Terbunuhnya Osama bin Laden setelah penyergapan di Abbottabad, Pakistan tidak diragukan lagi menjadi topik pembicaraan utama media pada minggu ke-17 di tahun ini. Seperti biasa, peristiwa apa pun yang berkaitan dengan peledakan WTC pada tahun 2001 selalu memunculkan polemik berkepanjangan di media, termasuk peristiwa terbunuhnya Osama bin Laden. Osama terbunuh setelah perburuan sekitar satu dekade oleh pemerintah Amerika Serikat. Perburuan yang diawali kesalahan kata Presiden Bush dengan menyebut-nyebut perang Salib. Obama tidak melakukan kesalahan yang sama. Presiden Obama menyebutkan perang melawan terorisme bukan perang melawan umat muslim karena justru banyak juga muslim yang menjadi korban kekejaman teroris. Obama sekaligus meneguhkan kembali nasionalisme warga Amerika Serikat dengan mengunjungi Ground Zero di New York.
Polemik di dalam pemberitaan tetap terjadi kemudian. Polemik pertama adalah kabar tentang jenazah Osama yang diceburkan ke laut. Namun pemerintah AS kemudian memberikan argumen bahwa pemakaman di laut tetap dilakukan dengan tata cara Islam dan tetap dilakukan karena tidak ada negara yang mau menjadi tempat peristirahatan terakhir Osama, termasuk Arab Saudi, negara di mana Osama pernah menjadi warga negaranya. Selain itu ada pendapat lain yang tidak resmi bahwa pemakaman di laut dimaksudkan agar tidak terjadi pengkultusan nantinya. Polemik kedua adalah tentang penolakan Obama untuk merilis foto berkaitan dengan tewasnya Osama. Penolakan tersebut dikarenakan kekhawatiran pemerintah AS foto-foto tersebut dapat memicu propaganda yang akan memicu kekerasan lebih jauh (Koran Tempo, 6 Mei 2011). Dari sudut pandang jurnalistik, polemik ini bisa digunakan sebagai alat untuk mengulik kembali prinsip utama jurnalisme, faktualitas. Pembuktian yang tidak memadai akan memicu juga terjadinya teori konspirasi, misalnya apakah betul Osama tidak bersenjata? Namun logika keamanan memang berbicara lain, kekhawatiran pemerintah AS sungguh besar akan dampak negatif dari penggerebekan tersebut.
Bagaimana pun juga kita mengetahui penggerebekan oleh tentara elite Angkatan Laut AS tersebut dari media. Tentu saja melalui media dengan beragam bentuknya sekarang ini, terutama media massa dan media interaktif. Kita mengetahui informasi melalui media namun melalui media juga mendapatkan polemik berkepanjangan, yang pada gilirannya membawa kita pada labirin kumpulan informasi. Bagi beberapa orang mungkin saja bukan kejelasan atau pengetahuan yang didapat tetapi kebingungan tanpa ujung. Inilah paradoks media. Media memberikan fungsi mediasi kita dengan kenyataan seperti yang disampaikan oleh Denis McQuail. Metafor mediasi tersebut juga mengambil banyak bentuk. Misalnya saja media tidak hanya menjadi cermin bahkan media dapat menjadi penghalang yang membuat kita tidak mengetahui peristiwa yang terjadi. Karena itulah di dalam fungsinya menyampaikan berita, media mesti berpegang teguh pada prinsip faktualitas (bukan aktualitas, seperti yang pernah disalahmengerti oleh seorang jurnalis dari media ternama ketika berdiskusi dengan saya). Faktualitas adalah prinsip pertama dan utama dalam penyampaian berita. Faktualitas meliputi cara-cara yang sahih dan memadai untuk melaporkan kejadian dan berpengaruh pada kualitas informasi: kepadatan, keluasan, dan kedalaman. Faktualitas sebenarnya mirip dengan prinsip akademis, terutama cara pandang empirisisme. Kovach dan Rosenstiel di dalam buku mereka yang terkenal “Elemen-elemen Jurnalisme” malah menyebut keduanya sama, hanya saja faktualitas dalam jurnalisme bersifat populer di masyarakat umum, sementara prinsip akademis harus hadir dalam dunia pendidikan.
Berdasarkan argumen tersebut, kini saya sudah menghentikan berlangganan sebuah suratkabar lokal terbaru yang menurut saya pemberitaannya tidak berpegang pada prinsip faktualitas dan banyak beritanya yang tidak diedit sehingga pemaparannya kacau. Saya juga sudah agak jarang melihat berita di televisi yang semakin jauh dari harapan. “Jurnalisme narsistik” dan pemandu-pemandu acara diskusi yang sok pintar dan nyinyir dalam berpendapat, adalah dua di antaranya. Saya lebih berpegang pada berita-berita suratkabar dan situs. Masih ada beberapa suratkabar yang relatif bagus untuk menjadi sumber informasi. Situs berita pun demikian adanya, terutama situs berita dari luar negeri. Namun cara terbaik adalah tetap mengakses berita dari banyak media dan menyeleksinya dengan ketat berdasarkan tujuh kecakapan mencandra berita di dalam literasi media seperti yang disampaikan oleh James Potter, menganalisis, mengevaluasi, mengelompokkan, menginduksi, mendeduksi, mensintesis, dan mengabstraksi pesan faktual atau berita.
