Jumat, 31 Desember 2010
Pucuk Alibi
(1)
Kisah di titian hati
Melanggengkan sepi terus melekat
Membuka pintu pada ribuan kemungkinan
Kita tak henti menafsir-Nya
Narasi di pinggiran siang
Membuncahkan semangat ke semua penjuru
Merongga isi hati dengan liris
Kita terus menghukum sesama atas nama-Nya
Sayang di pertengahan argumen
Mematahkan niat tak lagi suci
Meratapi terus hidup orang lain
Kita tak pernah berlari menggunakan rasio yang diberi-Nya
Kasih di titian bumi
Menghampiri tak hendak pergi
Kembali hanya pada titian hati
Kita terus mengeja nama-Nya
(2)
Hari yang linear
Terobati sedikit dengan tafsir merujuk pada oposisi biner
Menawari narasi pamungkas hari ini
Hati yang terisi detik-detik penghabisan
Mu menggugu tak pernah bisu
Mu meramu tiap fajar
Mu menunggu untuk dicercap sedikit dulu
esok dan seterusnya
(Hari terakhir 2010)
Rabu, 29 Desember 2010
Alibi Embun
Satu-satu ku berderai
Saksikan pergantian waktu
Pelan-pelan beralih menuju keabadian
Apa yang lebih menyedihkan selain tak bisa menemani yang tersayang dalam bahagia maupun hampa?
Aku tak ingin menghilang
Bila itu berarti tak melihatmu berkembang
Menjadi ilalang ataupun bebungaan
Menjadi terang atau mendung hari
Satu demi satu ku terbongkar
Terdiam saja di sudut-sudut harapan
Berjatuhan dengan lambat terhempas cahaya pertama
Apa yang lebih membahagiakan selain melihatnya bahagia dengan bangga memasuki hari?
Aku hanya ingin menghablur dalam dirinya utuh penuh
Menginsepsi pagi ini dengan ide satu demi satu
tentang senyum sampai kemanusiaan
tentang maaf, kesempatan kedua dan menikmati perjalanan
Sementara detik demi detik hari mulai mengutuhkan hidup sekali lagi
Apa adanya namun sangat bahagia
## untuk putriku dan ibunya
Saksikan pergantian waktu
Pelan-pelan beralih menuju keabadian
Apa yang lebih menyedihkan selain tak bisa menemani yang tersayang dalam bahagia maupun hampa?
Aku tak ingin menghilang
Bila itu berarti tak melihatmu berkembang
Menjadi ilalang ataupun bebungaan
Menjadi terang atau mendung hari
Satu demi satu ku terbongkar
Terdiam saja di sudut-sudut harapan
Berjatuhan dengan lambat terhempas cahaya pertama
Apa yang lebih membahagiakan selain melihatnya bahagia dengan bangga memasuki hari?
Aku hanya ingin menghablur dalam dirinya utuh penuh
Menginsepsi pagi ini dengan ide satu demi satu
tentang senyum sampai kemanusiaan
tentang maaf, kesempatan kedua dan menikmati perjalanan
Sementara detik demi detik hari mulai mengutuhkan hidup sekali lagi
Apa adanya namun sangat bahagia
## untuk putriku dan ibunya
Selasa, 28 Desember 2010
Kesempatan, bukan Alibi
terima kasih Pencipta pagi,
hampa ini membuatku lumat sepi
coba menggapai-Mu berkali lagi
bersyukur pada Pemberi malam
rindu ini jadikanku dendam pada lara kemarin
coba memahami-Mu lebih utuh
mengurai asa untuk Perangkai fajar dan senja
apakah yang abadi hanya ketiadaan?
menyusun pelan-pelan keping eksistensi tanpa jeda
berbentuk kediaman indah tempat bulir hasrat bersemayam
dan rasa sayang membahagiakan relasi kita
cukup sekali merasakan makna yang sesungguhnya
atau aku saja yang belum menuntaskan apa pun jua?
hampa ini membuatku lumat sepi
coba menggapai-Mu berkali lagi
bersyukur pada Pemberi malam
rindu ini jadikanku dendam pada lara kemarin
coba memahami-Mu lebih utuh
mengurai asa untuk Perangkai fajar dan senja
apakah yang abadi hanya ketiadaan?
menyusun pelan-pelan keping eksistensi tanpa jeda
berbentuk kediaman indah tempat bulir hasrat bersemayam
dan rasa sayang membahagiakan relasi kita
cukup sekali merasakan makna yang sesungguhnya
atau aku saja yang belum menuntaskan apa pun jua?
Minggu, 26 Desember 2010
Alibi Pagi
sepenuh haru hidup kan kau jalani hari ini
sepenuh hati kasih kau siapkan utk semua orang
namun pasti memang tak mudah
keping-keping airmata
atau larik-larik senyuman
...kita lihat saja nanti
seruang hampa terus menusuk walau mentari telah kembali
seruang bahagia bisa kau pertahankan
kehangatan itu bersamamu walau mungkin sesaat
secarik hampa
atau selembar optimisme
...kita tak bisa lagi melihat ke belakang
selembar sepi seringkali tak bisa dihindari kala kau terdiam
selembar asa menyeruak pelan-pelan
sendirian saja hidup tak akan cukup
ketabahan menerima masa lalu
keyakinan atas masa depan
...apa yang kau rasakan pada eksistensi sekarang ini adalah yang terpenting
sepenggal jalan mungkin telah ditempuh
sepenggal asa bisa saja patah setengahnya
bersama memang tak mudah
pecahan duka
buliran bahagia
...memang di mana lagi kita mencari ruang hidup bila tanpa cinta-Nya?
*****
Selasa, 21 Desember 2010
Timnas Indonesia, Jurnalisme, dan Visi Kepublikan
Sudah sangat lama masyarakat Indonesia tidak seantusias ini terhadap tim nasional sepakbola negeri sendiri. Antusiasme masyarakat Indonesia tersebut terlihat dari animo yang luar biasa dalam menonton pertandingannya secara langsung di mana penonton memenuhi Gelora Bung Karno, menonton pertandingannya melalui televisi, baik menonton di rumah maupun “nonton bareng”, serta di dalam obrolan sehari-hari tentang timnas yang sangat intens belakangan ini. Inilah saatnya menjadi juara, begitu kata kebanyakan anggota masyarakat Indonesia pecinta sepakbola. Indonesia belum pernah menjadi juara piala AFF walaupun sudah beberapa kali masuk final. Nantinya akan ada juara baru karena Indonesia dan Malaysia belum pernah menjadi juara AFF.
Optimisme tinggi seperti ini sah saja mengingat penampilan timnas yang impresif dan selalu menang sejak pertandingan penyisihan pertama sampai dengan semifinal leg kedua kemarin. Bukan hanya skor akhir yang menunjukkan penampilan hebat timnas tetapi juga permainan ciamik dan pantang menyerah yang ditunjukkan di lapangan mendapatkan apresiasi dari masyarakat dan memberikan inspirasi bagi kita semua. Setelah bertahun-tahun tidak pernah meraih gelar internasional dan kondisi sepakbola Indonesia yang terpuruk, kita patut berbangga kali ini.
Penampilan timnas yang bagus tersebut juga menarik perhatian media dengan luar biasa. Biasanya pemberitaan media untuk sepakbola Indonesia hanya berisi skor akhir, atau bahkan lebih parah, pemberitaan tentang hal-hal negatif, semisal perkelahian di lapangan, tingkah polah suporter yang belum juga membaik, dan tuntutan mundur untuk sang ketua asosiasi sepakbola Indonesia, kali ini pemberitaan berisi hal yang positif tentang sepakbola nasional, terutama timnas. Permainan timnas yang impresif diulas oleh media dengan relatif mendalam, euforia pecinta sepakbola Indonesia yang mulai mencintai lagi timnasnya, dan juga para bintang lapangannya.
Pemberitaan para bintang lapangan inilah yang merupakan fenomena baru bagi timnas. Satu pemain naturalisasi, Christian Gonzales, dan pemain keturunan, Irfan Bachdim, mendominasi media. Sedikit menggeser pemberitaan tentang dua bintang lapangan “lokal” seperti Firman Utina dan Bambang Pamungkas. Pemberitaan mengenai Christian Gonzales antara lain karena dua gol kelas dunianya ke gawang Filipina, dan istrinya yang orang Indonesia. Sementara pemberitaan mengenai Irfan Bachdim lebih marak lagi, terutama karena wajahnya yang rupawan. Belum pernah kaum hawa Indonesia pecinta bola mengagumi pemain nasional seperti ini, biasanya mereka mengidolai pemain-pemain Italia yang wajahnya bak aktor film, atau bintang lapangan metroseksual semacam David Beckham dan Christiano Ronaldo.
Pemberitaan infotainment juga sangat mempengaruhi tingkat perhatian masyarakat. Wajah Irfan yang seperti para bintang sinetron papan atas inilah yang menarik “berita hiburan” tersebut, mengungguli pemberitaan sebelumnya tentang Markus Amelia, eh maaf, Markus Haris Maulana yang menikahi selebriti Kiki Amelia. Galibnya “berita” infotainment yang akan mengaitkannya dengan selebriti yang lain, kini pemberitaan infotainment tentang sepakbola bernarasumber selebriti, dan tiba-tiba saja beberapa selebriti menjadi pengamat sepakbola mendadak.
Pemberitaan infotainment yang berlebihan inilah awal dari permasalahan yang potensial muncul, audiens media kemudian lebih tertarik pada hal permukaan bukan substansi. Audiens dipahamkan pada kegantengan wajah pemain bukan pada permainan sepakbola itu sendiri. Kehidupan personal para pemain timnas lebih penting dibandingkan permainan mereka di lapangan. Untunglah hal tersebut dipahami oleh Alfred Reidl, pelatih Indonesia yang selalu berwajah serius, yang kemudian membatasi media untuk mendekati para pemainnya, terutama sebelum pertandingan. Keseriusan Reidl mungkin hal yang sangat baik mengingat sepakbola kita jarang diurus secara serius padahal potensinya begitu besar.
Antusiasme media pada media ini menjadi pengingat kembali bagi kita semua bahwa jurnalisme selalu untuk publik, entah dia dilakukan oleh media komersial atau bukan, entah dia diberitakan oleh infotainment atau berita “serius”. Jurnalisme selalu berawal dan ditujukan untuk publik, seperti “postulat pertama” yang dikatakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku mereka yang terkenal Elemen-elemen Jurnalisme (2001). Pemberitaan mengenai timnas sepakbola sekali pun semestinya membantu warga memahami “dunia” di sekitarnya, mendiskusikannya di antara warga untuk mendapatkan informasi terbaik, dan membantu warga untuk menentukan langkah selanjutnya dalam kehidupan nyata.
Denis McQuail melalui bukunya Media Performance: Mass Communication and the Public Interest (1992) juga memberikan kesimpulan yang mirip, bahwa aktivitas bermedia, pelaku maupun outputnya, mesti ditempatkan pada visi kepublikan. Media bereksistensi dan beroperasi terutama agar berguna bagi publik. Lebih jauh McQuail berpendapat bahwa prinsip berita, faktualitas, relevansi, akurasi, dan obyektivitas, hadir dan dipenuhi dalam output media, bukan demi untuk berita itu sendiri, melainkan untuk kepentingan publik.
Berita yang disampaikan oleh media harus menyampaikan fakta sebaik dan selengkap mungkin. Berita menjadi forum berbagai pihak untuk mendiskusikan segala aspek realitas dengan baik sehingga langkah-langkah riil dapat dijalankan. Perhatian masyarakat atas timnas mesti didukung oleh informasi tentang timnas yang memadai dan menjadikan audiens memahami timnas dan sepakbola Indonesia semakin baik, termasuk memberikan solusi yang implementatif di dalam kehidupan bersama.
Berarti pemberitaan mengenai timnas kita tidak hanya terjebak pada pertanyaan-pertanyaan “sepele”, semisal siapa nama muslim Christian Gonzales, siapa pacar Irfan Bachdim, dan kapan Kiki Amelia dan Markus berbulan madu, tetapi juga perbedaan antara pemain naturalisasi dengan pemain keturunan dan implikasinya bagi nasionalisme di tengah kehidupan kita yang semakin mengglobal. Juga mendiskusikan cara agar penampilan tim nasional bisa diakses dan dinikmati oleh warga Indonesia dengan relatif mudah dan murah tanpa harus berjibaku untuk mendapatkan tiket menonton langsung. Selain itu, kita semua mencoba menjawab pertanyaan besar, bagaimana memperbaiki sepakbola nasional yang sudah sangat lama terpuruk?
Sepakbola adalah urusan seluruh warga Indonesia, bukan hanya milik segelintir pengurusnya yang lama sekali tidak berganti. Antusiasme yang besar sekarang ini pada dasarnya menunjukkan kecintaan masyarakat kita yang kelewat tinggi pada sepakbola negerinya. Wajar, masyarakat juga akan mengkritik sangat keras bila prestasi kita jeblok terus selama ini. Kecintaan yang besar akan menunjukkan ketidaksukaan yang juga besar. Dua kutub ini mestiya dimediasi oleh media kita. Media berperan mendudukkan suatu soal pada porsinya, bila pecinta sepakbola dan juga audiens mencintai dan membenci timnas berlebihan, media menempatkan posisinya secara pas.
Masyarakat Indonesia memang sedang tinggi animo dan optimismenya pada timnas, tetapi tidak untuk asosiasi yang mengurus sepakbola negeri ini. Gerakan untuk mereformasi asosiasi tersebut tetap kuat di tengah gemilangnya penampilan timnas. Ternyata bukan kemenangan atau prestasi belaka yang diharapkan dari sepakbola nasional, melainkan juga berbagai makna positif yang berasal dari sepakbola, yaitu sportivitas, kerja keras, dan keterbukaan. Itulah sebabnya sepakbola mengandung visi kepublikan yang mirip dengan visi yang diusung oleh media. Kita sudah melihat dua minggu ini, bagaimana sepakbola bermakna luar biasa untuk negeri ini, namun media juga mesti tetap mengingatkan publik bahwa masih banyak agenda perbaikan bangsa ini. Visi kepublikan juga menjadikan media menempatkan diri sebagai “radar” bagi publik untuk kehidupan bersama dan tetap kritis pada hal-hal lain sekalipun dahaga kita semua sedang agak terpuaskan oleh prestasi timnas.
Optimisme tinggi seperti ini sah saja mengingat penampilan timnas yang impresif dan selalu menang sejak pertandingan penyisihan pertama sampai dengan semifinal leg kedua kemarin. Bukan hanya skor akhir yang menunjukkan penampilan hebat timnas tetapi juga permainan ciamik dan pantang menyerah yang ditunjukkan di lapangan mendapatkan apresiasi dari masyarakat dan memberikan inspirasi bagi kita semua. Setelah bertahun-tahun tidak pernah meraih gelar internasional dan kondisi sepakbola Indonesia yang terpuruk, kita patut berbangga kali ini.
Penampilan timnas yang bagus tersebut juga menarik perhatian media dengan luar biasa. Biasanya pemberitaan media untuk sepakbola Indonesia hanya berisi skor akhir, atau bahkan lebih parah, pemberitaan tentang hal-hal negatif, semisal perkelahian di lapangan, tingkah polah suporter yang belum juga membaik, dan tuntutan mundur untuk sang ketua asosiasi sepakbola Indonesia, kali ini pemberitaan berisi hal yang positif tentang sepakbola nasional, terutama timnas. Permainan timnas yang impresif diulas oleh media dengan relatif mendalam, euforia pecinta sepakbola Indonesia yang mulai mencintai lagi timnasnya, dan juga para bintang lapangannya.
Pemberitaan para bintang lapangan inilah yang merupakan fenomena baru bagi timnas. Satu pemain naturalisasi, Christian Gonzales, dan pemain keturunan, Irfan Bachdim, mendominasi media. Sedikit menggeser pemberitaan tentang dua bintang lapangan “lokal” seperti Firman Utina dan Bambang Pamungkas. Pemberitaan mengenai Christian Gonzales antara lain karena dua gol kelas dunianya ke gawang Filipina, dan istrinya yang orang Indonesia. Sementara pemberitaan mengenai Irfan Bachdim lebih marak lagi, terutama karena wajahnya yang rupawan. Belum pernah kaum hawa Indonesia pecinta bola mengagumi pemain nasional seperti ini, biasanya mereka mengidolai pemain-pemain Italia yang wajahnya bak aktor film, atau bintang lapangan metroseksual semacam David Beckham dan Christiano Ronaldo.
Pemberitaan infotainment juga sangat mempengaruhi tingkat perhatian masyarakat. Wajah Irfan yang seperti para bintang sinetron papan atas inilah yang menarik “berita hiburan” tersebut, mengungguli pemberitaan sebelumnya tentang Markus Amelia, eh maaf, Markus Haris Maulana yang menikahi selebriti Kiki Amelia. Galibnya “berita” infotainment yang akan mengaitkannya dengan selebriti yang lain, kini pemberitaan infotainment tentang sepakbola bernarasumber selebriti, dan tiba-tiba saja beberapa selebriti menjadi pengamat sepakbola mendadak.
