Sabtu, 28 Mei 2011
Jendela 4 (Sebagai Pemicu Absurditas Interaksi)
Jendela satu
Ku tahu kau tahu
Sosialisme ego
Begitu pentingkah diri masing-masing sehingga tuaian akumulatif tak berharga?
Jendela dua
Ku tahu kau tak tahu
Rejimentasi hasrat
Seberapa jauh kita bisa saling mengejar sampai pada akhirnya tak tertangkap lagi?
Jendela tiga
Ku tak tahu kau tahu
Sedimentasi angan
Kemana lagi menuangkan asa bila tak ada ketertautan?
Jendela empat
Ku tak tahu kau tak tahu
Liberalisasi dendam
Apa semua pihak loyal dan peduli?
Jendela empat seperempat
Siapa peduli siapa yang tahu?
Meruang dan merongga sanubari bertumbuk
Untuk apa lagi saling menunggu bila mentari telah jauh meninggalkan kita
# untuk seorang guru yang dulu mengajarkan “Jendela Johari”
# untuk seorang teman, dek Jingga, yang baru kemarin menduhaikan frase “aku tahu kau tahu”
Jumat, 27 Mei 2011
Jendela 3 (Sebagai Varian Luka)
Menghampa sahaya
Menakdir sahaja
Kau belum beranjak juga
Bagaimana mungkin kau berbicara tentang jendela tanpa merasakan lolongannya?
Bagaimana bisa kau bertengadah pada hari tanpa merasakan teriknya?
Sayangnya, tak ada apa pun di atas kita
Kembali hari telah berganti pada kali kesekian
Menakdir sahaja
Kau belum beranjak juga
Bagaimana mungkin kau berbicara tentang jendela tanpa merasakan lolongannya?
Bagaimana bisa kau bertengadah pada hari tanpa merasakan teriknya?
Sayangnya, tak ada apa pun di atas kita
Kembali hari telah berganti pada kali kesekian
Jendela 2 (Sebagai Metafor Mediasi)
Pagi terlalu cerah sehingga kau bisa melepas lelah lebih awal
Menyesap kopi pelan-pelan dan tanpa prasangka
Menderitkan kenangan hampa-hampa
Untung saja pantulannya lengkap dan tak terhalang bagai layar
Pagi tak pernah menunggu siapa pun tentu saja
Meluangkan waktu untuk hal yang penting dan tak penting
Bagaimana ruang luka dan medan waktu bisa saling memantulkan imaji?
Tanpa peringatan tiba-tiba saja sebuah janji telah tertagih
Pagi menyeruak paksa-paksa dengan agak brutal
Siapa yang menyangka bukan forum yang tercipta
Hanya tanda-tanda sepanjang titian menyiangi utopia
Kau bilang melangkah saja karena sang pemandu telah menanti
Mungkinkah pagi tak pernah datang?
Lalu, siapa yang mengetuk pintu kuat-kuat membuatmu terjaga?
Kau enggan terbangun karena bagimu semua mimpi itu sama
Sebenarnya kenyataan pun bisa saja angan yang paling reflektif
Bukan seketika sebenarnya mentari melompati kau dan diriku
Menyesap kopi pelan-pelan dan tanpa prasangka
Menderitkan kenangan hampa-hampa
Untung saja pantulannya lengkap dan tak terhalang bagai layar
Pagi tak pernah menunggu siapa pun tentu saja
Meluangkan waktu untuk hal yang penting dan tak penting
Bagaimana ruang luka dan medan waktu bisa saling memantulkan imaji?
Tanpa peringatan tiba-tiba saja sebuah janji telah tertagih
Pagi menyeruak paksa-paksa dengan agak brutal
Siapa yang menyangka bukan forum yang tercipta
Hanya tanda-tanda sepanjang titian menyiangi utopia
Kau bilang melangkah saja karena sang pemandu telah menanti
Mungkinkah pagi tak pernah datang?
Lalu, siapa yang mengetuk pintu kuat-kuat membuatmu terjaga?
Kau enggan terbangun karena bagimu semua mimpi itu sama
Sebenarnya kenyataan pun bisa saja angan yang paling reflektif
Bukan seketika sebenarnya mentari melompati kau dan diriku
Minggu, 22 Mei 2011
Ayam Bercengkerama dengan Hujan
Saat-saat sekarang ini saya merasa aktivitas berliterasi, membaca dan menulis, begitu nikmat dan membahagiakan. Tidak pernah saya merasakan hal seperti ini sebelumnya. Sebelumnya saya seringkali menganggap membaca itu aktivitas “biasa” yang mengalir bersama kesenangan dan tugas. Menulis juga begitu. Menulis hanya sebagai hal-hal yang normal atau paling tidak sebagai suatu “kewajiban” yang mesti dilakukan. Kini bagi saya, membaca dan menulis adalah masalah eksistensial pula. Ada kegamangan tak bertepi bila cukup lama tak membaca dan menulis dengan baik dan benar (kalimat ini sepertinya agak berlebihan ya? :D).
Biasanya saya merayakan kecil-kecilan tulisan saya setiap kelipatan seratus. Semacam apresiasi untuk diri sendiri. Walau mungkin distigma sebagai modus narsistik, tujuan saya sebenarnya sederhana saja: hanya ingin sekadar memberi semangat pada diri sendiri agar terus menulis. Selain merasakan hal baru lewat menulis, dan juga membaca, saya tahu pasti bahwa keberadaan komunitas rekan-rekan yang juga mengambil kebahagiaan dengan menulis, adalah salah satu alasan mengapa merasakan betul indahnya menulis. Salah satu komunitas itu adalah kumpulan pembelajar di jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Mereka membuat kegiatan #31 hari menulis yang menurut saya brilian. Tulisan-tulisan mereka menghibur dan menginspirasi saya. Ada tulisan yang cerdas, unik, lucu, dan juga biasa saja. Walau begitu semua tulisan ini membahagiakan, tidak sangat bagus namun lengkap dan memadai.
Secara tak sengaja pula ketika saya menyumbang tulisan penyemangat untuk mereka, saya teringat salah satu buku dari tahun 2001 yang pernah saya beli, buku yang diterbitkan oleh Indonesia Tera. Buku itu karya Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul “Hujan Menulis Ayam”. Buku kumpulan cerpen itu sebenarnya biasa saja, jauh dengan puisi-puisi SCB. Untuk puisi, memang SCB adalah salah satu “dewa”-nya Indonesia. Walau tidak sangat bagus, judul buku itu memang menyiratkan “pemberontakan”, karakter yang melekat pada SCB. Apa lagi yang bisa kita maknai dari judul “Hujan Menulis Ayam” sebagai sebuah manifestasi keberanian dalam menulis? Kira-kira itulah yang saya dapat dari buku ini walau ternyata sebenarnya judul buku ini berasal dari tiga cerpen yang berbeda, yang berjudul “Hujan”, “Menulis”, dan “Ayam”. Semua cerpen di buku ini unik dan “menggigit” pada akhir ceritanya dan taat dengan konvensi penulisan. Berbeda sekali dengan puisi-puisi SCB.
Inspirasi yang ditawarkan oleh SCB adalah keberanian. Keberanian untuk menulis dengan cara dan gaya sendiri. Bila saya boleh menambahkan, untuk membaca pun tiap individu memiliki cara dan gayanya sendiri. Gaya tiap orang untuk menulis bisa beragam. Ada yang sangat konvensional, menulis dari kalimat pembuka sampai penutup dengan lurus dan langsung selesai. Ada rekan saya, yang menulis bisa pada tiap bagian tulisan dan kemudian “dironce” satu persatu menjadi sebuah tulisan utuh. Kualitas tulisan tidak ada hubungannya dengan cara menulis dan gaya tulisan. Juga dengan membaca. Tiap orang memiliki gaya membacanya masing-masing. Ada yang hanya membaca buku fiksi. Ada yang lebih sering membaca buku non-fiksi atau ilmiah populer. Ada yang keduanya. Ada yang dalam satu waktu hanya membaca satu buku. Ada yang dalam satu kurun waktu membaca lebih dari satu buku. Pilihan terserah pada masing-masing individu asalkan aktivitas membaca personalnya itu berguna bagi dirinya.
Judul yang saya gunakan untuk tulisan ini, “Ayam Bercengkerama dengan Hujan”, jelas berasal dari judul buku SCB ini. Inspirasi yang mengajak kita berbahagia dan menikmati aktivitas membaca dan menulis kita. Menulis bagi saya bukan untuk menulis itu sendiri tetapi untuk tujuan-tujuan lain sekalipun hanya mikro saja. Secara personal menulis dapat membuat kita mensyukuri hidup. Aktivitas kecil tetapi bermakna. Kini saya menemukan langgam dan modus saya sendiri. Saya berusaha tidak membedakan dengan tegas menulis, dan juga membaca, untuk fakta atau pun fiksi. Bila ingin menulis agak “serius”, saya akan menulis saja. Bila berupaya untuk menghasilkan fiksi pendek ataupun puisi, saya akan berproses saja tanpa berusaha mengekangnya terlalu ketat. Teknisnya pun ternyata sangat mudah. Saya mengambil inspirasi dari banyak rekan yang berusaha setiap hari menulis apa pun di blog-nya masing-masing dan ternyata itu sangat membantu. Ini sudah menjadi resep menulis saya setahun terakhir ini. Tulisan utuh bisa didapat dari tulisan-tulisan cepat tadi dengan “polesan’ dan “pahatan” sana-sini. Intinya tulisan jadi utuh terlebih dahulu. Pun dengan aktivitas membaca. Ternyata saya akan lebih cepat menulis bila saya membaca buku fiksi, terutama novel yang sangat panjang. Novel dengan ratusan halaman membantu stamina membaca dan menulis kita terus ada. Suasana hati juga akan terbentuk baik agar kita terus membaca buku lain yang lebih “serius”, misalnya buku teks, dan mendukung kita untuk terus menulis. Tentu saja, modus ini memiliki kelemahan yang begitu jelas terlihat. Kita menjadi terlalu asyik membaca fiksi dan melupakan yang lain. Saya pernah mengalaminya di masa lalu namun saya berusaha betul mengatasinya di masa sekarang. Paling tidak ini sudah terbukti. Minggu kemarin saya menyelesaikan trilogi Millenium, kisah Salander dan Blomvist, dan juga beberapa tulisan. Kini saya membaca kembali Musashi dan Senopati Pamungkas sambil berusaha menyelesaikan tugas besar yang sudah menanti diselesaikan dalam waktu yang lama.
Saya mencoba menjadi “ayam” yang terpukau dengan hujan kata-kata. Ayam yang berbasah-basah namun bahagia dengan membaca dan menulis. Saya berupaya terpikat berkali-kali lagi dengan hidup yang indah dan membahagiakan ini. Ternyata itu bukan upaya yang terlalu berat. Mari sama-sama mencoba menemukan makna eksistensial dari membaca dan menulis masing-masing. Siapa tahu kita menemukan makna baru dari hidup sendiri melalui membaca dan menulis. Kita bisa mengadaptasi aforisme Descartes yang terkenal itu: aku membaca dan menulis dengan baik, maka aku (semakin) ada. Selamat berliterasi teman-teman!
Biasanya saya merayakan kecil-kecilan tulisan saya setiap kelipatan seratus. Semacam apresiasi untuk diri sendiri. Walau mungkin distigma sebagai modus narsistik, tujuan saya sebenarnya sederhana saja: hanya ingin sekadar memberi semangat pada diri sendiri agar terus menulis. Selain merasakan hal baru lewat menulis, dan juga membaca, saya tahu pasti bahwa keberadaan komunitas rekan-rekan yang juga mengambil kebahagiaan dengan menulis, adalah salah satu alasan mengapa merasakan betul indahnya menulis. Salah satu komunitas itu adalah kumpulan pembelajar di jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Mereka membuat kegiatan #31 hari menulis yang menurut saya brilian. Tulisan-tulisan mereka menghibur dan menginspirasi saya. Ada tulisan yang cerdas, unik, lucu, dan juga biasa saja. Walau begitu semua tulisan ini membahagiakan, tidak sangat bagus namun lengkap dan memadai.
Secara tak sengaja pula ketika saya menyumbang tulisan penyemangat untuk mereka, saya teringat salah satu buku dari tahun 2001 yang pernah saya beli, buku yang diterbitkan oleh Indonesia Tera. Buku itu karya Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul “Hujan Menulis Ayam”. Buku kumpulan cerpen itu sebenarnya biasa saja, jauh dengan puisi-puisi SCB. Untuk puisi, memang SCB adalah salah satu “dewa”-nya Indonesia. Walau tidak sangat bagus, judul buku itu memang menyiratkan “pemberontakan”, karakter yang melekat pada SCB. Apa lagi yang bisa kita maknai dari judul “Hujan Menulis Ayam” sebagai sebuah manifestasi keberanian dalam menulis? Kira-kira itulah yang saya dapat dari buku ini walau ternyata sebenarnya judul buku ini berasal dari tiga cerpen yang berbeda, yang berjudul “Hujan”, “Menulis”, dan “Ayam”. Semua cerpen di buku ini unik dan “menggigit” pada akhir ceritanya dan taat dengan konvensi penulisan. Berbeda sekali dengan puisi-puisi SCB.
Inspirasi yang ditawarkan oleh SCB adalah keberanian. Keberanian untuk menulis dengan cara dan gaya sendiri. Bila saya boleh menambahkan, untuk membaca pun tiap individu memiliki cara dan gayanya sendiri. Gaya tiap orang untuk menulis bisa beragam. Ada yang sangat konvensional, menulis dari kalimat pembuka sampai penutup dengan lurus dan langsung selesai. Ada rekan saya, yang menulis bisa pada tiap bagian tulisan dan kemudian “dironce” satu persatu menjadi sebuah tulisan utuh. Kualitas tulisan tidak ada hubungannya dengan cara menulis dan gaya tulisan. Juga dengan membaca. Tiap orang memiliki gaya membacanya masing-masing. Ada yang hanya membaca buku fiksi. Ada yang lebih sering membaca buku non-fiksi atau ilmiah populer. Ada yang keduanya. Ada yang dalam satu waktu hanya membaca satu buku. Ada yang dalam satu kurun waktu membaca lebih dari satu buku. Pilihan terserah pada masing-masing individu asalkan aktivitas membaca personalnya itu berguna bagi dirinya.
Judul yang saya gunakan untuk tulisan ini, “Ayam Bercengkerama dengan Hujan”, jelas berasal dari judul buku SCB ini. Inspirasi yang mengajak kita berbahagia dan menikmati aktivitas membaca dan menulis kita. Menulis bagi saya bukan untuk menulis itu sendiri tetapi untuk tujuan-tujuan lain sekalipun hanya mikro saja. Secara personal menulis dapat membuat kita mensyukuri hidup. Aktivitas kecil tetapi bermakna. Kini saya menemukan langgam dan modus saya sendiri. Saya berusaha tidak membedakan dengan tegas menulis, dan juga membaca, untuk fakta atau pun fiksi. Bila ingin menulis agak “serius”, saya akan menulis saja. Bila berupaya untuk menghasilkan fiksi pendek ataupun puisi, saya akan berproses saja tanpa berusaha mengekangnya terlalu ketat. Teknisnya pun ternyata sangat mudah. Saya mengambil inspirasi dari banyak rekan yang berusaha setiap hari menulis apa pun di blog-nya masing-masing dan ternyata itu sangat membantu. Ini sudah menjadi resep menulis saya setahun terakhir ini. Tulisan utuh bisa didapat dari tulisan-tulisan cepat tadi dengan “polesan’ dan “pahatan” sana-sini. Intinya tulisan jadi utuh terlebih dahulu. Pun dengan aktivitas membaca. Ternyata saya akan lebih cepat menulis bila saya membaca buku fiksi, terutama novel yang sangat panjang. Novel dengan ratusan halaman membantu stamina membaca dan menulis kita terus ada. Suasana hati juga akan terbentuk baik agar kita terus membaca buku lain yang lebih “serius”, misalnya buku teks, dan mendukung kita untuk terus menulis. Tentu saja, modus ini memiliki kelemahan yang begitu jelas terlihat. Kita menjadi terlalu asyik membaca fiksi dan melupakan yang lain. Saya pernah mengalaminya di masa lalu namun saya berusaha betul mengatasinya di masa sekarang. Paling tidak ini sudah terbukti. Minggu kemarin saya menyelesaikan trilogi Millenium, kisah Salander dan Blomvist, dan juga beberapa tulisan. Kini saya membaca kembali Musashi dan Senopati Pamungkas sambil berusaha menyelesaikan tugas besar yang sudah menanti diselesaikan dalam waktu yang lama.
Saya mencoba menjadi “ayam” yang terpukau dengan hujan kata-kata. Ayam yang berbasah-basah namun bahagia dengan membaca dan menulis. Saya berupaya terpikat berkali-kali lagi dengan hidup yang indah dan membahagiakan ini. Ternyata itu bukan upaya yang terlalu berat. Mari sama-sama mencoba menemukan makna eksistensial dari membaca dan menulis masing-masing. Siapa tahu kita menemukan makna baru dari hidup sendiri melalui membaca dan menulis. Kita bisa mengadaptasi aforisme Descartes yang terkenal itu: aku membaca dan menulis dengan baik, maka aku (semakin) ada. Selamat berliterasi teman-teman!
Literasi Media: Pengantar Memahami Konsep dan Praksis
Pengantar
Bila dilihat mendalam dan dibandingkan interaksi antar empat entitas, negara, pasar, media, dan masyarakat, bisa dikatakan perkembangan masyarakat dalam berinteraksi dengan media sedikit lambat. Hal ini berbeda dengan interaksi media dengan entitas yang lain. Interaksi antara media dengan negara berjalan cukup seimbang di mana keduanya saling memanfaatkan untuk masing-masing. Negara dapat menyusun regulasi yang sedikit banyak dapat “mengatur” media, sementara di sisi lain media masih cenderung bebas dan menjadi institusi yang penting bagi demokrasi. Interaksi media dengan pasar juga berjibaku relatif seimbang karena kemudian media bisa memantau pasar agar tidak terlalu besar sementara media sendiri semakin menjadi wahana pertemuan antar elemen dalam motif mencari profit dan memenuhi kebutuhan. Efek negatifnya adalah media semakin tercerap pasar dan semakin bermotif komersial. Pada titik inilah, media berinteraksi secara tidak seimbang dengan masyarakat.
Masyarakat Indonesia saat ini dibombardir oleh sangat banyak informasi dengan relatif sedikit kemampuan untuk mencernanya. Kebanyakan masyarakat Indonesia memasuki lautan informasi tanpa kemampuan memadai untuk berlayar mengarungi samudera tersebut. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin maju juga memunculkan media baru yang semakin menambah kompleks kehidupan bermedia masyarakat Indonesia. Hal ini semakin diperparah dengan pemerintah yang relatif gagal melindungi warga melalui regulasi yang telah ada. Regulasi yang ada malah cenderung melindungi penguasa dengan terlalu banyak mengebiri masyarakat sipil dan tidak mengatur aparat pemerintah bila abai dalam menjalankan tugasnya dalam mewujudkan salah satu hak dasar warga negara, mendapatkan informasi dan berkomunikasi.
Pada titik inilah literasi media sebagai sebuah konsep akademis dan konsep populer yang semestinya berkembang di masyarakat, menjadi semakin memiliki ugensi. Sayangnya, pemahaman atas literasi media masih sangat beragam. Pada beberapa aspek, pemahaman yang meluas tersebut sangat baik bagi perkembangan sebuah konsep, sayangnya tidak demikian dengan pemahaman atas konsep literasi media. Pemahaman yang muncul di dunia akademis dan masyarakat cenderung memasukkan konsep apa pun di dalam terminologi literasi media, terutama dibaurkan dengan konsep pemantauan media (media watch) dan pendidikan media (media education). Tulisan ini paling tidak mencoba memberikan sedikit sumbangan bagi urun rembug aspek konseptual dan praksis dari literasi media.
