Sabtu, 11 Desember 2010
Love in December
Aku memandang langit mendung dan terus bertanya, apakah ini langit yang sama dengan langit yang dia lihat? Kemana dirinya pergi? Pertanyaan-pertanyaan yang sama kuajukan setiap akhir tahun seperti sekarang ini, selama bertahun-tahun. Dia tak hadir jua, bahkan hanya kabar tentang dirinya sedikit saja. Aku sungguh tak habis mengerti bagaimana mungkin di jaman dengan ragam media baru seperti sekarang pun dia tetap tak terlacak. Setelah suatu hari di bulan terakhir itu, beberapa tahun yang lalu, dia menghilang begitu saja tanpa bekas. Juga dengan nomor telepon genggam, email, dan semua jejaknya di internet. Dia telah menghapus semuanya. Mungkin juga dengan memori kami pernah berelasi. Sudah hilang.
Aku tak tahu rasa sesal atau ketidakberdayaan sekarang yang kurasakan ketika mengingat hari itu. Waktu itu permintaannya sederhana saja, “Maulah kau menjagaku?” Permintaan yang sangat mudah sebenarnya. “Aku tak tahu pada siapa lagi aku meminta, aku hanya ingin kau menjagaku dan ada ketika aku terjatuh.” Itu kalimat yang aku ingat benar dari dirinya. Suara yang selalu terekam di kepalaku dengan baik seperti semua lagu yang telah kudengar. Kini aku benar-benar merindukannya. Namun dia tak pernah hadir lagi, hanya angin dingin mencengkeramku. Aku beku oleh kesepian dan kesendirian.
Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu. Bagaimana bisa aku menjaga orang lain sementara aku tidak bisa menjaga diriku sendiri? Begitu kataku dalam hati tanpa memberikan jawaban lisan. Bagaimana mungkin di dunia seberat ini, aku mesti menjaga orang lain sementara menjaga diri sendiri saja setengah mati seperti ini. Dunia di mana kehidupannya intoleran terhadap perbedaan. Aku akan menjawab pertanyaan itu esok saja walau pada waktu itu sebenarnya aku tetap tak yakin. Namun esoknya dia telah tak ada sampai detik ini. Kemana dirinya? Dia menguap seperti embun pagi ini dan mungkin embun yang sama tidak akan kembali pada pagi lainnya. Aku bertanya pada semua orang yang mengenalnya.
Semua tak tahu kemana dia pergi. Aku mencoba mengikutinya di semua toko buku, perpustakaan, dan warnet. Dia hilang tanpa jejak sama sekali.
Aku masih memandangi pagi yang sunyi melalui jendela. Mengapa hidup memberi kejutan di saat kita tak menginginkannya? Mengapa di saat kita ingin perubahan, perubahan itu tak pernah hadir? Kesempatan untuk berubah lebih baik tak jua datang di kala kita ingin? Mengapa kita bisa dekat dengan manusia lain sementara dengan manusia lainnya justru menjauh? Bagaimana bisa dua orang yang dulunya berteman akrab kemudian bisa saling menghancurkan diri masing-masing?
Bagaimana kita bisa dekat dengan orang lain yang pada awalnya keberadaannya tidak terdeteksi? Inilah yang terjadi dengan aku dan dirinya. Dirinya bukan tipe manusia ideal seperti yang kutemukan di semua buku psikologi populer atau di acara televisi panduan diri. Dia sangat pendiam, cenderung penyendiri, eksistensinya tak terasa di tengah banyak orang karena dia selalu berusaha menghilangkannya. Dia pun ingin selalu dianggap tak ada. Atau bila pun ada, dia ingin diabaikan. Jarang sekali ada manusia yang secara sukarela dan bersemangat penuh untuk diabaikan. Dia sama sekali tak menonjol.
Suatu kali aku pernah bertanya, “puisi-puisimu bagus, juga semua tulisanmu tidak biasa. Mengapa tak kau unggah di blogmu, atau mengapa tidak kau kirimkan ke majalah atau kau bukukan sekalian?” aku sangat yakin dengan pendapatku atas semua karyanya. “Blogmu selalu kosong seperti soto yang kebanyakan kuahnya” walau aku tahu, percuma mencoba melucu dengannya apalagi humor kering seperti yang selalu kulontarkan.
“Tidak. Aku tak mau terluka” Dia menjawab singkat. Dingin terujar.
Waktu itu aku hanya terdiam. Kami kemudian diam dan tak saling bicara selama berpuluh menit berikutnya. Begitulah kebersamaan kami. Lebih sering duduk bersama sekaligus asyik di dunia masing-masing. Kini aku berpikir, mengapa dia takut sekali terluka. Dia menganggap karya yang ditunjukkan pada orang lain akan membuatnya mudah terluka. Bukankah manusia bersama untuk saling melukai? Mungkin dia memang tidak sesuai dengan dunia yang kejam ini.
Karena itulah, dunianya hanya ada di semua buku, kecuali buku akademis tentu saja. Dia menemukan dunianya di semua lagu, mulai dari Club 8 sampai Bjork, dan juga di semua novel, mulai dari Haruki berujung pada Murakami. Dia memang menyukai semua bentuk fiksi, namun khusus novel, hanya satu nama penulis yang dia suka, Haruki Murakami. Dalam sehari mungkin hanya seperdelapan waktu dia tak membaca buku atau mendengarkan lagu. Suatu kali dia pernah berkomentar, “aku tak ingin kemana pun, aku hanya ingin bersama novel ini” Katanya sambil menunjuk novel “Norwegian Wood” karya Haruki Murakami yang entah sudah kali keberapa dia membacanya.
Bertahun setelahnya, aku mengerti, mungkin dia memang ada di dunia “Norwegian Wood” yang sepi, liris, irrasional, dan absurd itu. Bukan sebagai salah satu tokohnya, melainkan sebagai “dunia”-nya. Dunia yang tetap berbeda walau aku mendengarkan lagu the Beatles yang berjudul sama. Aku pernah coba membaca novel itu, namun tak kutemukan apa pun. Aku lebih menyenangi buku semacam “Catatan Seorang Demonstran” atau apa pun yang merujuk langsung pada realitas. Bukankah seburuk apa pun realitas, masih lebih baik dibandingkan dengan mimpi terindah sekali pun?
Aku berniat kembali membaca semua novel Murakami-nya, mendengarkan semua lagu yang dia suka, mengingat dan merasakan kembali semua puisinya. Siapa tahu, barangkali saja aku bisa menemuinya di rangkaian teks-teks itu. Siapa tahu dia bersemayam di sana. Aku beringsut mundur dari jendela karena sinar mentari mulai memberkas. Mataku lebih tahan dengan kegelapan. Dalam kegelapan aku bisa merasakan kesepian. Bila bisa merasakan kesepian absolut, mengapa kita hanya menginginkan sepi yang biasa saja?
Aku menilik lagi semua tanya di pikiranku. Rangkaian pertanyaan yang selalu mengejar: apakah dia berada di bawah langit yang sama denganku? Apakah dia juga merasakan langit kelabu ini? Di manakah dirinya sejak Desember beberapa tahun yang lalu itu? Apakah kau bahagia dan tak terluka di duniamu itu?
Namun di dalam hati kecilku, aku masih meyakini kami masih di bawah langit yang sama.
Terluka dan tetap sendiri dalam apa pun yang kami lakukan….
#####
Terinspirasi dari lagu:
Love in December
oleh Club 8
So this is love in the end of December
Quiet nights
Quiet stars
And I'm here Monday to Sunday 'cause you're fragile and I'm weak
So you fall when the nights grow longer into sleep
You won't wake up and I'm here
I'm sitting beside you and I'll wait until the spring
Don't you worry
I'll be there for you
Don't worry about me
You know me better than that
Don't you worry
I'll be there for you
I'll catch you if you would fall
So you drift when the days grow colder
Away from me and won't look back
Far away
And I can't guide you but I'm here 'til the spring
Don't you worry
I'll be there for you
Don't worry about me
You know me better than that
Don't you worry
I'll be there for you
I'll catch you if you would fall
Don't you worry
I'll be there for you
Don't worry about me
You know me better than that
Don't you worry
I'll be there for you
I'll catch you if you would fall
I'll catch you if you would fall
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar