Sabtu, 06 Maret 2010

Menyibak Langit Berita: Memahami Konteks Jurnalisme Televisi Indonesia Terkini

Di akhir" pertemuan" ini apa yang mesti ditulis ya? maksudnya pertemuan dengan perkuliahan dan hari kerja, walau sebenarnya seringkali saya "bekerja" sampai Sabtu, bahkan Minggu. Tetapi bukankah bekerja katanya sama dengan berlibur? sehingga perlu juga meninggalkan jejak tulisan untuk akhir minggu :D. Begitulah yang saya pikirkan, tetapi beberapa ide belum dieksekusi menjadi tulisan. Beberapa tulisan sudah hampir jadi tetapi tetap belum selesai. Jadi, saya coba melihat-lihat apa yang telah ditulis dan belum diunggah di internet.

Melihat-lihat file dokumen, saya jadi ingin mengupload makalah saya yang dipresentasikan pada tanggal 16 Februari 2010 lalu. Bukan apa-apa sih, daripada tersimpan mendingan dibagi. Mana tahu bisa bermanfaat bagi teman lain dan juga bagi saya sendiri tentunya. Tulisan singkat ini ditulis untuk acara diskusi “Di Balik Langit Berita TV One” yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, TV One, dan Komako (Korps Mahasiswa Komunikasi) UGM.

Kebiasaan menulis dan mendokumentasikannya menjadi semakin penting artinya bagi saya. Teman-teman sekantor-lah yang menginspirasi hal tersebut. Belakangan teman-teman sefakultas sering muncul di suratkabar nasional. Hari ini mas Dodi yang hadir di Kompas. Beberapa waktu yang lalu ada Sigit, mas Anton Damanik, juga mas Cornelis Lay dan mas Ari Dwipayana. Saya sendiri akan berusaha lebih keras lagi untuk menulis dengan baik. Semoga juga bisa menyusul mereka yang rajin "mengisi" media nasional (dan juga jurnal). Seharusnya juga bukan "semoga" melainkan "harus". :D

Dengan berniat untuk berdiskusi lebih jauh, ini tulisan saya tentang jurnalisme televisi terkini di Indonesia:

Pengantar
Bagaimana kita melihat jurnalisme televisi di Indonesia sekarang ini? Inilah pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab. Untuk menjawabnya, kita perlu menyibak sejarah dan konteks yang ada sejauh ini. Paling tidak ada dua alasan yang menjelaskan mengapa pertanyaan tersebut lumayan sulit dijelaskan. Pertama, kita harus menjelaskan jurnalisme penyiaran Indonesia secara historis karena kondisi dan keadaan terkini terjadi sebagai akibat berbagai kejadian pada masa lalu. Penengokan historis tersebut minimal dengan mengamati berbagai peristiwa penting pada masa Reformasi yang dimulai pada tahun 1998.

Sebagaimana kita ketahui, runtuhnya Orde Baru seperti membuka kotak pandora di mana berbagai “kerusakan” muncul. Kerusakan tersebut juga dianggap karena kebebasan bermedia yang berlebihan, terutama pada masa awal Reformasi. Kita masih mengingat bagaimana peran media dan kebebasan pers dinilai negatif oleh sebagian anggota masyarakat pada berbagai konflik di Maluku, Kalimantan Tengah dan Barat, serta Sulawesi Tengah. Walaupun masa Reformasi juga memunculkan banyak potensi yang mengarahkan bangsa ini pada demokrasi seperti yang kita lihat melalui kondisi terkini jurnalisme secara umum dan jurnalisme televisi secara khusus di mana televisi telah memberikan ruang baru berekspresi dan beropini.

Kesulitan kedua untuk menelaah konteks jurnalisme televisi juga berasal dari karakter kajian media itu sendiri. Telaah media, terutama televisi sebagai bentuk media yang paling salah dimengerti, tidak pernah berada di dalam ruang hampa. Mengkaji televisi harus melibatkan entitas lain. Argumen ini disampaikan oleh Dedy N. Hidayat yang mengatakan bahwa media massa tidak pernah menjadi realita pada dirinya sendiri. Media massa akan selalu menjadi bagian dari dinamika berbagai aras, sosial, budaya, politik, dan ekonomi (dalam Sudibyo, 2009: x). Ketika kita berusaha mendedah pesan media, terutama berita, secara tidak langsung kita akan menempatkan entitas politik, ekonomi, dan sosiokultural sebagai konteksnya.

Dengan demikian kita tidak mungkin melepaskan telaah media televisi, terutama dalam aspek faktual, dari berbagai entitas dan kepentingan lain. Entitas lain yang dianggap paling dominan adalah entitas politik. Televisi Indonesia sarat dengan kepentingan politik sejak awal. Sejak kemunculannya pertama-kali pada tahun 1962 dalam event Asian Games ke-4, televisi Indonesia sarat dengan kepentingan politik. Hal ini semakin diperkuat oleh rejim otoriter Orde Baru yang memberikan peran stasiun televisi pertama Indonesia, TVRI, sebagai alat promosi persatuan nasional. Indikasi politis semakin kuat melalui penguasaan sebagian kecil keluarga dan kerabat keluarga Presiden Soeharto pada era kelahiran televisi swasta pada akhir 1980-an dan awal 1990-an (lihat Sen & Hill, 2001: 125).

Kondisi ini masih berlaku sampai sekarang. Jurnalisme televisi selalu sarat dengan kepentingan, terutama kepentingan politik. Tulisan singkat ini berusaha menunjukkan konteks (politik) jurnalisme televisi tersebut melalui pemaparan beberapa peristiwa penting, bagaimana kondisi jurnalisme televisi saat sekarang ini, dan tulisan ini ditutup dengan telaah pada rekomendasi ke arah yang semoga konstruktif. Arah alternatif yang mungkin ditempuh oleh jurnalisme televisi Indonesia.

Berbagai Peristiwa Penting

Secara historis jurnalisme televisi Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai peristiwa atau faktor berikut ini: runtuhnya Orde Baru, bangkitnya era keterbukaan, lahirnya UU no. 32 tahun tentang Penyiaran, otonomi daerah, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, berkembangnya era komunikasi politik terkini, dan perkembangan trend jurnalisme itu sendiri.

Pertama, runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998. Ketika itu presiden Soeharto “dipaksa” turun dari kekuasaannya oleh mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat setelah berkuasa selama tiga dekade lebih sedikit. Salah satu faktor langgengnya Orde Baru berkuasa adalah kemampuannya mengatur dan mengontrol media. Indoktrinasi masyarakat dilakukan melalui dua media penyiaran milik pemerintah, RRI dan TVRI. Sementara itu penguasaan media swasta atau non-pemerintah dilakukan dengan ketat dan sistemik. Kontrol dan hegemoni itu terbangun dari berbagai lini pemberitaan. Mulai dari narasumber yang boleh diwawancarai sampai dengan teguran langsung bila pemberitaan tidak sesuai dengan kepentingan pemerintah.

Keruntuhan Orde Baru dalam beberapa aspeknya adalah keruntuhan yang sebenarnya tidak diduga. Pada tahun 1994, pemerintah Orde Baru masih melakukan pembredelan terhadap tiga media cetak ternama pada waktu itu, Tempo, Detik, dan Editor. Juga pada tahun 1996 di mana terjadi penghentian penayangan acara Perspektif di SCTV yang dipandu oleh Wimar Witoelar (lihat Hidayat, Gazali, Suwardi & Ishadi S. K. (ed), 2000: 3-4). Jadi, ketika Orde Baru runtuh pada tahun 1998, banyak pengelola organisasi media yang sebenarnya tidak menyangka apalagi Orde Baru melakukan kontrol yang sangat ketat bahkan di saat-saat terakhir runtuh, antara lain melalui tv poll dan “pembungkaman” melalui subsidi harga kertas di tengah krisis ekonomi.

Kontrol yang dilakukan oleh Orde Baru terhadap media, terutama televisi, adalah kontrol yang meliputi hampir semua lini pemberitaan dan struktur media. Ragam kontrol tersebut yaitu: kontrol terhadap kepemilikan institusi media, kontrol terhadap pekerja media, termasuk individu yang mengisi jabatan tertentu, kontrol terhadap produk teks pemberitaan, kontrol terhadap sumber daya, antara lain kertas dan frekuensi siaran, dan kontrol akses ke media (Hidayat, Gazali, Suwardi & Ishadi S. K. (ed), 2000: 6). Dengan banyak kontrol tersebut sulit bagi media menjadi pengontrol bagi jalannya proses pemerintahan. Media hampir tak berkutik karena kontrol ada di semua level. Media bahkan benar-benar menjadi alat hegemoni yang sangat penting selain pendidikan formal di sekolah-sekolah.

Peristiwa pertama tersebut membawa pada peristiwa atau konsekuensi kedua, yaitu kebangkitan era keterbukaan. Dibubarkannya Departemen Penerangan dengan segera membuka keran keterbukaan media. Media menjadi bebas didirikan bahkan untuk televisi yang sebenarnya sangat padat modal. Jumlah stasiun televisi swasta yang tadinya berjumlah lima stasiun segera berkembang menjadi sepuluh stasiun televisi swasta. Bisa dikatakan perijinanlah yang menutup berdirinya berbagai stasiun televisi pada masa Orde Baru kecuali pihak pendiri dan pengelolanya merupakan bagian dari kekuasaan.
Kondisi yang terbuka ini menyebabkan televisi menemukan fungsinya sendiri di masyarakat. Sesuatu yang tidak mungkin di era ketertutupan. Fungsi televisi ini dapat ditelaah melalui salah satu konsep yang disebut bardic television. Fungsi televisi yang melekat secara kultural pada masyarakat (Fiske & Hartley, 2003: 66-67). Melalui konsepsi ini, televisi secara inheren merupakan bagian penting di dalam masyarakat terbuka. Fungsi-fungsinya adalah sebagai berikut:

1. To articulate the main lines of the established cultural consensus about the nature of reality (and therefore the reality of nature).
2. To implicate the individual members of the culture into its dominant value-systems, by exchanging a status-enhancing message for the endorsement of that message’s underlying ideology (as articulated in its mythology).
3. To celebrate, explain, interpret and justify the doings of the culture’s individual representatives in the world out-there; using the mythology of individuality to claw back such individuals from any mere eccentricity to a position of social-centrality.
4. To assure the culture at large of its practical adequacy in the world by affirming and conforming its ideologies/mythologies in active engagement with the practical and potentially unpredictable world.
5. To expose, conversely, any practical inadequacies in the culture’s sense of itself which might result from changed conditions in the world out-there, or from pressure within the culture for a reorientation in favour of a new ideological stance.
6. To convince the audience that their status and identity as individuals is guaranteed by the culture as a whole.
7. To transmit by these means a sense of cultural membership (security and involvement).

Peristiwa ketiga bagi dunia jurnalisme televisi yang juga penting adalah kelahiran UU no. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Walau UU ini sampai sekarang belum terimplementasi sepenuhnya, terutama implementasi penyiaran berjaringan yang baru diberlakukan tahun ini, UU ini berperan menentukan wajah pertelevisian Indonesia. Salah satu hal baru yang dibentuk oleh UU ini adalah klasifikasi jenis penyiaran yang ada di Indonesia serta kehadiran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan KPID sebagai regulator utama penyiaran di Indonesia.

UU ini bersama UU no. 4o tahun 1999 tentang Pers, menurut penulis, adalah peraturan hukum yang relatif demokratis walau pada akhirnya dunia penyiaran tidak sepenuhnya diserahkan pada kepentingan publik seperti halnya amanat UU tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya rebirokratisasi, rekomersialisasi, dan penegasian lembaga penyiaran komunitas (Sudibyo, 2009: 14-22), serta pengabaian penyiaran publik. Rebirokratisasi misalnya muncul dalam bentuk pihak yang “bermitra” dengan televisi. Perijinan siaran menjadi lebih kompleks daripada masa sebelumnya sebagai akibat peraturan turunan dari UU ini. Kompleksitas, atau bisa disebut kekacauan, perijinan bisa dilihat dari tumpang-tindahnya pemberi ijin lembaga penyiaran lokal, selain KPID dan pemerintah lewat kementerian Kominfo, pemerintah lokal juga bisa memberikan ijin siaran tersebut.

Peristiwa keempat adalah kelahiran dan perkembangan otonomi daerah. Fenomena ini memunculkan banyak stasiun televisi lokal yang semestinya membawa konsekuensi positif pada isu dan peristiwa lokal. Kemunculan stasiun televisi lokal di berbagai daerah ini bukannya tanpa masalah. Alokasi frekuensi antara stasiun televisi swasta nasional dengan lokal dan kewenangan perijinan adalah isu utama yang sempat muncul sebagai akibat dari otonomi daerah ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Siaran berjaringan adalah isu teraktual yang sampai sekarang masih menjadi pembicaraan di kalangan insan televisi dan regulator di daerah.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor keempat yang berpengaruh terhadap perkembangan jurnalisme televisi di Indonesia. Teknologi ini adalah teknologi dalam pengertian yang luas yang meliputi hardware dan software. Teknologi menjadikan produksi berita menjadi lebih mudah, penyimpanan dan pengaksesan kembali lebih efektif dan efisien, tampilan lebih canggih, dan distribusi lebih cepat. Perkembangan teknologi media tersebut walau tidak berasal dari Indonesia, dampaknya juga telah terasa.

Perkembangan media baru antara lain ditunjukkan melalui pendirian jaringan televisi kabel bernama Current di Amerika Serikat. Pendirian jaringan televisi kabel ini bertujuan memberdayakan kaum muda dan untuk mendemokratisasikan televisi (Jenkins, 2006: 240). Jaringan ini sebagian dari programnya diproduksi oleh audiens. Ide ini bukan sesuatu yang baru tetapi berpengaruh juga di televisi broadcast dan mempengaruhi banyak negara. Pengaruhnya antara lain terlihat pada kelahiran program yang kontennya berasal dari audiens.

Faktor lain adalah berkembangnya era komunikasi politik modern di Indonesia. Sebenarnya hal ini sudah dimulai sejak pemilu tahun 1999 tetapi fenomena ini terlihat sangat intens pada tahun 2009. Pada satu sisi, realitas tersebut menunjukkan hal yang positif karena masyarakat dapat “berpesta” demokrasi. Pada sisi yang lain nuansa negatifnya juga muncul, antara lain terindikasinya politik uang. Peran media dalam era komunikasi politik modern ini sangat besar karena media memegang peranan yang penting. Sayangnya, ketidakpahaman aktor-aktor politik atas peran media dan kesamaan antara aktor politik dan pengelola media, menjadikan komunikasi politik di banyak daerah, dan apalagi di level nasional, sangat problematik.

Fenomena terakhir yang berkaitan erat dengan jurnalisme Indonesia terkini adalah kecenderungan perkembangan pesan media itu sendiri, terutama bersimbiosisnya pesan faktual (berita) dan fiksional (hiburan). Untuk berita terdapat beberapa trend perkembangan jurnalisme, yaitu: peliputan nonstop (nonstop coverage), berita langsung (live news), berita eksplanatori ( exploratory news), feature (soft news), dan kehadiran blog yang tak diedit (unedited blogs) sebagai pendukung berita televisi (Vivian, 2008: 249-251). Bila pihak media tidak berhati-hati, perkembangan jenis pemberitaan tersebut dapat menghilangkan esensi fakta pada pelaporan peristiwa.

Selain itu, kombinasi antara pesan faktual dan fiksional menjadi fenomena yang juga muncul di luar program pemberitaan. Permasalahannya bukan hanya pada media, melainkan juga pada anggapan bahwa fakta bisa “direncanakan”. Fenomena ini dikenal dengan nama program realitas atau televisi realitas. Reality television didefinisikan sebagai: programmes where the unscripted behaviour of ‘ordinary people’ is the focus of interest (Bignell, 2004: 184). Awalnya, program jenis ini digunakan oleh stasiun-stasiun televisi kecil di Amerika Serikat untuk bersaing stasiun-stasiun televisi besar karena memiliki karakter yang unik dan sangat kuat unsur lokalitasnya. Namun belakangan proogram realitas ini justru diproduksi pula oleh stasiun televisi besar untuk efisiensi biaya produksi program.

Lebih jauh dijelaskan pula problem reality tv yaitu….a shared cultural reference point, it satirizes viewer fascination with the televisual display of ‘real’ people, the agreed-on surveillance inherent to reality TV, and the commercial pressures that have coalesced to create simultaneously ‘authentic’, dramatic, popular, and profitable nonfictional television programming (Murray & Ouellette (eds), 2004: 1). Pada titik ini, program berita dan program hiburan tidak jelas lagi batasnya. Walau cenderung lebih dekat dengan penyampain informasi faktual dan bersifat lokal pada awalnya, kini tv realitas lebih dekat dengan bentuk fiksional karena plot yang disusun oleh pihak produsen pesan.

Bagaimana Wajah Jurnalisme Televisi Indonesia Sekarang Ini?

Pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana wajah jurnalisme televisi Indonesia sekarang ini. Untuk mengamati kondisi jurnalisme televisi ini kita dapat melihatnya dari dua sisi, kelebihan dan kekurangannya. Pertama, hal yang positif terlebih dahulu. Kelebihan jurnalisme televisi Indonesia sekarang ini adalah hadirnya diskusi dan debat yang relatif semakin interaktif dan terbuka, pesan berita terdistribusi di banyak media dan saling mendukung satu sama lain. Selain itu, pemberitaan menjadi semakin potensial untuk menyuarakan pihak yang tersisih dan teraniaya oleh kekuasaan.

Sementara itu, kekurangan jurnalisme televisi Indonesia sekarang ini adalah sama seperti jurnalisme pada media lain, jurnalisme televisi kita masih berkutat dengan problem mendasar jurnalistik. Semisal penjumputan fakta yang belum sepenuhnya menggambarkan peristiwa dan pertanyaan-pertanyaan tidak etis yang dimunculkan jurnalis. Hal-hal yang mendasar ini saja seringkali tidak terpenuhi dengan baik. Penyebab hal tersebut mulai dari pekerja media sampai dengan sistem yang mengaturnya.

Paling tidak terdapat tiga karakter esensial yang harus dipenuhi oleh berita di televisi, yaitu akurasi, kejelasan, dan obyektivitas (White, 2005: 368). Ketiganya belum dipenuhi dengan memadai. Belum lagi bila ketiganya dikaitkan dengan isu lain yang juga mengemuka kini. Hal ini tercermin dalam pendapat sebagai berikut: the concept of objectivity and the related distinction between information and entertainment have also been part of the practical, professional self-understanding of journalism since its inception (Dahlgren, 1996: 47). Artinya, proses pemberitaan televisi adalah sesuatu yang dinamis dan melibatkan seluruh level. Semua level tadi berpengaruh pada akurasi, kejelasan, dan obyektivitas.

Sementara itu di ranah konteks, produk berita di televisi Indonesia masih rentan terhadap kepentingan politik pihak tertentu. Terakhir, berita televisi Indonesia memiliki kecenderungan membentuk agenda setting dan framing berita yang berpihak pada pemilik kuasa, kuasa politik ataupun kuasa ekonomi. Bila tidak dipikirkan posisi secara proporsional, televisi rentan dimanfaatkan pihak tertentu. Catatan yang menarik dari fenomena ini adalah “kompetisi’ pemberitaan mengenai Kongres Partai Golkar oleh dua stasiun televisi swasta beerformat berita belum lama ini.

Hal ini ditunjukkan dengan dominannya kehadiran pihak pemilik kuasa di dalam berita. Pada dasarnya setiap individu hidup dalam dua “dunia”. Kedua dua itu adalah dunia nyata dan dunia media. Media disinyalir “dikuasai” oleh pemerintah dan korporasi (Bagdikian, 2004: xiii). Lalu bagaimana bila media yang menawarkan dunia tersebut tidak lagi bisa dipilih dengan bebas karena adanya monopoli? Monopoli membuat pilihan pesan media yang ada menjadi terbatas.

Catatan Penutup: Mau ke Mana Jurnalisme Televisi Indonesia?

Peran baru bagi televisi patut diperkenalkan pada masyarakat. Televisi, atau media apa pun, sekarang ini sebenarnya relatif lebih tepat bila bukan dianggap sebagai pilar keempat demokrasi. Konsepsi pilar keempat (fourth estate) adalah konsepsi yang merupakan perpanjangan dari tiga pilar sebelumnya yang berasal dari entitas politik yang ada dalam lokus negara. Televisi sebaiknya menempatkan dirinya dalam posisi publik bukan lagi pada posisi negara. Walau demikian, posisi televisi pada publik ini jangan disalahkaprahi dengan dikotomi penyiaran komersial versus penyiaran publik yang berkembang belakangan ini.

Posisi televisi, dan semestinya semua media, berada dalam wilayah publik atau lebih luas lagi, ada di sisi masyarakat sipil. Walau masih cukup rumit, posisi tersebut perlu dieksplorasi lebih jauh. Istilah yang mewadahi posisi tersebut adalah “kepublikan”. Apa itu kepublikan dan penjelasannya memang perlu diskusi panjang (terima kasih untuk bang Ashadi Siregar yang pernah mendiskusikan ini dengan penulis. Ide kepublikan ini berasal darinya).

Televisi swasta komersial sekalipun dapat bersifat publik bila benar-benar melibatkannya. Pelibatan publik dalam pengambilan kebijakan dan pengawasan penyiaran sangatlah penting. Hal ini terjadi di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Walaupun partisipasi publik menurun mulai tahun 1980-an, kelompok-kelompok yang menyuarakan kepentingan publik masih terus eksis seperti Center for Media Education, Media Access Project, dan Viewers for Quality Television (Dominick, Messere & Sherman, 2004: 236). Hal yang mirip terjadi pula di Indonesia walaupun belum optimal.

Agenda yang lain adalah menyelesaikan urusan-urusan mendasar jurnalistik terlebih dahulu dan menempatkan etika publik sebagai hal yang utama dalam pemberitaan. Hal ini bisa dirujuk pada pengertian berita itu sendiri, yaitu “what happened that day” dan “important and interesting events” (Postman & Powers, 1992: 12). Apa yang dimaksud dengan peristiwa yang penting dan menarik bagi publik perlu didedah secara tuntas oleh jurnalis televisi dan pihak-pihak terkait lainnya.

Selanjutnya, agenda yang paling penting bisa pula dilaksanakan yaitu: menuju pada “kepublikan” atau menempatkan televisi dalam ruang publik yang sebenarnya. Kepublikan dapat diwujudkan dalam ruang publik yang rasional, menempatkan keberagaman dan keterbukaan sebagai karakter esensial, dan bermanfaat bagi banyak orang. Pertanyaannya adalah: Is the notion of a public sphere still viable and, if so, how can journalism best fulfil its social responsibilities? Is it the case that only free market (and market friendly regulatory regimes) ensures diversity of expression and open public debate? (Allan, 2004: 215).

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mesti diupayakan oleh kita semua untuk mengelaborasinya. Hal yang perlu dilakukan adalah “reformasi” sistem media, antara lain pengaturan media baru dan konvergensi media, kepemilikan media, kebijakan anti-trust media, dan mengembangkan media publik (lihat McChesney, 2004: 210-251). Mengapa perbaikan ini dilakukan walaupun berat dan memerlukan waktu? Jawabannya sederhana: tidak ada demokrasi tanpa peran media yang optimal. Jika bukan kita bersama, siapa lagi yang membangun dan berkontribusi bagi jurnalisme televisi yang lebih baik?

*******


Referensi

Allan, Stuart (2004). News Culture. Second Edition. Maidenhead: Open University Press.
Bagdikian, Ben H. (2004). The New Media Monopoly. Boston: Beacon Street.
Bignell, Jonathan (2004). An Introduction to Television Studies. London: Routledge.
Dahlgren, Peter (1996). Television and the Public Sphere: Citizenship, Democracy and the Media. London: Sage Publications.
Dominick, Joseph R., Fritz Messere & Barry L. Sherman (2004) Broadcasting, Cable, the Internet, and Beyond: An Introduction to Modern Electronic Media. Boston: McGraw-Hill.
Fiske, John & John Hartley (2003). Reading Television. Second Edition. London: Routledge.
Hidayat, Dedy N., Effendi Gazali, Harsono Suwardi & Ishadi S. K. (ed) (2000). Pers dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jenkins, Henry (2006). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York: New York University Press.
McChesney, Robert W. (2004). The Problem of the Media: U.S. Communication Politics in the 21st Century. New York: Monthly Review Press.
Murray, Susan & Laurie Ouellette (eds) (2004). Reality TV: Remaking Television Culture. New York: New York University Press.
Postman, Neil & Steve Powers (1992). How to Watch TV News. New York: Penguin Books.
Sen, Krishna & David T. Hill (2001). Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta: Istitut Studi Arus Informasi.
Sudibyo, Agus (2009). Kebebasan Semu: Penjajahan Baru di Jagat Media. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Vivian, John (2008). The Media of Mass Communication. Eighth Edition. Boston: Pearson.
White, Ted (2005). Broadcast News: Writing, Reporting, and Producing. Fourth Edition. Amsterdam: Focal Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...