Melampaui pembicaraan mengenai pemberitaan, jurnalisme tidaklah berdiri sendiri. Jurnalisme mesti dibangun dan dijaga oleh empat entitas besar, yaitu negara, pasar, masyarakat, bahkan media sendiri. Kita sudah memiliki regulasi yang relatif bagus yaitu UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers namun pelaksanaan regulasi adalah masalah utamanya. Di dalam UU Pers tersebut sudah jelas disebutkan siapa pun tidak boleh menghalangi tugas wartawan dan juga mesti menegakkan kebebasan pers. Kejadian kemarin menunjukkan hal yang sebaliknya. Penyerbuan sekelompok orang terhadap kantor harian Orbit di Medan adalah contoh terkini. Negeri ini semakin tidak aman bagi jurnalis. Indonesia adalah negara berperingkat kelima di dunia paling berbahaya bagi kerja jurnalis. Indonesia berada di bawah Pakistan, Irak, Honduras, dan Meksiko (editorial Koran Tempo, 6 Mei 2011). Ironis sebenarnya karena negara kita ini mengklaim sebagai negara demokrasi terbesar keempat di dunia. Bukankah salah satu indikator negara demokratis adalah penegakan kebebasan pers yang konsisten? Negara ini terlihat tidak konsisten dalam menegakkan kebebasan pers, juga kebebasan beropini dan kebebasan berekspresi yang sepenuhnya dijamin UUD 1945. Lihat saja pelaksanaan UU yang berkaitan dengan media dan informasi, UU Penyiaran, UU KIP, dan UU ITE, juga RUU Rahasia Negara yang pernah diajukan oleh pemerintah, RUU Intelijen yang berpotensi menggerus kedaulatan masyarakat, dan rencana revisi UU Penyiaran yang sangat “bersahabat” dengan otoriterianisme pasar dan pelemahan pada masyarakat sipil.
Selain tanggung jawab negara untuk menegakkan hukum dan tanggung jawab masyarakat dengan mengedepankan dialog tanpa kekerasan bila merasa dirugikan oleh media, media sendiri mesti memperbaiki diri. Media di Indonesia yang rentan dimanfaatkan oleh kepentingan pihak tertentu mestinya berani menyatakan diri salah dan meminta maaf bila melalukan tindakan atau memberitakan dengan tidak memadai. Hal inilah yang terjadi dalam kesalahan pemasangan foto sutradara Peppi Piona Cheppi yang dianggap Pepi Fernando, tersangka teroris. Kesalahan pemasangan foto tersebut terjadi di Kabarnet (dipasang 22 April 2011), Metro TV (23/4), Sriwijaya Pos (25/4), Jurnal Bogor (27/4), Buletin Info.com (28/4), Fakta Pos (28/4) dan Suara Islam (30/4) (sumber: “Tujuh Media Salah Pasang Foto Teroris”, Kompas, 6 Mei 2011). Kesalahan media seperti ini dapat menghilangkan hak asasi warga negara untuk hidup dengan rasa aman dan dihormati. Jadi, tidak hanya rejim yang otoriter saja yang berpotensi melanggar HAM, media juga mungkin melakukannya bila tidak memiliki perhatian yang memadai pada peristiwa dan konteksnya.
Untungnya, Peppi Piona meminta bantuan Dewan Pers untuk menyelesaikan masalahnya. Dewan Pers, yang bagi saya adalah regulator untuk media terbaik di negeri ini, pun bergerak dengan cepat. Untungnya pula, media dengan tanggap meminta maaf dan meralat berita tersebut, serta berupaya memulihkan nama baik Peppi Piona. Media bisa saja salah bila tak hati-hati. Hal terpenting bila media melakukan kesalahan adalah meminta maaf. Pihak yang merasa menjadi korban media juga menempuh jalur yang sesuai dengan koridor hukum, bukan dengan cara-cara kekerasan. Semua pihak wajib merawat kebebasan pers, kebebasan beropini, dan kebebasan berekspresi dengan sebaik-baiknya. Walau ada indikasi ketiga jenis kebebasan tersebut menurun belakangan ini, kita sebagai warga negara mesti tetap optimis. Bukankah tetap optimis mendapatkan jalan keluar bersama di tengah interaksi berbagai pihak yang mungkin benar dan mungkin juga salah adalah salah satu karakter dari demokrasi?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar