Selasa, 21 Desember 2010

Timnas Indonesia, Jurnalisme, dan Visi Kepublikan

Sudah sangat lama masyarakat Indonesia tidak seantusias ini terhadap tim nasional sepakbola negeri sendiri. Antusiasme masyarakat Indonesia tersebut terlihat dari animo yang luar biasa dalam menonton pertandingannya secara langsung di mana penonton memenuhi Gelora Bung Karno, menonton pertandingannya melalui televisi, baik menonton di rumah maupun “nonton bareng”, serta di dalam obrolan sehari-hari tentang timnas yang sangat intens belakangan ini. Inilah saatnya menjadi juara, begitu kata kebanyakan anggota masyarakat Indonesia pecinta sepakbola. Indonesia belum pernah menjadi juara piala AFF walaupun sudah beberapa kali masuk final. Nantinya akan ada juara baru karena Indonesia dan Malaysia belum pernah menjadi juara AFF.

Optimisme tinggi seperti ini sah saja mengingat penampilan timnas yang impresif dan selalu menang sejak pertandingan penyisihan pertama sampai dengan semifinal leg kedua kemarin. Bukan hanya skor akhir yang menunjukkan penampilan hebat timnas tetapi juga permainan ciamik dan pantang menyerah yang ditunjukkan di lapangan mendapatkan apresiasi dari masyarakat dan memberikan inspirasi bagi kita semua. Setelah bertahun-tahun tidak pernah meraih gelar internasional dan kondisi sepakbola Indonesia yang terpuruk, kita patut berbangga kali ini.

Penampilan timnas yang bagus tersebut juga menarik perhatian media dengan luar biasa. Biasanya pemberitaan media untuk sepakbola Indonesia hanya berisi skor akhir, atau bahkan lebih parah, pemberitaan tentang hal-hal negatif, semisal perkelahian di lapangan, tingkah polah suporter yang belum juga membaik, dan tuntutan mundur untuk sang ketua asosiasi sepakbola Indonesia, kali ini pemberitaan berisi hal yang positif tentang sepakbola nasional, terutama timnas. Permainan timnas yang impresif diulas oleh media dengan relatif mendalam, euforia pecinta sepakbola Indonesia yang mulai mencintai lagi timnasnya, dan juga para bintang lapangannya.

Pemberitaan para bintang lapangan inilah yang merupakan fenomena baru bagi timnas. Satu pemain naturalisasi, Christian Gonzales, dan pemain keturunan, Irfan Bachdim, mendominasi media. Sedikit menggeser pemberitaan tentang dua bintang lapangan “lokal” seperti Firman Utina dan Bambang Pamungkas. Pemberitaan mengenai Christian Gonzales antara lain karena dua gol kelas dunianya ke gawang Filipina, dan istrinya yang orang Indonesia. Sementara pemberitaan mengenai Irfan Bachdim lebih marak lagi, terutama karena wajahnya yang rupawan. Belum pernah kaum hawa Indonesia pecinta bola mengagumi pemain nasional seperti ini, biasanya mereka mengidolai pemain-pemain Italia yang wajahnya bak aktor film, atau bintang lapangan metroseksual semacam David Beckham dan Christiano Ronaldo.

Pemberitaan infotainment juga sangat mempengaruhi tingkat perhatian masyarakat. Wajah Irfan yang seperti para bintang sinetron papan atas inilah yang menarik “berita hiburan” tersebut, mengungguli pemberitaan sebelumnya tentang Markus Amelia, eh maaf, Markus Haris Maulana yang menikahi selebriti Kiki Amelia. Galibnya “berita” infotainment yang akan mengaitkannya dengan selebriti yang lain, kini pemberitaan infotainment tentang sepakbola bernarasumber selebriti, dan tiba-tiba saja beberapa selebriti menjadi pengamat sepakbola mendadak.

Pemberitaan infotainment yang berlebihan inilah awal dari permasalahan yang potensial muncul, audiens media kemudian lebih tertarik pada hal permukaan bukan substansi. Audiens dipahamkan pada kegantengan wajah pemain bukan pada permainan sepakbola itu sendiri. Kehidupan personal para pemain timnas lebih penting dibandingkan permainan mereka di lapangan. Untunglah hal tersebut dipahami oleh Alfred Reidl, pelatih Indonesia yang selalu berwajah serius, yang kemudian membatasi media untuk mendekati para pemainnya, terutama sebelum pertandingan. Keseriusan Reidl mungkin hal yang sangat baik mengingat sepakbola kita jarang diurus secara serius padahal potensinya begitu besar.

Antusiasme media pada media ini menjadi pengingat kembali bagi kita semua bahwa jurnalisme selalu untuk publik, entah dia dilakukan oleh media komersial atau bukan, entah dia diberitakan oleh infotainment atau berita “serius”. Jurnalisme selalu berawal dan ditujukan untuk publik, seperti “postulat pertama” yang dikatakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku mereka yang terkenal Elemen-elemen Jurnalisme (2001). Pemberitaan mengenai timnas sepakbola sekali pun semestinya membantu warga memahami “dunia” di sekitarnya, mendiskusikannya di antara warga untuk mendapatkan informasi terbaik, dan membantu warga untuk menentukan langkah selanjutnya dalam kehidupan nyata.

Denis McQuail melalui bukunya Media Performance: Mass Communication and the Public Interest (1992) juga memberikan kesimpulan yang mirip, bahwa aktivitas bermedia, pelaku maupun outputnya, mesti ditempatkan pada visi kepublikan. Media bereksistensi dan beroperasi terutama agar berguna bagi publik. Lebih jauh McQuail berpendapat bahwa prinsip berita, faktualitas, relevansi, akurasi, dan obyektivitas, hadir dan dipenuhi dalam output media, bukan demi untuk berita itu sendiri, melainkan untuk kepentingan publik.

Berita yang disampaikan oleh media harus menyampaikan fakta sebaik dan selengkap mungkin. Berita menjadi forum berbagai pihak untuk mendiskusikan segala aspek realitas dengan baik sehingga langkah-langkah riil dapat dijalankan. Perhatian masyarakat atas timnas mesti didukung oleh informasi tentang timnas yang memadai dan menjadikan audiens memahami timnas dan sepakbola Indonesia semakin baik, termasuk memberikan solusi yang implementatif di dalam kehidupan bersama.

Berarti pemberitaan mengenai timnas kita tidak hanya terjebak pada pertanyaan-pertanyaan “sepele”, semisal siapa nama muslim Christian Gonzales, siapa pacar Irfan Bachdim, dan kapan Kiki Amelia dan Markus berbulan madu, tetapi juga perbedaan antara pemain naturalisasi dengan pemain keturunan dan implikasinya bagi nasionalisme di tengah kehidupan kita yang semakin mengglobal. Juga mendiskusikan cara agar penampilan tim nasional bisa diakses dan dinikmati oleh warga Indonesia dengan relatif mudah dan murah tanpa harus berjibaku untuk mendapatkan tiket menonton langsung. Selain itu, kita semua mencoba menjawab pertanyaan besar, bagaimana memperbaiki sepakbola nasional yang sudah sangat lama terpuruk?

Sepakbola adalah urusan seluruh warga Indonesia, bukan hanya milik segelintir pengurusnya yang lama sekali tidak berganti. Antusiasme yang besar sekarang ini pada dasarnya menunjukkan kecintaan masyarakat kita yang kelewat tinggi pada sepakbola negerinya. Wajar, masyarakat juga akan mengkritik sangat keras bila prestasi kita jeblok terus selama ini. Kecintaan yang besar akan menunjukkan ketidaksukaan yang juga besar. Dua kutub ini mestiya dimediasi oleh media kita. Media berperan mendudukkan suatu soal pada porsinya, bila pecinta sepakbola dan juga audiens mencintai dan membenci timnas berlebihan, media menempatkan posisinya secara pas.

Masyarakat Indonesia memang sedang tinggi animo dan optimismenya pada timnas, tetapi tidak untuk asosiasi yang mengurus sepakbola negeri ini. Gerakan untuk mereformasi asosiasi tersebut tetap kuat di tengah gemilangnya penampilan timnas. Ternyata bukan kemenangan atau prestasi belaka yang diharapkan dari sepakbola nasional, melainkan juga berbagai makna positif yang berasal dari sepakbola, yaitu sportivitas, kerja keras, dan keterbukaan. Itulah sebabnya sepakbola mengandung visi kepublikan yang mirip dengan visi yang diusung oleh media. Kita sudah melihat dua minggu ini, bagaimana sepakbola bermakna luar biasa untuk negeri ini, namun media juga mesti tetap mengingatkan publik bahwa masih banyak agenda perbaikan bangsa ini. Visi kepublikan juga menjadikan media menempatkan diri sebagai “radar” bagi publik untuk kehidupan bersama dan tetap kritis pada hal-hal lain sekalipun dahaga kita semua sedang agak terpuaskan oleh prestasi timnas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...