Senin, 09 Mei 2011

BBB (Belajar Bermedia Bersama) 15 – 16

Pada dua minggu terakhir bulan keempat di tahun 2011 kemarin cukup banyak peristiwa yang menyedot perhatian media. Dua hal yang tidak berkaitan namun berada dalam koridor yang sama terjadi, yaitu kasus bom bunuh diri di Cirebon dan “cuci otak” oleh kelompok yang disinyalir berasal dari NII (Negara Islam Indonesia). Keduanya berbeda namun bersumber pada pemaknaan atas agama yang destruktif. Satu peristiwa lain yang juga mengemuka adalah pernikahan William – Kate. Satu hal lain yang bisa juga diceritakan adalah aktivitas Briptu Norman Kamaru namun biarlah dia menjadi santapan infotainment yang sepele itu saja. Hal lain yang bisa dimaknai dari populernya Norman Kamaru adalah upaya untuk menunjukkan “lunaknya” polisi di mata masyarakat. Kasus Norman, dalam hal pelunakan imaji polisi, berkaitan dengan munculnya dua polwan berwajah rupawan di layar televisi.



Kini saatnya mendedah serba sedikit dua kasus pertama, yaitu bom bunuh diri di Cirebon dan cuci otak yang disinyalir dilakukan oleh NII. Media cenderung massif dalam melaporkan kedua kasus ini namun seringkali fakta yang disampaikan berulang dan hanya berasal dari satu sumber. Kemungkinan permasalahan terorisme memang sensitif sehingga media tidak dengan mudah mencari sumber informasi alternatif selain dari polisi. Permasalahannya, tidak hanya informasi kebanyakan bersumber dari polisi, “langgam” pemberitaan media pun cenderung mengikuti polisi. Apalagi bom bunuh diri tersebut terjadi di masjid yang berada dalam kompleks kepolisian, sehingga polisi terlihat berupaya keras mencari identitas dan kelompok pelakunya. Hal yang sedikit berbeda terjadi dengan analisis peristiwa yang muncul dalam berbagai acara talkshow di televisi, perspektif yang hadir cukup beragam.



Di dalam waktu yang hampir bersamaan dengan pengungkapan bom bunuh diri di Cirebon, polisi juga mengungkap para pelaku bom buku yang terjadi sebelumnya. Hal yang cukup unik terjadi di sini adalah salah satu yang diduga pelaku adalah pekerja media. segera di beberapa media muncul polemik kecil yang membahas kebebasan pers, namun sesungguhnya kerja profesional jurnalis tidak ada hubungannya dengan tindakan pidana yang diduga dilakukan oleh salah seorang warga negara sekalipun dia merupakan jurnalis. Sayangnya memang tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah benar sang pekerja media itu memanfaatkan isu terorisme untuk kepentingan peliputan atau murni tindakan terorisme. Di luar itu semua, tidak ada media yang bisa menjelaskan dengan runtut dan informatif kelompok bom buku tersebut. Media sepertinya tidak melakukan riset cukup mendalam mengenai cara kerja kelompok tersebut menyebarkan bom buku dan memasang bom di jaringan gas. Atau kita masih menunggu penjelasan polisi lagi?



Hal yang mirip terjadi juga untuk pemberitaan seputar NII yang para aktivisnya melakukan cuci otak dan perampokan. Apalagi namanya tindakan mengambil uang korban kalau bukan perampokan? Para pelaku kejahatan tersebut melakukan dua kejahatan, yaitu mencuci otak yang bisa berdampak seumur hidup pada psikis korban dan pengambilan uang korban secara paksa. Belum lagi bila dikaitkan dengan tindakan kejahatan terorganisir yang lebih luas, upaya makar terhadap pemerintah yang sah. Jelas sekali dari namanya saja NII berupaya mengganti dasar negara Indonesia. Namun apa komentar negara yang diwakili oleh eksekutif? NII belum terindikasi melakukan makar. Semakin terlihat bahwa pemerintah yang sekarang ini memang tidak melihat sejarah bagaimana Indonesia terbentuk. Indonesia yang menempatkan keberagaman sebagai karakter utama. Seperti halnya pemberitaan sensitif yang lain, pemberitaan mengenai cuci otak oleh kelompok yang diduga NII ini menghilang dengan pelan setelah dikaitkan dengan pimpinan pesantren Al-Zaytun, Panji Gumilang (jangan tertukar atau bingung dengan Andika Gumilang) :) apakah kita harus menunggu lagi polisi menjelaskan kasus ini dan media kembali “menelan” informasinya mentah-mentah?



Sementara itu, untuk peristiwa ketiga, peliputan besar-besaran pernikahan calon kedua raja Inggris William dan Kate Middleton sekali lagi menunjukkan betapa telaah postkolonial masih berguna sebagai perangkat penjelas. Peliputan itu menunjukkan betapa kita sangat mengagumi Barat dan lupa bahwa Inggris adalah salah satu kolonialis pertama dan pernah menjadi penjajah terbesar. Beberapa stasiun televisi menyiarkan secara langsung pernikahan yang dianggap terbesar untuk abad ke-21 itu seolah-olah menyampaikan pernikahan tetangga kita. Peliputannya sangat akrab, jelas, dan mendetail. Berulang kali penyiar salah satu stasiun televisi menyebut “ayahanda tercinta” untuk Pangeran Charles seperti ia sendiri adalah anak Pangeran Charles. Saya pikir peliputan dan penjelasan pernikahan tersebut tidak berlanjut pada keesokan harinya. Ternyata saya salah, pelaporan pernikahan William – Kate sampai menghabiskan waktu tiga hari. Pada hari ketiga, televisi menyiarkan berulang-ulang ciuman pengantin padahal kejadian sesungguhnya hanya dua kali. Foto dua mempelai yang sedang berciuman tersebut juga menjadi headline yang di beberapa koran berukuran lebih dari setengah halaman. Bukan main. Saya tambah tidak berselera menonton televisi dan membaca berita di media cetak dan media interaktif minggu kemarin itu.



Untungnya masih ada album-album musik Indonesia terbaru yang cukup mengasyikkan untuk didengar dan kehidupan nyata yang harus dijalani. Saya lebih berbahagia menjalani hidup sebagai warga negara walau pemerintah negeri indah ini gagal menjamin rasa aman bagi kami, warga negara biasa. Saya mencoba berani bermasyarakat yang semakin tidak menghargai perbedaan walau anggota DPR jalan-jalan melulu ke luar negeri dan salah satu rombongan mereka memberikan alamat email komisi8@yahoo.com kepada para pembelajar di negeri tetangga. Di dunia yang sudah semaju ini sungguh absurd menemukan wakil rakyat yang tak paham media baru. Saya berani memasuki hidup yang berat ini dan mencoba berbahagia karena kehidupan ini nyata di keseharian. Tidak seperti pernikahan bak di negeri dongeng itu: indah, meriah, dan mewah, namun jauh di ujung dunia sana. Kita boleh ikut menyaksikan namun tidak perlu berlebihan. Kabarnya, apa-apa yang berlebihan itu tidak baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...