Pemberitaan infotainment yang berlebihan inilah awal dari permasalahan yang potensial muncul, audiens media kemudian lebih tertarik pada hal permukaan bukan substansi. Audiens dipahamkan pada kegantengan wajah pemain bukan pada permainan sepakbola itu sendiri. Kehidupan personal para pemain timnas lebih penting dibandingkan permainan mereka di lapangan. Untunglah hal tersebut dipahami oleh Alfred Reidl, pelatih Indonesia yang selalu berwajah serius, yang kemudian membatasi media untuk mendekati para pemainnya, terutama sebelum pertandingan. Keseriusan Reidl mungkin hal yang sangat baik mengingat sepakbola kita jarang diurus secara serius padahal potensinya begitu besar.
Antusiasme media pada media ini menjadi pengingat kembali bagi kita semua bahwa jurnalisme selalu untuk publik, entah dia dilakukan oleh media komersial atau bukan, entah dia diberitakan oleh infotainment atau berita “serius”. Jurnalisme selalu berawal dan ditujukan untuk publik, seperti “postulat pertama” yang dikatakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku mereka yang terkenal Elemen-elemen Jurnalisme (2001). Pemberitaan mengenai timnas sepakbola sekali pun semestinya membantu warga memahami “dunia” di sekitarnya, mendiskusikannya di antara warga untuk mendapatkan informasi terbaik, dan membantu warga untuk menentukan langkah selanjutnya dalam kehidupan nyata.
Denis McQuail melalui bukunya Media Performance: Mass Communication and the Public Interest (1992) juga memberikan kesimpulan yang mirip, bahwa aktivitas bermedia, pelaku maupun outputnya, mesti ditempatkan pada visi kepublikan. Media bereksistensi dan beroperasi terutama agar berguna bagi publik. Lebih jauh McQuail berpendapat bahwa prinsip berita, faktualitas, relevansi, akurasi, dan obyektivitas, hadir dan dipenuhi dalam output media, bukan demi untuk berita itu sendiri, melainkan untuk kepentingan publik.
Berita yang disampaikan oleh media harus menyampaikan fakta sebaik dan selengkap mungkin. Berita menjadi forum berbagai pihak untuk mendiskusikan segala aspek realitas dengan baik sehingga langkah-langkah riil dapat dijalankan. Perhatian masyarakat atas timnas mesti didukung oleh informasi tentang timnas yang memadai dan menjadikan audiens memahami timnas dan sepakbola Indonesia semakin baik, termasuk memberikan solusi yang implementatif di dalam kehidupan bersama.
Berarti pemberitaan mengenai timnas kita tidak hanya terjebak pada pertanyaan-pertanyaan “sepele”, semisal siapa nama muslim Christian Gonzales, siapa pacar Irfan Bachdim, dan kapan Kiki Amelia dan Markus berbulan madu, tetapi juga perbedaan antara pemain naturalisasi dengan pemain keturunan dan implikasinya bagi nasionalisme di tengah kehidupan kita yang semakin mengglobal. Juga mendiskusikan cara agar penampilan tim nasional bisa diakses dan dinikmati oleh warga Indonesia dengan relatif mudah dan murah tanpa harus berjibaku untuk mendapatkan tiket menonton langsung. Selain itu, kita semua mencoba menjawab pertanyaan besar, bagaimana memperbaiki sepakbola nasional yang sudah sangat lama terpuruk?
Sepakbola adalah urusan seluruh warga Indonesia, bukan hanya milik segelintir pengurusnya yang lama sekali tidak berganti. Antusiasme yang besar sekarang ini pada dasarnya menunjukkan kecintaan masyarakat kita yang kelewat tinggi pada sepakbola negerinya. Wajar, masyarakat juga akan mengkritik sangat keras bila prestasi kita jeblok terus selama ini. Kecintaan yang besar akan menunjukkan ketidaksukaan yang juga besar. Dua kutub ini mestiya dimediasi oleh media kita. Media berperan mendudukkan suatu soal pada porsinya, bila pecinta sepakbola dan juga audiens mencintai dan membenci timnas berlebihan, media menempatkan posisinya secara pas.
Masyarakat Indonesia memang sedang tinggi animo dan optimismenya pada timnas, tetapi tidak untuk asosiasi yang mengurus sepakbola negeri ini. Gerakan untuk mereformasi asosiasi tersebut tetap kuat di tengah gemilangnya penampilan timnas. Ternyata bukan kemenangan atau prestasi belaka yang diharapkan dari sepakbola nasional, melainkan juga berbagai makna positif yang berasal dari sepakbola, yaitu sportivitas, kerja keras, dan keterbukaan. Itulah sebabnya sepakbola mengandung visi kepublikan yang mirip dengan visi yang diusung oleh media. Kita sudah melihat dua minggu ini, bagaimana sepakbola bermakna luar biasa untuk negeri ini, namun media juga mesti tetap mengingatkan publik bahwa masih banyak agenda perbaikan bangsa ini. Visi kepublikan juga menjadikan media menempatkan diri sebagai “radar” bagi publik untuk kehidupan bersama dan tetap kritis pada hal-hal lain sekalipun dahaga kita semua sedang agak terpuaskan oleh prestasi timnas.
Jumat, 17 Desember 2010
Reinkarnasi Alibi
(1)
Tersimpan lama
Di hatimu semua mungkin
Batu tak pernah pergi
Onak tak selalu disiangi
Siksa bernama stigma tertanam dalam
Tersimpan cukup lama
Tercerabut dari sanubari
Hasrat memperhatikan bunga-bunga tumbuh
hujan memetamorfosis embun
dan memahami manusia lain yang bersaksi atas hidupnya sendiri
Tersimpan abadi
Doa terakhirmu untuk manusia lain yang tak tersampaikan
Mengapa begitu sulit mengatakan: “ku tak dapat melangkah tanpamu”?
Mengapa tidak terucap:”kita mungkin salah dan kita bisa benar?”
Semoga hidup terus baik-baik saja tanpamu
(2)
hari ini pasti miliki akhir
jalani saja landai dan terjalnya
nikmati saja indah dan perihnya
biarkan akhirannya terbuka
seperti juga kita selalu berjanji untuk hadir esok hari
apa pun yg dibawa oleh hari ini
akhir adalah awal fragmen yang lain
detik ini kita masih jadi penyaksi
serta mencatat: jangan matikan diri apa pun alasannya!
There is An End
Aku mencoba mengingat percakapan terakhir dengan dirinya sebelum dia menghilang tanpa jejak. Mungkinkah dia sudah merencanakan kepergiannya? Entahlah. Aku mencoba mengangkat kembali memori sekitar dua minggu lalu. Namanya kenangan, terkadang tidak akan teringat dengan seutuhnya, malah kenangan tersebut bisa berpilin dengan perasaan kita ketika merekamnya di otak. Kenangan yang sangat baik ataupun sangat buruk akan lebih mudah teringat.
Sore itu cuaca masih cukup panas dan seperti biasa, ketika cuaca memanas tak menentu, obrolan juga tak menentu arahnya. Dia yang memulai pembicaraan lebih dahulu. Aku seperti biasa lebih banyak mendengarkan. Pembicaraan tidaklah panas dalam pengertian beradu argumen namun lumayan absurd bila kuingat sekarang.
“Aku senang sekali dengan film dengan ending terbuka. Film yang memiliki akhir yang tak jelas. Film Broken Flowers dan No Country for Old Men adalah contohnya. Juga masih ada beberapa film yang lain.”
Dia meneruskan, “film dengan akhir yang tak jelas menunjukkan hidup ini sendiri. Banyak hal yang tak jelas, tak terjawab, dan tak selesai. Tanpa perlu mencari alasannya. Menonton film dengan akhir yang tak jelas membuat diri kita kembali pada posisi awal seperti tidak menonton filmnya. Itulah keindahannya. Kondisi sebelum dan sesudah menonton tak ada bedanya. Kita sama-sama tak mengetahui akhirnya.”
Aku diam saja. Pendapat yang absurd tidaklah bisa dikomentari kecuali pendapat kita juga turut menjadi absurd atau diri kita yang memang absurd dari awalnya. Aku diam saja. Film dengan akhir tertutup jauh lebih baik menurutku. Buat apa menonton film bila tak jelas akhirnya. Bukankah kita selalu ingin mendengar kalimat…dan bahagia selama-lamanya…seperti dongeng masa kanak-kanak? Akhir yang bahagia adalah harapan semua orang. Kita dibuat percaya bahwa relasi mesti bagus, akhir mesti bahagia, sementara kehidupan nyata tak semulus itu. Sebuah akhir bisa sangat teruk walaupun ada kemungkinan bisa indah juga, namun akhir tak indah tetaplah mendominasi.
“Film dengan ending yang terbuka adalah salah satu yang paling mengasyikkan dalam hidup ini selain membaca novel Murakami dan mendengarkan lagu-lagu Sonic Youth. Murakami dan Sonic Youth mengasyikkan karena sampai atau tidak pada akhir, itu tidak akan mempengaruhi kenikmatan dan keindahan mengaksesnya.” Wajah dinginnya begitu pas dengan ujaran lisannya yang absurd. “Akhir film yang terbuka membiarkan angan kita terus mengalir dan tetap tak terjelaskan seperti hidup ini sendiri.”
“Aku ingin akhiran yang tak jelas.” Dia menutup omongannya. Wah, seperti kuliah kajian Film saja pikirku situasi ini. Aku mengerti, pandangan hidup adalah pilihan personal. Untuk orang-orang seperti kami, pandangan yang absurd adalah kewajiban. Pandangan-pandangan yang bernas adalah milik orang-orang pintar dan hebat. Mereka pastinya akan melacak dan menganalisis telaah-telaah ideologis dan ragam kuasa dalam film, sementara kami hanya membicarakan ending yang terbuka. Akhir yang tak jelas walau akhir akan selalu ada.
Orang-orang medioker seperti kami ini adalah orang-orang kebanyakan. Hampir semua orang sibuk menjadi hebat, sibuk bisa mengatasi semua halangan, dan menempuh “jalan emasnya” masing-masing. Tetapi mereka tak tahu atau tak mau tahu, bahwa mereka menjadi besar ataupun hebat karena orang-orang medioker seperti kami. Manusia-manusia medioker adalah mayoritas dalam semua kumpulan manusia.
Dunia penuh dengan orang-orang yang gagal berusaha karena persaingan hidup yang begitu berat, atau juga orang-orang tersebut ingin tetap menjadi medioker selamanya. Menjadi medioker itu enak. Tanpa tekanan dan mengalir sahaja. Apakah memilih menjadi medioker itu salah? Sepertinya dalam kehidupan yang penuh citra dan tipu-tipu seperti kehidupan ini, menjadi medioker itu salah. Ini adalah satu-satunya kebenaran.
Coba saja lihat beribu buku tentang cara menempuh hidup untuk menjadi lebih hebat, bahkan bila perlu dengan “the secret of ngutang”. Banyak manusia ingin menjadi orang hebat walau kenyataannya pecundang. Banyak manusia yang sebenarnya biasa saja, namun dalam koarannya dia selalu menjadi si hebat. Banyak manusia ingin menjadi pemimpin namun tidak ingin bertanggung-jawab atas keputusan yang telah diambil. Di atas semua itu jarang sekali orang ingin menjadi medioker seperti kami. Jarang sekali orang ingin menjadi pengikut seperti kami. Pengikut yang profesional tentu saja yang mesti diciptakan, bukan pemimpin yang sontoloyo. Apalagi pimpinan yang “menghajar” pihak yang tak sejalan dengan diri dan kelompoknya dengan membabi-buta.
Di dalam relasi yang tidak imbang biasanya salah satu pihak ingin memediokerkan pihak lain. Dua caranya adalah dengan menghegemoni dan mendominasi. Mendominasi jelas bentuknya, dengan tindakan. Menghegemoni adalah dengan ujaran yang menusuk dan merendahkan pihak lain, sekaligus berpura-pura menunjukkan kehebatan sendiri. Aku sendiri pernah distigma, modus paling kejam dari hegemoni, sebagai orang yang hanya menggunakan “otak sisa” atau “osis”. Untunglah waktu SMA dulu aku tak begitu banyak ikut kegiatan. Jadi aku hanya membiarkan semuanya berlalu. Stigma tak akan mengemuka di dunia para medioker karena kami tidak merasa hebat. Justru orang yang sibuk menstigma itu adalah si medioker sesungguhnya. Pada akhirnya semua tetap medioker terutama yang memberi stigma.
“Itulah sebabnya aku tak ingin memulai relasi yang mengikat yang pasti terjadi ketika dua orang merasa dekat. Dua orang yang dekat cenderung bisa mengikat yang lain. Akhirnya akan selalu jelas. Aku tak ingin relasi yang berakhir dengan jelas.” Dia berkata lagi. Aku cukup heran juga melihatnya banyak berbicara kali ini. Biasanya kami bisa berpuluh menit tak saling bicara, hanya asyik dengan yang kami baca atau kami dengar.
“Aku ingin pergi dan tak terlacak oleh siapa pun.” Katanya seperti yakin bisa melakukannya.
“Aku ingin lebih hebat dengan membaca banyak self-help book dan acara televisi menjadi manusia super.” Aku menjawab sekenanya untuk menunjukkan bahwa keinginan itu taklah mungkin.
Aku hanya tersenyum memahami bahwa dia memang suka bercanda. Cara bercanda yang kelewat kering sampai kami sendiri seringkali tidak pernah tahu perbedaannya dengan ucapan biasa. Kering, tipis, dan segera menghilang, namun entah mengapa, sangat mengganggu pikiran setelah beberapa hari.
“Salam super!” kataku. Maksudnya untuk bercanda. Seperti biasa si dingin hanya memandangku tanpa ekspresi. Dia sama sekali tak tersenyum apalagi tertawa. Apakah kau terbuat dari es?
Dia sendiri pun sangat aneh lewat ujarannyaa. Tak mungkin seseorang menghilang dan tak terlacak di dunia para medioker yang saling terkait satu sama lain. Tak kuduga sekitar empat belas hari ke depan dia benar-benar menghilang. Bertahun-tahun kemudian pun tak ada secuil pun informasi darinya.
Ironisnya, di akhir semua pembicaaran tersebut aku gamang. Inikah akhir? Mengapa aku sama sekali tidak merasakan efek relasi yang linear itu? Awal, tengahan, dan akhir. Sangat mungkin ini adalah akhir sekaligus awal. Awal baru yang juga sangat mungkin gagal kembali untuk mendapatkan akhir plot yang indah. Siapa peduli akhirnya? Jalani saja, nikmati saja sakit atau indahnya.
Atas nama suka dan duka, aku akhirnya hanya meminta akhir yang terbuka.
Aku sungguh tak suka dengan akhiran seperti ini.
Sementara matahari sore tetap terik seperti biasanya. Panasnya hanya berkurang sedikit dibandingkan dengan siang tadi ketika kami memulai obrolan tak jelas tersebut.
#####
Terinspirasi dari lagu:
There is An End
Oleh The Greenhornes with Holly Golightly
(diambil dari Broken Flowers Original Soundtrack)
Words disappear,
Words weren't so clear,
Only echos passing through the night.
The lines on my face,
Your fingers once traced,
Fading reflection of what was.
Thoughts re-arrange,
Familar now strange,
All my skin is drifting on the wind.
Spring brings the rain,
With winter comes pain,
Every season has an end.
I try to see through the disguise,
But the clouds were there,
Blocking out the sun (the sun).
Thoughts re-arrange,
Familar now strange,
All my skin is drifting on the wind.
Spring brings the rain,
With winter comes pain,
Every season has an end.
There's an end,
There's an end,
There's an end,
There's an end,
There's an end.
Rabu, 15 Desember 2010
KLa Project - Exellentia (2010)
Siapa yang sukmanya tak tergedor dan "syaraf" cintanya tak tersentuh bila membaca dan memaknai lirik pembuka lagu seperti ini: indah larik pelangi, seusai membuka hari dari lagu “Menjemput Impian”...atau, pulang ke kotamu ada setangkup rindu, petikan dari lagu legendaris, “Yogyakarta”, atau bulan merah jambu luruh di kotamu, ku ayun sendiri langkah-langkah sepi, penggalan dari lirik “Tak Bisa ke Lain Hati”. Mereka, para penciptanya, sungguh jago menulis lirik dan mencipta musik yang sederhana, puitis, namun megah.
Itulah sebabnya ketika mengakses “Exellentia”, album terbaru Kla Project ini, harapan saya atas lirik puitis nan maut segera mengemuka. Kla adalah salah satu musisi Indonesia yang mampu membuat lirik yang bagus. Mungkin karena era di mana Kla mencapai puncak karir, akhir dekade 1980-an dan awal 1990-an, bahasa Indonesia masih diperlakukan dengan penuh hormat dan serius. Musisi lain yang menurut saya bagus dalam menulis lirik berbahasa Indonesia adalah Ebiet G. Ade untuk musisi masa lalu dan White Shoes and Couple Company untuk masa sekarang.
Harapan itu lumayan terpenuhi di lagu ketiga di album ini, rumput hatiku yang mengering/tak tersiram hujan namun coba bertahan/di situ pernah kau terbaring/tumbuhkan bunga sejenak lalu tinggalkan (Hilang Separuh Hati). Hal yang sama muncul di lagu “Tak Ingin Kuberalih”, yang telah muncul pada mini album yang dirilis dua tahunsebelumnya, “Returns”, hujan basahi pagi/dingin menemani/dan masih ku di sini/berharap menanti/semenjak kau pergi/menyisakan duka ini...Untaian kata yang cocok dengan suasana hujan seperti sekarang ini di Yogyakarta. Formula lama penulisan lirik, sebagian besar oleh Katon Bagaskara, digunakan kembali.
Album berisi sepuluh lagu ini diawali dan diakhiri dengan lagu yang cepat, “Revolusi Disco” dan “Mimpimu Nyata”. Lagu pertama mengingatkan saya pada lagu-lagu disco tahun 1980-an yang cepat namun tetap “lembut”. Sementara lagu pamungkas album ini bicara tentang sulitnya meraih mimpi, namun tips oleh Kla sepertinya layak diikuti: ...tentukan dulu impian/lukiskan dalam pikiran/sejelas mungkin seperti kau ingin/lalu coba rasakan...Sepintas kita kan ingat dengan banyak tips seperti ini dalam psikologi populer dan sepertinya makna lirik tersebut mirip dengan pengalaman yang mereka alami. Dua tahun baru mengeluarkan album setelah berjanji akan langsung mengeluarkannya pasca mini album “Returns”, dan sebelumnya sembilan tahun kosong tak merilis album karena berbagai hal.
Kesepuluh lagu di album ini cukup bagus, namun saya pribadi tidak menemukan lagu yang benar-benar menggedor sukma seperti lagu-lagu mereka jaman dulu, misalnya “Yogyakarta”. Lagu legendaris tersebut “meruang” kembali dalam kondisi terkini di mana keistimewaan kota hebat ini dipersoalkan kembali. Melampaui perdebatan kekuasaan dan kepentingan, bagi saya, melalui lagu “Yogyakarta” itu, semua pencintanya akan paham bahwa Yogya akan selalu istimewa di hati kita selamanya.
Gedoran sukma itu bahkan akan lebih kuat bila saya mendengarkan lagu-lagu dari album Kla di album yang juga memuat lagu “Yogyakarta” itu, “Anak Dara” dan “Bantu Aku”. Dua lagu yang tidak masuk dalam album the best, namun sangatlah bagus. “Anak Dara” yang bercerita tentang cinta seorang anak muda memunculkan gambaran yang relatif lengkap tentang orang yang baru belajar mencintai lawan jenis...cintaku sederhana saja, milik seorang jejaka hijau, merekah ketika saatnya berkembang...apalagi dengan diulasi suara saksofone yang oke punya. Lagu ini menjadi lagu Kla yang paling saya sukai.
Semua lagu di album ini merupakan lagu-lagu yang ramah dengan telinga. Enak didengar dan renyah dinikmati. Satu lagu yang paling oke menurut saya adalah “Hidup adalah Pilihan”, lagu yang sudah populer terlebih dahulu sebelum “Exellentia” dirilis, melalui internet ini adalah lagu yang bagus. yang secara cerdik memainkan makna dari untaian kata antara memilih adalah esensi dalam laku hidup atau kita, individu-individu yang unik, adalah “pilihan” dari Sang Pencipta. Kita adalah yang terbaik dalam menjalankan hidup kita sendiri. Petikan liriknya yang juga pas adalah andai mesti aku pindahkan/satu gunung yang tinggi/dengan iman, kupercaya terjadi. Iman dan hal-hal tak konkret semisal memindah gunung memang pas sekali untuk dihubungkan. Mereka memahami hal itu. Penggalan lirik ini tidak terkesan memberikan wejangan a la pejabat seperti dengan menggunakan tangan kanan kita tingkatkan iman dan taqwa. Ini adalah tafsir berlebihan untuk slogan sebuah daerah di dekat Jakarta. Atau kalimat lain a la pejabat yang lain seperti ini, dengan iman kita lawan pemanasan global atau dengan iman kita atasi efek negatif Wikileaks.
Lagu lain, “Hilang Separuh Hati”, juga lagu yang menarik untuk didedah. Potongan lirik Beribu warna, kau mampu lukiskan di atas kanvas, bingkai kehidupan, tak usah meragu, saat kau melangkah, ikuti hatimu, menentukan arah hampir menyamai metafor puitis lirik lagu-lagu lama Kla. Lagu ini berjudul mirip dengan lagu cengeng “Separuh Jiwaku Pergi” yang populer beberapa waktu yang lalu. Walau begitu mesti dibedakan antara cengeng dan romantis dalam mengkreasi karya.
Hal yang sama terjadi dengan lagu “Mana Kutahu”. Lagu romantis yang elegan ini menunjukkan bahwa perpisahan tidak harus bersedih menye-menye seperti pak “Benye”, yang katanya pemimpin kita itu. Satu-satunya lirik lagu di album ini yang tidak ditulis oleh Katon Bagaskara ini tidak jatuh pada kecengengan seperti beberapa lagu Indonesia yang populer belakangan ini. Makna lagu ini mirip dengan “Into Deep”-nya Genesis dan “Separate Live” oleh Phil Collins, yang bercerita tentang perpisahan antara dua orang dengan ciamik. Daya hati yang dikerahkan pada tulisan tidak harus menjadi menyebalkan dan “menye-menye” yang tidak menarik itu.
Singkat kata, album ini cukup bagus walau belum menyamai karya-karya terbaik mereka. Album yang layak didengar dalam suasana hari penuh hujan seperti sekarang. Bagi penggemar lama Kla, album ini bisa mengobati kerinduan. Bagi anak muda jaman sekarang, puitisasi lirik yang tidak terlalu rumit pastinya akan menarik minat mereka untuk mendengarkan dan menjadi penggemar baru Kla. Bagi siapa pun yang mendengarkan dengan meluangkan waktu sekitar empat puluh menit untuk seluruh lagu di album ini, waktu itu tidak terbuang sia-sia.
Penyanyi : Kla Project
Judul : Exellentia
Tahun Rilis : 2010
Label : Kla Corp. dan Citra Suara
Harga : Rp. 50.000,-
Daftar lagu:
1.Revolusi Disco
2.Cinta Bukan Hanya Kata
3.Hilang Separuh Hati
4.Mana Kutahu
5.Impian Tumbang
6.Kau Pulihkan Luka
7.Rahasia Semesta
8.Hidup adalah Pilihan
9.Tak Ingin Ku Beralih
10.Mimpimu Nyata
Hujan, Airmata, dan Alibi
(1)
ingin meninggalkan masa lalu
laksana derai hujan meninggalkan langit
esok akan lebih bermakna
nanti akan kian berguna
tak lagi menengok ke belakang kecuali bila ingin berderai kembali
basahi hati urapi bumi
(2)
menyusun asa dalam gorong-gorong pagi nan liris
menata hasrat dalam gugusan detik terprediksi
menuai asa dalam tiap detik yang kucuri dari-Nya
siapa nanti yg mengetuk hatimu dgn ritmis?
(3)
sesama siang mengulasimu lembut
di mana mimpi mesti berlabuh?
dermaga hati yang sepi coba menghadirkan alibi
landasan tak bertepi terhampar tiap mencari alasan
(4)
pada tiap-tiap relasi ada ribuan kata terucap
pada tiap-tiap interaksi akan ada akhir
perih atau indah
tak perlu beralasan pada kesalahan masing-masing, waktu yang telah terurai, atau pada hujan yang tak lagi ingin mampir
pasti ada akhir tanpa perlu alibi yg memadai!
Jakarta – Yogyakarta, 10 – 14 Desember 2010
ingin meninggalkan masa lalu
laksana derai hujan meninggalkan langit
esok akan lebih bermakna
nanti akan kian berguna
tak lagi menengok ke belakang kecuali bila ingin berderai kembali
basahi hati urapi bumi
(2)
menyusun asa dalam gorong-gorong pagi nan liris
menata hasrat dalam gugusan detik terprediksi
menuai asa dalam tiap detik yang kucuri dari-Nya
siapa nanti yg mengetuk hatimu dgn ritmis?
(3)
sesama siang mengulasimu lembut
di mana mimpi mesti berlabuh?
dermaga hati yang sepi coba menghadirkan alibi
landasan tak bertepi terhampar tiap mencari alasan
(4)
pada tiap-tiap relasi ada ribuan kata terucap
pada tiap-tiap interaksi akan ada akhir
perih atau indah
tak perlu beralasan pada kesalahan masing-masing, waktu yang telah terurai, atau pada hujan yang tak lagi ingin mampir
pasti ada akhir tanpa perlu alibi yg memadai!
Jakarta – Yogyakarta, 10 – 14 Desember 2010
Sabtu, 11 Desember 2010
Love in December
Aku memandang langit mendung dan terus bertanya, apakah ini langit yang sama dengan langit yang dia lihat? Kemana dirinya pergi? Pertanyaan-pertanyaan yang sama kuajukan setiap akhir tahun seperti sekarang ini, selama bertahun-tahun. Dia tak hadir jua, bahkan hanya kabar tentang dirinya sedikit saja. Aku sungguh tak habis mengerti bagaimana mungkin di jaman dengan ragam media baru seperti sekarang pun dia tetap tak terlacak. Setelah suatu hari di bulan terakhir itu, beberapa tahun yang lalu, dia menghilang begitu saja tanpa bekas. Juga dengan nomor telepon genggam, email, dan semua jejaknya di internet. Dia telah menghapus semuanya. Mungkin juga dengan memori kami pernah berelasi. Sudah hilang.
Aku tak tahu rasa sesal atau ketidakberdayaan sekarang yang kurasakan ketika mengingat hari itu. Waktu itu permintaannya sederhana saja, “Maulah kau menjagaku?” Permintaan yang sangat mudah sebenarnya. “Aku tak tahu pada siapa lagi aku meminta, aku hanya ingin kau menjagaku dan ada ketika aku terjatuh.” Itu kalimat yang aku ingat benar dari dirinya. Suara yang selalu terekam di kepalaku dengan baik seperti semua lagu yang telah kudengar. Kini aku benar-benar merindukannya. Namun dia tak pernah hadir lagi, hanya angin dingin mencengkeramku. Aku beku oleh kesepian dan kesendirian.
Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu. Bagaimana bisa aku menjaga orang lain sementara aku tidak bisa menjaga diriku sendiri? Begitu kataku dalam hati tanpa memberikan jawaban lisan. Bagaimana mungkin di dunia seberat ini, aku mesti menjaga orang lain sementara menjaga diri sendiri saja setengah mati seperti ini. Dunia di mana kehidupannya intoleran terhadap perbedaan. Aku akan menjawab pertanyaan itu esok saja walau pada waktu itu sebenarnya aku tetap tak yakin. Namun esoknya dia telah tak ada sampai detik ini. Kemana dirinya? Dia menguap seperti embun pagi ini dan mungkin embun yang sama tidak akan kembali pada pagi lainnya. Aku bertanya pada semua orang yang mengenalnya.
Semua tak tahu kemana dia pergi. Aku mencoba mengikutinya di semua toko buku, perpustakaan, dan warnet. Dia hilang tanpa jejak sama sekali.
Aku masih memandangi pagi yang sunyi melalui jendela. Mengapa hidup memberi kejutan di saat kita tak menginginkannya? Mengapa di saat kita ingin perubahan, perubahan itu tak pernah hadir? Kesempatan untuk berubah lebih baik tak jua datang di kala kita ingin? Mengapa kita bisa dekat dengan manusia lain sementara dengan manusia lainnya justru menjauh? Bagaimana bisa dua orang yang dulunya berteman akrab kemudian bisa saling menghancurkan diri masing-masing?
Bagaimana kita bisa dekat dengan orang lain yang pada awalnya keberadaannya tidak terdeteksi? Inilah yang terjadi dengan aku dan dirinya. Dirinya bukan tipe manusia ideal seperti yang kutemukan di semua buku psikologi populer atau di acara televisi panduan diri. Dia sangat pendiam, cenderung penyendiri, eksistensinya tak terasa di tengah banyak orang karena dia selalu berusaha menghilangkannya. Dia pun ingin selalu dianggap tak ada. Atau bila pun ada, dia ingin diabaikan. Jarang sekali ada manusia yang secara sukarela dan bersemangat penuh untuk diabaikan. Dia sama sekali tak menonjol.
Suatu kali aku pernah bertanya, “puisi-puisimu bagus, juga semua tulisanmu tidak biasa. Mengapa tak kau unggah di blogmu, atau mengapa tidak kau kirimkan ke majalah atau kau bukukan sekalian?” aku sangat yakin dengan pendapatku atas semua karyanya. “Blogmu selalu kosong seperti soto yang kebanyakan kuahnya” walau aku tahu, percuma mencoba melucu dengannya apalagi humor kering seperti yang selalu kulontarkan.
“Tidak. Aku tak mau terluka” Dia menjawab singkat. Dingin terujar.
Waktu itu aku hanya terdiam. Kami kemudian diam dan tak saling bicara selama berpuluh menit berikutnya. Begitulah kebersamaan kami. Lebih sering duduk bersama sekaligus asyik di dunia masing-masing. Kini aku berpikir, mengapa dia takut sekali terluka. Dia menganggap karya yang ditunjukkan pada orang lain akan membuatnya mudah terluka. Bukankah manusia bersama untuk saling melukai? Mungkin dia memang tidak sesuai dengan dunia yang kejam ini.
Karena itulah, dunianya hanya ada di semua buku, kecuali buku akademis tentu saja. Dia menemukan dunianya di semua lagu, mulai dari Club 8 sampai Bjork, dan juga di semua novel, mulai dari Haruki berujung pada Murakami. Dia memang menyukai semua bentuk fiksi, namun khusus novel, hanya satu nama penulis yang dia suka, Haruki Murakami. Dalam sehari mungkin hanya seperdelapan waktu dia tak membaca buku atau mendengarkan lagu. Suatu kali dia pernah berkomentar, “aku tak ingin kemana pun, aku hanya ingin bersama novel ini” Katanya sambil menunjuk novel “Norwegian Wood” karya Haruki Murakami yang entah sudah kali keberapa dia membacanya.
Bertahun setelahnya, aku mengerti, mungkin dia memang ada di dunia “Norwegian Wood” yang sepi, liris, irrasional, dan absurd itu. Bukan sebagai salah satu tokohnya, melainkan sebagai “dunia”-nya. Dunia yang tetap berbeda walau aku mendengarkan lagu the Beatles yang berjudul sama. Aku pernah coba membaca novel itu, namun tak kutemukan apa pun. Aku lebih menyenangi buku semacam “Catatan Seorang Demonstran” atau apa pun yang merujuk langsung pada realitas. Bukankah seburuk apa pun realitas, masih lebih baik dibandingkan dengan mimpi terindah sekali pun?
Aku berniat kembali membaca semua novel Murakami-nya, mendengarkan semua lagu yang dia suka, mengingat dan merasakan kembali semua puisinya. Siapa tahu, barangkali saja aku bisa menemuinya di rangkaian teks-teks itu. Siapa tahu dia bersemayam di sana. Aku beringsut mundur dari jendela karena sinar mentari mulai memberkas. Mataku lebih tahan dengan kegelapan. Dalam kegelapan aku bisa merasakan kesepian. Bila bisa merasakan kesepian absolut, mengapa kita hanya menginginkan sepi yang biasa saja?
Aku menilik lagi semua tanya di pikiranku. Rangkaian pertanyaan yang selalu mengejar: apakah dia berada di bawah langit yang sama denganku? Apakah dia juga merasakan langit kelabu ini? Di manakah dirinya sejak Desember beberapa tahun yang lalu itu? Apakah kau bahagia dan tak terluka di duniamu itu?
Namun di dalam hati kecilku, aku masih meyakini kami masih di bawah langit yang sama.
Terluka dan tetap sendiri dalam apa pun yang kami lakukan….
#####
Terinspirasi dari lagu:
Love in December
oleh Club 8
So this is love in the end of December
Quiet nights
Quiet stars
And I'm here Monday to Sunday 'cause you're fragile and I'm weak
So you fall when the nights grow longer into sleep
You won't wake up and I'm here
I'm sitting beside you and I'll wait until the spring
Don't you worry
I'll be there for you
Don't worry about me
You know me better than that
Don't you worry
I'll be there for you
I'll catch you if you would fall
So you drift when the days grow colder
Away from me and won't look back
Far away
And I can't guide you but I'm here 'til the spring
Don't you worry
I'll be there for you
Don't worry about me
You know me better than that
Don't you worry
I'll be there for you
I'll catch you if you would fall
Don't you worry
I'll be there for you
Don't worry about me
You know me better than that
Don't you worry
I'll be there for you
I'll catch you if you would fall
I'll catch you if you would fall
Jumat, 10 Desember 2010
Insepsi Tanda
(1)
Hujan coba larungkan sesal abadi
Jadikan debu di hati bersinar nanti
Apakah kau di sana menanti?
Rinai akan luruh sendiri,
atau duka lumat berganti
dan di tengah dingin begini,
kau tetap sembunyi di balik sayap sunyi
Hujan belum lagi henti
(2)
Kau susupkan varian hasrat paling unggul
Pada angan seluruh penyaksi
Hasrat yang berkelir dan stipulatif
Angan yang penuh darah
Sedikit manipulatif
Ada mesiu di semua relasinya
Ada bulan dan bintang dalam interaksi
Walau pada akhirnya kau mengaku hanya pemencil
Memiuhkan seluruh yang maknawi pada ego
Pada pikiran semua pencatat hanya ada satu:
meledakkan birahi!
(3)
tidak mesti mengenali semua detail hidup untuk mengenal-Nya
tidak perlu memahami semua varian hasrat agar esok pagi dan setelahnya memberikan makna
tidak perlu terjaga lagi malam ini bila kita meyakini Dia dekat sekali
Lebih dekat dari teks yang terpermanai ini
(4)
Pegang tanganku, katamu
Kita bebaskan diri dan menyatu
Bersama malam menjani kunang-kunang
Bersama siang menjadi anai-anai
Kuatkan dan jaga diriku, katamu
Siapalah aku? Hanya tergugu membisu
Bersama ucapan-ucapan tak tentu
Bersama janji-janji jadi gerutu
Inikah yang katamu pembebasan itu?
(5)
Bengkarung bertarung dengan hujan kemarin itu
Sementara kau berjibaku dengan siapa untuk masa lampau yang profan?
Benar, perih itu bisa pergi namun sisanya akan berkerak di hati
Menunggu kau ledakkan
Andai saja kau berhasil menginsepsi ide tentang masyarakat terbuka
Pagi dan malam, siapa lagi yang berkelahi?
(Yogya-Jakarta, 1-9 Desember 2010)
Hujan coba larungkan sesal abadi
Jadikan debu di hati bersinar nanti
Apakah kau di sana menanti?
Rinai akan luruh sendiri,
atau duka lumat berganti
dan di tengah dingin begini,
kau tetap sembunyi di balik sayap sunyi
Hujan belum lagi henti
(2)
Kau susupkan varian hasrat paling unggul
Pada angan seluruh penyaksi
Hasrat yang berkelir dan stipulatif
Angan yang penuh darah
Sedikit manipulatif
Ada mesiu di semua relasinya
Ada bulan dan bintang dalam interaksi
Walau pada akhirnya kau mengaku hanya pemencil
Memiuhkan seluruh yang maknawi pada ego
Pada pikiran semua pencatat hanya ada satu:
meledakkan birahi!
(3)
tidak mesti mengenali semua detail hidup untuk mengenal-Nya
tidak perlu memahami semua varian hasrat agar esok pagi dan setelahnya memberikan makna
tidak perlu terjaga lagi malam ini bila kita meyakini Dia dekat sekali
Lebih dekat dari teks yang terpermanai ini
(4)
Pegang tanganku, katamu
Kita bebaskan diri dan menyatu
Bersama malam menjani kunang-kunang
Bersama siang menjadi anai-anai
Kuatkan dan jaga diriku, katamu
Siapalah aku? Hanya tergugu membisu
Bersama ucapan-ucapan tak tentu
Bersama janji-janji jadi gerutu
Inikah yang katamu pembebasan itu?
(5)
Bengkarung bertarung dengan hujan kemarin itu
Sementara kau berjibaku dengan siapa untuk masa lampau yang profan?
Benar, perih itu bisa pergi namun sisanya akan berkerak di hati
Menunggu kau ledakkan
Andai saja kau berhasil menginsepsi ide tentang masyarakat terbuka
Pagi dan malam, siapa lagi yang berkelahi?
(Yogya-Jakarta, 1-9 Desember 2010)
Jumat, 03 Desember 2010
Media Penyiaran: Organisasi dan Programming
Pengelompokan sumber daya, terutama sumber daya manusia, berdasarkan fungsinya dalam produksi atau kreasi pesan media disebut pengorganisasian. Istilah “pengorganisasian” sangat dekat sub-bidang manajemen media, namun sebenarnya istilah ini bisa menjadi pintu masuk untuk mendedah berbagai hal lain di dalam institusi media, terutama media penyiaran yang kita diskusikan di kelas sekarang ini. Pengorganisasian tidak hanya identik dengan ranah manajemen media melainkan juga wilayah lain dalam studi media.
Organisasi media penyiaran bisa sangat beragam dan ditentukan oleh ukuran organisasinya. Cara sumber daya manusia diorganisasikan bisa berdasarkan format organisasinya, komersial atau non-komersial. Atau dalam konteks Indonesia, pengorganisasian sumber daya bisa berdasarkan jenis penyiaran, yaitu penyiaran swasta, publik, atau pun komunitas. Organisasi RRI misalnya, akan berbeda dengan media penyiaran swasta di mana pun di Indonesia. Begitu juga organisasi penyiaran komunitas yang kecil dan bervisi sosiokultural tidak bisa dikomparasikan dengan bentuk penyiaran swasta sekecil apa pun.
Organisasi radio juga berbeda dengan televisi. Perbedaan ini terutama pada proses produksinya, di mana televisi menjalankan proses yang lebih kompleks dan panjang dibandingkan dengan radio. Di dalam sebuah stasiun radio paling tidak terdapat empat bagian, yaitu: departemen operasional (operations), programming, pemasaran (sales), dan teknik (engineering). Sementara pengorganisasian stasiun televisi biasanya dikelompokkan ke dalam lima bagian, yaitu: departemen pemasaran, teknik, bisnis, programming, dan berita.
Berikut ini sedikit penjelasan untuk tiap departemen pada media radio dan televisi. Departemen operasional di dalam radio seringkali disebut juga traffic departement, yaitu departemen yang bertanggung-jawab atas penempatan iklan yg telah disepakati ke dalam jadwal program. Departemen ini juga bertanggungjawab atas kontinuitas rangkaian program. Bagian ini penting untuk menjaga audiens tetap bertahan menonton atau mendengarkan media penyiaran.
Departemen program adalah bagian yang bertanggung-jawab dgn apa pun yang “terdengar” dari sebuah stasiun radio, yang meliputi musik, berita, atau pun hal-hal yang berkaitan dengan publik. Sementara itu, departemen pemasaran adalah bagian yg mendatangkan dana ke stasiun. Di dalam media penyiaran komersial dana adalah oksigen untuk terus memproduksi dan mengakuisisi program. Pada radio publik bagian ini bernama unit pengumpul dana (fund-raising unit) yang juga turut menentukan kelangsungan institusi media walau koridor motifnya bukanlah mencari profit.
Terakhir, departemen teknik adalah bagian yg hanya memiliki satu fungsi utama: menjaga stasiun pada kemungkinan sinyal terbaik. Bagian ini memastikan gelombang siaran sampai dengan jelas pada pesawat radio atau televisi milik audiens.
Sementara penjelasan untuk organisasi televisi mirip dengan radio, perbedaannya terutama pada proses yang lebih panjang dan dimensi organisasi yang lebih besar, terutama stasiun televisi yang beroperasi dalam level nasional seperti yang ada di Indonesia. Bagian yang pertama dibahas adalah departemen bisnis. Departemen bisnis adalah bagian yang bertugas mengurusi dana, baik di internal maupun eksternal organisasi. Sementara departemen operasional, pemasaran, dan teknik mirip dengan departemen-departemen yang sama di media radio. Hal yang paling berbeda di antara keduanya adalah bagian program. Bagian yang bertanggung-jawab atas ketersediaan program acara di televisi ini adalah bagian terpenting di dalam media televisi. Bagian ini, selain memproduksi program, juga “mengakuisisi” atau membeli program dari luar. Untuk program acara hiburan, terutama film, stasiun televisi biasanya membeli dari pihak luar untuk ditayangkan dalam frekuensi dan masa waktu tertentu.
Aspek lain, selain pengorganisasian, yang juga penting di dalam media penyiaran adalah programming. Programming atau cara media penyiaran menata dan mendistribusikan isi media dalam waktu tertentu. Programming sama pentingnya dengan memproduksi atau mengakuisisi program karena program acara yang baik akan tidak berarti banyak bila “ditempatkan” pada waktu yang salah. Programming untuk media radio sangatlah penting karena strategi programming menentukan format stasiun. Sementara untuk televisi, karena audiens yang dituju biasanya lebih luas dari media radio, programming tidaklah sangat menentukan format stasiun.
Programming memiliki dua tujuan utama, yaitu: menempatkan media sesuai dengan audiens yang dituju dan pada pengiklan, terutama untuk media penyiaran komersial. Sementara untuk media non-komersial, pihak “penyumbang” dana juga akan melihat program yang disiarkan dan audiens yang dituju, apakah sesuai dengan motif sosial yang mereka bidik pada masyarakat. Selain itu, programming juga disesuaikan dengan visi yang ingin dicapai oleh organisasi media penyiaran tersebut.
Sebenarnya masih terdapat satu konsep lagi yang menunjukkan cara media penyiaran “mengelola” pesan yang akan disiarkan, yaitu flowing. Flowing berbeda dengan programming, di mana slot acara ditentukan oleh satuan waktu, misalnya per tiga puluh menit. Sementara flowing tidak terpaku pada slot waktu dan sifatnya lebih cair dan fleksibel untuk diubah. Flowing biasanya diterapkan pada format stasiun berita. Karena referensi untuk konsep flowing ini tidak memadai, diskusi mengenainya ditunda terlebih dahulu.
Departemen yang dibahas selanjutnya adalah departemen program. Bagian ini biasanya terdiri dari direktur programming, manajer produksi, manajer operasional, para penyiar, dan direktur seni, serta para produser yang memproduksi tiap program. Direktur program sendiri dibantu oleh manajer produksi, direktur community relations, petugas dokumentasi untuk program terdahulu dan program yang diakuisisi. Setiap sumber daya manusia di bagian ini memiliki tugasnya masing-masing.
Di dalam programming, media penyiaran berelasi dengan berbagai institusi lain, terutama dengan sesama media. Media radio misalnya, sangat tergantung dengan industri musik populer dalam memproduksi program dan programming. Pun media musik rekaman, mereka bergantung juga dengan media radio untuk berpromosi. Relasi ini saling menguntungkan dan berbentuk simbiosis mutalisme walau belakangan ini industri musik rekaman terpuruk dan banyak format news untuk stasiun yang muncul.
Relasi dengan negara, terutama pemerintah, juga penting dan seharusnya tidak ada intervensi “politis” atas programming. Intervensi pemerintah atas programming radio misalnya terjadi pada masa Orde Baru lalu, di mana semua stasiun harus merelai siaran berita RRI sebanyak minimal 14 kali dalam sehari dan juga tidak dibolehkan memproduksi program news. Tentu saja keharusan ini sangat menyulitkan media penyiaran karena programming adalah esensi dari media penyiaran.
Programming radio sendiri dari diklasifikasikan berdasarkan dua hal, yaitu tipe program dan sumber program. Tipe program hanya ada dua, yaitu musik dan news atau talk. Sementara berdasarkan sumber program, programming bisa dibagi menjadi tiga, yaitu lokal, prerecorded atau sindikasi, dan jaringan. Sumber program lokal adalah semua program yang berasal dari studio radio sendiri, baik yang disiarkan secara langsung maupun direkam terlebih dahulu. Sumber dari sindikasi mengandung arti program tersebut berasal dari luar stasiun dan biasanya dibeli dari pihak lain. Sementara sumber yang terakhir berasal dari jaringan, yaitu bagi stasiun radio yang merupakan bagian dari korporasi yang lebih besar.
Lalu bagaimana sebuah stasiun radio melakukan strategi programming? Langkah pertama adalah dengan menentukan format hole berdasarkan dua jenis analisis, eksternal atau internal. Analisis internal berasal dari pemahaman yang baik atas sumber daya di dalam organisasi sendiri, sementara analisis eksternal adalah cara memahami konteks di luar organisasi media penyiaran. Walau salah satu bentuk analisis mesti dipilih, biasanya keduanya digunakan secara bersamaan.
Kedua, melakuan seleksi format. Seleksi ini adalah memilih salah satu posisi, format yang unik tersendiri dan tidak berkaitan dengan organisasi penyiaran serupa. Atau pilihan yang lain adalah “bertarung” (head-to-head) dengan organisasi penyiaran yang telah ada, melalui format yang sama. Ketiga, dengan melakukan analisis audiens, yaitu melihat audiens yang ada maupun yang potensial melalui cara pandang demografis atau psikografis. Informasi mengenai audiens secara demokratis biasanya diperoleh melalui riset survei, sementara informasi audiens secara psikografis didapatkan melalui pengamatan dan wawancara mendalam sesuai dengan metodologi riset etnografi atau yang seringkali disebut juga analisis resepsi audiens.
Langkah keempat adalah menentukan “roda” format (format wheel) stasiun radio. Terdapat empat “putaran”, yaitu: personalitas, musik, talk, dan iklan. Personalitas stasiun contohnya, terutama dibentuk oleh para penyiarnya dalam bersiaran, ditentukan untuk mengerucut pada isi siaran. Kelima, adalah melakukan evaluasi format. Evaluasi ini bisa dilakukan secara informal maupun formal. Langkah yang terakhir adalah dengan melakukan penyempurnaan programming (fine-tuning). Penyempurnaan ini bisa dilakukan dengan dua cara, secara bertahap (tweaking) atau menyeluruh dan langsung (turnover).
Bagaimana dengan programming untuk televisi? Secara umum format untuk stasiun televisi ada dua, yaitu berita dan hiburan (entertainment) walau pada kenyataannya, terutama di Indonesia, tidak ada yang menetapkan format secara utuh penuh. Walau begitu, hal yang menarik adalah berkembangnya format berita di seluruh dunia sejak dekade 1990-an, yang pertama-kali dirintis oleh CNN di Amerika Serikat. Kini stasiun televisi berformat berita sudah relatif umum kita temui dan berperan cukup penting bagi kehidupan bersama.
Program berita sendiri di dalam produksinya terbagi menjadi dua, yaitu saat perencanaan dan ketika diproduksi, terutama saat di studio. Dalam perencaan produksi program berita, pekerja media yang terlibat adalah news director, news producer, assignment editor, field producer, reporter, writer, dan editor. Sementara untuk produksi di studio akan melibatkan the director, the studio production team, dan the anchors. Semua elemen berperan penting, terutama bagi pekerja yang terlihat di layar televisi, karena merekalah yang terkena imbas bila berita yang disampaikan dianggap bermasalah.
Untuk stasiun televisi yang berformat hiburan, mereka melakukan pembelian program dan juga memproduksinya sendiri. Program hiburan televisi yang paling mahal adalah film yang khusus dibuat untuk televisi. Sementara program televisi yang paling murah adalah program komedi situasi dan program reality. Itulah sebabnya mengapa program jenis ini banyak sekali diproduksi oleh media televisi.
Bagaimana stasiun televisi melakukan strategi program? Strategi programming televisi ada tiga, yaitu: audience flow, counter programming, challenge programming. Strategi “aliran audiens” adalah mengikuti pola menonton audiens untuk televisi, misalnya waktu tayang utama (prime time) akan ditonton oleh seluruh anggota keluarga kecuali para orang-tua yang menentukan waktu belajar bagi anaknya dengan cukup ketat. Anak-anak akan menonton televisi di pagi hari sebelum bersekolah dan siang hari sepulang dari sekolah.
Strategi counter programming adalah dengan menayangkan program yang sama sekali berbeda dengan program yang biasanya ditayangkan oleh kebanyakan stasiun televisi lain. Misalnya, di kala banyak stasiun televisi menayangkan sinetron, sebuah stasiun televisi menyiarkan acara debat untuk memberikan pilihan kepada audiens yang sama sekali berbeda. Sementara itu, strategi challenge programming adalah upaya yang dilakukan sebuah stasiun televisi dengan menayangkan program acara yang sejenis dengan yang kebanyakan disiarkan oleh stasiun televisi yang lain. Tujuannya adalah untuk berkompetisi dan membiarkan audiens memilih program yang menurut mereka paling baik.
Demikianlah, semoga saja rangkuman dari beberapa bagian buku karya Joseph R. Dominick, Fritz Messere & Barry L. Sherman (2004), yang berjudul “Broadcasting, Cable, the Internet, and Beyond: An Introduction to Modern Electronic Media”. Fifth Edition. Boston: McGraw Hill, berguna dan menjadi tambahan “bergizi” untuk para pembelajar media penyiaran. Tujuannya adalah memantik para pembelajar untuk membaca bahan dengan baik sekaligus menuliskannya agar lebih paham. Menuliskan apa yang kita baca dan pelajari adalah cara terbaik untuk mendapatkan pengetahuan.
Langganan:
Postingan (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...