerangan dengan segera membuka keran keterbukaan media. Media menjadi bebas didirikan bahkan untuk televisi yang sebenarnya sangat padat modal. Jumlah stasiun televisi swasta yang tadinya berjumlah lima stasiun segera berkembang menjadi sepuluh stasiun televisi swasta. Bisa dikatakan perijinanlah yang menutup berdirinya berbagai stasiun televisi pada masa Orde Baru kecuali pihak pendiri dan pengelolanya merupakan bagian dari kekuasaan.
Kondisi yang terbuka ini menyebabkan televisi menemukan fungsinya sendiri di masyarakat. Sesuatu yang tidak mungkin di era ketertutupan. Fungsi televisi ini dapat ditelaah melalui salah satu konsep yang disebut bardic television. Fungsi televisi yang melekat secara kultural pada masyarakat (Fiske & Hartley, 2003: 66-67). Melalui konsepsi ini, televisi secara inheren merupakan bagian penting di dalam masyarakat terbuka. Fungsi-fungsinya adalah sebagai berikut:

1. To articulate the main lines of the established cultural consensus about the nature of reality (and therefore the reality of nature).
2. To implicate the individual members of the culture into its dominant value-systems, by exchanging a status-enhancing message for the endorsement of that message’s underlying ideology (as articulated in its mythology).
3. To celebrate, explain, interpret and justify the doings of the culture’s individual representatives in the world out-there; using the mythology of individuality to claw back such individuals from any mere eccentricity to a position of social-centrality.
4. To assure the culture at large of its practical adequacy in the world by affirming and conforming its ideologies/mythologies in active engagement with the practical and potentially unpredictable world.
5. To expose, conversely, any practical inadequacies in the culture’s sense of itself which might result from changed conditions in the world out-there, or from pressure within the culture for a reorientation in favour of a new ideological stance.
6. To convince the audience that their status and identity as individuals is guaranteed by the culture as a whole.
7. To transmit by these means a sense of cultural membership (security and involvement).

Peristiwa ketiga bagi dunia jurnalisme televisi yang juga penting adalah kelahiran UU no. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Walau UU ini sampai sekarang belum terimplementasi sepenuhnya, terutama implementasi penyiaran berjaringan yang baru diberlakukan tahun ini, UU ini berperan menentukan wajah pertelevisian Indonesia. Salah satu hal baru yang dibentuk oleh UU ini adalah klasifikasi jenis penyiaran yang ada di Indonesia serta kehadiran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan KPID sebagai regulator utama penyiaran di Indonesia.

UU ini bersama UU no. 4o tahun 1999 tentang Pers, menurut penulis, adalah peraturan hukum yang relatif demokratis walau pada akhirnya dunia penyiaran tidak sepenuhnya diserahkan pada kepentingan publik seperti halnya amanat UU tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya rebirokratisasi, rekomersialisasi, dan penegasian lembaga penyiaran komunitas (Sudibyo, 2009: 14-22), serta pengabaian penyiaran publik. Rebirokratisasi misalnya muncul dalam bentuk pihak yang “bermitra” dengan televisi. Perijinan siaran menjadi lebih kompleks daripada masa sebelumnya sebagai akibat peraturan turunan dari UU ini. Kompleksitas, atau bisa disebut kekacauan, perijinan bisa dilihat dari tumpang-tindahnya pemberi ijin lembaga penyiaran lokal, selain KPID dan pemerintah lewat kementerian Kominfo, pemerintah lokal juga bisa memberikan ijin siaran tersebut.

Peristiwa keempat adalah kelahiran dan perkembangan otonomi daerah. Fenomena ini memunculkan banyak stasiun televisi lokal yang semestinya membawa konsekuensi positif pada isu dan peristiwa lokal. Kemunculan stasiun televisi lokal di berbagai daerah ini bukannya tanpa masalah. Alokasi frekuensi antara stasiun televisi swasta nasional dengan lokal dan kewenangan perijinan adalah isu utama yang sempat muncul sebagai akibat dari otonomi daerah ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Siaran berjaringan adalah isu teraktual yang sampai sekarang masih menjadi pembicaraan di kalangan insan televisi dan regulator di daerah.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor keempat yang berpengaruh terhadap perkembangan jurnalisme televisi di Indonesia. Teknologi ini adalah teknologi dalam pengertian yang luas yang meliputi hardware dan software. Teknologi menjadikan produksi berita menjadi lebih mudah, penyimpanan dan pengaksesan kembali lebih efektif dan efisien, tampilan lebih canggih, dan distribusi lebih cepat. Perkembangan teknologi media tersebut walau tidak berasal dari Indonesia, dampaknya juga telah terasa.

Perkembangan media baru antara lain ditunjukkan melalui pendirian jaringan televisi kabel bernama Current di Amerika Serikat. Pendirian jaringan televisi kabel ini bertujuan memberdayakan kaum muda dan untuk mendemokratisasikan televisi (Jenkins, 2006: 240). Jaringan ini sebagian dari programnya diproduksi oleh audiens. Ide ini bukan sesuatu yang baru tetapi berpengaruh juga di televisi broadcast dan mempengaruhi banyak negara. Pengaruhnya antara lain terlihat pada kelahiran program yang kontennya berasal dari audiens.

Faktor lain adalah berkembangnya era komunikasi politik modern di Indonesia. Sebenarnya hal ini sudah dimulai sejak pemilu tahun 1999 tetapi fenomena ini terlihat sangat intens pada tahun 2009. Pada satu sisi, realitas tersebut menunjukkan hal yang positif karena masyarakat dapat “berpesta” demokrasi. Pada sisi yang lain nuansa negatifnya juga muncul, antara lain terindikasinya politik uang. Peran media dalam era komunikasi politik modern ini sangat besar karena media memegang peranan yang penting. Sayangnya, ketidakpahaman aktor-aktor politik atas peran media dan kesamaan antara aktor politik dan pengelola media, menjadikan komunikasi politik di banyak daerah, dan apalagi di level nasional, sangat problematik.

Fenomena terakhir yang berkaitan erat dengan jurnalisme Indonesia terkini adalah kecenderungan perkembangan pesan media itu sendiri, terutama bersimbiosisnya pesan faktual (berita) dan fiksional (hiburan). Untuk berita terdapat beberapa trend perkembangan jurnalisme, yaitu: peliputan nonstop (nonstop coverage), berita langsung (live news), berita eksplanatori ( exploratory news), feature (soft news), dan kehadiran blog yang tak diedit (unedited blogs) sebagai pendukung berita televisi (Vivian, 2008: 249-251). Bila pihak media tidak berhati-hati, perkembangan jenis pemberitaan tersebut dapat menghilangkan esensi fakta pada pelaporan peristiwa.

Selain itu, kombinasi antara pesan faktual dan fiksional menjadi fenomena yang juga muncul di luar program pemberitaan. Permasalahannya bukan hanya pada media, melainkan juga pada anggapan bahwa fakta bisa “direncanakan”. Fenomena ini dikenal dengan nama program realitas atau televisi realitas. Reality television didefinisikan sebagai: programmes where the unscripted behaviour of ‘ordinary people’ is the focus of interest (Bignell, 2004: 184). Awalnya, program jenis ini digunakan oleh stasiun-stasiun televisi kecil di Amerika Serikat untuk bersaing stasiun-stasiun televisi besar karena memiliki karakter yang unik dan sangat kuat unsur lokalitasnya. Namun belakangan proogram realitas ini justru diproduksi pula oleh stasiun televisi besar untuk efisiensi biaya produksi program.

Lebih jauh dijelaskan pula problem reality tv yaitu….a shared cultural reference point, it satirizes viewer fascination with the televisual display of ‘real’ people, the agreed-on surveillance inherent to reality TV, and the commercial pressures that have coalesced to create simultaneously ‘authentic’, dramatic, popular, and profitable nonfictional television programming (Murray & Ouellette (eds), 2004: 1). Pada titik ini, program berita dan program hiburan tidak jelas lagi batasnya. Walau cenderung lebih dekat dengan penyampain informasi faktual dan bersifat lokal pada awalnya, kini tv realitas lebih dekat dengan bentuk fiksional karena plot yang disusun oleh pihak produsen pesan.

Bagaimana Wajah Jurnalisme Televisi Indonesia Sekarang Ini?

Pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana wajah jurnalisme televisi Indonesia sekarang ini. Untuk mengamati kondisi jurnalisme televisi ini kita dapat melihatnya dari dua sisi, kelebihan dan kekurangannya. Pertama, hal yang positif terlebih dahulu. Kelebihan jurnalisme televisi Indonesia sekarang ini adalah hadirnya diskusi dan debat yang relatif semakin interaktif dan terbuka, pesan berita terdistribusi di banyak media dan saling mendukung satu sama lain. Selain itu, pemberitaan menjadi semakin potensial untuk menyuarakan pihak yang tersisih dan teraniaya oleh kekuasaan.

Sementara itu, kekurangan jurnalisme televisi Indonesia sekarang ini adalah sama seperti jurnalisme pada media lain, jurnalisme televisi kita masih berkutat dengan problem mendasar jurnalistik. Semisal penjumputan fakta yang belum sepenuhnya menggambarkan peristiwa dan pertanyaan-pertanyaan tidak etis yang dimunculkan jurnalis. Hal-hal yang mendasar ini saja seringkali tidak terpenuhi dengan baik. Penyebab hal tersebut mulai dari pekerja media sampai dengan sistem yang mengaturnya.

Paling tidak terdapat tiga karakter esensial yang harus dipenuhi oleh berita di televisi, yaitu akurasi, kejelasan, dan obyektivitas (White, 2005: 368). Ketiganya belum dipenuhi dengan memadai. Belum lagi bila ketiganya dikaitkan dengan isu lain yang juga mengemuka kini. Hal ini tercermin dalam pendapat sebagai berikut: the concept of objectivity and the related distinction between information and entertainment have also been part of the practical, professional self-understanding of journalism since its inception (Dahlgren, 1996: 47). Artinya, proses pemberitaan televisi adalah sesuatu yang dinamis dan melibatkan seluruh level. Semua level tadi berpengaruh pada akurasi, kejelasan, dan obyektivitas.

Sementara itu di ranah konteks, produk berita di televisi Indonesia masih rentan terhadap kepentingan politik pihak tertentu. Terakhir, berita televisi Indonesia memiliki kecenderungan membentuk agenda setting dan framing berita yang berpihak pada pemilik kuasa, kuasa politik ataupun kuasa ekonomi. Bila tidak dipikirkan posisi secara proporsional, televisi rentan dimanfaatkan pihak tertentu. Catatan yang menarik dari fenomena ini adalah “kompetisi’ pemberitaan mengenai Kongres Partai Golkar oleh dua stasiun televisi swasta beerformat berita belum lama ini.

Hal ini ditunjukkan dengan dominannya kehadiran pihak pemilik kuasa di dalam berita. Pada dasarnya setiap individu hidup dalam dua “dunia”. Kedua dua itu adalah dunia nyata dan dunia media. Media disinyalir “dikuasai” oleh pemerintah dan korporasi (Bagdikian, 2004: xiii). Lalu bagaimana bila media yang menawarkan dunia tersebut tidak lagi bisa dipilih dengan bebas karena adanya monopoli? Monopoli membuat pilihan pesan media yang ada menjadi terbatas.

Catatan Penutup: Mau ke Mana Jurnalisme Televisi Indonesia?

Peran baru bagi televisi patut diperkenalkan pada masyarakat. Televisi, atau media apa pun, sekarang ini sebenarnya relatif lebih tepat bila bukan dianggap sebagai pilar keempat demokrasi. Konsepsi pilar keempat (fourth estate) adalah konsepsi yang merupakan perpanjangan dari tiga pilar sebelumnya yang berasal dari entitas politik yang ada dalam lokus negara. Televisi sebaiknya menempatkan dirinya dalam posisi publik bukan lagi pada posisi negara. Walau demikian, posisi televisi pada publik ini jangan disalahkaprahi dengan dikotomi penyiaran komersial versus penyiaran publik yang berkembang belakangan ini.

Posisi televisi, dan semestinya semua media, berada dalam wilayah publik atau lebih luas lagi, ada di sisi masyarakat sipil. Walau masih cukup rumit, posisi tersebut perlu dieksplorasi lebih jauh. Istilah yang mewadahi posisi tersebut adalah “kepublikan”. Apa itu kepublikan dan penjelasannya memang perlu diskusi panjang (terima kasih untuk bang Ashadi Siregar yang pernah mendiskusikan ini dengan penulis. Ide kepublikan ini berasal darinya).

Televisi swasta komersial sekalipun dapat bersifat publik bila benar-benar melibatkannya. Pelibatan publik dalam pengambilan kebijakan dan pengawasan penyiaran sangatlah penting. Hal ini terjadi di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Walaupun partisipasi publik menurun mulai tahun 1980-an, kelompok-kelompok yang menyuarakan kepentingan publik masih terus eksis seperti Center for Media Education, Media Access Project, dan Viewers for Quality Television (Dominick, Messere & Sherman, 2004: 236). Hal yang mirip terjadi pula di Indonesia walaupun belum optimal.

Agenda yang lain adalah menyelesaikan urusan-urusan mendasar jurnalistik terlebih dahulu dan menempatkan etika publik sebagai hal yang utama dalam pemberitaan. Hal ini bisa dirujuk pada pengertian berita itu sendiri, yaitu “what happened that day” dan “important and interesting events” (Postman & Powers, 1992: 12). Apa yang dimaksud dengan peristiwa yang penting dan menarik bagi publik perlu didedah secara tuntas oleh jurnalis televisi dan pihak-pihak terkait lainnya.

Selanjutnya, agenda yang paling penting bisa pula dilaksanakan yaitu: menuju pada “kepublikan” atau menempatkan televisi dalam ruang publik yang sebenarnya. Kepublikan dapat diwujudkan dalam ruang publik yang rasional, menempatkan keberagaman dan keterbukaan sebagai karakter esensial, dan bermanfaat bagi banyak orang. Pertanyaannya adalah: Is the notion of a public sphere still viable and, if so, how can journalism best fulfil its social responsibilities? Is it the case that only free market (and market friendly regulatory regimes) ensures diversity of expression and open public debate? (Allan, 2004: 215).

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mesti diupayakan oleh kita semua untuk mengelaborasinya. Hal yang perlu dilakukan adalah “reformasi” sistem media, antara lain pengaturan media baru dan konvergensi media, kepemilikan media, kebijakan anti-trust media, dan mengembangkan media publik (lihat McChesney, 2004: 210-251). Mengapa perbaikan ini dilakukan walaupun berat dan memerlukan waktu? Jawabannya sederhana: tidak ada demokrasi tanpa peran media yang optimal. Jika bukan kita bersama, siapa lagi yang membangun dan berkontribusi bagi jurnalisme televisi yang lebih baik?

*******


Referensi

Allan, Stuart (2004). News Culture. Second Edition. Maidenhead: Open University Press.
Bagdikian, Ben H. (2004). The New Media Monopoly. Boston: Beacon Street.
Bignell, Jonathan (2004). An Introduction to Television Studies. London: Routledge.
Dahlgren, Peter (1996). Television and the Public Sphere: Citizenship, Democracy and the Media. London: Sage Publications.
Dominick, Joseph R., Fritz Messere & Barry L. Sherman (2004) Broadcasting, Cable, the Internet, and Beyond: An Introduction to Modern Electronic Media. Boston: McGraw-Hill.
Fiske, John & John Hartley (2003). Reading Television. Second Edition. London: Routledge.
Hidayat, Dedy N., Effendi Gazali, Harsono Suwardi & Ishadi S. K. (ed) (2000). Pers dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jenkins, Henry (2006). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York: New York University Press.
McChesney, Robert W. (2004). The Problem of the Media: U.S. Communication Politics in the 21st Century. New York: Monthly Review Press.
Murray, Susan & Laurie Ouellette (eds) (2004). Reality TV: Remaking Television Culture. New York: New York University Press.
Postman, Neil & Steve Powers (1992). How to Watch TV News. New York: Penguin Books.
Sen, Krishna & David T. Hill (2001). Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta: Istitut Studi Arus Informasi.
Sudibyo, Agus (2009). Kebebasan Semu: Penjajahan Baru di Jagat Media. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Vivian, John (2008). The Media of Mass Communication. Eighth Edition. Boston: Pearson.
White, Ted (2005). Broadcast News: Writing, Reporting, and Producing. Fourth Edition. Amsterdam: Focal Press.

Rabu, 03 Maret 2010

Ingin Menggambar


Telah banyak kisah tentang tulis-menulis yang saya baca. Telah banyak kesuksesan yang telah saya amati dari dunia menulis. Kisah sukses itu bisa saya baca dari banyak buku, juga dari pengetahuan langsung orang-orang yang ada di sekitar saya. Kesimpulannya, munculnya keberhasilan menulis adalah ketika seseorang mampu secara konsisten dan periodik menulis sampai selesai. Cara untuk merujuknya adalah dengan melihat tulisan-tulisannya tadi secara langsung.

Saya bukanlah penulis yang bagus sekali dan saya yakin itu. Saya masih dalam proses "menjadi". Saya masih berusaha dan bila saya gagal pun, paling tidak saya telah berusaha :D ... Bila saya telah sering membaca dan mengetahui kisah sukses menulis seseorang, kali ini saya akan mencoba bercerita tentang diri saya yang menulis. Motifnya sederhana saja, saya ingin diri saya sendiri mengingatnya, dan siapa tahu, ada pula rekan yang terinspirasi seperti halnya saya yang terinspirasi dari teman-teman pula.

Bagi saya, blog dan fungsi notes di FB adalah alat bantu yang sangat baik untuk menumbuhkembangkan kemampuan menulis. Jujur saja, sampai kurang lebih setahun lalu, saya adalah orang yang tidak memiliki kemampuan menulis yang bagus, minimal menurut saya sendiri. Saya punya keinginan besar untuk menulis tetapi tidak pernah menghasilkan tulisan yang membuat saya puas. Bila pun ada tulisan, tulisan tersebut tidak otentik menurut saya, karena tercipta dari kewajiban dan keharusan.

Kini, paling tidak, saya sudah merasa tanpa beban dalam menulis. Jarang muncul keterpaksaan lagi. Semua yang saya tulis belakangan ini adalah otentik dari diri saya. Saya ingin menulis. Titik. Artinya, ketika saya ingin menulis, tulisan itu berusaha saya selesaikan walau tulisan itu singkat dan seberapa pun kekurangannya. Paling tidak tulisan itu selesai. Saya menulisa bukan karena ingin "unjuk kekuatan" atau "psy war" tetapi memang benar-benar ingin menghasilkan sebuah tulisan. Bila pun istilah "psy war" itu sering saya gunakan untuk menggoda teman-teman sekolah saya, istilah itu tidak benar-benar untuk menjatuhkan mental mereka. Hanya meruntuhkan... :D

Menulis 300, 500, bahkan 300 kata, tetaplah itu buah pikiran seseorang dan sebaiknya kita respek padanya, mengingat buah pikiran itu memerlukan upaya menghasilkannya. Saya sangat bahagia bila bisa menghasilkan tulisan betapa pun sedikitnya, asalkan tulisan itu sudah menunjukkan buah pikir yang runtut dan relatif komplet.

Sedikit melangkah lebih jauh. Saya malah tidak hanya bisa menulis "biasa". Kini saya jadi bisa (kembali) menulis fiksi dan puisi. Paling tidak kemampuan yang sudah agak lupa itu, berhasil muncul lagi. Saya jadi agak sering menulis puisi lagi yang sudah cukup lama terbengkalai. Dulu saya pernah berjanji akan menulis 1000 puisi pada orang yang saya cintai dan sepertinya belum berhasil. Paling tidak saya masih berusaha. Malah ada tawaran menarik dari seorang rekan untuk menerbitkan buku puisi dan desain bersama-sama. Lihat saja nanti kemana arahnya berjalan.

Saya sudah menulis fiksi lagi, walau baru sekadar cerpen. Tetapi dengan mendapatkan inspirasi terus-menerus dari buku-buku Murakami, saya yakin saya akan konsisten menulis cerpen dan suatu hari nanti, novel. Semoga impian tersebut terwujud. Jelek-jelek begini, saya pernah menulis novel yang tidaks selesai pada jaman sekolah dasar dulu. Novel anak-anak yang terinspirasi Trio Detektif, Lima Sekawan, Sapta Siaga, Tintin dan Deni Manusia Ikan.

Menulis di blog dan FB membuat saya yakin, bagaimana pun juga, perasaan dan pengetahuan, serta opini, perlu diekspresikan melalui tulisan faktual dan fiksional. Karena dengan demikian, kita bisa belajar lebih baik lagi dan saling berbagi dengan rekan lain. Selain itu, masih ada beragam ekspresi lain yang bisa tersalurkan melalui blog dan FB.

Bila dulu saya memilah-milah membaca dan menulis opini dan fiksi, dan ternyata gagal total. Saya baru tersadar tidak perlu memilah-milahnya dan membuka saja hati untuk fakta dan fiksi ketika saya mengikuti acara di Solo bersama para calon penulis fiksi sekitar bulan Mei tahun lalu. Saya malah mendapatkan pelajaran untuk tidak memilah inspirasi yang hadir. Bila jadinya tulisan opini, syukuri saja. Bila yang jadi tulisan fiksi, nikmati saja.

Saya juga belajar banyak dari anak saya untuk berekspresi. Anak saya sangat ekspresif dan aktif menuangka ide dan kreasinya; menggambar, menulis, menari, menyanyi, berpidato, etc. Pengalaman inilah yang mengajarkan saya untuk tidak membatasi diri atas ekspresi dan kreasi. Melalui anak saya itulah saya belajar bahwa membacakan cerita untuknya sebelum tidur menjadikan intonasi lisan saya lebih "terasa", juga alur informasi di kepala lebih tertata, terutama untuk membuka dan menutup informasi yang belum boleh diterima olehnya. Juga untuk tidak membacakan beberapa kalimat bila sudah mengantuk...hehe..walau seringnya gagal karena anak saya akan tahu bila cerita yang dibacakan tidak runtut dan aneh.

Kini, belajar dari anak saya dan juga ingin menimbulkan kembali kemampuan yang lain. Saya belajar kembali menggambar. Saya ingin menggambar sampai selesai walau mungkin gambaran saya masih teruk. Jelek-jelek begini, saya pernah mewakili sekolah dalam lomba menggambar tingkat sekolah dasar dan mendapatkan nilai yang lumayan bagus dalam menggambar sampai sekolah menengah atas.

Sekitar seminggu yang lalu, saya membeli pensil warna yang bisa berubah menjadi gambar cat air. Rencananya saya akan menggambar, tetapi apa daya, waktu yang agak senggang tidak tersedia belakangan ini. Waktu yang agak kosong adalah ketika menemani anak saya bermain dan belajar. Karena itulah kami menggambar bersama. Gambar yang kami hasilkan mungkin belum bagus. Namanya juga baru belajar. Tetapi kami akan belajar terus. Kami akan menikmati proses ini, mencoba menjadi kreatif dan mencoba lebih menghargai diri sendiri dengan mengembangkan kreativitas yang mungkin.

Ini hasil karya kami berdua....

Selasa, 02 Maret 2010

Kenangan dalam Kemasan Kecil


Tadinya saya tidak berniat mereview atau menakar album ini, tetapi ketika melihat Titi DJ dan Diana Nasution menyanyikannya di sebuah acara musik di televisi, saya jadi tertarik. Dua penyanyi dengan suara bagus. Dua "diva" yang berbeda jaman. Serta tentu saja, lagu-lagu yang bagus, membuat saya ingin mendengarkan album ini berkali-kali.

Lagu pada dasarnya adalah media yang mengemas berbagai kenangan personal kita. Selain memiliki fungsi konvensional, menghibur dan mencerahkan hati dan pikiran, lagu bisa membuat kita mengingat kejadian tertentu di masa lalu. Dengan mudah kita mengingat suasana hati atas kejadian masa lalu. Inilah kekuatan sebuah lagu. Bila lagu adalah media yang mengemas kecil-kecil kenangan, album menjadi pengemas yang rada lebih besar. Album mengemas serial kenangan yang kita miliki dalam satu kurun waktu.

Demikianlah album ini bagi saya. Lagu-lagu lama di dalam album ini mengingatkan saya pada masa kecil dulu. Saat tidak mau tidur siang dan tetap bermain dengan cara "melarikan" diri lewat jendela, hujan di siang hari di Lampung yang khas. Saya tidak bisa merasakan hujan yang sama dengan masa kecil sama di daerah lain. Juga beragam kenangan yang baru muncul bila kita mendengarkan soundtrack pada jaman itu.

Ketika lagu-lagu lama yang dulunya dinyanyikan Diana Nasution itu dinyanyikan ulang oleh Titi DJ dalam balutan musik rock, saya merasakan semacam interpretasi ulang atas kenangan. Paling tidak saya semakin menyadari kondisi dan posisi pada masa kini adalah buah dari pilihan-pilihan di masa lalu. Bagaimana bila dulu ayah saya tidak tugas belajar di Yogya? bagaimana bila saya masuk ke SMP "lanjutan" SD saya dulu? bagaimana bila teman-teman yang akrab dengan saya tidak sama? beragam kemungkinan jawaban tentu saja tentatif tetapi bila dulu salah satu pilihannya berbeda, pasti kejadian jaman sekarang juga berbeda.

Titi DJ di album ini selain dibantu oleh Diana Nasution, juga dibantu oleh kelompok vokal bernama Dara Jana dan kehadiran beberapa pencipta lagu, antara lain Melly Goeslaw. Walau begitu, tentu saja kekuatan utama album ini adalah lagu-lagu lama yang pernah dipopulerkan oleh Diana Nasution dalam aransemen baru. Distorsi gitar dalam beberapa lagu justru merupakan kekuatan utama.

Kekurangannya adalah “pengulangan” lima lagu dalam versi karaoke yang muncul. Kekurangannya yang lain adalah, seperti biasa, jualan RBT terlalu kentara. Di luar itu, dengarkan saja album ini sambil mengenang masa lalu.

Mendengarkan album ini saya hanya ingin mengingat beragam kenangan personal saya. Saya tidak ingin menafsirkannya terlalu dalam. Terkadang kita hanya perlu mengingat dan mencerna, tidak perlu terlalu jauh. Begitulah fungsi album ini yang utama.

Judul : Titi to Diana
Penyanyi : Titi DJ
Tahun : 2010
Label : Trinity Optima Production
Harga : Rp. 35.000,-

Daftar Lagu:
1. Jangan Biarkan feat. Diana Nasution
2. Benci tapi Rindu
3. Aku Tak Tahan Lagi
4. Malam yang Dingin feat. Dara Jana
5. Sengaja Aku Datang
6. Dasar Lelaki feat. Dara Jana
7. Hapuslah Sudah feat. Cindy Bernadette
8. Jangan Biarkan feat. Diana Nasution (Karaoke Version)
9. Benci Tapi Rindu (Karaoke Version)
10. Aku Tak Tahan Lagi (Karaoke Version)
11. Dasar Lelaki feat. Dara Jana (Karaoke Version)
12. Malam yang Dingin feat. Dara Jana (Karaoke Version)

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...