Rabu, 24 Maret 2010
Manajemen Media dan Majalah Supranatural
Manajemen media adalah sub kajian di dalam ilmu komunikasi yang memiliki paling tidak empat karakter. Karakter-karakter tersebut adalah multidisplin, multi level, peka dengan situasi kontekstual, dan dekat dengan perkembangan teknologi. Kajian manajemen media menggabungkan dan mengombinasikan konsep-konsep dari ilmu lain, semisal ekonomi, politik, hukum, psikologi, bahkan juga budaya. Untuk mendedah pasar media misalnya, kita memerlukan kajian ekonomi (media). Sementara itu, untuk melihat sumber daya manusia dalam fungsi kreasi atau produksi pesan, kita memerlukan beberapa pengetahuan dari disiplin ilmu psikologi.
Karakter multilevel ditunjukkan melalui level telaah untuk meninjau kasus-kasus manajemen media. Kajian ini utamanya melihat level organisasi (atau bolehlah dianggap pula institusi) tetapi juga memerlukan pemahaman komunikasi interpersonal dan sistemik. Untuk menjalankan fungsi manajemen yang bagus dan tepat, diperlukan pemahaman kepemimpinan dan kepengikutan dengan baik dan bagus pula. Dengan demikian, manajemen media memerlukan telaah komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok.
Demikian juga dengan pemahaman atas konteks yang lebih luas, pengelola media mesti memahami situasi eksternal yang terjadi di luar organisasinya agar dapat merumuskan strategi yang tepat dan tindakan yang etis dan tidak melanggar hukum. Menerbitkan Playboy adalah pilihan yang tepat sebagai sebuah strategi dan waktu itu tidak melanggar hukum walau secara norma sosial belumlah cukup diterima oleh kelompok tertentu.
Karakter kedua ini secara langsung membawa konsekuensi pada karakter ketiga dan keempat. Dengan demikian, studi manajemen media sangatlah peka konteks. Artinya, merilis media sekarang ini mesti sangat memperhatikan kondisi eksternal yang terjadi, bukan hanya pada level nasional, melainkan juga global. Perilisan film “Sang Pemimpi” misalnya, sudah tepat bila memperhatikan kompetitor dari film nasional. Ternyata konstelasi di audiens berbeda, film “Avatar” yang dirilis bersamaan menjadikan fokus penonton lebih tertuju bukan pada film “Sang Pemimpi”.
Karakter yang terakhir adalah sangat peka dengan perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi terkini berpengaruh pada produksi, tampilan, penyimpanan, dan distribusi pesan, sehingga sungguh besar pengaruhnya. Perkembangan teknologi pada level individu pekerja media juga memberikan kontribusi yang besar pada institusi media. Walau begitu ada pula pengaruh negatif teknologi pada pekerja dan institusi media.
Apa yang diharapkan setelah kita mempelajari manajemen media? Tentu saja agar kita lebih memahami kajian tersebut dan pada akhirnya, ketika kita telah bekerja nantinya, harapannya di media atau bahkan “mendirikan” media, kita dapat membuat keputusan manajerial dengan tepat pula.
Untuk memahami manajemen media, paling tidak para pembelajar mesti memahami tiga aspek. Hal ini terutama sangat dekat karakter manajemen media yang multi disiplin. Pertama, kita mesti memahami konteks di mana media tersebut beroperasi, terutama dinamika hubungan empat entitas; masyarakat, negara, pasar, dan teknologi media. Kedua, kita mengetahui pesan dengan mendalam. Klasifikasi jenis dan format pesan perlu kita kenal dengan baik. Pemahaman inilah yang menjadi pembeda utama dengan telaah manajemen bidang yang lain. Istilah rubrikasi di dalam media cetak misalnya, perlu diketahui dengan mendalam, karena dari sinilah kita mengenal output manajemen.
Terakhir, kita mesti memahami fungsi manajemen karena dari sinilah kebijakan manajerial terimplementasi. Apa saja fungsi manajemen? Fungsi-fungsi manajemen adalah sebagai berikut: perencanaan, pengorganisasian, penyusunan personel kerja, pengordinasian, dan pengawasan. Obyek dari fungsi manajemen adalah sumber daya yang dikelola oleh organisasi media. Fungsi manajemen bertujuan mewujudkan tercapainya efisiensi sumber daya dan efektivitas pesan. Seperti kita ketahui bersama, efisiensi dan efektivitas adalah dua tujuan utama dari implementasi fungsi manajemen.
Kita akan mencoba menerapkan pengetahuan dasar tentang manajemen media di atas melalui kasus yang ada. Salah satu jenis media yang cukup diakses pasar namun kurang kita perhatikan, dapat menjadi kasus di mana pengetahuan mendasar yang telah didiskusikan sebelumnya dapat digunakan untuk menganalisis. Kasus tersebut adalah implementasi manajemen media pada majalah supranatural.
Ada dua majalah yang saya amati dengan singkat, yaitu Victory dan Misteri. Mungkin ada majalah lain yang bicara tentang fenomena supranatural, tetapi kedua majalah inilah yang saya akses.
Majalah “hantu-hantuan” ini bisa muncul karena pasarnya memang ada. Selama masyarakat kita masih percaya penuh dengan hal-hal berbau supranatural, majalah seperti ini akan terus ada. Permintaan terus menerus ada sehingga produk akan selalu coba disediakan oleh produsen.
Hal yang bersifat supranatural kemungkinan besar sulit hilang dalam waktu dekat di masyarakat kita. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan bersimbiosisnya penggunaan media baru dengan fenomena supranatural misalnya. Kita tentunya masih ingat dengan kejadian beberapa waktu lalu yang menghebohkan masyarakat, di mana handphone menjadi wahana bagi santet. Mungkin memang para hantu sudah bisa mengakses media baru sehingga mereka pun dapat memodernisasi “kesaktiannya” :D
Karena kasus yang kita amati ada pada level output media, yang dapat kita amati adalah semua yang muncul di dalam kedua majalah tersebut. Pertama, rubrikasi kedua majalah. Victory mengutamakan reportase dari berbagai tempat di tanah air. Selain itu, majalah ini mengangkat topik yang sedang populer. Pada edisi 4 tahun 2010 ini diangkat artikel utama “Sumpah Maut atas nama Pocong”. Liputan ini mengambil beberapa kasus di Indonesia dengan menggunakan tokoh agama dan tokoh supranatural sebagai sumbernya. Walau sepintas ada dua sumber, tokoh supranatural memberikan opini yang senada dengan tokoh agama.
Sementara itu, majalah Misteri lebih mengutamakan artikel opini untuk mendedah fenomena supranatural. Hal ini misalnya terlihat dalam edisi 5 – 19 Maret 2010 pada rubrik Misteri Sejati yang berjudul “ Akibat Bersekutu dengan Susuk Intan”. Tidak ada informasi yang menunjukkan bahwa tulisan ini adalah produk jurnalistik. Lebih banyak opini dan mengutip berbagai sumber.
Hal yang menarik dari sisi pasar adalah iklan yang muncul di dalam kedua majalah ini. Keduanya dipenuhi dengan iklan jimat dan sebagainya, juga iklan-iklan perseorangan dari para “orang sakti”, baik yang melekatkan dirinya dengan simbol agama dan yang tidak. Iklan benar-benar sangat dominan di dalam kedua majalah ini. Dari sisi pendanaan, mudah dilihat kedua majalah ini beroperasi dengan dana memadai, bahkan mungkin sangat menguntungkan.
Sumber daya pekerja media juga digunakan dengan optimal karena keduanya memiliki sumber daya manusia yang sedikit. Sumber daya informasi yang akan diolah menjadi konten media juga sungguh optimal, terutama pada Misteri. Informasi yang didapat tentang fenomena supranatural dapat dicari dengan cukup mudah pada sumber-sumber lain, terutama dari internet. Apalagi semua sumber tersebut tidak disertai rujukan yang memadai. Tidak hanya tulisan, gambar dan foto yang digunakan pun tidak menunjukkan sumbernya. Kedua majalah ini mengeluarkan biaya yang sedikit dalam memproduksi pesannya dengan keuntungan yang lumayan besar.
Walau kepentingan publik bukanlah hal utama yang digunakan untuk melihat manajemen media, tetapi tetap kita pertanyakan pula, apa makna kehadiran majalah jenis ini di masyarakat. Kemungkinan besar secara manajerial, kedua majalah ini efektif dan efisien dalam mengelola sumber daya. Pasar juga menyerapnya dengan baik. Tetapi apa peran kehadiran kedua majalah ini dalam kehidupan publik? Hal yang paling penting saja, menunjukkan akuntabilitas produksi pesan, kedua majalah ini sulit. Kedua majalah ini mengangkat fenomena yang memang sulit diverifikasi dan ada di luar wilayah “kepublikan” yang digadang-gadang oleh para pembelajar.
Bagaimana mungkin para “makhluk halus” disesuaikan dengan prinsip-pirnsip jurnalistik? Atau pendekatan kita, para pembelajar, yang kurang tepat untuk mengamati fenomena ini. Toh, pembacanya juga baik-baik saja dan tidak mempertanyakan. Sekali lagi, selama sebagian masyarakat kita masih percaya dengan fenomena supranatural, selama itu pula media jenis ini akan terus hadir.
Ngomong-ngomong, apa para hantu juga memerlukan media tentang manusia, atau apakah mereka juga mempelajari media ya? :D
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar