Selasa, 23 Maret 2010

Potret Musik Indonesia Terkini


Tindakan profesional, apa pun bidangnya, dapat ditakar melalui dua hal, yaitu aktivitas profesional itu sendiri dan output kerjanya. Keduanya berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain walau dapat pula dilihat secara terpisah.

Di dalam bermusik, aktivitas profesional termanifestasi melalui penciptaan, penampilan, dan pendistribusian yang oke. Penciptaan musik profesional merujuk pada karya yang tidak meniru, apalagi mengkopi persis, karya orang lain. Penampilan musik yang bagus merujuk pada kesungguhannya terutama dalam pentas langsung. Jadi, sebenarnya musik yang dimainkan dengan bohong-bohongan dan penonton yang juga pura-pura menikmati, adalah tindakan pementasan musik yang tidak profesional. Bahkan lebih jauh daripada itu, kegiatan tipu-tipu saja. Tidak otentik dan tidak riil.

Begitu juga pendistribusian musik. Pendistribusian hasil karya musik dimulai dari pendokumentasian, pengemasan, dan penghantaran musik pada pendengar dengan baik untuk menunjukkan tindakan yang profesional. Pendokumentasian musik asal-asalan sebelum dikemas menunjukkan bahwa musisi dan pekerja pendukungnya belumlah serius bekerja.

Begitu juga dengan pengemasan. Pengemasan yang serius ditunjukkan melalui pengemasan output, misalnya memikirkan tampilan di album dan lain sebagainya. “Pengemasan” musisi juga memiliki pengertian lain, yaitu imaji yang berusaha ditumbuhkan dan ditanamkan pada si pencipta musik. Bila pengemasan itu hanya epigon dari musisi yang sudah ada, atau bahkan sama persis dengan imaji yang sedang populer, tentulah pengemasan itu kurang profesional.

Setelah aktivitas, tindakan profesional tersebut dapat dilihat dengan sangat mudah dan terverifikasi pada outputnya. Aktivitas yang bagus cenderung akan menghasilkan output yang bagus. Dengan demikian, mudah sebenarnya untuk menakar musisi. Pertama, ada tidak karyanya? Bila tidak pernah berkarya, apa yang bisa dinilai? Sekali pun misalnya, musisi tersebut dan para pendukungnya berkoar-koar bahwa si musisi hebat. Kedua, bila sudah ada output karya, dan ini jauh lebih bagus daripada tidak berkarya sama sekali, setidaknya musisi tersebut menjadi lebih mudah dirujuk dan diverifikasi oleh beragam pihak.

Akumulasi dari output bagus tiap musisi akan membentuk kondisi yang bagus pula secara umum. Di dalam “industri” musik sudah lumrah diketahui bahwa ada dua aras musik, yaitu musik major dan musik independen. Di banyak negara, perkembangan musik indie semakin tinggi persentasenya bila dibandingkan dengan musik yang beredar secara keseluruhan. Di Amerika Serikat misalnya, persentase musik indie sudah mencapai sekitar 15 persen. Sayang, kita tidak punya data yang sahih untuk musik indie Indonesia. Walau begitu kita bisa merasakan bahwa kehadiran musi indie sudah mulai semakin terasa dan tertangkap oleh radar pendengaran kita.

Di dalam kasus Indonesia, musik major atau seringkali juga disebut mainstream memang mengarah dalam kondisi yang kurang bagus. Perkembangan pasar dengan mengeksploitasi penggemar musik hanya sebagai konsumen, perkembangan teknologi media yang tidak diikuti oleh kemantapan penerapan hukum, dan regulator yang tidak paham, adalah tiga faktor yang saling bertali-temali dan pada akhirnya membuat musik Indonesia semakin terpuruk.

Musik menjadi semacam komoditas yang diperdagangkan tanpa mempedulikan kualitas. Musik mainstream kemudian menjadi senada, membosankan, dan penuh tindakan tidak profesional dan tidak otentik. Wajar bila kemudian para penikmat musik sering memandang musisi mainstream sebagai musisi tidak serius dan hanya mementingkan keuntungan semata. Tidak semua musisi mainstream seperti yang saya gambarkan di atas. Tetap ada juga musisi mainstream yang bagus dan menghasilkan output yang keren.

Kritik dari penikmat musik tersebut dianggap oleh seorang musisi sebagai “salah tempat”, menurutnya band mainstream tidak ada hubungannya dengan keberadaan mereka di major label maupun indie. Musisi itu adalah Anji, vokalis Drive. Ia mengutarakan isi hatinya di dalam majalah Rolling Stone Indonesia edisi Maret 2010. Menurut saya, pendapat Anji juga salah alamat karena wajar orang berkesimpulan musisi mainstream adalah musisi major label karena bila mereka “tidak mainstream”, mana lah bisa dikontrak label major? Kebanyakan musisi mainstream juga menghasilkan karya yang senada seirama tanpa keberagaman. Satu band sukses merilis irama melayu, band-band lain kemudian mengikuti. Di mana fenomena seperti ini terjadi bila bukan di musik mainstream?

Pemutaran lagu-lagu dan penampilan musisi di banyak acara musik pagi hari di televisi semakin memperparah kualitas mereka tersebut. Seingat saya Drive pun pernah tampil di program musik bohongan tersebut. Bagaimana bisa disebut berkualitas bila bernyanyi saja lipsinc, dengan iringan minus one. Apa bedanya dengan kita para pendengar, yang menyanyikannya secara karaoke di rumah? Juga dengan penonton bayaran yang bohong-bohongan menikmati musik? Memang ada pula penggemar musik sungguhan yang hadir tetapi “kepalsuan” dan “ketidakotentikan” tetaplah yang meraja.

Jadi pembelaan seorang praktisi televisi di majalah Trax edisi Maret 2010 juga tidak dapat dibenarkan. Febry Meuthia, Manager Music & Variety Program SCTV, yang melahirkan acara Inbox, menulis opininya yang berjudul “Televisi Itu Etalase”. Pembelaan habis-habisan darinya untuk menunjukkan bahwa musik dan televisi bisa bersinergi ke arah yang lebih baik. Kenyataannya, minimal saya, melihat acara tersebut di pagi hari, sama saja dengan mengorbankan sepanjang hari saya menjadi kelabu.

Televisi memang etalase. Siapa bilang televisi itu hanya lembaga pendidikan atau lembaga sosial? Permasalahannya adalah apakah etalase itu memajang “komoditi” yang oke atau tidak. Apakah komoditi itu bisa merujuk pada keinginan publik yang elegan.

Walau demikian, kita juga beruntung sekarang ini karena musik Indonesia relatif sudah bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sama halnya dengan pesan media yang lain; film, buku, dan majalah. Tetapi apa gunanya posisi tuan rumah tersebut bila secara kualitas outputnya tidak meningkat dan tindakan profesional tidak muncul dalam kredo kerja atau tindakan profesional?

Atau apakah kita bisa membiarkan kondisi ini tetap di tangan regulator yang membiarkan 94% output musik yang beredar adalah bajakan? Pemerintah yang katanya menggalakkan industri kreatif tetapi sekaligus menyediakan gerai penjualan musik bajakan di pameran pembangunan di semua daerah. Pameran pembangunan adalah cara formal pemerintah menunjukkan kemajuan di tiap daerah.

Apakah menjual konten media bajakan bisa disebut sebagai kemajuan?

(keterangan gambar: Salah satu "pengawal" menuju musik Indonesia lebih berkualitas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...