Karena pada dasarnya setiap konsep mengenal lokus dan fokus, tulisan ini diawali dengan upaya pendedahan konsep literasi media dari lokus dan fokusnya dan dengan sendirinya membedakan dengan konsep-konsep lain, yaitu dengan konsep pemantauan media dan pendidikan media sehingga didapatkan garis demarkasi yang tegas, walaupun sebenarnya pada ketiga konsep tersebut muncul juga titik singgung. Setelah penjelasan tersebut, akan coba dipaparkan juga ragam jenis literasi atau bisa kita sebut dengan kecakapan bermedia karena pada dasarnya konsep ini melingkupi himpunan sub-konsep lain yang lebih luas dan mendalam. Paling tidak kita mengenal tiga jenis kecakapan bermedia, yaitu pertama, literasi itu sendiri, dalam pengertiannya yang lebih sempit sangat dengan media cetak. Kedua, literasi media, yang walaupun memakai istilah media, sebenarnya sejak kemunculannya sangat lekat dengan media audio-visual. Dan ketiga, literasi media baru atau literasi digital, yang melingkupi kecakapan dalam berinteraksi dengan media internet, handphone, dan game. Pada akhir tulisan akan coba didiskusikan peran berbagai entitas untuk mengembangkan literasi media lebih jauh lagi di masyarakat kita yang semakin erat dengan perkembangan media, terutama media baru.
Diskusi
Lokus adalah tempat atau “wilayah” literasi media terjadi atau bereksistensi. Lokus literasi media ada di wilayah siapa pun yang mengakses media. “Siapa” di dalam studi ilmu komunikasi adalah khalayak yang menggunakan media. Lokus utama ini bisa juga disebut dengan lokus mikro. Lokus mikro adalah semua individu yang menggunakan media dan terutama individu yang rentan terhadap pengaruh media karena berbagai hal. Walau banyak faktor yang dapat menyebabkan individu rentan terhadap media, faktor belum munculnya kecakapan yang memadai dalam menggunakan media adalah faktor yang utama. Anak-anak dan remaja di dalam keluarga dan siswa di sekolah adalah contoh individu yang rentan ketika “berhadapan” dengan media. Mahasiswa atau pembelajar di perguruan tinggi pun dapat pula rentan bila tidak dibekali kecakapan bermedia yang memadai.
Selain lokus mikro, kelompok atau berbagai komunitas di dalam masyarakat juga bisa menjadi lokus literasi media. Beberapa kelompok penggiat literasi media di Yogyakarta misalnya berfokus pada kelompok ibu-ibu rumah tangga di pinggiran kota agar memiliki tingkat literasi media yang lebih baik. Pada level yang makro literasi media juga dapat diamati. Masyarakat Yogyakarta misalnya, relatif memiliki literasi media yang memadai, sementara masyarakat Indonesia secara umum dipahami belum memiliki tingkat literasi media yang memadai.
Seperti halnya berbagai konsep yang lain, literasi media juga memiliki fokus. Paling tidak ada lima fokus atau fungsi aksiologis dalam literasi media. Pertama, peningkatan kecakapan individu dalam menggunakan media. Kedua, pemahaman yang lebih baik atas realitas sesungguhnya melalui realitas media. Hal ini terutama diterapkan pada orang dewasa atau orang tua dalam menemani anak-anaknya dalam berinteraksi dengan media (Orange& O’Flynn, 2007). Ketiga, literasi media sebagai sebuah upaya pembelajaran. Hal ini dekat dengan konsep pendidikan media walau sedikit berbeda fokusnya. Pada literasi media, pembelajaran tersebut merujuk pada cara informasi dikemas dan didistribusikan. Fokus ketiga ini biasanya ditujukan untuk anak-anak yang sekaligus merupakan siswa di sekolah-sekolah (Bus & Neuman (eds.), 2009). Keempat, literasi media berfokus pada pemahaman kritis atas apa yang disampaikan oleh media. Pemahaman kritis ini terutama bertujuan membuat khalayak mengambil manfaat bagi dirinya sendiri dengan merefleksikan pengalaman personal hidupnya. Terakhir, fungsi aksiologis dari literasi media pada level makro adalah untuk pemberdayaan masyarakat. Pada dasarnya literasi media adalah salah satu cara untuk menguatkan masyarakat sipil ketika berhadapan dengan media, terutama korporasi media yang cenderung semakin besar.
Lalu apa definisi dari literasi media? sebenarnya cukup banyak definisi literasi media yang tersebar di berbagai buku dan jurnal akademis, namun penulis memilih definisi literasi media yang disampaikan oleh James Potter, yang menurut penulis paling memadai, yaitu: A set of perspectives that we actively expose ourselves to the media to interpret the meaning of the messages we encounter. We build our perspectives from knowledge structures. To build our knowledge structures, we need tools and raw material. These tools are our skills. The raw material is information from the media and the real world. Active use means that we are aware of the messages and are consciously interacting with them (Potter, 2005: 22).
Melalui definisi tersebut dapat dipahami bahwa literasi media adalah sebentuk “alat”, sementara kumpulan informasi atau pesan adalah “bahan mentahnya”. Dengan demikian, pembicaraan mengenai literasi media tidak mungkin meninggalkan diskusi mengenai isi pesan media secara langsung maupun sebagai titik awal membicarakan media dalam lokus yang lebih luas. Berdasarkan isi pesan media inilah kemudian muncul klasifikasi literasi media berdasarkan pesan, yaitu literasi media untuk berita, hiburan (fiksi), dan iklan. Semuanya berbasis pada tujuh kecakapan yang akan diungkap berikutnya walaupun ditambahi dengan karakter pada masing-masing jenis pesan media.
Definisi tersebut sekaligus juga menjadi pembeda dengan konsep pendidikan media. Literasi media tidaklah sama dengan pendidikan media walau banyak kelompok masyarakat sipil atau penggiat literasi media menggabungkannya. Perbedaan tersebut bisa dilihat pada dua aspek, yaitu fokus dan tingkat kecakapan yang berusaha dimunculkan. Literasi media bertujuan untuk menumbuhkan pemahaman dan kecakapan pada individu dalam menggunakan media, sementara pendidikan media bertujuan untuk melahirkan pemahaman. Aspek kedua, tingkat kegiatan literasi media bisa sampai pada produksi pesan agar pemahaman dan kecakapan yang dimiliki optimal, sementara pendidikan media lebih berfokus pada konteks dan manfaat dari media bila digunakan dalam proses pembelajaran (Lihat Carlsson,Tayie, Jacquinot-Delaunay and Tornero (Eds.), 2008).
Untuk memahami definisi literasi media lebih mendalam sebaiknya dipahami pula bahwa terdapat tujuh elemen utama di dalamnya. Elemen utama di dalam literasi media adalah sebagai berikut:
1. An awareness of the impact of media
2. An understanding of process of mass communication
3. Strategies for analyzing and discussing media messages
4. An understanding of media content as a text that provides insight into our culture and our lives
5. The ability to enjoy, understand, and appreciate media content
6. An understanding of the ethical and moral obligations of media practitioners
7. Development of appropriate and effective production skills
(Lima elemen pertama oleh Art Silverblatt (1995). Dua tambahan elemen oleh Stanley J. Baran dalam Baran, 1999: 49 – 54)
Berdasarkan definisi dan elemen utama literasi media tersebut kita dapat mengklasifikasikan beragam tipe literasi media. Pertama, berdasarkan media yang dituju, literasi media terdiri dari: literasi, literasi media (dalam arti sempit), dan literasi media baru. Kedua, berdasarkan tingkat kecakapan yang berusaha dimunculkan literasi media dapat dibedakan ke dalam tingkat awal, menengah, dan lanjut. Tingkat awal di dalam literasi media biasanya berupa pengenalan media, terutama efek positif dan negatif yang potensial diberikan oleh media. Literasi media tingkat menengah bertujuan menumbuhkan kecakapan dalam memahami pesan. Sementara tingkat lanjut dalam literasi media melahirkan output kecakapan memahami media yang lengkap sampai produksi pesan, struktur pengetahuan terhadap media yang relatif lengkap, dan pemahaman kritis pada level aksi, misalnya memberi masukan dan kritik pada organisasi dan menggalang aksi untuk mengritik media. Selain itu, literasi media berdasarkan lokasi kegiatan dilakukannya paling tidak muncul di tiga tempat, yaitu: di rumah/tempat tinggal, sekolah, dan di kelompok-kelompok masyarakat.
Bisa dikatakan memahami dan memunculkan kecakapan individu dalam menggunakan media adalah tujuan yang utama dalam kegiatan literasi media. Tujuan ini lebih penting bila dibandingkan dengan tujuan mengenalkan media atau pun menumbuhkan pemahaman kritis pada media. Terdapat tujuh kecakapan atau kemampuan yang diupayakan muncul dari kegiatan literasi media (Potter, 2004: 124), yaitu:
Analysis: breaking down a message into meaningful elements
Evaluation: judging the value of an elements; the judgement is made by comparing the element of some criterion
Grouping: determining which elements are alike in some way; determining which elements are different in some way
Induction: inferring a pattern across a small set of elements, then generalizing the pattern to all elements in the set
Deduction: using general principles to explain particulars
Synthesis: assembling elements into a new structure
Abstracting: creating a brief, clear, and accurate description capturing the essence of message in a smaller number of words than the message itself
Kecakapan di atas sebaiknya juga diperkuat dengan aspek-aspek yang mesti dipahami dalam kegiatan literasi media (Silverblatt, 1995: 13), yaitu:
Proses
Konteks
Framework
Produksi nilai
Proses di dalam aktivitas penguatan literasi media sangat dipengaruhi oleh tujuan kegiatan tersebut. Bila tujuan dari kegiatan literasi media adalah mengenalkan efek media, prosesnya tentu saja mendahulukan mengakses isi pesan yang diasumsikan berefek tak baik. Sementara itu, bila tujuan untuk mengenalkan aspek produksi, tentu saja prosesnya melibatkan produksi dan semua aspeknya. Konteks juga sangat berpengaruh pada kegiatan literasi media. Maraknya pembicaraan tentang pornografi membuat kegiatan literasi media sebaiknya juga merujuk pada kasus-kasus pornografi di media. Aspek framework terutama berkaitan dengan aspek produksi. Kerangka pandang konten media mempengaruhi kegiatan literasi media, terutama yang berkaitan dengan motif komersial. Terakhir, kegiatan literasi media seharusnya menjadikan individu khalayak media memiliki nilai tersendiri, mana konten media yang dipandang baik dan dipandang buruk.
Hal yang sedikit berbeda muncul di dalam bidang pendidikan media. Media dalam dunia pendidikan memiliki tiga fungsi (Brunner & Tally, 1999: 4 – 9), yaitu:
Tools for student research
Tools for student production
Tools for public conversations
Kita kembali pada diskusi mengenai tipe literasi media, yaitu literasi, literasi media (dalam arti sempit), dan literasi media baru atau literasi digital. Istilah literasi seringkali disinonimkan dengan “melek huruf” walau sebenarnya padanan dalam bahasa Indonesia tersebut malah menghilangkan maknanya yang utama, keaktifan individu. Hal yang sama juga terjadi untuk istilah “melek media” untuk literasi media. Literasi sebagai sebuah konsep akademis muncul pada era 1960-an dan terutama dikaitkan dengan Komunikasi Pembangunan. Literasi digunakan sebagai indikator pembangunan pada dekade 1960-an sampai 1980-an. Misalnya saja tingkat literasi per seribu penduduk. Literasi sangat dekat dengan media cetak dan berfokus pada kecakapan membaca dan menulis. Aktivitas penguatan literasi di masyarakat masih dijalankan sampai sekarang, antara lain oleh majalah sastra Horizon: program Kaki Langit.
Tipe literasi media yang kedua adalah literasi media dalam artinya yang lebih sempit. Literasi media secara umum adalah kemampuan audiens yang bisa diterapkan pada semua individu. Sementara itu dalam pengertian sempit, literasi media lebih berkaitan dengan televisi. Hal ini masih kita lihat di banyak situs penggiat literasi media di dalam maupun luar negeri yang menunjukkan bahwa literasi media itu terutama ditujukan untuk media televisi. Semestinya kini para penggiat literasi media memiliki pemahaman yang relatif sama bahwa literasi media berlaku untuk semua jenis media, media lama atau pun baru.
Terakhir, literasi media baru atau literasi digital adalah konsepsi yang melingkupi kecakapan dan pemahaman untuk media internet, handphone, dan game. Selain tujuh pemahaman yang sama dengan media lain seperti yang dikenalkan oleh Potter, literasi digital ini sebaiknya juga diperkuat dengan pemahaman bahwa pesan media baru memiliki konsekuensi pada personal dan publik, pesan itu konvergen, dan media baru mampu menjadi penghubung pada partisipan komunikasi dari mana saja.
Catatan Penutup
Pada bagian ini kita bisa mendiskusikan berbagai pihak dalam mengembangkan lietrasi media sebagai konsep atau pun praksis di masyarakat Indonesia. Pertama, peran pemerintah. Pemerintah sebaiknya menyusun implementasi hukum atu regulasi yang baik agar masyarakat bisa berperan aktif dan terfasilitasi ketika “berhadapan” dengan media. Pemerintah, dalam hal ini bagian yang mengurusi pendidikan, juga sebaiknya mengembangkan kurikulum yang berkaitan dengan media dan penggunaannya yang memadai. Kedua, peran untuk masyarakat. Anggota masyrakat, dalam hal ini orang dewasa bisa memilih menjalankan tiga peran (Potter, 2004: 232 – 235), yaitu: mediasi aktif, ko-mediasi/pendampingan, atau pun mediasi restriktif. Begitu juga upaya yang telah dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil. Sayangnya, upaya ini belum merata di seluruh wilayah Tanah Air. Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jakarta bisa dikatakan memiliki banyak elemen masyarakat sipil yang menebarkan “virus” literasi media. Sayangnya, hal ini belum cukup dilakukan oleh daerah lain.
Terakhir, adalah peran industri media. Korporasi media sebaiknya tidak hanya menumpuk kapital melalui konten yang diberikannya pada khalayak. Kasus Smackdown di Lativi pada tahun 2006 sebenarnya pada satu sisi menunjukkan terlambatnya media memberikan literasi media. Ketika Lativi pada waktu itu menyiarkan berbagai program bahwa acara Smackdown itu hiburan dan fiksional, upaya tersebut sudah terlambat karena sudah menimbulkan banyak korban di penonton anak-anak. Upaya lain yang pernah dilakukan oleh industri media di Indonesia adalah WAN (World Association of Newspaper) untuk meningkatkan kemampuan membaca khalayak media cetak Indonesia walau gaung kegiatan ini relatif menghilang belakangan ini. Singkatnya, pengembangan literasi media adalah kewajiban kita bersama karena siapa lagi yang mengurusi Indonesia bila bukan kita?
Referensi
Baran, Stanley J. (1999). Introduction to Mass Communication and Culture. London: Mayfield Publishing Company.
Brunner, Cornelia & William Tally (1999). The New Media Literacy Handbook: An Educator’s Guide to Bringing New Media into the Classroom. New York: Doubleday.
Bus, Adriana G. & Susan B. Neuman (Eds.) (2009). Multimedia and Literacy Development: Improving Achievement for Young Learners. London: Routledge.
Carlsson, Ulla, Sammy Tayie, Genevieve Jacquinot-Delaunay and Jose Manuel Perez Tornero (Eds.) (2008). Empowerment through Media Education: An Intercultural Dialogue. Goteborg: The International Clearinghouse on Children, Youth and Media & UNESCO.
Orange, Teresa & Louise O’Flynn (2007). The Media Diet for Kids. Jakarta: Serambi.
Potter, W. James (2004). Theory of Media Literacy: A Cognitive Approach. London: Sage.
Potter, W. James (2005). Media Literacy. Third Edition. London: Sage.
Silverblatt, Art (1995). Media Literacy: Keys to Interpreting Media Messages. London: Praeger.
Bila dilihat mendalam dan dibandingkan interaksi antar empat entitas, negara, pasar, media, dan masyarakat, bisa dikatakan perkembangan masyarakat dalam berinteraksi dengan media sedikit lambat. Hal ini berbeda dengan interaksi media dengan entitas yang lain. Interaksi antara media dengan negara berjalan cukup seimbang di mana keduanya saling memanfaatkan untuk masing-masing. Negara dapat menyusun regulasi yang sedikit banyak dapat “mengatur” media, sementara di sisi lain media masih cenderung bebas dan menjadi institusi yang penting bagi demokrasi. Interaksi media dengan pasar juga berjibaku relatif seimbang karena kemudian media bisa memantau pasar agar tidak terlalu besar sementara media sendiri semakin menjadi wahana pertemuan antar elemen dalam motif mencari profit dan memenuhi kebutuhan. Efek negatifnya adalah media semakin tercerap pasar dan semakin bermotif komersial. Pada titik inilah, media berinteraksi secara tidak seimbang dengan masyarakat.
Masyarakat Indonesia saat ini dibombardir oleh sangat banyak informasi dengan relatif sedikit kemampuan untuk mencernanya. Kebanyakan masyarakat Indonesia memasuki lautan informasi tanpa kemampuan memadai untuk berlayar mengarungi samudera tersebut. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin maju juga memunculkan media baru yang semakin menambah kompleks kehidupan bermedia masyarakat Indonesia. Hal ini semakin diperparah dengan pemerintah yang relatif gagal melindungi warga melalui regulasi yang telah ada. Regulasi yang ada malah cenderung melindungi penguasa dengan terlalu banyak mengebiri masyarakat sipil dan tidak mengatur aparat pemerintah bila abai dalam menjalankan tugasnya dalam mewujudkan salah satu hak dasar warga negara, mendapatkan informasi dan berkomunikasi.
Pada titik inilah literasi media sebagai sebuah konsep akademis dan konsep populer yang semestinya berkembang di masyarakat, menjadi semakin memiliki ugensi. Sayangnya, pemahaman atas literasi media masih sangat beragam. Pada beberapa aspek, pemahaman yang meluas tersebut sangat baik bagi perkembangan sebuah konsep, sayangnya tidak demikian dengan pemahaman atas konsep literasi media. Pemahaman yang muncul di dunia akademis dan masyarakat cenderung memasukkan konsep apa pun di dalam terminologi literasi media, terutama dibaurkan dengan konsep pemantauan media (media watch) dan pendidikan media (media education). Tulisan ini paling tidak mencoba memberikan sedikit sumbangan bagi urun rembug aspek konseptual dan praksis dari literasi media.
Karena pada dasarnya setiap konsep mengenal lokus dan fokus, tulisan ini diawali dengan upaya pendedahan konsep literasi media dari lokus dan fokusnya dan dengan sendirinya membedakan dengan konsep-konsep lain, yaitu dengan konsep pemantauan media dan pendidikan media sehingga didapatkan garis demarkasi yang tegas, walaupun sebenarnya pada ketiga konsep tersebut muncul juga titik singgung. Setelah penjelasan tersebut, akan coba dipaparkan juga ragam jenis literasi atau bisa kita sebut dengan kecakapan bermedia karena pada dasarnya konsep ini melingkupi himpunan sub-konsep lain yang lebih luas dan mendalam. Paling tidak kita mengenal tiga jenis kecakapan bermedia, yaitu pertama, literasi itu sendiri, dalam pengertiannya yang lebih sempit sangat dengan media cetak. Kedua, literasi media, yang walaupun memakai istilah media, sebenarnya sejak kemunculannya sangat lekat dengan media audio-visual. Dan ketiga, literasi media baru atau literasi digital, yang melingkupi kecakapan dalam berinteraksi dengan media internet, handphone, dan game. Pada akhir tulisan akan coba didiskusikan peran berbagai entitas untuk mengembangkan literasi media lebih jauh lagi di masyarakat kita yang semakin erat dengan perkembangan media, terutama media baru.
Diskusi
Lokus adalah tempat atau “wilayah” literasi media terjadi atau bereksistensi. Lokus literasi media ada di wilayah siapa pun yang mengakses media. “Siapa” di dalam studi ilmu komunikasi adalah khalayak yang menggunakan media. Lokus utama ini bisa juga disebut dengan lokus mikro. Lokus mikro adalah semua individu yang menggunakan media dan terutama individu yang rentan terhadap pengaruh media karena berbagai hal. Walau banyak faktor yang dapat menyebabkan individu rentan terhadap media, faktor belum munculnya kecakapan yang memadai dalam menggunakan media adalah faktor yang utama. Anak-anak dan remaja di dalam keluarga dan siswa di sekolah adalah contoh individu yang rentan ketika “berhadapan” dengan media. Mahasiswa atau pembelajar di perguruan tinggi pun dapat pula rentan bila tidak dibekali kecakapan bermedia yang memadai.
Selain lokus mikro, kelompok atau berbagai komunitas di dalam masyarakat juga bisa menjadi lokus literasi media. Beberapa kelompok penggiat literasi media di Yogyakarta misalnya berfokus pada kelompok ibu-ibu rumah tangga di pinggiran kota agar memiliki tingkat literasi media yang lebih baik. Pada level yang makro literasi media juga dapat diamati. Masyarakat Yogyakarta misalnya, relatif memiliki literasi media yang memadai, sementara masyarakat Indonesia secara umum dipahami belum memiliki tingkat literasi media yang memadai.
Seperti halnya berbagai konsep yang lain, literasi media juga memiliki fokus. Paling tidak ada lima fokus atau fungsi aksiologis dalam literasi media. Pertama, peningkatan kecakapan individu dalam menggunakan media. Kedua, pemahaman yang lebih baik atas realitas sesungguhnya melalui realitas media. Hal ini terutama diterapkan pada orang dewasa atau orang tua dalam menemani anak-anaknya dalam berinteraksi dengan media (Orange& O’Flynn, 2007). Ketiga, literasi media sebagai sebuah upaya pembelajaran. Hal ini dekat dengan konsep pendidikan media walau sedikit berbeda fokusnya. Pada literasi media, pembelajaran tersebut merujuk pada cara informasi dikemas dan didistribusikan. Fokus ketiga ini biasanya ditujukan untuk anak-anak yang sekaligus merupakan siswa di sekolah-sekolah (Bus & Neuman (eds.), 2009). Keempat, literasi media berfokus pada pemahaman kritis atas apa yang disampaikan oleh media. Pemahaman kritis ini terutama bertujuan membuat khalayak mengambil manfaat bagi dirinya sendiri dengan merefleksikan pengalaman personal hidupnya. Terakhir, fungsi aksiologis dari literasi media pada level makro adalah untuk pemberdayaan masyarakat. Pada dasarnya literasi media adalah salah satu cara untuk menguatkan masyarakat sipil ketika berhadapan dengan media, terutama korporasi media yang cenderung semakin besar.
Lalu apa definisi dari literasi media? sebenarnya cukup banyak definisi literasi media yang tersebar di berbagai buku dan jurnal akademis, namun penulis memilih definisi literasi media yang disampaikan oleh James Potter, yang menurut penulis paling memadai, yaitu: A set of perspectives that we actively expose ourselves to the media to interpret the meaning of the messages we encounter. We build our perspectives from knowledge structures. To build our knowledge structures, we need tools and raw material. These tools are our skills. The raw material is information from the media and the real world. Active use means that we are aware of the messages and are consciously interacting with them (Potter, 2005: 22).
Melalui definisi tersebut dapat dipahami bahwa literasi media adalah sebentuk “alat”, sementara kumpulan informasi atau pesan adalah “bahan mentahnya”. Dengan demikian, pembicaraan mengenai literasi media tidak mungkin meninggalkan diskusi mengenai isi pesan media secara langsung maupun sebagai titik awal membicarakan media dalam lokus yang lebih luas. Berdasarkan isi pesan media inilah kemudian muncul klasifikasi literasi media berdasarkan pesan, yaitu literasi media untuk berita, hiburan (fiksi), dan iklan. Semuanya berbasis pada tujuh kecakapan yang akan diungkap berikutnya walaupun ditambahi dengan karakter pada masing-masing jenis pesan media.
Definisi tersebut sekaligus juga menjadi pembeda dengan konsep pendidikan media. Literasi media tidaklah sama dengan pendidikan media walau banyak kelompok masyarakat sipil atau penggiat literasi media menggabungkannya. Perbedaan tersebut bisa dilihat pada dua aspek, yaitu fokus dan tingkat kecakapan yang berusaha dimunculkan. Literasi media bertujuan untuk menumbuhkan pemahaman dan kecakapan pada individu dalam menggunakan media, sementara pendidikan media bertujuan untuk melahirkan pemahaman. Aspek kedua, tingkat kegiatan literasi media bisa sampai pada produksi pesan agar pemahaman dan kecakapan yang dimiliki optimal, sementara pendidikan media lebih berfokus pada konteks dan manfaat dari media bila digunakan dalam proses pembelajaran (Lihat Carlsson,Tayie, Jacquinot-Delaunay and Tornero (Eds.), 2008).
Untuk memahami definisi literasi media lebih mendalam sebaiknya dipahami pula bahwa terdapat tujuh elemen utama di dalamnya. Elemen utama di dalam literasi media adalah sebagai berikut:
1. An awareness of the impact of media
2. An understanding of process of mass communication
3. Strategies for analyzing and discussing media messages
4. An understanding of media content as a text that provides insight into our culture and our lives
5. The ability to enjoy, understand, and appreciate media content
6. An understanding of the ethical and moral obligations of media practitioners
7. Development of appropriate and effective production skills
(Lima elemen pertama oleh Art Silverblatt (1995). Dua tambahan elemen oleh Stanley J. Baran dalam Baran, 1999: 49 – 54)
Berdasarkan definisi dan elemen utama literasi media tersebut kita dapat mengklasifikasikan beragam tipe literasi media. Pertama, berdasarkan media yang dituju, literasi media terdiri dari: literasi, literasi media (dalam arti sempit), dan literasi media baru. Kedua, berdasarkan tingkat kecakapan yang berusaha dimunculkan literasi media dapat dibedakan ke dalam tingkat awal, menengah, dan lanjut. Tingkat awal di dalam literasi media biasanya berupa pengenalan media, terutama efek positif dan negatif yang potensial diberikan oleh media. Literasi media tingkat menengah bertujuan menumbuhkan kecakapan dalam memahami pesan. Sementara tingkat lanjut dalam literasi media melahirkan output kecakapan memahami media yang lengkap sampai produksi pesan, struktur pengetahuan terhadap media yang relatif lengkap, dan pemahaman kritis pada level aksi, misalnya memberi masukan dan kritik pada organisasi dan menggalang aksi untuk mengritik media. Selain itu, literasi media berdasarkan lokasi kegiatan dilakukannya paling tidak muncul di tiga tempat, yaitu: di rumah/tempat tinggal, sekolah, dan di kelompok-kelompok masyarakat.
Bisa dikatakan memahami dan memunculkan kecakapan individu dalam menggunakan media adalah tujuan yang utama dalam kegiatan literasi media. Tujuan ini lebih penting bila dibandingkan dengan tujuan mengenalkan media atau pun menumbuhkan pemahaman kritis pada media. Terdapat tujuh kecakapan atau kemampuan yang diupayakan muncul dari kegiatan literasi media (Potter, 2004: 124), yaitu:
Analysis: breaking down a message into meaningful elements
Evaluation: judging the value of an elements; the judgement is made by comparing the element of some criterion
Grouping: determining which elements are alike in some way; determining which elements are different in some way
Induction: inferring a pattern across a small set of elements, then generalizing the pattern to all elements in the set
Deduction: using general principles to explain particulars
Synthesis: assembling elements into a new structure
Abstracting: creating a brief, clear, and accurate description capturing the essence of message in a smaller number of words than the message itself
Kecakapan di atas sebaiknya juga diperkuat dengan aspek-aspek yang mesti dipahami dalam kegiatan literasi media (Silverblatt, 1995: 13), yaitu:
Proses
Konteks
Framework
Produksi nilai
Proses di dalam aktivitas penguatan literasi media sangat dipengaruhi oleh tujuan kegiatan tersebut. Bila tujuan dari kegiatan literasi media adalah mengenalkan efek media, prosesnya tentu saja mendahulukan mengakses isi pesan yang diasumsikan berefek tak baik. Sementara itu, bila tujuan untuk mengenalkan aspek produksi, tentu saja prosesnya melibatkan produksi dan semua aspeknya. Konteks juga sangat berpengaruh pada kegiatan literasi media. Maraknya pembicaraan tentang pornografi membuat kegiatan literasi media sebaiknya juga merujuk pada kasus-kasus pornografi di media. Aspek framework terutama berkaitan dengan aspek produksi. Kerangka pandang konten media mempengaruhi kegiatan literasi media, terutama yang berkaitan dengan motif komersial. Terakhir, kegiatan literasi media seharusnya menjadikan individu khalayak media memiliki nilai tersendiri, mana konten media yang dipandang baik dan dipandang buruk.
Hal yang sedikit berbeda muncul di dalam bidang pendidikan media. Media dalam dunia pendidikan memiliki tiga fungsi (Brunner & Tally, 1999: 4 – 9), yaitu:
Tools for student research
Tools for student production
Tools for public conversations
Kita kembali pada diskusi mengenai tipe literasi media, yaitu literasi, literasi media (dalam arti sempit), dan literasi media baru atau literasi digital. Istilah literasi seringkali disinonimkan dengan “melek huruf” walau sebenarnya padanan dalam bahasa Indonesia tersebut malah menghilangkan maknanya yang utama, keaktifan individu. Hal yang sama juga terjadi untuk istilah “melek media” untuk literasi media. Literasi sebagai sebuah konsep akademis muncul pada era 1960-an dan terutama dikaitkan dengan Komunikasi Pembangunan. Literasi digunakan sebagai indikator pembangunan pada dekade 1960-an sampai 1980-an. Misalnya saja tingkat literasi per seribu penduduk. Literasi sangat dekat dengan media cetak dan berfokus pada kecakapan membaca dan menulis. Aktivitas penguatan literasi di masyarakat masih dijalankan sampai sekarang, antara lain oleh majalah sastra Horizon: program Kaki Langit.
Tipe literasi media yang kedua adalah literasi media dalam artinya yang lebih sempit. Literasi media secara umum adalah kemampuan audiens yang bisa diterapkan pada semua individu. Sementara itu dalam pengertian sempit, literasi media lebih berkaitan dengan televisi. Hal ini masih kita lihat di banyak situs penggiat literasi media di dalam maupun luar negeri yang menunjukkan bahwa literasi media itu terutama ditujukan untuk media televisi. Semestinya kini para penggiat literasi media memiliki pemahaman yang relatif sama bahwa literasi media berlaku untuk semua jenis media, media lama atau pun baru.
Terakhir, literasi media baru atau literasi digital adalah konsepsi yang melingkupi kecakapan dan pemahaman untuk media internet, handphone, dan game. Selain tujuh pemahaman yang sama dengan media lain seperti yang dikenalkan oleh Potter, literasi digital ini sebaiknya juga diperkuat dengan pemahaman bahwa pesan media baru memiliki konsekuensi pada personal dan publik, pesan itu konvergen, dan media baru mampu menjadi penghubung pada partisipan komunikasi dari mana saja.
Catatan Penutup
Pada bagian ini kita bisa mendiskusikan berbagai pihak dalam mengembangkan lietrasi media sebagai konsep atau pun praksis di masyarakat Indonesia. Pertama, peran pemerintah. Pemerintah sebaiknya menyusun implementasi hukum atu regulasi yang baik agar masyarakat bisa berperan aktif dan terfasilitasi ketika “berhadapan” dengan media. Pemerintah, dalam hal ini bagian yang mengurusi pendidikan, juga sebaiknya mengembangkan kurikulum yang berkaitan dengan media dan penggunaannya yang memadai. Kedua, peran untuk masyarakat. Anggota masyrakat, dalam hal ini orang dewasa bisa memilih menjalankan tiga peran (Potter, 2004: 232 – 235), yaitu: mediasi aktif, ko-mediasi/pendampingan, atau pun mediasi restriktif. Begitu juga upaya yang telah dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil. Sayangnya, upaya ini belum merata di seluruh wilayah Tanah Air. Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jakarta bisa dikatakan memiliki banyak elemen masyarakat sipil yang menebarkan “virus” literasi media. Sayangnya, hal ini belum cukup dilakukan oleh daerah lain.
Terakhir, adalah peran industri media. Korporasi media sebaiknya tidak hanya menumpuk kapital melalui konten yang diberikannya pada khalayak. Kasus Smackdown di Lativi pada tahun 2006 sebenarnya pada satu sisi menunjukkan terlambatnya media memberikan literasi media. Ketika Lativi pada waktu itu menyiarkan berbagai program bahwa acara Smackdown itu hiburan dan fiksional, upaya tersebut sudah terlambat karena sudah menimbulkan banyak korban di penonton anak-anak. Upaya lain yang pernah dilakukan oleh industri media di Indonesia adalah WAN (World Association of Newspaper) untuk meningkatkan kemampuan membaca khalayak media cetak Indonesia walau gaung kegiatan ini relatif menghilang belakangan ini. Singkatnya, pengembangan literasi media adalah kewajiban kita bersama karena siapa lagi yang mengurusi Indonesia bila bukan kita?
Referensi
Baran, Stanley J. (1999). Introduction to Mass Communication and Culture. London: Mayfield Publishing Company.
Brunner, Cornelia & William Tally (1999). The New Media Literacy Handbook: An Educator’s Guide to Bringing New Media into the Classroom. New York: Doubleday.
Bus, Adriana G. & Susan B. Neuman (Eds.) (2009). Multimedia and Literacy Development: Improving Achievement for Young Learners. London: Routledge.
Carlsson, Ulla, Sammy Tayie, Genevieve Jacquinot-Delaunay and Jose Manuel Perez Tornero (Eds.) (2008). Empowerment through Media Education: An Intercultural Dialogue. Goteborg: The International Clearinghouse on Children, Youth and Media & UNESCO.
Orange, Teresa & Louise O’Flynn (2007). The Media Diet for Kids. Jakarta: Serambi.
Potter, W. James (2004). Theory of Media Literacy: A Cognitive Approach. London: Sage.
Potter, W. James (2005). Media Literacy. Third Edition. London: Sage.
Silverblatt, Art (1995). Media Literacy: Keys to Interpreting Media Messages. London: Praeger.
Jendela
Ketukan pelan satu dua tak juga menyimpulkan
Apakah dia penyembuh atau pembuat luka
Apakah berkas sinar menembus ruang dalam sembilan tipe atau tak terklasifikasi
Tarian bayangan pohon yang menghempas dan terputus tak juga menyadarkannya terik telah menjelang
Mengapa dia selalu saja membicarakan neraka dan surga
Mengapa terus bersikukuh sentuhan kemanusiaan tak mungkin dijalankan
Kita terus saja membajak energi diri
Menghantamkan hampa pada masing-masing
Lupa melangkah pada kesempatan pertama
Refleksi dari kejauhan tak memberikan informasi apa pun
Tahu-tahu waktu telah melangkahi kita
Apakah dia penyembuh atau pembuat luka
Apakah berkas sinar menembus ruang dalam sembilan tipe atau tak terklasifikasi
Tarian bayangan pohon yang menghempas dan terputus tak juga menyadarkannya terik telah menjelang
Mengapa dia selalu saja membicarakan neraka dan surga
Mengapa terus bersikukuh sentuhan kemanusiaan tak mungkin dijalankan
Kita terus saja membajak energi diri
Menghantamkan hampa pada masing-masing
Lupa melangkah pada kesempatan pertama
Refleksi dari kejauhan tak memberikan informasi apa pun
Tahu-tahu waktu telah melangkahi kita
Vari dan Literasi (Celoteh Vari)
Dalam hidup yang fana ini kita bisa mendapatkan banyak kebahagiaan, salah satu kebahagiaan terbesar adalah dititipi Yang Maha Ada seorang anak. Bagi ayah dan ibunya, Vari adalah anak yang luar biasa. Vari adalah permata yang tiap hari menunjukkan kecemerlangannya. Vari adalah oase yang sangat menyejukkan setelah menghadapi hari kerja yang berat. Bukan karena anak sendiri, namun pastinya setiap anak akan membawa kebahagiaan dan kebanggaan tertentu pada orangtuanya. Kebahagiaan bersama orang yang kita cintai, terutama anak, yang paling utama adalah melihatnya berkembang lebih baik, mengamatinya sang anak belajar kehidupan, mulai dari hal-hal kecil sampai hal-hal “besar” dan abstrak. Karena ayah sedikit tahu mengenai literasi media atau kecakapan bermedia, ayah jadi mengamati proses belajar membaca dan menulis dengan detail.
Literasi adalah kemampuan individu dalam memahami pesan media cetak dan dalam level tertentu juga memproduksi pesannya. Literasi berkaitan erat dengan tujuh kecakapan bermedia yaitu menganalisis, mengevaluasi, mengelompokkan, menginduksi, mendeduksi, menggabungkan, dan mengabstraksi. Ketujuh kecakapan bermedia tersebut disampaikan oleh James Potter. Bila dikaitkan dengan dua kecakapan utama yang lain, membaca dan menulis, Vari sudah cukup bagus memahami bacaan-bacaannya, juga secara umum aspek keberaksaraan, lisan maupun tulisan. Ayah dan ibu sungguh bahagia melihat Vari tumbuh menjadi individu yang baik dalam hal literasi. Untuk kisah Vari “berhadapan” dengan dua jenis literasi yang lain, antara lain literasi digital atau media baru, semoga juga bisa dikisahkan lain waktu.
Berikut ini ada empat pengalaman yang sempat dicatat oleh ayah berkaitan dengan literasi yang semakin dipahami oleh Vari:
Membacakan Cerita untuk Ayah
Pada suatu pagi yang terburu-buru seperti biasa, Vari berkata pada ayah “ayah, sudah baca buku ini belum?” Vari menunjukkan buku yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah.
“ceritanya bagus lho Yah.” Vari membuka buku yang berjudul Hadiah Terbaik.
Sepintas ayah melihat buku itu namun karena terburu-buru ayah tidak bisa membacanya “Nanti ya sayang, ayah buru-buru karena ada kuliah pagi.”
“Kalau begitu Vari bacain untuk ayah ya…”
Ayah mengangguk mengiyakan dan tak lama kemudian Vari membaca. Vari membaca dengan lancar dan itu membuat ayah takjub. Untuk anak seusianya, kelas nol besar, kemampuan membaca Vari sangat baik. Ayah terus mendengarkan cerita yang dibacakan Vari. Benar, ceritanya sungguh bagus.
