Jumat, 17 Desember 2010

There is An End


Aku mencoba mengingat percakapan terakhir dengan dirinya sebelum dia menghilang tanpa jejak. Mungkinkah dia sudah merencanakan kepergiannya? Entahlah. Aku mencoba mengangkat kembali memori sekitar dua minggu lalu. Namanya kenangan, terkadang tidak akan teringat dengan seutuhnya, malah kenangan tersebut bisa berpilin dengan perasaan kita ketika merekamnya di otak. Kenangan yang sangat baik ataupun sangat buruk akan lebih mudah teringat.



Sore itu cuaca masih cukup panas dan seperti biasa, ketika cuaca memanas tak menentu, obrolan juga tak menentu arahnya. Dia yang memulai pembicaraan lebih dahulu. Aku seperti biasa lebih banyak mendengarkan. Pembicaraan tidaklah panas dalam pengertian beradu argumen namun lumayan absurd bila kuingat sekarang.

“Aku senang sekali dengan film dengan ending terbuka. Film yang memiliki akhir yang tak jelas. Film Broken Flowers dan No Country for Old Men adalah contohnya. Juga masih ada beberapa film yang lain.”



Dia meneruskan, “film dengan akhir yang tak jelas menunjukkan hidup ini sendiri. Banyak hal yang tak jelas, tak terjawab, dan tak selesai. Tanpa perlu mencari alasannya. Menonton film dengan akhir yang tak jelas membuat diri kita kembali pada posisi awal seperti tidak menonton filmnya. Itulah keindahannya. Kondisi sebelum dan sesudah menonton tak ada bedanya. Kita sama-sama tak mengetahui akhirnya.”



Aku diam saja. Pendapat yang absurd tidaklah bisa dikomentari kecuali pendapat kita juga turut menjadi absurd atau diri kita yang memang absurd dari awalnya. Aku diam saja. Film dengan akhir tertutup jauh lebih baik menurutku. Buat apa menonton film bila tak jelas akhirnya. Bukankah kita selalu ingin mendengar kalimat…dan bahagia selama-lamanya…seperti dongeng masa kanak-kanak? Akhir yang bahagia adalah harapan semua orang. Kita dibuat percaya bahwa relasi mesti bagus, akhir mesti bahagia, sementara kehidupan nyata tak semulus itu. Sebuah akhir bisa sangat teruk walaupun ada kemungkinan bisa indah juga, namun akhir tak indah tetaplah mendominasi.



“Film dengan ending yang terbuka adalah salah satu yang paling mengasyikkan dalam hidup ini selain membaca novel Murakami dan mendengarkan lagu-lagu Sonic Youth. Murakami dan Sonic Youth mengasyikkan karena sampai atau tidak pada akhir, itu tidak akan mempengaruhi kenikmatan dan keindahan mengaksesnya.” Wajah dinginnya begitu pas dengan ujaran lisannya yang absurd. “Akhir film yang terbuka membiarkan angan kita terus mengalir dan tetap tak terjelaskan seperti hidup ini sendiri.”



“Aku ingin akhiran yang tak jelas.” Dia menutup omongannya. Wah, seperti kuliah kajian Film saja pikirku situasi ini. Aku mengerti, pandangan hidup adalah pilihan personal. Untuk orang-orang seperti kami, pandangan yang absurd adalah kewajiban. Pandangan-pandangan yang bernas adalah milik orang-orang pintar dan hebat. Mereka pastinya akan melacak dan menganalisis telaah-telaah ideologis dan ragam kuasa dalam film, sementara kami hanya membicarakan ending yang terbuka. Akhir yang tak jelas walau akhir akan selalu ada.



Orang-orang medioker seperti kami ini adalah orang-orang kebanyakan. Hampir semua orang sibuk menjadi hebat, sibuk bisa mengatasi semua halangan, dan menempuh “jalan emasnya” masing-masing. Tetapi mereka tak tahu atau tak mau tahu, bahwa mereka menjadi besar ataupun hebat karena orang-orang medioker seperti kami. Manusia-manusia medioker adalah mayoritas dalam semua kumpulan manusia.



Dunia penuh dengan orang-orang yang gagal berusaha karena persaingan hidup yang begitu berat, atau juga orang-orang tersebut ingin tetap menjadi medioker selamanya. Menjadi medioker itu enak. Tanpa tekanan dan mengalir sahaja. Apakah memilih menjadi medioker itu salah? Sepertinya dalam kehidupan yang penuh citra dan tipu-tipu seperti kehidupan ini, menjadi medioker itu salah. Ini adalah satu-satunya kebenaran.



Coba saja lihat beribu buku tentang cara menempuh hidup untuk menjadi lebih hebat, bahkan bila perlu dengan “the secret of ngutang”. Banyak manusia ingin menjadi orang hebat walau kenyataannya pecundang. Banyak manusia yang sebenarnya biasa saja, namun dalam koarannya dia selalu menjadi si hebat. Banyak manusia ingin menjadi pemimpin namun tidak ingin bertanggung-jawab atas keputusan yang telah diambil. Di atas semua itu jarang sekali orang ingin menjadi medioker seperti kami. Jarang sekali orang ingin menjadi pengikut seperti kami. Pengikut yang profesional tentu saja yang mesti diciptakan, bukan pemimpin yang sontoloyo. Apalagi pimpinan yang “menghajar” pihak yang tak sejalan dengan diri dan kelompoknya dengan membabi-buta.



Di dalam relasi yang tidak imbang biasanya salah satu pihak ingin memediokerkan pihak lain. Dua caranya adalah dengan menghegemoni dan mendominasi. Mendominasi jelas bentuknya, dengan tindakan. Menghegemoni adalah dengan ujaran yang menusuk dan merendahkan pihak lain, sekaligus berpura-pura menunjukkan kehebatan sendiri. Aku sendiri pernah distigma, modus paling kejam dari hegemoni, sebagai orang yang hanya menggunakan “otak sisa” atau “osis”. Untunglah waktu SMA dulu aku tak begitu banyak ikut kegiatan. Jadi aku hanya membiarkan semuanya berlalu. Stigma tak akan mengemuka di dunia para medioker karena kami tidak merasa hebat. Justru orang yang sibuk menstigma itu adalah si medioker sesungguhnya. Pada akhirnya semua tetap medioker terutama yang memberi stigma.



“Itulah sebabnya aku tak ingin memulai relasi yang mengikat yang pasti terjadi ketika dua orang merasa dekat. Dua orang yang dekat cenderung bisa mengikat yang lain. Akhirnya akan selalu jelas. Aku tak ingin relasi yang berakhir dengan jelas.” Dia berkata lagi. Aku cukup heran juga melihatnya banyak berbicara kali ini. Biasanya kami bisa berpuluh menit tak saling bicara, hanya asyik dengan yang kami baca atau kami dengar.



“Aku ingin pergi dan tak terlacak oleh siapa pun.” Katanya seperti yakin bisa melakukannya.

“Aku ingin lebih hebat dengan membaca banyak self-help book dan acara televisi menjadi manusia super.” Aku menjawab sekenanya untuk menunjukkan bahwa keinginan itu taklah mungkin.

Aku hanya tersenyum memahami bahwa dia memang suka bercanda. Cara bercanda yang kelewat kering sampai kami sendiri seringkali tidak pernah tahu perbedaannya dengan ucapan biasa. Kering, tipis, dan segera menghilang, namun entah mengapa, sangat mengganggu pikiran setelah beberapa hari.



“Salam super!” kataku. Maksudnya untuk bercanda. Seperti biasa si dingin hanya memandangku tanpa ekspresi. Dia sama sekali tak tersenyum apalagi tertawa. Apakah kau terbuat dari es?

Dia sendiri pun sangat aneh lewat ujarannyaa. Tak mungkin seseorang menghilang dan tak terlacak di dunia para medioker yang saling terkait satu sama lain. Tak kuduga sekitar empat belas hari ke depan dia benar-benar menghilang. Bertahun-tahun kemudian pun tak ada secuil pun informasi darinya.

Ironisnya, di akhir semua pembicaaran tersebut aku gamang. Inikah akhir? Mengapa aku sama sekali tidak merasakan efek relasi yang linear itu? Awal, tengahan, dan akhir. Sangat mungkin ini adalah akhir sekaligus awal. Awal baru yang juga sangat mungkin gagal kembali untuk mendapatkan akhir plot yang indah. Siapa peduli akhirnya? Jalani saja, nikmati saja sakit atau indahnya.



Atas nama suka dan duka, aku akhirnya hanya meminta akhir yang terbuka.

Aku sungguh tak suka dengan akhiran seperti ini.



Sementara matahari sore tetap terik seperti biasanya. Panasnya hanya berkurang sedikit dibandingkan dengan siang tadi ketika kami memulai obrolan tak jelas tersebut.



#####



Terinspirasi dari lagu:

There is An End

Oleh The Greenhornes with Holly Golightly

(diambil dari Broken Flowers Original Soundtrack)



Words disappear,

Words weren't so clear,

Only echos passing through the night.



The lines on my face,



Your fingers once traced,

Fading reflection of what was.



Thoughts re-arrange,

Familar now strange,

All my skin is drifting on the wind.



Spring brings the rain,

With winter comes pain,

Every season has an end.



I try to see through the disguise,

But the clouds were there,

Blocking out the sun (the sun).



Thoughts re-arrange,

Familar now strange,

All my skin is drifting on the wind.



Spring brings the rain,

With winter comes pain,

Every season has an end.



There's an end,

There's an end,

There's an end,

There's an end,

There's an end.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...