Rabu, 04 Mei 2011

“Jurnalisme” Narsistik

Belakangan ini saya malas sekali menonton dan menyimak berita, terutama yang ada di media televisi. Berita adalah produk jurnalisme dan jurnalisme selalu membincangkan kepentingan publik. Salah satu prinsip utama dari jurnalisme selain faktualitas adalah lekat dengan kepentingan publik. Dengan demikian, jurnalisme tidak membincangkan personal apalagi memuja-muji diri walaupun person tersebut adalah seorang tokoh. Namun apa yang saya lihat belakangan ini melalui televisi sungguh membuat muak. Personalisasi dan emosionalisme menjadi aspek yang umum muncul dalam pemberitaan di media padahal kedua unsur inilah yang semestinya menyingkir dari berita. Berita mestinya berpijak dengan kuat pada fakta dan menihilkan sebisa mungkin emosi dan kedirian. Memang ada jenis berita yang membolehkan penafsiran dan analisis penulisnya dimasukkan, namun harus selalu berpijak pada pengambilan dan penarikan fakta yang benar. Fenomena inilah yang bisa disebut sebagai “jurnalisme” narsistik. Seolah-olah saja jurnalisme padahal bukan. Di mana saja fenomena tersebut muncul? Bentuk “jurnalisme” narsistik tersbut muncul dalam tiga bentuk berita.

Pertama, berita tentang kegiatan pemilik media atau tokoh yang dekat, bisa keluarga ataupun teman, pemilik media tersebut. Hal ini sangat kentara terlihat dalam berbagai berita dari salah satu stasiun televisi berformat berita. Pemilik stasiun televisi tersebut yang juga pelopor sebuah ormas (atau bakal parpol?) sering sekali muncul. Seringkali sang tokoh tersebut memberikan pidato tanpa konteks dan menghabiskan waktu lumayan panjang padahal ujarannya lebih berupa promosi dan propaganda. Hal yang sama terjadi bila pemilik media dan keluarganya merupakan bagian dari kepentingan politik yang lebih luas, media akan cenderung memberitakan dengan tidak kritis. Misalnya saja kasus Sisminbakum dan Lapindo, yang melibatkan anggota keluarga dari para pemilik stasiun televisi Indonesia. Bisa dipastikan televisi yang ada tersebut tidak memberitakan kasus Sisminbakum dan lumpur Lapindo dengan memadai apalagi kritis.

Rupanya fenomena ini adalah implikasi langsung atas konglomerasi dan monopoli media, terutama televisi, yang sangat mudah dan cenderung diabaikan oleh regulator seperti sekarang. Tidak jelas lagi mana yang menjadi pemilik media dan “pemain” politik karena personnya cenderung sama. Pemilik media dan politisi media boleh saja menyatu asalkan diatur dengan tegas dan benar-benar melindungi kepentingan publik. Contoh yang menarik dan seringkali dikisahkan adalah Silvio Berlusconi di Italia. Dia adalah pemilik stasiun televisi Forza Italia, politisi, dan pemilik klub sepakbola terkenal, AC Milan, namun regulasi di Italia tegas mengatur kemunculan Berlusconi oleh medianya sendiri, termasuk ketika menonton pertandingan AC Milan.

Kedua, berita tentang selebriti. Seringkali berita tentang selebriti disamakan dengan berita dunia hiburan walau sebenarnya tidak sama persis. Berita tentang selebriti atau sering juga disebut dengan infotainment masih menjadi polemik sampai sekarang, apakah infotainment itu produk jurnalistik atau bukan walau sebenarnya sudah jelas bila berita infotainment di Indonesia bukanlah produk jurnalistik apalagi bagian dari jurnalisme. Hal ini berbeda dengan berita dunia hiburan seperti yang kita kenal di Amerika Serikat. Berita dunia hiburan termasuk jurnalisme karena berita-berita tersebut selalu melekatkan dirinya dengan kepentingan publik. Hal ini terlihat dari pemberitaan Madonna yang mengadopsi anak-anak dari beberapa negara Afrika. Pemberitaan tidak difokuskan pada Madonna melainkan pada sistem adopsi yang membuat artis mudah sekali mengadopsi dan hal tersebut harus dibenahi.

