Minggu, 22 Mei 2011

Ayam Bercengkerama dengan Hujan

Saat-saat sekarang ini saya merasa aktivitas berliterasi, membaca dan menulis, begitu nikmat dan membahagiakan. Tidak pernah saya merasakan hal seperti ini sebelumnya. Sebelumnya saya seringkali menganggap membaca itu aktivitas “biasa” yang mengalir bersama kesenangan dan tugas. Menulis juga begitu. Menulis hanya sebagai hal-hal yang normal atau paling tidak sebagai suatu “kewajiban” yang mesti dilakukan. Kini bagi saya, membaca dan menulis adalah masalah eksistensial pula. Ada kegamangan tak bertepi bila cukup lama tak membaca dan menulis dengan baik dan benar (kalimat ini sepertinya agak berlebihan ya? :D).

Biasanya saya merayakan kecil-kecilan tulisan saya setiap kelipatan seratus. Semacam apresiasi untuk diri sendiri. Walau mungkin distigma sebagai modus narsistik, tujuan saya sebenarnya sederhana saja: hanya ingin sekadar memberi semangat pada diri sendiri agar terus menulis. Selain merasakan hal baru lewat menulis, dan juga membaca, saya tahu pasti bahwa keberadaan komunitas rekan-rekan yang juga mengambil kebahagiaan dengan menulis, adalah salah satu alasan mengapa merasakan betul indahnya menulis. Salah satu komunitas itu adalah kumpulan pembelajar di jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Mereka membuat kegiatan #31 hari menulis yang menurut saya brilian. Tulisan-tulisan mereka menghibur dan menginspirasi saya. Ada tulisan yang cerdas, unik, lucu, dan juga biasa saja. Walau begitu semua tulisan ini membahagiakan, tidak sangat bagus namun lengkap dan memadai.

Secara tak sengaja pula ketika saya menyumbang tulisan penyemangat untuk mereka, saya teringat salah satu buku dari tahun 2001 yang pernah saya beli, buku yang diterbitkan oleh Indonesia Tera. Buku itu karya Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul “Hujan Menulis Ayam”. Buku kumpulan cerpen itu sebenarnya biasa saja, jauh dengan puisi-puisi SCB. Untuk puisi, memang SCB adalah salah satu “dewa”-nya Indonesia. Walau tidak sangat bagus, judul buku itu memang menyiratkan “pemberontakan”, karakter yang melekat pada SCB. Apa lagi yang bisa kita maknai dari judul “Hujan Menulis Ayam” sebagai sebuah manifestasi keberanian dalam menulis? Kira-kira itulah yang saya dapat dari buku ini walau ternyata sebenarnya judul buku ini berasal dari tiga cerpen yang berbeda, yang berjudul “Hujan”, “Menulis”, dan “Ayam”. Semua cerpen di buku ini unik dan “menggigit” pada akhir ceritanya dan taat dengan konvensi penulisan. Berbeda sekali dengan puisi-puisi SCB.

Inspirasi yang ditawarkan oleh SCB adalah keberanian. Keberanian untuk menulis dengan cara dan gaya sendiri. Bila saya boleh menambahkan, untuk membaca pun tiap individu memiliki cara dan gayanya sendiri. Gaya tiap orang untuk menulis bisa beragam. Ada yang sangat konvensional, menulis dari kalimat pembuka sampai penutup dengan lurus dan langsung selesai. Ada rekan saya, yang menulis bisa pada tiap bagian tulisan dan kemudian “dironce” satu persatu menjadi sebuah tulisan utuh. Kualitas tulisan tidak ada hubungannya dengan cara menulis dan gaya tulisan. Juga dengan membaca. Tiap orang memiliki gaya membacanya masing-masing. Ada yang hanya membaca buku fiksi. Ada yang lebih sering membaca buku non-fiksi atau ilmiah populer. Ada yang keduanya. Ada yang dalam satu waktu hanya membaca satu buku. Ada yang dalam satu kurun waktu membaca lebih dari satu buku. Pilihan terserah pada masing-masing individu asalkan aktivitas membaca personalnya itu berguna bagi dirinya.

Judul yang saya gunakan untuk tulisan ini, “Ayam Bercengkerama dengan Hujan”, jelas berasal dari judul buku SCB ini. Inspirasi yang mengajak kita berbahagia dan menikmati aktivitas membaca dan menulis kita. Menulis bagi saya bukan untuk menulis itu sendiri tetapi untuk tujuan-tujuan lain sekalipun hanya mikro saja. Secara personal menulis dapat membuat kita mensyukuri hidup. Aktivitas kecil tetapi bermakna. Kini saya menemukan langgam dan modus saya sendiri. Saya berusaha tidak membedakan dengan tegas menulis, dan juga membaca, untuk fakta atau pun fiksi. Bila ingin menulis agak “serius”, saya akan menulis saja. Bila berupaya untuk menghasilkan fiksi pendek ataupun puisi, saya akan berproses saja tanpa berusaha mengekangnya terlalu ketat. Teknisnya pun ternyata sangat mudah. Saya mengambil inspirasi dari banyak rekan yang berusaha setiap hari menulis apa pun di blog-nya masing-masing dan ternyata itu sangat membantu. Ini sudah menjadi resep menulis saya setahun terakhir ini. Tulisan utuh bisa didapat dari tulisan-tulisan cepat tadi dengan “polesan’ dan “pahatan” sana-sini. Intinya tulisan jadi utuh terlebih dahulu. Pun dengan aktivitas membaca. Ternyata saya akan lebih cepat menulis bila saya membaca buku fiksi, terutama novel yang sangat panjang. Novel dengan ratusan halaman membantu stamina membaca dan menulis kita terus ada. Suasana hati juga akan terbentuk baik agar kita terus membaca buku lain yang lebih “serius”, misalnya buku teks, dan mendukung kita untuk terus menulis. Tentu saja, modus ini memiliki kelemahan yang begitu jelas terlihat. Kita menjadi terlalu asyik membaca fiksi dan melupakan yang lain. Saya pernah mengalaminya di masa lalu namun saya berusaha betul mengatasinya di masa sekarang. Paling tidak ini sudah terbukti. Minggu kemarin saya menyelesaikan trilogi Millenium, kisah Salander dan Blomvist, dan juga beberapa tulisan. Kini saya membaca kembali Musashi dan Senopati Pamungkas sambil berusaha menyelesaikan tugas besar yang sudah menanti diselesaikan dalam waktu yang lama.

Saya mencoba menjadi “ayam” yang terpukau dengan hujan kata-kata. Ayam yang berbasah-basah namun bahagia dengan membaca dan menulis. Saya berupaya terpikat berkali-kali lagi dengan hidup yang indah dan membahagiakan ini. Ternyata itu bukan upaya yang terlalu berat. Mari sama-sama mencoba menemukan makna eksistensial dari membaca dan menulis masing-masing. Siapa tahu kita menemukan makna baru dari hidup sendiri melalui membaca dan menulis. Kita bisa mengadaptasi aforisme Descartes yang terkenal itu: aku membaca dan menulis dengan baik, maka aku (semakin) ada. Selamat berliterasi teman-teman!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...