Sembari memakai sepatu ayah mengucapkan terima kasih, “makasih ya sayang ayah sudah dibacain. Ceritanya bagus sekali, apalagi Vari bacanya pas.” Ayah tersenyum kemudian memeluknya. Hal yang mengagetkan sekaligus membuat hati ayah berbunga-bunga adalah ucapan balasan dari Vari.
“Sama-sama ayah. Vari juga berterima-kasih karena ayah selalu membacakan buku sebelum Vari tidur.”
Sudah Nggak Ada
Tadi malam ayah berbincang dengan ibu. Ibu baru saja mendapat kabar bahwa anak temannya yang masih bayi, sekitar lima setengah bulan usianya, meninggal. Sedihnya, ini adalah anak keempat yang meninggal rata-rata dalam usia yang sama. Sambil mengobrol ayah juga bercerita bahwa ada kisah di suatu daerah di mana sebuah keluarga selalu kehilangan anak lelakinya ketika disunat. Kisah ini sepertinya berasal dari cerpen realis yang ditulis Hamsad Rangkuti yang pernah ayah baca.
“Sedih sekali ya bu. Baru sehari dirayakan, esoknya anaknya sudah nggak ada,” ayah meneruskan cerita ayah. Sungguh kami merasa berempati dengan para orangtua yang kehilangan anaknya dengan cara seperti itu. Tidak kami duga, rupanya Vari mendengarkan percakapan ayah dan ibunya.
“Ayah, kenapa sih ayah mengatakan meninggal itu dengan nggak ada?” protes Vari.
Ayah hanya diam tak tahu mesti menjelaskan apa. Ayah hanya berpikir untuk menghaluskan kata supaya tidak membuat sedih.
“Kan nggak ada itu belum tentu sudah meninggal yah…” Vari menjelaskan bak seorang guru.
Ayah masih diam dan berpikir bagaimana percakapan malam dengan ibu dan Vari bisa memberikan pengalaman luar biasa seperti ini. Ayah mencoba menebak bacaan apa yang Vari akses sehingga bisa berdebat mengenai makna kata seperti itu.
Berkreasi
Vari berpura-pura sedang membaca sebuah pengumuman dalam permainan peran yang dilakukannya sendirian.
“Semua anak negeri Calicoc diperbolehkan menyumbang tarian, lagu, atau boleh berkreasi yang lain” Vari berkata sambil berdiri di kursi seolah-olah ada banyak anak lain yang sedang mendengarkan pengumumannya.
Ayah yang sedang membaca-baca buku agak kaget juga. Dari mana Vari mendapatkan kosa kata “berkreasi” itu? Apakah dia tahu arti kata berkreasi? Ayah penasaran dan bertanya: “Sayang, berkreasi itu apa sih?”
Sambil menunjukkan ketidaksukaannya karena permainannya dijeda, Vari berpendapat, “Ayah ini gimana sih masak gak tahu berkreasi? Kan kata itu ada dalam buku-buku Vari. Vari nggak ada waktu menjelaskannya! Perlu waktu lama menjelaskannya...” Vari agak merengut kemudian meneruskan permainannya kembali.
Ayah hanya tersenyum dan masih berpikir dan takjub dengan cara Pemilik Hidup memberikan ilmu membaca dan memahami kata pada seorang anak kecil.
Vari Menulis Puisi
Kemampuan menulis dalam literasi biasanya merujuk pada kemampuan menulis sesuatu yang berbasis kenyataan, katakanlah melaporkan suatu kejadian dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada perkembangannya, kemampuan menulis fiksi di dalam literasi menjadi penting. Salah satu penggiat literasi yang penting dan konsisten di Indonesia adalah majalah sastra Horison yang berupaya mengenalkan kemampuan membaca dan menulis fiksi sastra dengan lebih baik lagi pada anak muda Indonesia, terutama siswa SMA. Uniknya, Vari sudah bisa menulis puisi. Kalau menulis cerita faktual maupun fiksional sih Vari sudah sering melakukannya. Cara menulis puisi Vari juga unik. Vari tidak langsung menuliskannya tetapi hanya mengucapkannya, terutama dengan menguji rima pada akhir larik. Seteleh dilisankan itu barulah Vari meminta ibu atau ayah untuk menuliskannya, entah di handphone maupun di kertas. Sudah ada sekitar tujuh puisi yang ditulis oleh Vari. Berikut ini adalah puisi terbaru yang ditulis Vari tanggal 12 Mei 2011 kemarin:
Puisi Matahari
Matahari, sinarmu panas sekali
Cahayamu menerangi bumi
Bersinar sepanjang hari
Matahari pun tenggelam
Lalu gelap, datanglah malam
Bumi menjadi kelam
Oh Tuhan Maha Kuasa
Pencipta alam semesta dan isinya
Akan kusembah selama-lamanya
######
Literasi adalah kemampuan individu dalam memahami pesan media cetak dan dalam level tertentu juga memproduksi pesannya. Literasi berkaitan erat dengan tujuh kecakapan bermedia yaitu menganalisis, mengevaluasi, mengelompokkan, menginduksi, mendeduksi, menggabungkan, dan mengabstraksi. Ketujuh kecakapan bermedia tersebut disampaikan oleh James Potter. Bila dikaitkan dengan dua kecakapan utama yang lain, membaca dan menulis, Vari sudah cukup bagus memahami bacaan-bacaannya, juga secara umum aspek keberaksaraan, lisan maupun tulisan. Ayah dan ibu sungguh bahagia melihat Vari tumbuh menjadi individu yang baik dalam hal literasi. Untuk kisah Vari “berhadapan” dengan dua jenis literasi yang lain, antara lain literasi digital atau media baru, semoga juga bisa dikisahkan lain waktu.
Berikut ini ada empat pengalaman yang sempat dicatat oleh ayah berkaitan dengan literasi yang semakin dipahami oleh Vari:
Membacakan Cerita untuk Ayah
Pada suatu pagi yang terburu-buru seperti biasa, Vari berkata pada ayah “ayah, sudah baca buku ini belum?” Vari menunjukkan buku yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah.
“ceritanya bagus lho Yah.” Vari membuka buku yang berjudul Hadiah Terbaik.
Sepintas ayah melihat buku itu namun karena terburu-buru ayah tidak bisa membacanya “Nanti ya sayang, ayah buru-buru karena ada kuliah pagi.”
“Kalau begitu Vari bacain untuk ayah ya…”
Ayah mengangguk mengiyakan dan tak lama kemudian Vari membaca. Vari membaca dengan lancar dan itu membuat ayah takjub. Untuk anak seusianya, kelas nol besar, kemampuan membaca Vari sangat baik. Ayah terus mendengarkan cerita yang dibacakan Vari. Benar, ceritanya sungguh bagus.
Sembari memakai sepatu ayah mengucapkan terima kasih, “makasih ya sayang ayah sudah dibacain. Ceritanya bagus sekali, apalagi Vari bacanya pas.” Ayah tersenyum kemudian memeluknya. Hal yang mengagetkan sekaligus membuat hati ayah berbunga-bunga adalah ucapan balasan dari Vari.
“Sama-sama ayah. Vari juga berterima-kasih karena ayah selalu membacakan buku sebelum Vari tidur.”
Sudah Nggak Ada
Tadi malam ayah berbincang dengan ibu. Ibu baru saja mendapat kabar bahwa anak temannya yang masih bayi, sekitar lima setengah bulan usianya, meninggal. Sedihnya, ini adalah anak keempat yang meninggal rata-rata dalam usia yang sama. Sambil mengobrol ayah juga bercerita bahwa ada kisah di suatu daerah di mana sebuah keluarga selalu kehilangan anak lelakinya ketika disunat. Kisah ini sepertinya berasal dari cerpen realis yang ditulis Hamsad Rangkuti yang pernah ayah baca.
“Sedih sekali ya bu. Baru sehari dirayakan, esoknya anaknya sudah nggak ada,” ayah meneruskan cerita ayah. Sungguh kami merasa berempati dengan para orangtua yang kehilangan anaknya dengan cara seperti itu. Tidak kami duga, rupanya Vari mendengarkan percakapan ayah dan ibunya.
“Ayah, kenapa sih ayah mengatakan meninggal itu dengan nggak ada?” protes Vari.
Ayah hanya diam tak tahu mesti menjelaskan apa. Ayah hanya berpikir untuk menghaluskan kata supaya tidak membuat sedih.
“Kan nggak ada itu belum tentu sudah meninggal yah…” Vari menjelaskan bak seorang guru.
Ayah masih diam dan berpikir bagaimana percakapan malam dengan ibu dan Vari bisa memberikan pengalaman luar biasa seperti ini. Ayah mencoba menebak bacaan apa yang Vari akses sehingga bisa berdebat mengenai makna kata seperti itu.
Berkreasi
Vari berpura-pura sedang membaca sebuah pengumuman dalam permainan peran yang dilakukannya sendirian.
“Semua anak negeri Calicoc diperbolehkan menyumbang tarian, lagu, atau boleh berkreasi yang lain” Vari berkata sambil berdiri di kursi seolah-olah ada banyak anak lain yang sedang mendengarkan pengumumannya.
Ayah yang sedang membaca-baca buku agak kaget juga. Dari mana Vari mendapatkan kosa kata “berkreasi” itu? Apakah dia tahu arti kata berkreasi? Ayah penasaran dan bertanya: “Sayang, berkreasi itu apa sih?”
Sambil menunjukkan ketidaksukaannya karena permainannya dijeda, Vari berpendapat, “Ayah ini gimana sih masak gak tahu berkreasi? Kan kata itu ada dalam buku-buku Vari. Vari nggak ada waktu menjelaskannya! Perlu waktu lama menjelaskannya...” Vari agak merengut kemudian meneruskan permainannya kembali.
Ayah hanya tersenyum dan masih berpikir dan takjub dengan cara Pemilik Hidup memberikan ilmu membaca dan memahami kata pada seorang anak kecil.
Vari Menulis Puisi
Kemampuan menulis dalam literasi biasanya merujuk pada kemampuan menulis sesuatu yang berbasis kenyataan, katakanlah melaporkan suatu kejadian dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada perkembangannya, kemampuan menulis fiksi di dalam literasi menjadi penting. Salah satu penggiat literasi yang penting dan konsisten di Indonesia adalah majalah sastra Horison yang berupaya mengenalkan kemampuan membaca dan menulis fiksi sastra dengan lebih baik lagi pada anak muda Indonesia, terutama siswa SMA. Uniknya, Vari sudah bisa menulis puisi. Kalau menulis cerita faktual maupun fiksional sih Vari sudah sering melakukannya. Cara menulis puisi Vari juga unik. Vari tidak langsung menuliskannya tetapi hanya mengucapkannya, terutama dengan menguji rima pada akhir larik. Seteleh dilisankan itu barulah Vari meminta ibu atau ayah untuk menuliskannya, entah di handphone maupun di kertas. Sudah ada sekitar tujuh puisi yang ditulis oleh Vari. Berikut ini adalah puisi terbaru yang ditulis Vari tanggal 12 Mei 2011 kemarin:
Puisi Matahari
Matahari, sinarmu panas sekali
Cahayamu menerangi bumi
Bersinar sepanjang hari
Matahari pun tenggelam
Lalu gelap, datanglah malam
Bumi menjadi kelam
Oh Tuhan Maha Kuasa
Pencipta alam semesta dan isinya
Akan kusembah selama-lamanya
######
Kamis, 19 Mei 2011
BBB (Belajar Bermedia Bersama) 18 - 19
Pada minggu ke-19 di tahun 2011 ini cukup banyak peristiwa yang berkaitan secara langsung maupun tak langsung dengan ranah ilmu komunikasi. Maraknya pencucian otak oleh gerakan yang dikenal dengan nama NII masih mengemuka. Dari sudut pandang komunikasi pemerintahan kasus ini jelas menunjukkan kelemahan pemerintah. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan terburu-burunya pejabat negara menyatakan bahwa NII bukan masalah padahal jelas ini merupakan masalah besar, malah bisa dikategorikan makar. Aneh juga sebenarnya, pemerintah yang sekarang ini bisa begitu risau dengan gerakan mahasiswa ataupun gerakan masyarakat sipil via internet namun “santai-santai” saja dengan gerakan yang jelas-jelas merongrong kewibawaan negara plural ini, tidak hanya pemerintah. Pemerintah yang terburu-buru juga terlibat pada penentuan cuti bersama yang mendadak tanggal 16 Mei kemarin. Mungkin ada yang menganggap ini masalah kecil namun sebenarnya penentuan terburu-buru tersebut bisa menjadi cermin bagi urusan-urusan yang lebih besar.
Hal lain yang bisa dikomentari adalah ketiadaan film-film Barat kelas A di bioskop sekarang ini. Rupanya Asosiasi Importir Amerika meneruskan ancamannya dan sayangnya media tidak memberitakannya dengan intens sebagaimana rencana awal mereka pada bulan Maret lalu. Padahal saya ingin tahu apa komentar orang-orang yang dulunya menyetujui tindakan tegas pemerintah dan mengaitkan permasalahan ini dengan isu nasionalisme. Kini urusannya kita tidak mendapatkan film-film yang berkualitas. Film-film yang diputar sekarang ini hanyalah film-film Barat kelas B dan C. Film-film Barat yang kurang berkualitas ceritanya. Film-film yang ada cuma film-film Indonesia, yang seperti biasa, kacangan dan hanya mengumbar hantu-hantuan dan menyerempet pornografi. Ada juga satu film Indonesia yang lumayan bagus namun siapa yang mau menonton bila diancam akan di-sweeping?
Pertanyaannya, di mana tanggung-jawab pemerintah untuk menyediakan tontonan berkualitas bagi warga negaranya? Kita sebagai warga bisa saja “bergerilya” mendapatkan film berkualitas, antara lain dengan membeli VCD dan DVD legal, namun apa pun yang dilakukan warga berkaitan dengan konten media tidak akan memadai dibandingkan dengan apa yang mungkin dilakukan oleh pemerintah. Karena itulah, semestinya pemerintah menggunakan kekuasaannya itu secara baik agar hak-hak dasar kami mendapatkan informasi sesuai dengan amanah UUD 1945 dapat terpenuhi. Pemerintah bisa menentukan regulasi yang tidak mendadak atas bea impor film kemarin itu. Pemerintah bisa memfasilitasi komunitas film independen agar bisa berproduksi dan memutar film-film mereka. Pemerintah juga bisa mendorong insan film agar mudah memproduksi dan mendistribusikan film tanpa harus dikenai peraturan ini itu yang mengekang. Sungguh banyak sebenarnya yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk memajukan dunia perfilman Indonesia. Saya belum berhenti berharap pada pemerintah yang “mengurusi” film sebagai alat perjuangan bangsa sekali pun pemerintah yang samalah yang gagal mewujudkan pulau Komodo sebagai bagian dari tujuh keajaiban baru dunia.
Hasil riset sebuah lembaga survei bernama Indobarometer juga patut untuk dicermati dan dikomentari. Riset ini menunjukkan bahwa Soeharto, sang tiran, adalah presiden yang paling disukai oleh rakyat Indonesia. Saya tidak ingin mengomentari prinsip-prinsip riset yang mungkin tidak memadai untuk riset tersebut namun hasil riset tersebut menunjukkan absurditas masyarakat kita: “tiran kok dikangeni”, seperti kata komentar paling menusuk yang saya baca di sebuah status FB berkaitan dengan kasus ini. Pertanyaannya, mengapa Soeharto masih diinginkan padahal jelas-jelas dia adalah pemimpin yang menghabisi sebagian rakyatnya sambil tersenyum sehingga dia dijuluki “smiling general”? salah satu alternatif penjelasnya adalah informasi kejahatan Soeharto, keluarga, dan kroninya, yang tidak tuntas diangkat oleh media selama belasan tahun ini. Bagaimana dia mengarahkan kekuasaan untuk kepentingan dirinya dan keluarganya, terutama dalam hal ekonomi, juga bagaimana dia secara sistematis menumpas lawan-lawan politiknya, seringkali dengan cara yang sangat kejam.
Ketika pada masa sekarang hampir semua media, terutama televisi, tidak ada yang secara kritis mengungkap Soeharto dan Orde Baru, saya hanya tersenyum sedih.
Televisi komersial Indonesia jelas dimiliki dan dikelola oleh pemilik yang diuntungkan oleh rejim Orde Baru. Beberapa stasiun televisi dimiliki oleh penggiat Partai Golkar yang dahulu sampai sekarang melindungi “mbah Harto”. Beberapa stasiun televisi masih dan pernah dimiliki oleh anak-anak Soeharto. Jadi jangan berharap televisi bersikap kritis pada mantan Bapak Pembangunan tersebut.
Media yang masih bisa diharapkan untuk mengungkap kejahatan kemanusiaan pada masa lalu adalah suratkabar. Beberapa suratkabar merasakan benar berjibaku dengan kekuasaan otoriter rejim Orde Baru melalui sistem SIUPP yang mereka berlakukan. Entah mengapa, suratkabar-suratkabar tersebut tidak begitu kritis pada saat sekarang ini. Apakah mereka diombang-ambingkan oleh berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini? Padahal bulan Mei ini adalah moment yang tepat sekali untuk mengangkat kembali agenda Reformasi yang melenceng jauh dari tujuannya, padahal Reformasi tahun 1998 itu memakan korban jiwa yang tak sedikit. Kita memang mudah lupa dengan sejarah padahal belum terlalu lama terjadi. Kita cenderung mudah lupa dan media tidak mengingatkannya dengan baik.
Hal lain yang bisa dikomentari adalah ketiadaan film-film Barat kelas A di bioskop sekarang ini. Rupanya Asosiasi Importir Amerika meneruskan ancamannya dan sayangnya media tidak memberitakannya dengan intens sebagaimana rencana awal mereka pada bulan Maret lalu. Padahal saya ingin tahu apa komentar orang-orang yang dulunya menyetujui tindakan tegas pemerintah dan mengaitkan permasalahan ini dengan isu nasionalisme. Kini urusannya kita tidak mendapatkan film-film yang berkualitas. Film-film yang diputar sekarang ini hanyalah film-film Barat kelas B dan C. Film-film Barat yang kurang berkualitas ceritanya. Film-film yang ada cuma film-film Indonesia, yang seperti biasa, kacangan dan hanya mengumbar hantu-hantuan dan menyerempet pornografi. Ada juga satu film Indonesia yang lumayan bagus namun siapa yang mau menonton bila diancam akan di-sweeping?
Pertanyaannya, di mana tanggung-jawab pemerintah untuk menyediakan tontonan berkualitas bagi warga negaranya? Kita sebagai warga bisa saja “bergerilya” mendapatkan film berkualitas, antara lain dengan membeli VCD dan DVD legal, namun apa pun yang dilakukan warga berkaitan dengan konten media tidak akan memadai dibandingkan dengan apa yang mungkin dilakukan oleh pemerintah. Karena itulah, semestinya pemerintah menggunakan kekuasaannya itu secara baik agar hak-hak dasar kami mendapatkan informasi sesuai dengan amanah UUD 1945 dapat terpenuhi. Pemerintah bisa menentukan regulasi yang tidak mendadak atas bea impor film kemarin itu. Pemerintah bisa memfasilitasi komunitas film independen agar bisa berproduksi dan memutar film-film mereka. Pemerintah juga bisa mendorong insan film agar mudah memproduksi dan mendistribusikan film tanpa harus dikenai peraturan ini itu yang mengekang. Sungguh banyak sebenarnya yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk memajukan dunia perfilman Indonesia. Saya belum berhenti berharap pada pemerintah yang “mengurusi” film sebagai alat perjuangan bangsa sekali pun pemerintah yang samalah yang gagal mewujudkan pulau Komodo sebagai bagian dari tujuh keajaiban baru dunia.
Hasil riset sebuah lembaga survei bernama Indobarometer juga patut untuk dicermati dan dikomentari. Riset ini menunjukkan bahwa Soeharto, sang tiran, adalah presiden yang paling disukai oleh rakyat Indonesia. Saya tidak ingin mengomentari prinsip-prinsip riset yang mungkin tidak memadai untuk riset tersebut namun hasil riset tersebut menunjukkan absurditas masyarakat kita: “tiran kok dikangeni”, seperti kata komentar paling menusuk yang saya baca di sebuah status FB berkaitan dengan kasus ini. Pertanyaannya, mengapa Soeharto masih diinginkan padahal jelas-jelas dia adalah pemimpin yang menghabisi sebagian rakyatnya sambil tersenyum sehingga dia dijuluki “smiling general”? salah satu alternatif penjelasnya adalah informasi kejahatan Soeharto, keluarga, dan kroninya, yang tidak tuntas diangkat oleh media selama belasan tahun ini. Bagaimana dia mengarahkan kekuasaan untuk kepentingan dirinya dan keluarganya, terutama dalam hal ekonomi, juga bagaimana dia secara sistematis menumpas lawan-lawan politiknya, seringkali dengan cara yang sangat kejam.
Ketika pada masa sekarang hampir semua media, terutama televisi, tidak ada yang secara kritis mengungkap Soeharto dan Orde Baru, saya hanya tersenyum sedih.
Televisi komersial Indonesia jelas dimiliki dan dikelola oleh pemilik yang diuntungkan oleh rejim Orde Baru. Beberapa stasiun televisi dimiliki oleh penggiat Partai Golkar yang dahulu sampai sekarang melindungi “mbah Harto”. Beberapa stasiun televisi masih dan pernah dimiliki oleh anak-anak Soeharto. Jadi jangan berharap televisi bersikap kritis pada mantan Bapak Pembangunan tersebut.
Media yang masih bisa diharapkan untuk mengungkap kejahatan kemanusiaan pada masa lalu adalah suratkabar. Beberapa suratkabar merasakan benar berjibaku dengan kekuasaan otoriter rejim Orde Baru melalui sistem SIUPP yang mereka berlakukan. Entah mengapa, suratkabar-suratkabar tersebut tidak begitu kritis pada saat sekarang ini. Apakah mereka diombang-ambingkan oleh berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini? Padahal bulan Mei ini adalah moment yang tepat sekali untuk mengangkat kembali agenda Reformasi yang melenceng jauh dari tujuannya, padahal Reformasi tahun 1998 itu memakan korban jiwa yang tak sedikit. Kita memang mudah lupa dengan sejarah padahal belum terlalu lama terjadi. Kita cenderung mudah lupa dan media tidak mengingatkannya dengan baik.
Senin, 09 Mei 2011
Hujan Menulis Ayam (Tulisan [Semoga Jadi] Penyemangat untuk “Gerakan” #31 Hari Menulis)
Sedianya saya menulis semacam pengantar ini enam hari yang lalu ketika bung Ardi Wilda Irawan aka Awe yang “sangar” memintanya. Harapan saya pengantar singkat ini paling tidak bisa mengajak pelakon “gerakan” #31 hari menulis untuk tetap antusias menulis sampai ujung bulan Mei. Sengaja saya menggunakan istilah gerakan untuk memberikan kesan aktivitas komunitas ini gahar dan angker. Kira-kira biar miriplah dengan gerakan 1 juta Facebooker menolak studi banding DPR, apalagi anggota DPR yang hanya bisa memberikan alamat email Komisi8@yahoo.com dan plesiran ke stadion mili Real Madrid, Santiago Barnebeau. Lagipula, motif saya yang lain adalah agar peserta “kompetisi” ini tak didenda Rp. 20.000,- per hari bila tak menulis. Kan sayang uangnya, bila tiga hari tak menulis berarti sudah seharga satu album Indonesia. Pada hari ketujuh ini akhirnya saya bisa menulis semacam tulisan pengantar dan penyemangat pada hari keenam dari kegiatan #31 hari menulis. Walau serasa mirip cheerleader karena berperan menyemangati, pada dasarnya menulis itu memiliki banyak fungsi yang beberapa di antaranya coba saya dedahkan pada bagian berikut.
Entah mengapa ketika berniat menulis tentang menulis sekelebat dan agak tiba-tiba saya ingat dengan judul salah satu buku “Hujan Menulis Ayam” karya Sutardji Calzoum Bachri, seorang empu kata Indonesia, yang pernah melakukan pemisahan bentuk formal kata dengan maknanya. Dahulu ketika membaca puisi-puisi Sutardji saya sungguh terkesima sambil bingung. Ini saya tidak terlalu terkesima lagi walaupun tetap bingung…hehe. Saya kira inti dari menulis, seperti yang termaktub dalam judul “Hujan Menulis Ayam”, adalah keberanian. Keberanian si penulis untuk merangkai kata terlebih dahulu tanpa terlalu peduli dengan kualitas. Asalkan tidak menyerang secara personal dan berlebihan, tulisan sebenarnya wajib ditulis dengan tanpa rasa khawatir. Jadi, fungsi pertama dari menulis adalah berani mengutarakan pendapat dan isi hati. Hal ini pun dijamin dalam konstitusi negeri hebat ini. Namun tetap koridor hukum dan etika perlu selalu diperhatikan. Bila sudah terpenuhi semua, jangan pernah takut menulis.
Fungsi kedua dari menulis tentu saja berinteraksi dengan orang lain. Menulis adalah salah satu cara berkomunikasi dan di dalam berkomunikasi paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih. Semakin tinggi kecakapan literasi, membaca dan menulis, seseorang semakin berpotensi berkomunikasi dengan baik. Tentu saja ada syarat lain, si penulis tadi tidak berlebihan mencintai dirinya sendiri atau narsis agar bisa berkomunikasi dengan orang lain dengan baik. Bisa saja kita menulis secara swasembada, menulis yang ditujukan untuk diri sendiri, dibaca sendiri, dikomentari sendiri, dipuji sendiri, tetapi bentuk aktivitas menulis seperti ini bukanlah bentuk komunikasi yang benar dan sehat. Pengalaman bahwa menulis itu lebih mengasyikkan bersama-sama terjadi pada diri saya.
Hal ini ditandai dengan antusiasme saya yang menurun drastis untuk menulis dua bulan ini. Antusiasme tersebut jauh menurun agak tajam bila dibandingkan sekitar setahun lalu ketika saya bisa menyelesaikan minimal satu tulisan per hari, persis seperti yang coba dilakukan oleh teman-teman #31 hari menulis selama bulan Mei 2011 ini. Mungkin memang dasarnya sudah malas atau saya terlalu asyik mengakses konten media sehingga saya malah lupa menulis. Atau kemungkinan lain, saya tetap menulis namun tulisan tersebut berformat lebih resmi demi keperluan profesi. Terus terang saya tak terlalu tahu penyebab utamanya. Namun salah satu penyebab yang saya sadari betul adalah sedikitnya teman-teman untuk berbagi pikiran dan perasaan melalui tulisan saat-saat ini. Beberapa rekan menulis sudah terlalu sibuk sehingga tidak lagi mengagih perasaan dan pemikirannya. Beberapa rekan yang lain senasib dengan saya, mesti banyak membaca dan belum sempat menuliskannya. Bahkan yang lebih mengejutkan setelah saya amati lagi, beberapa rekan saya memang sudah tak menulis di mana pun. Ternyata kemalasan itu memang menular, paling tidak dalam konteks tulis-menulis.
Lain halnya bila kita menulis dengan teman-teman. Keberadaan teman akan membuat kita antusias menulis. Perasaan bahwa tulisan kita ada yang membaca dan syukur syukur dikomentari adalah kebahagiaan tersendiri. Situs penyedia blog dan jejaring sosial turut membantu hal ini. Bagi saya alasan menulis antara lain adalah bisa berbagi dengan banyak teman, bahkan ada rasa bahagia yang tak terpermanai bila ada rekan yang bisa mengambil manfaat dari apa yang kita tulis. Kalimat tfs, thank for sharing, adalah mantera yang sangat kuat bagi kita untuk menulis lagi dan lagi.
Selain itu, menulis adalah aktivitas tidak terelakkan bagi pembelajar. Ketakterelakkan yang menyenangkan tentu saja. Seorang pembelajar pasti harus menulis sesuatu. Terserah hasil tulisannya baik atau buruk, menulis pasti dilakukan oleh pembelajar untuk tugas yang paling kecil sekalipun, katakanlah tugas mingguan 500 kata. Belum lagi tugas-tugas yang lebih “berat”, misalnya tugas kelompok yang bisa sampai 3000 kata. Pada ujung kuliah pun, pembelajar harus menyusun skripsi atau tesis. Pendeknya, pembelajar haruslah bahagai dengan menulis dan berusaha terus meningkatkan kemampuannya menulis. Tak ada pilihan lain: menulis itu tak terelakkan. Ketika bekerja pun demikian adanya. Pembelajar yang nantinya menjadi jurnalis, pasti akan menulis berita. Pembelajar yang nantinya menjadi seorang staf humas, mau tau mau harus bisa menulis rilis media dengan baik dan benar. Juga bagi pembelajar yang ingin terjun dalam dunia periklanan, iklan yang bagus selalu diawali penulisan naskah yang bagus pula.
Dengan begitu, saya sangat senang dan turut bangga dengan hadirnya aktivitas menulis bersama bernama #31 hari menulis ini. Menulis dengan nikmat dan berani itu suatu rahmat yang sulit ditemukan lagi pada fase kehidupan yang lain. Menulis yang berani dan nikmat tersebut bahkan menjadi lebih mengasyikkan karena dilakukan bersama-sama. Seandainya saja saya bisa melakukan aktivitas yang sama dengan teman-teman #31 hari menulis, tentu saja saya berusaha tidak didenda. Walau begitu, menghindari denda janganlah menjadi alasan untuk menulis. Judul bisa tertulis “Hujan Menulis Ayam” atau “Ayam Membaca Cinta” tetapi kitalah yang bebas untuk menulis. Beranilah menulis dan kemudian nikmati saja prosesnya sedalam mungkin. Salam hangat dan sukses selalu untuk siapa pun yang terlibat dengan #31 hari menulis atau siapa pun pembelajar yang ingin menulis dengan berani dan menikmatinya dengan utuh penuh.
#####
Entah mengapa ketika berniat menulis tentang menulis sekelebat dan agak tiba-tiba saya ingat dengan judul salah satu buku “Hujan Menulis Ayam” karya Sutardji Calzoum Bachri, seorang empu kata Indonesia, yang pernah melakukan pemisahan bentuk formal kata dengan maknanya. Dahulu ketika membaca puisi-puisi Sutardji saya sungguh terkesima sambil bingung. Ini saya tidak terlalu terkesima lagi walaupun tetap bingung…hehe. Saya kira inti dari menulis, seperti yang termaktub dalam judul “Hujan Menulis Ayam”, adalah keberanian. Keberanian si penulis untuk merangkai kata terlebih dahulu tanpa terlalu peduli dengan kualitas. Asalkan tidak menyerang secara personal dan berlebihan, tulisan sebenarnya wajib ditulis dengan tanpa rasa khawatir. Jadi, fungsi pertama dari menulis adalah berani mengutarakan pendapat dan isi hati. Hal ini pun dijamin dalam konstitusi negeri hebat ini. Namun tetap koridor hukum dan etika perlu selalu diperhatikan. Bila sudah terpenuhi semua, jangan pernah takut menulis.
Fungsi kedua dari menulis tentu saja berinteraksi dengan orang lain. Menulis adalah salah satu cara berkomunikasi dan di dalam berkomunikasi paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih. Semakin tinggi kecakapan literasi, membaca dan menulis, seseorang semakin berpotensi berkomunikasi dengan baik. Tentu saja ada syarat lain, si penulis tadi tidak berlebihan mencintai dirinya sendiri atau narsis agar bisa berkomunikasi dengan orang lain dengan baik. Bisa saja kita menulis secara swasembada, menulis yang ditujukan untuk diri sendiri, dibaca sendiri, dikomentari sendiri, dipuji sendiri, tetapi bentuk aktivitas menulis seperti ini bukanlah bentuk komunikasi yang benar dan sehat. Pengalaman bahwa menulis itu lebih mengasyikkan bersama-sama terjadi pada diri saya.
Hal ini ditandai dengan antusiasme saya yang menurun drastis untuk menulis dua bulan ini. Antusiasme tersebut jauh menurun agak tajam bila dibandingkan sekitar setahun lalu ketika saya bisa menyelesaikan minimal satu tulisan per hari, persis seperti yang coba dilakukan oleh teman-teman #31 hari menulis selama bulan Mei 2011 ini. Mungkin memang dasarnya sudah malas atau saya terlalu asyik mengakses konten media sehingga saya malah lupa menulis. Atau kemungkinan lain, saya tetap menulis namun tulisan tersebut berformat lebih resmi demi keperluan profesi. Terus terang saya tak terlalu tahu penyebab utamanya. Namun salah satu penyebab yang saya sadari betul adalah sedikitnya teman-teman untuk berbagi pikiran dan perasaan melalui tulisan saat-saat ini. Beberapa rekan menulis sudah terlalu sibuk sehingga tidak lagi mengagih perasaan dan pemikirannya. Beberapa rekan yang lain senasib dengan saya, mesti banyak membaca dan belum sempat menuliskannya. Bahkan yang lebih mengejutkan setelah saya amati lagi, beberapa rekan saya memang sudah tak menulis di mana pun. Ternyata kemalasan itu memang menular, paling tidak dalam konteks tulis-menulis.
Lain halnya bila kita menulis dengan teman-teman. Keberadaan teman akan membuat kita antusias menulis. Perasaan bahwa tulisan kita ada yang membaca dan syukur syukur dikomentari adalah kebahagiaan tersendiri. Situs penyedia blog dan jejaring sosial turut membantu hal ini. Bagi saya alasan menulis antara lain adalah bisa berbagi dengan banyak teman, bahkan ada rasa bahagia yang tak terpermanai bila ada rekan yang bisa mengambil manfaat dari apa yang kita tulis. Kalimat tfs, thank for sharing, adalah mantera yang sangat kuat bagi kita untuk menulis lagi dan lagi.
Selain itu, menulis adalah aktivitas tidak terelakkan bagi pembelajar. Ketakterelakkan yang menyenangkan tentu saja. Seorang pembelajar pasti harus menulis sesuatu. Terserah hasil tulisannya baik atau buruk, menulis pasti dilakukan oleh pembelajar untuk tugas yang paling kecil sekalipun, katakanlah tugas mingguan 500 kata. Belum lagi tugas-tugas yang lebih “berat”, misalnya tugas kelompok yang bisa sampai 3000 kata. Pada ujung kuliah pun, pembelajar harus menyusun skripsi atau tesis. Pendeknya, pembelajar haruslah bahagai dengan menulis dan berusaha terus meningkatkan kemampuannya menulis. Tak ada pilihan lain: menulis itu tak terelakkan. Ketika bekerja pun demikian adanya. Pembelajar yang nantinya menjadi jurnalis, pasti akan menulis berita. Pembelajar yang nantinya menjadi seorang staf humas, mau tau mau harus bisa menulis rilis media dengan baik dan benar. Juga bagi pembelajar yang ingin terjun dalam dunia periklanan, iklan yang bagus selalu diawali penulisan naskah yang bagus pula.
Dengan begitu, saya sangat senang dan turut bangga dengan hadirnya aktivitas menulis bersama bernama #31 hari menulis ini. Menulis dengan nikmat dan berani itu suatu rahmat yang sulit ditemukan lagi pada fase kehidupan yang lain. Menulis yang berani dan nikmat tersebut bahkan menjadi lebih mengasyikkan karena dilakukan bersama-sama. Seandainya saja saya bisa melakukan aktivitas yang sama dengan teman-teman #31 hari menulis, tentu saja saya berusaha tidak didenda. Walau begitu, menghindari denda janganlah menjadi alasan untuk menulis. Judul bisa tertulis “Hujan Menulis Ayam” atau “Ayam Membaca Cinta” tetapi kitalah yang bebas untuk menulis. Beranilah menulis dan kemudian nikmati saja prosesnya sedalam mungkin. Salam hangat dan sukses selalu untuk siapa pun yang terlibat dengan #31 hari menulis atau siapa pun pembelajar yang ingin menulis dengan berani dan menikmatinya dengan utuh penuh.
#####
BBB (Belajar Bermedia Bersama) 17
Terbunuhnya Osama bin Laden setelah penyergapan di Abbottabad, Pakistan tidak diragukan lagi menjadi topik pembicaraan utama media pada minggu ke-17 di tahun ini. Seperti biasa, peristiwa apa pun yang berkaitan dengan peledakan WTC pada tahun 2001 selalu memunculkan polemik berkepanjangan di media, termasuk peristiwa terbunuhnya Osama bin Laden. Osama terbunuh setelah perburuan sekitar satu dekade oleh pemerintah Amerika Serikat. Perburuan yang diawali kesalahan kata Presiden Bush dengan menyebut-nyebut perang Salib. Obama tidak melakukan kesalahan yang sama. Presiden Obama menyebutkan perang melawan terorisme bukan perang melawan umat muslim karena justru banyak juga muslim yang menjadi korban kekejaman teroris. Obama sekaligus meneguhkan kembali nasionalisme warga Amerika Serikat dengan mengunjungi Ground Zero di New York.
Polemik di dalam pemberitaan tetap terjadi kemudian. Polemik pertama adalah kabar tentang jenazah Osama yang diceburkan ke laut. Namun pemerintah AS kemudian memberikan argumen bahwa pemakaman di laut tetap dilakukan dengan tata cara Islam dan tetap dilakukan karena tidak ada negara yang mau menjadi tempat peristirahatan terakhir Osama, termasuk Arab Saudi, negara di mana Osama pernah menjadi warga negaranya. Selain itu ada pendapat lain yang tidak resmi bahwa pemakaman di laut dimaksudkan agar tidak terjadi pengkultusan nantinya. Polemik kedua adalah tentang penolakan Obama untuk merilis foto berkaitan dengan tewasnya Osama. Penolakan tersebut dikarenakan kekhawatiran pemerintah AS foto-foto tersebut dapat memicu propaganda yang akan memicu kekerasan lebih jauh (Koran Tempo, 6 Mei 2011). Dari sudut pandang jurnalistik, polemik ini bisa digunakan sebagai alat untuk mengulik kembali prinsip utama jurnalisme, faktualitas. Pembuktian yang tidak memadai akan memicu juga terjadinya teori konspirasi, misalnya apakah betul Osama tidak bersenjata? Namun logika keamanan memang berbicara lain, kekhawatiran pemerintah AS sungguh besar akan dampak negatif dari penggerebekan tersebut.
Bagaimana pun juga kita mengetahui penggerebekan oleh tentara elite Angkatan Laut AS tersebut dari media. Tentu saja melalui media dengan beragam bentuknya sekarang ini, terutama media massa dan media interaktif. Kita mengetahui informasi melalui media namun melalui media juga mendapatkan polemik berkepanjangan, yang pada gilirannya membawa kita pada labirin kumpulan informasi. Bagi beberapa orang mungkin saja bukan kejelasan atau pengetahuan yang didapat tetapi kebingungan tanpa ujung. Inilah paradoks media. Media memberikan fungsi mediasi kita dengan kenyataan seperti yang disampaikan oleh Denis McQuail. Metafor mediasi tersebut juga mengambil banyak bentuk. Misalnya saja media tidak hanya menjadi cermin bahkan media dapat menjadi penghalang yang membuat kita tidak mengetahui peristiwa yang terjadi. Karena itulah di dalam fungsinya menyampaikan berita, media mesti berpegang teguh pada prinsip faktualitas (bukan aktualitas, seperti yang pernah disalahmengerti oleh seorang jurnalis dari media ternama ketika berdiskusi dengan saya). Faktualitas adalah prinsip pertama dan utama dalam penyampaian berita. Faktualitas meliputi cara-cara yang sahih dan memadai untuk melaporkan kejadian dan berpengaruh pada kualitas informasi: kepadatan, keluasan, dan kedalaman. Faktualitas sebenarnya mirip dengan prinsip akademis, terutama cara pandang empirisisme. Kovach dan Rosenstiel di dalam buku mereka yang terkenal “Elemen-elemen Jurnalisme” malah menyebut keduanya sama, hanya saja faktualitas dalam jurnalisme bersifat populer di masyarakat umum, sementara prinsip akademis harus hadir dalam dunia pendidikan.
Berdasarkan argumen tersebut, kini saya sudah menghentikan berlangganan sebuah suratkabar lokal terbaru yang menurut saya pemberitaannya tidak berpegang pada prinsip faktualitas dan banyak beritanya yang tidak diedit sehingga pemaparannya kacau. Saya juga sudah agak jarang melihat berita di televisi yang semakin jauh dari harapan. “Jurnalisme narsistik” dan pemandu-pemandu acara diskusi yang sok pintar dan nyinyir dalam berpendapat, adalah dua di antaranya. Saya lebih berpegang pada berita-berita suratkabar dan situs. Masih ada beberapa suratkabar yang relatif bagus untuk menjadi sumber informasi. Situs berita pun demikian adanya, terutama situs berita dari luar negeri. Namun cara terbaik adalah tetap mengakses berita dari banyak media dan menyeleksinya dengan ketat berdasarkan tujuh kecakapan mencandra berita di dalam literasi media seperti yang disampaikan oleh James Potter, menganalisis, mengevaluasi, mengelompokkan, menginduksi, mendeduksi, mensintesis, dan mengabstraksi pesan faktual atau berita.
Melampaui pembicaraan mengenai pemberitaan, jurnalisme tidaklah berdiri sendiri. Jurnalisme mesti dibangun dan dijaga oleh empat entitas besar, yaitu negara, pasar, masyarakat, bahkan media sendiri. Kita sudah memiliki regulasi yang relatif bagus yaitu UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers namun pelaksanaan regulasi adalah masalah utamanya. Di dalam UU Pers tersebut sudah jelas disebutkan siapa pun tidak boleh menghalangi tugas wartawan dan juga mesti menegakkan kebebasan pers. Kejadian kemarin menunjukkan hal yang sebaliknya. Penyerbuan sekelompok orang terhadap kantor harian Orbit di Medan adalah contoh terkini. Negeri ini semakin tidak aman bagi jurnalis. Indonesia adalah negara berperingkat kelima di dunia paling berbahaya bagi kerja jurnalis. Indonesia berada di bawah Pakistan, Irak, Honduras, dan Meksiko (editorial Koran Tempo, 6 Mei 2011). Ironis sebenarnya karena negara kita ini mengklaim sebagai negara demokrasi terbesar keempat di dunia. Bukankah salah satu indikator negara demokratis adalah penegakan kebebasan pers yang konsisten? Negara ini terlihat tidak konsisten dalam menegakkan kebebasan pers, juga kebebasan beropini dan kebebasan berekspresi yang sepenuhnya dijamin UUD 1945. Lihat saja pelaksanaan UU yang berkaitan dengan media dan informasi, UU Penyiaran, UU KIP, dan UU ITE, juga RUU Rahasia Negara yang pernah diajukan oleh pemerintah, RUU Intelijen yang berpotensi menggerus kedaulatan masyarakat, dan rencana revisi UU Penyiaran yang sangat “bersahabat” dengan otoriterianisme pasar dan pelemahan pada masyarakat sipil.
Selain tanggung jawab negara untuk menegakkan hukum dan tanggung jawab masyarakat dengan mengedepankan dialog tanpa kekerasan bila merasa dirugikan oleh media, media sendiri mesti memperbaiki diri. Media di Indonesia yang rentan dimanfaatkan oleh kepentingan pihak tertentu mestinya berani menyatakan diri salah dan meminta maaf bila melalukan tindakan atau memberitakan dengan tidak memadai. Hal inilah yang terjadi dalam kesalahan pemasangan foto sutradara Peppi Piona Cheppi yang dianggap Pepi Fernando, tersangka teroris. Kesalahan pemasangan foto tersebut terjadi di Kabarnet (dipasang 22 April 2011), Metro TV (23/4), Sriwijaya Pos (25/4), Jurnal Bogor (27/4), Buletin Info.com (28/4), Fakta Pos (28/4) dan Suara Islam (30/4) (sumber: “Tujuh Media Salah Pasang Foto Teroris”, Kompas, 6 Mei 2011). Kesalahan media seperti ini dapat menghilangkan hak asasi warga negara untuk hidup dengan rasa aman dan dihormati. Jadi, tidak hanya rejim yang otoriter saja yang berpotensi melanggar HAM, media juga mungkin melakukannya bila tidak memiliki perhatian yang memadai pada peristiwa dan konteksnya.
Untungnya, Peppi Piona meminta bantuan Dewan Pers untuk menyelesaikan masalahnya. Dewan Pers, yang bagi saya adalah regulator untuk media terbaik di negeri ini, pun bergerak dengan cepat. Untungnya pula, media dengan tanggap meminta maaf dan meralat berita tersebut, serta berupaya memulihkan nama baik Peppi Piona. Media bisa saja salah bila tak hati-hati. Hal terpenting bila media melakukan kesalahan adalah meminta maaf. Pihak yang merasa menjadi korban media juga menempuh jalur yang sesuai dengan koridor hukum, bukan dengan cara-cara kekerasan. Semua pihak wajib merawat kebebasan pers, kebebasan beropini, dan kebebasan berekspresi dengan sebaik-baiknya. Walau ada indikasi ketiga jenis kebebasan tersebut menurun belakangan ini, kita sebagai warga negara mesti tetap optimis. Bukankah tetap optimis mendapatkan jalan keluar bersama di tengah interaksi berbagai pihak yang mungkin benar dan mungkin juga salah adalah salah satu karakter dari demokrasi?
Polemik di dalam pemberitaan tetap terjadi kemudian. Polemik pertama adalah kabar tentang jenazah Osama yang diceburkan ke laut. Namun pemerintah AS kemudian memberikan argumen bahwa pemakaman di laut tetap dilakukan dengan tata cara Islam dan tetap dilakukan karena tidak ada negara yang mau menjadi tempat peristirahatan terakhir Osama, termasuk Arab Saudi, negara di mana Osama pernah menjadi warga negaranya. Selain itu ada pendapat lain yang tidak resmi bahwa pemakaman di laut dimaksudkan agar tidak terjadi pengkultusan nantinya. Polemik kedua adalah tentang penolakan Obama untuk merilis foto berkaitan dengan tewasnya Osama. Penolakan tersebut dikarenakan kekhawatiran pemerintah AS foto-foto tersebut dapat memicu propaganda yang akan memicu kekerasan lebih jauh (Koran Tempo, 6 Mei 2011). Dari sudut pandang jurnalistik, polemik ini bisa digunakan sebagai alat untuk mengulik kembali prinsip utama jurnalisme, faktualitas. Pembuktian yang tidak memadai akan memicu juga terjadinya teori konspirasi, misalnya apakah betul Osama tidak bersenjata? Namun logika keamanan memang berbicara lain, kekhawatiran pemerintah AS sungguh besar akan dampak negatif dari penggerebekan tersebut.
Bagaimana pun juga kita mengetahui penggerebekan oleh tentara elite Angkatan Laut AS tersebut dari media. Tentu saja melalui media dengan beragam bentuknya sekarang ini, terutama media massa dan media interaktif. Kita mengetahui informasi melalui media namun melalui media juga mendapatkan polemik berkepanjangan, yang pada gilirannya membawa kita pada labirin kumpulan informasi. Bagi beberapa orang mungkin saja bukan kejelasan atau pengetahuan yang didapat tetapi kebingungan tanpa ujung. Inilah paradoks media. Media memberikan fungsi mediasi kita dengan kenyataan seperti yang disampaikan oleh Denis McQuail. Metafor mediasi tersebut juga mengambil banyak bentuk. Misalnya saja media tidak hanya menjadi cermin bahkan media dapat menjadi penghalang yang membuat kita tidak mengetahui peristiwa yang terjadi. Karena itulah di dalam fungsinya menyampaikan berita, media mesti berpegang teguh pada prinsip faktualitas (bukan aktualitas, seperti yang pernah disalahmengerti oleh seorang jurnalis dari media ternama ketika berdiskusi dengan saya). Faktualitas adalah prinsip pertama dan utama dalam penyampaian berita. Faktualitas meliputi cara-cara yang sahih dan memadai untuk melaporkan kejadian dan berpengaruh pada kualitas informasi: kepadatan, keluasan, dan kedalaman. Faktualitas sebenarnya mirip dengan prinsip akademis, terutama cara pandang empirisisme. Kovach dan Rosenstiel di dalam buku mereka yang terkenal “Elemen-elemen Jurnalisme” malah menyebut keduanya sama, hanya saja faktualitas dalam jurnalisme bersifat populer di masyarakat umum, sementara prinsip akademis harus hadir dalam dunia pendidikan.
Berdasarkan argumen tersebut, kini saya sudah menghentikan berlangganan sebuah suratkabar lokal terbaru yang menurut saya pemberitaannya tidak berpegang pada prinsip faktualitas dan banyak beritanya yang tidak diedit sehingga pemaparannya kacau. Saya juga sudah agak jarang melihat berita di televisi yang semakin jauh dari harapan. “Jurnalisme narsistik” dan pemandu-pemandu acara diskusi yang sok pintar dan nyinyir dalam berpendapat, adalah dua di antaranya. Saya lebih berpegang pada berita-berita suratkabar dan situs. Masih ada beberapa suratkabar yang relatif bagus untuk menjadi sumber informasi. Situs berita pun demikian adanya, terutama situs berita dari luar negeri. Namun cara terbaik adalah tetap mengakses berita dari banyak media dan menyeleksinya dengan ketat berdasarkan tujuh kecakapan mencandra berita di dalam literasi media seperti yang disampaikan oleh James Potter, menganalisis, mengevaluasi, mengelompokkan, menginduksi, mendeduksi, mensintesis, dan mengabstraksi pesan faktual atau berita.
Melampaui pembicaraan mengenai pemberitaan, jurnalisme tidaklah berdiri sendiri. Jurnalisme mesti dibangun dan dijaga oleh empat entitas besar, yaitu negara, pasar, masyarakat, bahkan media sendiri. Kita sudah memiliki regulasi yang relatif bagus yaitu UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers namun pelaksanaan regulasi adalah masalah utamanya. Di dalam UU Pers tersebut sudah jelas disebutkan siapa pun tidak boleh menghalangi tugas wartawan dan juga mesti menegakkan kebebasan pers. Kejadian kemarin menunjukkan hal yang sebaliknya. Penyerbuan sekelompok orang terhadap kantor harian Orbit di Medan adalah contoh terkini. Negeri ini semakin tidak aman bagi jurnalis. Indonesia adalah negara berperingkat kelima di dunia paling berbahaya bagi kerja jurnalis. Indonesia berada di bawah Pakistan, Irak, Honduras, dan Meksiko (editorial Koran Tempo, 6 Mei 2011). Ironis sebenarnya karena negara kita ini mengklaim sebagai negara demokrasi terbesar keempat di dunia. Bukankah salah satu indikator negara demokratis adalah penegakan kebebasan pers yang konsisten? Negara ini terlihat tidak konsisten dalam menegakkan kebebasan pers, juga kebebasan beropini dan kebebasan berekspresi yang sepenuhnya dijamin UUD 1945. Lihat saja pelaksanaan UU yang berkaitan dengan media dan informasi, UU Penyiaran, UU KIP, dan UU ITE, juga RUU Rahasia Negara yang pernah diajukan oleh pemerintah, RUU Intelijen yang berpotensi menggerus kedaulatan masyarakat, dan rencana revisi UU Penyiaran yang sangat “bersahabat” dengan otoriterianisme pasar dan pelemahan pada masyarakat sipil.
Selain tanggung jawab negara untuk menegakkan hukum dan tanggung jawab masyarakat dengan mengedepankan dialog tanpa kekerasan bila merasa dirugikan oleh media, media sendiri mesti memperbaiki diri. Media di Indonesia yang rentan dimanfaatkan oleh kepentingan pihak tertentu mestinya berani menyatakan diri salah dan meminta maaf bila melalukan tindakan atau memberitakan dengan tidak memadai. Hal inilah yang terjadi dalam kesalahan pemasangan foto sutradara Peppi Piona Cheppi yang dianggap Pepi Fernando, tersangka teroris. Kesalahan pemasangan foto tersebut terjadi di Kabarnet (dipasang 22 April 2011), Metro TV (23/4), Sriwijaya Pos (25/4), Jurnal Bogor (27/4), Buletin Info.com (28/4), Fakta Pos (28/4) dan Suara Islam (30/4) (sumber: “Tujuh Media Salah Pasang Foto Teroris”, Kompas, 6 Mei 2011). Kesalahan media seperti ini dapat menghilangkan hak asasi warga negara untuk hidup dengan rasa aman dan dihormati. Jadi, tidak hanya rejim yang otoriter saja yang berpotensi melanggar HAM, media juga mungkin melakukannya bila tidak memiliki perhatian yang memadai pada peristiwa dan konteksnya.
Untungnya, Peppi Piona meminta bantuan Dewan Pers untuk menyelesaikan masalahnya. Dewan Pers, yang bagi saya adalah regulator untuk media terbaik di negeri ini, pun bergerak dengan cepat. Untungnya pula, media dengan tanggap meminta maaf dan meralat berita tersebut, serta berupaya memulihkan nama baik Peppi Piona. Media bisa saja salah bila tak hati-hati. Hal terpenting bila media melakukan kesalahan adalah meminta maaf. Pihak yang merasa menjadi korban media juga menempuh jalur yang sesuai dengan koridor hukum, bukan dengan cara-cara kekerasan. Semua pihak wajib merawat kebebasan pers, kebebasan beropini, dan kebebasan berekspresi dengan sebaik-baiknya. Walau ada indikasi ketiga jenis kebebasan tersebut menurun belakangan ini, kita sebagai warga negara mesti tetap optimis. Bukankah tetap optimis mendapatkan jalan keluar bersama di tengah interaksi berbagai pihak yang mungkin benar dan mungkin juga salah adalah salah satu karakter dari demokrasi?
Terdengar Meruang dan Meraung
Album Themilo berjudul “Photograph” ini adalah salah satu album musik terbaik yang saya akses belakangan ini. Sejak pertama-kali mendengarkan, lagu-lagu di album ini langsung menarik minat indera dengar saya dan sekitar tiga lagunya membuat emosi saya “mencelos”, seperti ingin terlepas dari tubuh dan melanglang buana ke seantero Jakarta, ruang bernama kota tempat saya mengakses album ini. “Ruang” adalah isu penting di kumpulan lagu di album ini. Ruang yang muncul dari karya visual bernama foto dan ruang imajiner yang lahir bersama musik dan sedikit lirik yang kita dengarkan.
Mengapa mengambil judul “Photograph”? hal ini terungkap dalam pengantar album yang ditulis oleh Adib Hidayat bahwa Themilo memang berniat menangkap atau meng-capture obyek seperti kamera. Obyek Themilo adalah teman-teman mereka yang bercerita, suka dan duka, kemudian dituangkan ke dalam lagu dan kemudian dikembalikan menjadi sebuah “foto”. Upaya yang diambil oleh Ajie Gergaji (gitar, vokal), Upik (gitar), Suki (bass), Hendi Unyil (kibord, synth), dan Budi Cilsen (drum) ini bisa dikatakan sangat berhasil. Themilo hampir sempurna menuangkan imaji spasial dalam semua lagu yang berfungsi mirip foto di album ini.
Bila disingkat dalam dua kata, album ini benar-benar membuat semua lagu “meruang” dan “meraung”. Meruang karena kita dapat merasakan efek spasial yang dekat dan intim dari semua lagu walau juga terasa dingin dan misterius. Meraung dikarenakan musiknya yang unik, namun anehnya tidak membuat kita pendengarnya takut dan jeri. Kita malah ingin terus “mendekati” lagu-lagunya dengan mendengarnya berulang-kali karena ragam musik yang unik dan mengajak kita untuk terus meleburkan diri. Delapan komposisi lagu yang hadir mampu menjaga suasana hati kita untuk terus menubuh-ruang, semacam fantasma untuk melepaskan tubuh menuju dan menjadi ruang yang lebih besar. Entah itu bernama suasana, jalan-jalan, gedung, atau kota. Mendengarkan album ini berulang-kali membuat saya merasa diri ikut mengalun mengikuti musik menuju ruang-ruang yang lebih luas.
Ruang visual yang ingin disajikan melalui album ini, terefleksi dari judulnya, anehnya tidak lagi dua dimensi. Dibantu oleh balutan musik, ruang visual tersebut menjadi tiga dimensi atau bahkan lebih. Dimensi apa yang bisa kita gunakan untuk melukiskan menubuh-ruang? Semakin terbukti bagaimana musik bisa membubuhi dan melengkapi emosi atau imaji atau fantasma, bahkan tindakan. Mendengarkan musik dengan beragam tambahan sensasi inderawi itu berfungsi melengkapi sesuatu yang mungkin pada awalnya terasa sudah lengkap. Cobalah bila kita membaca atau memainkan game komputer, pesan yang kita akses menjadi lebih indah. Benar-benar indah, bukan hanya seolah-olah. Bacaan kita sepertinya benar-benar hadir di hadapan. Permainan kita menjadi lebih lebur dalam diri. Begitu juga bila kita menonton film. Film akan terasa lebih “menohok” bila kita juga mendengarkan OST-nya dengan utuh penuh. Misalnya saja kita menonton film “Up in the Air” kemudian mendengarkan pula OST-nya. Sensasi dan pengalaman inderawinya benar-benar berbeda bila kita hanya mengakses salah satunya saja.
Pengalaman mengakses pesan media apa pun bisa saja berbeda pada tiap pemakna. Walau begitu pemakna yang berani mengkreasi pesan baru miliknya sendiri setelah mengakses suatu pesan, adalah pemakna yang sebenar-benarnya. Untuk alasan itulah album ini saya anggap sangat bagus karena album ini potensial menjadikan pemakna “berani” untuk menghasilkan pesan atau teks baru, bahkan antusiasme untuk menghasilkan pesan baru oleh pemakna tersebut seperti muncul begitu saja dengan mekanis setelah mendengarkan album ini. Teks yang lahir dari album ini seperti milik pemakna sendiri yang juga intim, meruang, dan meraung. Ada yang mau mencobanya?
Penyanyi : Themilo
Judul : Photograph
Tahun : 2011
Daftar lagu:
1.Stethoscope
2.For All the Dreams that Wings Could Fly
3.So Regret
4.Get Into Your Mind
5.Dreams
6.Don't Worry for Being Alone
7.Daun dan Ranting Menuju Surga
8.Apart
BBB (Belajar Bermedia Bersama) 15 – 16
Pada dua minggu terakhir bulan keempat di tahun 2011 kemarin cukup banyak peristiwa yang menyedot perhatian media. Dua hal yang tidak berkaitan namun berada dalam koridor yang sama terjadi, yaitu kasus bom bunuh diri di Cirebon dan “cuci otak” oleh kelompok yang disinyalir berasal dari NII (Negara Islam Indonesia). Keduanya berbeda namun bersumber pada pemaknaan atas agama yang destruktif. Satu peristiwa lain yang juga mengemuka adalah pernikahan William – Kate. Satu hal lain yang bisa juga diceritakan adalah aktivitas Briptu Norman Kamaru namun biarlah dia menjadi santapan infotainment yang sepele itu saja. Hal lain yang bisa dimaknai dari populernya Norman Kamaru adalah upaya untuk menunjukkan “lunaknya” polisi di mata masyarakat. Kasus Norman, dalam hal pelunakan imaji polisi, berkaitan dengan munculnya dua polwan berwajah rupawan di layar televisi.
Kini saatnya mendedah serba sedikit dua kasus pertama, yaitu bom bunuh diri di Cirebon dan cuci otak yang disinyalir dilakukan oleh NII. Media cenderung massif dalam melaporkan kedua kasus ini namun seringkali fakta yang disampaikan berulang dan hanya berasal dari satu sumber. Kemungkinan permasalahan terorisme memang sensitif sehingga media tidak dengan mudah mencari sumber informasi alternatif selain dari polisi. Permasalahannya, tidak hanya informasi kebanyakan bersumber dari polisi, “langgam” pemberitaan media pun cenderung mengikuti polisi. Apalagi bom bunuh diri tersebut terjadi di masjid yang berada dalam kompleks kepolisian, sehingga polisi terlihat berupaya keras mencari identitas dan kelompok pelakunya. Hal yang sedikit berbeda terjadi dengan analisis peristiwa yang muncul dalam berbagai acara talkshow di televisi, perspektif yang hadir cukup beragam.
Di dalam waktu yang hampir bersamaan dengan pengungkapan bom bunuh diri di Cirebon, polisi juga mengungkap para pelaku bom buku yang terjadi sebelumnya. Hal yang cukup unik terjadi di sini adalah salah satu yang diduga pelaku adalah pekerja media. segera di beberapa media muncul polemik kecil yang membahas kebebasan pers, namun sesungguhnya kerja profesional jurnalis tidak ada hubungannya dengan tindakan pidana yang diduga dilakukan oleh salah seorang warga negara sekalipun dia merupakan jurnalis. Sayangnya memang tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah benar sang pekerja media itu memanfaatkan isu terorisme untuk kepentingan peliputan atau murni tindakan terorisme. Di luar itu semua, tidak ada media yang bisa menjelaskan dengan runtut dan informatif kelompok bom buku tersebut. Media sepertinya tidak melakukan riset cukup mendalam mengenai cara kerja kelompok tersebut menyebarkan bom buku dan memasang bom di jaringan gas. Atau kita masih menunggu penjelasan polisi lagi?
Hal yang mirip terjadi juga untuk pemberitaan seputar NII yang para aktivisnya melakukan cuci otak dan perampokan. Apalagi namanya tindakan mengambil uang korban kalau bukan perampokan? Para pelaku kejahatan tersebut melakukan dua kejahatan, yaitu mencuci otak yang bisa berdampak seumur hidup pada psikis korban dan pengambilan uang korban secara paksa. Belum lagi bila dikaitkan dengan tindakan kejahatan terorganisir yang lebih luas, upaya makar terhadap pemerintah yang sah. Jelas sekali dari namanya saja NII berupaya mengganti dasar negara Indonesia. Namun apa komentar negara yang diwakili oleh eksekutif? NII belum terindikasi melakukan makar. Semakin terlihat bahwa pemerintah yang sekarang ini memang tidak melihat sejarah bagaimana Indonesia terbentuk. Indonesia yang menempatkan keberagaman sebagai karakter utama. Seperti halnya pemberitaan sensitif yang lain, pemberitaan mengenai cuci otak oleh kelompok yang diduga NII ini menghilang dengan pelan setelah dikaitkan dengan pimpinan pesantren Al-Zaytun, Panji Gumilang (jangan tertukar atau bingung dengan Andika Gumilang) :) apakah kita harus menunggu lagi polisi menjelaskan kasus ini dan media kembali “menelan” informasinya mentah-mentah?
Sementara itu, untuk peristiwa ketiga, peliputan besar-besaran pernikahan calon kedua raja Inggris William dan Kate Middleton sekali lagi menunjukkan betapa telaah postkolonial masih berguna sebagai perangkat penjelas. Peliputan itu menunjukkan betapa kita sangat mengagumi Barat dan lupa bahwa Inggris adalah salah satu kolonialis pertama dan pernah menjadi penjajah terbesar. Beberapa stasiun televisi menyiarkan secara langsung pernikahan yang dianggap terbesar untuk abad ke-21 itu seolah-olah menyampaikan pernikahan tetangga kita. Peliputannya sangat akrab, jelas, dan mendetail. Berulang kali penyiar salah satu stasiun televisi menyebut “ayahanda tercinta” untuk Pangeran Charles seperti ia sendiri adalah anak Pangeran Charles. Saya pikir peliputan dan penjelasan pernikahan tersebut tidak berlanjut pada keesokan harinya. Ternyata saya salah, pelaporan pernikahan William – Kate sampai menghabiskan waktu tiga hari. Pada hari ketiga, televisi menyiarkan berulang-ulang ciuman pengantin padahal kejadian sesungguhnya hanya dua kali. Foto dua mempelai yang sedang berciuman tersebut juga menjadi headline yang di beberapa koran berukuran lebih dari setengah halaman. Bukan main. Saya tambah tidak berselera menonton televisi dan membaca berita di media cetak dan media interaktif minggu kemarin itu.
Untungnya masih ada album-album musik Indonesia terbaru yang cukup mengasyikkan untuk didengar dan kehidupan nyata yang harus dijalani. Saya lebih berbahagia menjalani hidup sebagai warga negara walau pemerintah negeri indah ini gagal menjamin rasa aman bagi kami, warga negara biasa. Saya mencoba berani bermasyarakat yang semakin tidak menghargai perbedaan walau anggota DPR jalan-jalan melulu ke luar negeri dan salah satu rombongan mereka memberikan alamat email komisi8@yahoo.com kepada para pembelajar di negeri tetangga. Di dunia yang sudah semaju ini sungguh absurd menemukan wakil rakyat yang tak paham media baru. Saya berani memasuki hidup yang berat ini dan mencoba berbahagia karena kehidupan ini nyata di keseharian. Tidak seperti pernikahan bak di negeri dongeng itu: indah, meriah, dan mewah, namun jauh di ujung dunia sana. Kita boleh ikut menyaksikan namun tidak perlu berlebihan. Kabarnya, apa-apa yang berlebihan itu tidak baik.
Kini saatnya mendedah serba sedikit dua kasus pertama, yaitu bom bunuh diri di Cirebon dan cuci otak yang disinyalir dilakukan oleh NII. Media cenderung massif dalam melaporkan kedua kasus ini namun seringkali fakta yang disampaikan berulang dan hanya berasal dari satu sumber. Kemungkinan permasalahan terorisme memang sensitif sehingga media tidak dengan mudah mencari sumber informasi alternatif selain dari polisi. Permasalahannya, tidak hanya informasi kebanyakan bersumber dari polisi, “langgam” pemberitaan media pun cenderung mengikuti polisi. Apalagi bom bunuh diri tersebut terjadi di masjid yang berada dalam kompleks kepolisian, sehingga polisi terlihat berupaya keras mencari identitas dan kelompok pelakunya. Hal yang sedikit berbeda terjadi dengan analisis peristiwa yang muncul dalam berbagai acara talkshow di televisi, perspektif yang hadir cukup beragam.
Di dalam waktu yang hampir bersamaan dengan pengungkapan bom bunuh diri di Cirebon, polisi juga mengungkap para pelaku bom buku yang terjadi sebelumnya. Hal yang cukup unik terjadi di sini adalah salah satu yang diduga pelaku adalah pekerja media. segera di beberapa media muncul polemik kecil yang membahas kebebasan pers, namun sesungguhnya kerja profesional jurnalis tidak ada hubungannya dengan tindakan pidana yang diduga dilakukan oleh salah seorang warga negara sekalipun dia merupakan jurnalis. Sayangnya memang tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah benar sang pekerja media itu memanfaatkan isu terorisme untuk kepentingan peliputan atau murni tindakan terorisme. Di luar itu semua, tidak ada media yang bisa menjelaskan dengan runtut dan informatif kelompok bom buku tersebut. Media sepertinya tidak melakukan riset cukup mendalam mengenai cara kerja kelompok tersebut menyebarkan bom buku dan memasang bom di jaringan gas. Atau kita masih menunggu penjelasan polisi lagi?
Hal yang mirip terjadi juga untuk pemberitaan seputar NII yang para aktivisnya melakukan cuci otak dan perampokan. Apalagi namanya tindakan mengambil uang korban kalau bukan perampokan? Para pelaku kejahatan tersebut melakukan dua kejahatan, yaitu mencuci otak yang bisa berdampak seumur hidup pada psikis korban dan pengambilan uang korban secara paksa. Belum lagi bila dikaitkan dengan tindakan kejahatan terorganisir yang lebih luas, upaya makar terhadap pemerintah yang sah. Jelas sekali dari namanya saja NII berupaya mengganti dasar negara Indonesia. Namun apa komentar negara yang diwakili oleh eksekutif? NII belum terindikasi melakukan makar. Semakin terlihat bahwa pemerintah yang sekarang ini memang tidak melihat sejarah bagaimana Indonesia terbentuk. Indonesia yang menempatkan keberagaman sebagai karakter utama. Seperti halnya pemberitaan sensitif yang lain, pemberitaan mengenai cuci otak oleh kelompok yang diduga NII ini menghilang dengan pelan setelah dikaitkan dengan pimpinan pesantren Al-Zaytun, Panji Gumilang (jangan tertukar atau bingung dengan Andika Gumilang) :) apakah kita harus menunggu lagi polisi menjelaskan kasus ini dan media kembali “menelan” informasinya mentah-mentah?
Sementara itu, untuk peristiwa ketiga, peliputan besar-besaran pernikahan calon kedua raja Inggris William dan Kate Middleton sekali lagi menunjukkan betapa telaah postkolonial masih berguna sebagai perangkat penjelas. Peliputan itu menunjukkan betapa kita sangat mengagumi Barat dan lupa bahwa Inggris adalah salah satu kolonialis pertama dan pernah menjadi penjajah terbesar. Beberapa stasiun televisi menyiarkan secara langsung pernikahan yang dianggap terbesar untuk abad ke-21 itu seolah-olah menyampaikan pernikahan tetangga kita. Peliputannya sangat akrab, jelas, dan mendetail. Berulang kali penyiar salah satu stasiun televisi menyebut “ayahanda tercinta” untuk Pangeran Charles seperti ia sendiri adalah anak Pangeran Charles. Saya pikir peliputan dan penjelasan pernikahan tersebut tidak berlanjut pada keesokan harinya. Ternyata saya salah, pelaporan pernikahan William – Kate sampai menghabiskan waktu tiga hari. Pada hari ketiga, televisi menyiarkan berulang-ulang ciuman pengantin padahal kejadian sesungguhnya hanya dua kali. Foto dua mempelai yang sedang berciuman tersebut juga menjadi headline yang di beberapa koran berukuran lebih dari setengah halaman. Bukan main. Saya tambah tidak berselera menonton televisi dan membaca berita di media cetak dan media interaktif minggu kemarin itu.
Untungnya masih ada album-album musik Indonesia terbaru yang cukup mengasyikkan untuk didengar dan kehidupan nyata yang harus dijalani. Saya lebih berbahagia menjalani hidup sebagai warga negara walau pemerintah negeri indah ini gagal menjamin rasa aman bagi kami, warga negara biasa. Saya mencoba berani bermasyarakat yang semakin tidak menghargai perbedaan walau anggota DPR jalan-jalan melulu ke luar negeri dan salah satu rombongan mereka memberikan alamat email komisi8@yahoo.com kepada para pembelajar di negeri tetangga. Di dunia yang sudah semaju ini sungguh absurd menemukan wakil rakyat yang tak paham media baru. Saya berani memasuki hidup yang berat ini dan mencoba berbahagia karena kehidupan ini nyata di keseharian. Tidak seperti pernikahan bak di negeri dongeng itu: indah, meriah, dan mewah, namun jauh di ujung dunia sana. Kita boleh ikut menyaksikan namun tidak perlu berlebihan. Kabarnya, apa-apa yang berlebihan itu tidak baik.
Kamis, 05 Mei 2011
Buaian Asmara - Bubi Chen
Mendengarkan Jazz Itu seperti Menulis Puisi
Bagi pembelajar media yang senang mendengarkan musik, lagu dan album, dan berniat meresensi atau menakarnya, kemungkinan akan menempuh dua jalan. Jalan pertama adalah mendengarkan kemudian menangkap kata-kata atau kalimat kunci yang berkesan. Di dalam jalan ini, musiknya sendiri menjadi pelengkap dan penguat impresi yang muncul. Bila lirik dianggap sebagai tindakan, musik adalah pembubuh emosinya. Lirik dan musik inilah yang membangun sebuah lagu. Jalan kedua sedikit berbeda, lirik tidak diperhatikan dengan penuh. Aspek yang diperhatikan dan coba diresapi adalah musiknya belaka. Pada jalan ini lirik bisa diabaikan atau bahkan tak ada. Kita sebagai penakar hanyalah mencoba menangkap imaji atau fantasma dari musik yang kita dengarkan.
Berdasarkan jalan kedua inilah saya mendengarkan jazz. Saya tidak berusaha untuk mendapatkan konsep kunci dari rangkaian lirik, judul, ataupun konsep besar lagu dan album yang muncul. Pengalaman mendengarkan jazz terutama bertujuan menarik manfaat murni dari musik. Itulah sebabnya saya tidak terlalu mudah teringat dengan lirik dan informasi-informasi di dalam lagu jazz. Hal yang sama ketika saya mendengarkan album “Buaian Asmara” oleh Bubi Chen ini. Saya sudah lama ingin mendengarkan dan juga memiliki album ini namun album ini sudah tidak tersedia di toko CD seantero Yogya. Untungnya, pada kunjungan ke Jakarta bulan lalu saya mendapatkan album ini di toko CD jalan Sabang.
Setelah memilikinya, sudah tak terhitung saya mendengarkan album ini. Singkat saja, album ini luar biasa. Sungguh beruntung saya bisa mendengarkan karya salah satu maestro Indonesia ini. Album ini pertama-kali dirilis pada tahun 1963 dalam format piringan hitam oleh perusahaan rekaman tertua di Indonesia, Lokananta. Kebetulan baru beberapa hari yang lalu saya mengunjungi Lokananta dan terkagum-kagum dengan koleksi mereka yang dahsyat. Sayangnya, Lokananta rupanya lebih memfokuskan dirinya pada musik tradisional sehingga gaungnya tidak terdengar di telinga penikmat musik anak muda yang lebih dekat dengan musik non-tradisional.
Album edisi remake ini dirilis pada tahun 2007 dan dari sisi pengemasan menjadi lebih bagus dengan hadirnya cover album yang baru. Beberapa lagu di album ini sudah pernah saya dengar sebelumnya. Sebagian yang lain adalah lagu baru dan sangatlah indah. Mendengarkan album ini membuat saya rindu dengan moment menulis puisi. Hanya mendengarkan, hanya meresapi, dan mencoba mengemas moment waktu dalam bentuk yang kecil dan padat dalam larik puisi. Kedelapan lagu ini memberi rasa indah yang unik pada masing-masing dirinya namun semuanya berpotensi menghadirkan aliran inspirasi untuk mencipta puisi, minimal bagi diri saya sendiri.
Bila pun ada kekurangan, kekurangan itu kecil walau cukup penting yaitu ketiadaan informasi musisi pendukung di album. Kekurangan jenis ini adalah hal yang umum di dalam album Indonesia. Informasi yang tidak lengkap berimplikasi kurang baik untuk dokumentasi musik Indonesia yang semestinya nanti dirintis. Di luar kekurangan tersebut, album ini adalah karya masterpiece dan sangat layak didengarkan dan diapreasi dengan mendalam.
Pemusik : Bubi Chen
Tahun : 2007
Label : DeMajors, Lokananta, dan Yayasan Yogyakarta Seni Nusantara
Daftar lagu:
1. Buaian Asmara (composed & arranged by Bubi Chen)
2. Semalam (composed & arranged by Jack Lemmers)
3. Sri Ajuda (composed by Soetedjo, arranged by Bubi Chen)
4. Lajang Lajang (composed & arranged by Bubi Chen)
5. Merindu (composed & arranged by Jack Lemmers)
6. Kasih Aku S’lalu Disampingmu (composed by Soetedjo, arranged by Bubi Chen)
7. Hampa (composed & arranged by Bubi Chen)
8. Kenangan Mesra (composed & arranged by Jack Lemmers)
Rabu, 04 Mei 2011
“Jurnalisme” Narsistik
Belakangan ini saya malas sekali menonton dan menyimak berita, terutama yang ada di media televisi. Berita adalah produk jurnalisme dan jurnalisme selalu membincangkan kepentingan publik. Salah satu prinsip utama dari jurnalisme selain faktualitas adalah lekat dengan kepentingan publik. Dengan demikian, jurnalisme tidak membincangkan personal apalagi memuja-muji diri walaupun person tersebut adalah seorang tokoh. Namun apa yang saya lihat belakangan ini melalui televisi sungguh membuat muak. Personalisasi dan emosionalisme menjadi aspek yang umum muncul dalam pemberitaan di media padahal kedua unsur inilah yang semestinya menyingkir dari berita. Berita mestinya berpijak dengan kuat pada fakta dan menihilkan sebisa mungkin emosi dan kedirian. Memang ada jenis berita yang membolehkan penafsiran dan analisis penulisnya dimasukkan, namun harus selalu berpijak pada pengambilan dan penarikan fakta yang benar. Fenomena inilah yang bisa disebut sebagai “jurnalisme” narsistik. Seolah-olah saja jurnalisme padahal bukan. Di mana saja fenomena tersebut muncul? Bentuk “jurnalisme” narsistik tersbut muncul dalam tiga bentuk berita.
Pertama, berita tentang kegiatan pemilik media atau tokoh yang dekat, bisa keluarga ataupun teman, pemilik media tersebut. Hal ini sangat kentara terlihat dalam berbagai berita dari salah satu stasiun televisi berformat berita. Pemilik stasiun televisi tersebut yang juga pelopor sebuah ormas (atau bakal parpol?) sering sekali muncul. Seringkali sang tokoh tersebut memberikan pidato tanpa konteks dan menghabiskan waktu lumayan panjang padahal ujarannya lebih berupa promosi dan propaganda. Hal yang sama terjadi bila pemilik media dan keluarganya merupakan bagian dari kepentingan politik yang lebih luas, media akan cenderung memberitakan dengan tidak kritis. Misalnya saja kasus Sisminbakum dan Lapindo, yang melibatkan anggota keluarga dari para pemilik stasiun televisi Indonesia. Bisa dipastikan televisi yang ada tersebut tidak memberitakan kasus Sisminbakum dan lumpur Lapindo dengan memadai apalagi kritis.
Rupanya fenomena ini adalah implikasi langsung atas konglomerasi dan monopoli media, terutama televisi, yang sangat mudah dan cenderung diabaikan oleh regulator seperti sekarang. Tidak jelas lagi mana yang menjadi pemilik media dan “pemain” politik karena personnya cenderung sama. Pemilik media dan politisi media boleh saja menyatu asalkan diatur dengan tegas dan benar-benar melindungi kepentingan publik. Contoh yang menarik dan seringkali dikisahkan adalah Silvio Berlusconi di Italia. Dia adalah pemilik stasiun televisi Forza Italia, politisi, dan pemilik klub sepakbola terkenal, AC Milan, namun regulasi di Italia tegas mengatur kemunculan Berlusconi oleh medianya sendiri, termasuk ketika menonton pertandingan AC Milan.
Kedua, berita tentang selebriti. Seringkali berita tentang selebriti disamakan dengan berita dunia hiburan walau sebenarnya tidak sama persis. Berita tentang selebriti atau sering juga disebut dengan infotainment masih menjadi polemik sampai sekarang, apakah infotainment itu produk jurnalistik atau bukan walau sebenarnya sudah jelas bila berita infotainment di Indonesia bukanlah produk jurnalistik apalagi bagian dari jurnalisme. Hal ini berbeda dengan berita dunia hiburan seperti yang kita kenal di Amerika Serikat. Berita dunia hiburan termasuk jurnalisme karena berita-berita tersebut selalu melekatkan dirinya dengan kepentingan publik. Hal ini terlihat dari pemberitaan Madonna yang mengadopsi anak-anak dari beberapa negara Afrika. Pemberitaan tidak difokuskan pada Madonna melainkan pada sistem adopsi yang membuat artis mudah sekali mengadopsi dan hal tersebut harus dibenahi.
Sungguh mau muntah bila kita menyaksikan tayangan infotainment di televisi. Penyimpangan psikologis yang disebut narsis terlihat sekali di situ. Selebriti yang dengan bangga mengisahkan hal-hal privat dirinya dan sayangnya diakomodir penuh oleh media. Hal-hal sepele dan tak penting seringkali dimunculkan dalam tayangan infotainment dan sayangnya pada suatu waktu tidak tersedia pilihan bagi audiens televisi. Mungkin memang isi media semacam itu disukai namun sebenarnya tak dibutuhkan oleh masyarakat kita. Atau bila konten infotainment disukai, tetap saja akan menimbulkan efek negatif bila diakses terlalu banyak. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana meningkatkan kualitas produk berita dunia hiburan menjadi lebih baik lagi dan berpihak pada kepentingan publik.
Fenomena ketiga adalah klaim karya biografi sebagai produk jurnalistik atau bagian dari jurnalisme. Buku atau produk media tentang biografi seseorang bisa menjadi bagian dari jurnalisme atau produk jurnalistik bila memenuhi persyaratan sebagai berikut: pertama, tokoh yang dikisahkan di dalam buku tersebut adalah tokoh yang penting dan bermakna bagi masyarakat, bisa masyarakat secara umum atau pun masyarakat bidang tertentu. Rosihan Anwar misalnya, beliau sangat pantas dituliskan dalam karya biografi karena perannya dalam masyarakat pers dan juga masyarakat Indonesia secara luas. Bila ada yang ingin menuliskan biografi Rosihan Anwar, pasti banyak pihak antusias. Pun bila beliau masih hidup dan menulis biografi dirinya sendiri, kita pun sungguh senang menyambutnya. Rosihan Anwar juga menjadi contoh yang baik bagi penulisan biografi singkat karena ia menulis tokoh-tokoh lain bukan pada kedirian mereka melainkan pada maknanya bagi publik.
Kedua, makna sang tokoh yang dituliskan dalam biografi bagi publik. Seorang tokoh yang dikisahkan dalam karya biografi haruslah memberikan makna bagi publik yang baik. Dalam beberapa hal, sosok yang tidak baik mungkin pula muncul dalam karya biografi namun gunanya adalah untuk pembelajaran bersama yang lebih luas. Sebuah artikel biografi singkat di suratkabar terkemuka nasional misalnya, berkisah tentang sosok-sosok yang bermakna secara sosial walaupun mungkin mereka bekerja dalam senyap. Lain halnya dengan buku-buku biografi yang cukup banyak beredar belakangan ini. Kita sering bertanya-tanya ketika melihat atau membaca buku tersebut, siapa mereka sebenarnya? Sebab seringkali nama mereka tidak dikenal oleh publik yang lebih luas. Pertanyaan selanjutnya, apa makna mereka bagi publik? bila sosok-sosok tersebut tak begitu dikenal kita bisa melihat jejak rekam mereka dalam kehidupan bersama. Pada titik ini karya biografi tersebut bisa tetap bermakna bagi kita sebagai pengakses pesan.
Jadi, sebuah karya biografi mungkin menerapkan praktek jurnalistik namun belum tentu menjadi bagian dari jurnalisme apalagi bila karya tersebut bagian dari proyek pencitraan diri. Pencitraan diri tersebut bila berlebihan bisalah disebut sebagai proyek narsistik. Karya biografi tersebut akan semakin jauh dari prinsip jurnalistik apalagi menjadi bagian dari jurnalisme bila ditulis sendiri oleh sang “tokoh” atau disebut otobiografi. Kenyataan ini semakin diperparah bila tokoh tersebut belum jelas kontribusinya bagi bidang tertentu ataupun bagi masyarakat luas. Jelaslah, jenis biografi semacam ini tidak layak disebut sebagai bagian dari jurnalisme melainkan hanya berpura-pura menjadi jurnalisme. Juga akan sulit menerapkan praktek jurnalistik untuk otobiografi. Bagaimana mungkin kita mereportase diri sendiri? Sekali lagi, bisalah fenomen ini kita sebut sebagai “jurnalisme” narsistik.
Kita harus bisa menghindari berita-berita produk “jurnalisme” narsistik agar tidak ikut berpenyakit psikis narsis dan hanya pada Tuhan Yang Maha Kuasa-lah kita berlindung dari konten yang teruk semacam itu…
Pertama, berita tentang kegiatan pemilik media atau tokoh yang dekat, bisa keluarga ataupun teman, pemilik media tersebut. Hal ini sangat kentara terlihat dalam berbagai berita dari salah satu stasiun televisi berformat berita. Pemilik stasiun televisi tersebut yang juga pelopor sebuah ormas (atau bakal parpol?) sering sekali muncul. Seringkali sang tokoh tersebut memberikan pidato tanpa konteks dan menghabiskan waktu lumayan panjang padahal ujarannya lebih berupa promosi dan propaganda. Hal yang sama terjadi bila pemilik media dan keluarganya merupakan bagian dari kepentingan politik yang lebih luas, media akan cenderung memberitakan dengan tidak kritis. Misalnya saja kasus Sisminbakum dan Lapindo, yang melibatkan anggota keluarga dari para pemilik stasiun televisi Indonesia. Bisa dipastikan televisi yang ada tersebut tidak memberitakan kasus Sisminbakum dan lumpur Lapindo dengan memadai apalagi kritis.
Rupanya fenomena ini adalah implikasi langsung atas konglomerasi dan monopoli media, terutama televisi, yang sangat mudah dan cenderung diabaikan oleh regulator seperti sekarang. Tidak jelas lagi mana yang menjadi pemilik media dan “pemain” politik karena personnya cenderung sama. Pemilik media dan politisi media boleh saja menyatu asalkan diatur dengan tegas dan benar-benar melindungi kepentingan publik. Contoh yang menarik dan seringkali dikisahkan adalah Silvio Berlusconi di Italia. Dia adalah pemilik stasiun televisi Forza Italia, politisi, dan pemilik klub sepakbola terkenal, AC Milan, namun regulasi di Italia tegas mengatur kemunculan Berlusconi oleh medianya sendiri, termasuk ketika menonton pertandingan AC Milan.
Kedua, berita tentang selebriti. Seringkali berita tentang selebriti disamakan dengan berita dunia hiburan walau sebenarnya tidak sama persis. Berita tentang selebriti atau sering juga disebut dengan infotainment masih menjadi polemik sampai sekarang, apakah infotainment itu produk jurnalistik atau bukan walau sebenarnya sudah jelas bila berita infotainment di Indonesia bukanlah produk jurnalistik apalagi bagian dari jurnalisme. Hal ini berbeda dengan berita dunia hiburan seperti yang kita kenal di Amerika Serikat. Berita dunia hiburan termasuk jurnalisme karena berita-berita tersebut selalu melekatkan dirinya dengan kepentingan publik. Hal ini terlihat dari pemberitaan Madonna yang mengadopsi anak-anak dari beberapa negara Afrika. Pemberitaan tidak difokuskan pada Madonna melainkan pada sistem adopsi yang membuat artis mudah sekali mengadopsi dan hal tersebut harus dibenahi.
Sungguh mau muntah bila kita menyaksikan tayangan infotainment di televisi. Penyimpangan psikologis yang disebut narsis terlihat sekali di situ. Selebriti yang dengan bangga mengisahkan hal-hal privat dirinya dan sayangnya diakomodir penuh oleh media. Hal-hal sepele dan tak penting seringkali dimunculkan dalam tayangan infotainment dan sayangnya pada suatu waktu tidak tersedia pilihan bagi audiens televisi. Mungkin memang isi media semacam itu disukai namun sebenarnya tak dibutuhkan oleh masyarakat kita. Atau bila konten infotainment disukai, tetap saja akan menimbulkan efek negatif bila diakses terlalu banyak. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana meningkatkan kualitas produk berita dunia hiburan menjadi lebih baik lagi dan berpihak pada kepentingan publik.
Fenomena ketiga adalah klaim karya biografi sebagai produk jurnalistik atau bagian dari jurnalisme. Buku atau produk media tentang biografi seseorang bisa menjadi bagian dari jurnalisme atau produk jurnalistik bila memenuhi persyaratan sebagai berikut: pertama, tokoh yang dikisahkan di dalam buku tersebut adalah tokoh yang penting dan bermakna bagi masyarakat, bisa masyarakat secara umum atau pun masyarakat bidang tertentu. Rosihan Anwar misalnya, beliau sangat pantas dituliskan dalam karya biografi karena perannya dalam masyarakat pers dan juga masyarakat Indonesia secara luas. Bila ada yang ingin menuliskan biografi Rosihan Anwar, pasti banyak pihak antusias. Pun bila beliau masih hidup dan menulis biografi dirinya sendiri, kita pun sungguh senang menyambutnya. Rosihan Anwar juga menjadi contoh yang baik bagi penulisan biografi singkat karena ia menulis tokoh-tokoh lain bukan pada kedirian mereka melainkan pada maknanya bagi publik.
Kedua, makna sang tokoh yang dituliskan dalam biografi bagi publik. Seorang tokoh yang dikisahkan dalam karya biografi haruslah memberikan makna bagi publik yang baik. Dalam beberapa hal, sosok yang tidak baik mungkin pula muncul dalam karya biografi namun gunanya adalah untuk pembelajaran bersama yang lebih luas. Sebuah artikel biografi singkat di suratkabar terkemuka nasional misalnya, berkisah tentang sosok-sosok yang bermakna secara sosial walaupun mungkin mereka bekerja dalam senyap. Lain halnya dengan buku-buku biografi yang cukup banyak beredar belakangan ini. Kita sering bertanya-tanya ketika melihat atau membaca buku tersebut, siapa mereka sebenarnya? Sebab seringkali nama mereka tidak dikenal oleh publik yang lebih luas. Pertanyaan selanjutnya, apa makna mereka bagi publik? bila sosok-sosok tersebut tak begitu dikenal kita bisa melihat jejak rekam mereka dalam kehidupan bersama. Pada titik ini karya biografi tersebut bisa tetap bermakna bagi kita sebagai pengakses pesan.
Jadi, sebuah karya biografi mungkin menerapkan praktek jurnalistik namun belum tentu menjadi bagian dari jurnalisme apalagi bila karya tersebut bagian dari proyek pencitraan diri. Pencitraan diri tersebut bila berlebihan bisalah disebut sebagai proyek narsistik. Karya biografi tersebut akan semakin jauh dari prinsip jurnalistik apalagi menjadi bagian dari jurnalisme bila ditulis sendiri oleh sang “tokoh” atau disebut otobiografi. Kenyataan ini semakin diperparah bila tokoh tersebut belum jelas kontribusinya bagi bidang tertentu ataupun bagi masyarakat luas. Jelaslah, jenis biografi semacam ini tidak layak disebut sebagai bagian dari jurnalisme melainkan hanya berpura-pura menjadi jurnalisme. Juga akan sulit menerapkan praktek jurnalistik untuk otobiografi. Bagaimana mungkin kita mereportase diri sendiri? Sekali lagi, bisalah fenomen ini kita sebut sebagai “jurnalisme” narsistik.
Kita harus bisa menghindari berita-berita produk “jurnalisme” narsistik agar tidak ikut berpenyakit psikis narsis dan hanya pada Tuhan Yang Maha Kuasa-lah kita berlindung dari konten yang teruk semacam itu…
Selasa, 03 Mei 2011
Membincangkan Sepakbola Menjelang Akhir Musim
Sungguh mengasyikkan membicarakan sepakbola Eropa akhir-akhir ini. Sejumlah laga di akhir musim menunjukkan ketatnya liga. Tim yang memastikan gelar juara dalam minggu kemarin adalah Borussia Dortmund untuk liga Jerman. Dortmund adalah tim kedua yang merengkuh gelar juara di Eropa setelah Porto di liga Portugal. Dortmund yang merupakan kesebelasan muda ini mematahkan prediksi para pengamat yang tidak menempatkannya sebagai favorit juara. Mereka mematahkan prediksi dengan indah, menjadi juara dengan dua pertandingan sisa di liga. Pekan depan kita menunggu juara untuk liga Belanda. Juara akan diperebutkan oleh dua tim perangkat pertama, Twente dan Ajax, pada pekan terakhir! Dua liga menengah Eropa ini memberikan tontonan menarik sepanjang liga meskipun para pengamat sepakbola di Indonesia hanya bisa menyaksikan sedikit pertandingannya melalui cuplikan di berbagai program berita dan berita di media cetak.
Liga menengah yang juga akan menentukan juara pada pekan-pekan terakhir liga adalah liga Perancis, yang secara matematis bahkan masih diperebutkan oleh lima tim. Dominasi Lyon pada satu dekade terakhir sudah lama berakhir di liga yang menghasilkan banyak pemain hebat bila pindah ke liga-liga kelas atas Eropa ini. Setelah itu, barulah para penggila menatap liga-liga atas Eropa. Di Spanyol, perseteruan dua rival hebat, Barcelona dan Real Madrid, tidak hanya terjadi di liga negerinya sendiri, tetapi juga di liga Champion. Walau berselisih delapan poin, pertarungan keduanya masih bisa sampai di pekan depan sebelum juara ditentukan. Sementara itu, di liga Italia, AC Milan tinggal memerlukan satu nilai untuk menjadi juara dan sepertinya bisa direngkuh minggu ini. Terakhir, liga atas Eropa yang paling seru adalah liga Inggris. Manchester United, Chelsea, dan Arsenal masih berpeluang menjadi juara. Pertandingan pekan ke-36 antara Manchester United melawan Chelsea adalah puncak laga penentu gelar juara yang kemungkinan besar bakal sangat seru.
Demikianlah, liga-liga Eropa sangat menarik untuk diikuti. Kita tidak hanya menonton pertandingannya, langsung maupun tunda, melainkan juga mengakses hasil-hasil pertandingan dari semua media, membincangkan semua aspek sepakbola, di dalam dan luar lapangan. Animo masyarakat kita atas sepakbola memang luar biasa. Lihatlah pertandingan di liga-liga nasional yang selalu dipenuhi penonton. Terlepas dari seringnya terjadi bentrok antar suporter, animo yang besar tersebut menunjukkan minat yang sangat tinggi terhadap sepakbola. Jangankan pertandingan-pertandingan profesional, pertandingan antar kampung saja, animo masyarakat kita sangatlah tinggi. Animo tersebut juga diakomodir oleh media. Lihatlah pemberitaan sepakbola di berbagai program atau pun artikel berita olahraga di media cetak dan penyiaran. Berita tentang sepakbola mendominasi sekitar delapan puluh persen dari keseluruhan pemberitaan. Hal yang sama pun terjadi untuk media baru, antara lain game. Tengoklah persewaan konsol game di kampung-kampung sekitar kita, permainan yang paling digemari adalah sepakbola.
Melalui pemberitaan sepakbola kita pun bisa melihat cukup banyak hal, antara lain penerapan istilah yang seringkali digunakan, dan percobaan memaknainya dalam konten media. Misalnya saja istilah “bus”. Di dalam pemberitaan sepakbola di Eropa, istilah “memarkir bus” digunakan untuk tim yang bermain bertahan. Hal ini minggu kemarin disematkan untuk tim Jose Mourinho, Real Madrid, yang bermain defensif melawan Barcelona dalam final Copa del Rey. Walau pada akhirnya Madrid menang, istilah bermain dengan “memarkir bus” terus dilabelkan padahal Madrid adalah tim besar. Madrid juga dikaitkan dengan “bus” ketika piala Copa del Rey remuk terlindas bus karena keteledoran Sergio Ramos. Banyak juga kisah unik yang muncul dalam pemberitaan sepakbola. Terkadang kisah itu cukup membuat kita tersenyum karena terharu atau jenaka. Misalnya saja kisah Tamir Cohen, pemain Bolton Wanderers, yang memasang kaus dalam penghormatan untuk ayahnya yang meninggal dalam kecelakaan sepeda motor pada bulan Desember 2010 lalu. Kemenangan Bolton atas Arsenal, 2-1, pada pekan ke-34 tersebut punya arti khusus bagi Cohen karena ia mencetak gol. Pada akhirnya dia bisa mengangkat kausnya untuk mengapresiasi sang ayah. Saya memasang kaus dalam bergambar wajah ayah sejak Januari lalu. Sungguh suatu “perjuangan” memakai kaus dalam tersebut selama empat bulan sebelum terlihat. Bila Cohen berada di tim besar yang sangat mungkin sering mencetak gol membuka kaus untuk memperlihatkan “pesan” bukanlah masalah.
Saya juga hanya bertanya-tanya di dalam hati. Kira-kira masyarakat di negara-negara Eropa itu memperhatikan betul tidak pengurus asosiasi persepakbolaannya seperti kita di sini. Kita, sebagai masyarakat Indonesia dan pecinta sepakbola, dihadapkan pada “tontonan” tak menarik dan tak lucu dari orang-orang yang berkuasa dalam asosiasi sepakbola, PSSI. Setelah Nurdin Halid tidak diakui kepengurusannya di PSSI, kisruh bukannya berhenti atau berkurang tetapi malah bertambah. Saya pribadi sudah kurang berminat memantau atau mengamati siapa pengurus PSSI nantinya. Hal yang terpenting adalah cara pengurus menciptakan sistem pertandingan yang baik dan membuat masyarakat antusias menontonnya. Kemungkinan juga perhatian kita melalui media yang besar pada para “pejabat” adalah potret kepercayaan kita yang masih besar pada elit walau sebenarnya mereka tidak kunjung memenuhi kepercayaan tersebut.
Ah, cukup sudah membincangkan sepakbola nasional. Mari kita kembali mengamati liga Eropa, terutama dua laga semifinal liga Champion dua malam ini. Semoga tim yang berlaga di final adalah dua tim yang memperagakan sepakbola terbaik, seperti juga siapa pun yang memimpin PSSI nantinya, adalah insan pemimpin, manager, dan pecinta sepakbola yang tulus. Berfokus pada sepakbola tanpa mencoba mengait-ngaitkannya dengan politik terlalu jauh.
Langganan:
Postingan (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...