Sungguh mau muntah bila kita menyaksikan tayangan infotainment di televisi. Penyimpangan psikologis yang disebut narsis terlihat sekali di situ. Selebriti yang dengan bangga mengisahkan hal-hal privat dirinya dan sayangnya diakomodir penuh oleh media. Hal-hal sepele dan tak penting seringkali dimunculkan dalam tayangan infotainment dan sayangnya pada suatu waktu tidak tersedia pilihan bagi audiens televisi. Mungkin memang isi media semacam itu disukai namun sebenarnya tak dibutuhkan oleh masyarakat kita. Atau bila konten infotainment disukai, tetap saja akan menimbulkan efek negatif bila diakses terlalu banyak. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana meningkatkan kualitas produk berita dunia hiburan menjadi lebih baik lagi dan berpihak pada kepentingan publik.

Fenomena ketiga adalah klaim karya biografi sebagai produk jurnalistik atau bagian dari jurnalisme. Buku atau produk media tentang biografi seseorang bisa menjadi bagian dari jurnalisme atau produk jurnalistik bila memenuhi persyaratan sebagai berikut: pertama, tokoh yang dikisahkan di dalam buku tersebut adalah tokoh yang penting dan bermakna bagi masyarakat, bisa masyarakat secara umum atau pun masyarakat bidang tertentu. Rosihan Anwar misalnya, beliau sangat pantas dituliskan dalam karya biografi karena perannya dalam masyarakat pers dan juga masyarakat Indonesia secara luas. Bila ada yang ingin menuliskan biografi Rosihan Anwar, pasti banyak pihak antusias. Pun bila beliau masih hidup dan menulis biografi dirinya sendiri, kita pun sungguh senang menyambutnya. Rosihan Anwar juga menjadi contoh yang baik bagi penulisan biografi singkat karena ia menulis tokoh-tokoh lain bukan pada kedirian mereka melainkan pada maknanya bagi publik.

Kedua, makna sang tokoh yang dituliskan dalam biografi bagi publik. Seorang tokoh yang dikisahkan dalam karya biografi haruslah memberikan makna bagi publik yang baik. Dalam beberapa hal, sosok yang tidak baik mungkin pula muncul dalam karya biografi namun gunanya adalah untuk pembelajaran bersama yang lebih luas. Sebuah artikel biografi singkat di suratkabar terkemuka nasional misalnya, berkisah tentang sosok-sosok yang bermakna secara sosial walaupun mungkin mereka bekerja dalam senyap. Lain halnya dengan buku-buku biografi yang cukup banyak beredar belakangan ini. Kita sering bertanya-tanya ketika melihat atau membaca buku tersebut, siapa mereka sebenarnya? Sebab seringkali nama mereka tidak dikenal oleh publik yang lebih luas. Pertanyaan selanjutnya, apa makna mereka bagi publik? bila sosok-sosok tersebut tak begitu dikenal kita bisa melihat jejak rekam mereka dalam kehidupan bersama. Pada titik ini karya biografi tersebut bisa tetap bermakna bagi kita sebagai pengakses pesan.

Jadi, sebuah karya biografi mungkin menerapkan praktek jurnalistik namun belum tentu menjadi bagian dari jurnalisme apalagi bila karya tersebut bagian dari proyek pencitraan diri. Pencitraan diri tersebut bila berlebihan bisalah disebut sebagai proyek narsistik. Karya biografi tersebut akan semakin jauh dari prinsip jurnalistik apalagi menjadi bagian dari jurnalisme bila ditulis sendiri oleh sang “tokoh” atau disebut otobiografi. Kenyataan ini semakin diperparah bila tokoh tersebut belum jelas kontribusinya bagi bidang tertentu ataupun bagi masyarakat luas. Jelaslah, jenis biografi semacam ini tidak layak disebut sebagai bagian dari jurnalisme melainkan hanya berpura-pura menjadi jurnalisme. Juga akan sulit menerapkan praktek jurnalistik untuk otobiografi. Bagaimana mungkin kita mereportase diri sendiri? Sekali lagi, bisalah fenomen ini kita sebut sebagai “jurnalisme” narsistik.

Kita harus bisa menghindari berita-berita produk “jurnalisme” narsistik agar tidak ikut berpenyakit psikis narsis dan hanya pada Tuhan Yang Maha Kuasa-lah kita berlindung dari konten yang teruk semacam itu… 

1 komentar:

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...