Album Tika and the Dissidents, “The Headless Songstress”, ini sebenarnya sudah cukup lama hadir dalam koleksi saya tetapi saya memang memerlukan waktu cukup lama untuk mendalaminya. Biasa-lah, karya yang bagus memerlukan waktu yang cukup lama untuk dicerna.
Sudah ada beberapa resensi yang bagus mengenai album ini di media komersial dan juga di notes/blog rekan muda saya yang sangat bagus, Fakhri Zakaria. Saya berterima kasih atas informasi tersebut walaupun saya mencoba untuk melakukan percobaan semata-mata hanya pada teks album ini saja. Tetapi memang hal itu sulit karena, bagaimana pun, kita cenderung memiliki hasrat besar untuk mencari informasi untuk mengurangi ketidaktahuan kita.
Begitulah, percobaan saya itu bisa dikatakan gagal karena akhirnya saya mendapatkan sedikit informasi mengenai album ini dan juga Tika and the Dissidents sendiri. Walau demikian, saya mencoba sekali lagi untuk menakar album ini hanya dari lagu-lagunya, terutama pada lirik.
Singkat kata, album ini sungguh bagus. Musik yang indah dan variatif, juga lirik yang cerdas menguatkan album ini. Bisa dikatakan, album ini adalah album Indonesia terbaik yang saya dengarkan pada tahun ini.
Entah mengapa, begitu mendengarkan album ini, berdasarkan tekstur suara Tika dan kemisteriusannya (minimal bagi saya yang sebelumnya tidak mengetahui sedikit pun tentang penyanyi yang satu ini), saya jadi teringat Tori Amos. Penyanyi yang saya sukai lagu-lagunya tetapi anehnya, saya tidak bisa mendengarkan lagu-lagunya terlalu lama karena seperti ada perasaan gundah di hati saya.
Demikian pula ketika mendengarkan album ini. Sebelumnya saya hanya bisa bertahan mendengar sampai lagu kedua, “Polpot”. Itulah sebabnya saya memerlukan waktu yang lama untuk memahaminya.
Musik di album ini melintasi berbagai genre. Inilah yang membuat album ini sangat mengasyikkan untuk didengar walau tidak mudah untuk “ditaklukkan” atau dipahami dalam satu dua kali mendengar. Ada irama jazz (misalnya pada “20 Hours”), waltz (“Waltz Muram”), bahkan nuansa “musik gereja” selaksa kelompok “Gregorian” dan “Enigma” (pada lagu “Tentang Petang”), dan beberapa genre musik yang lain.
Nah, sekarang kita membicarakan liriknya. Sesuatu yang saya pikir lebih saya pahami daripada musiknya. Walau hanya ada empat lagu berbahasa Indonesia dari dua belas lagu di album ini, nuansa “pergulatan” identitas dan interaksi, sosial maupun ketuhanan, hadir di album ini. Pergulatan yang khas masyarakat Indonesia, di mana kita bergerak berubah seringkali tanpa kita pahami.
Pergulatan identitas sebagai perempuan misalnya, muncul di lagu “Venus Envy” dan “Uh Ah Lelah”. “Venus Envy” segera mengingatkan saya pada frase “Penis Envy” yang meletakkan perempuan dalam dilema dominasi laki-laki. Ini mirip dengan apa yang coba dijelaskan oleh Laura Mulvey bahwa sebenarnya perempuan terperangkap di dalam dominasi lak-laki karena memang perempuan menikmati untuk dilihat dan diperhatikan. Fenomena ini terutama muncul dalam pesan media film.
Walau sulit keluar dari keterperangkapan itu, tokoh di lagu ini mencobanya…”I blab blab about bla bla for the liberation of my sex, only to realize it’s my own self esteem. I gotta fight”…(dalam “Venus Envy”). Dilema yang sama muncul di lagu “Uh Ah Lelah”. Hal itu dimunculkan oleh kalimat keterangan dari lirik lagu…”Lawan lelah si sundal bengal. Aku sumringah, ia tersengal. Syukurlah aku perempuan..”.
“Keterperangkapan” relasi laki-laki-perempuan itu terus berlanjut. Pada “Tentang Petang” misalnya, si tokoh perempuan mengingatkan pasangannya akan terbatasnya kemampuan manusia laki-laki mengatasi godaan. Ia terus mengingatkan walau pada akhirnya tetap menyimpulkan bahwa manusia (laki-laki) selalu jadi pecundang bila berhadapan dengan godaan.
Pada lagu “Waltz Muram” keterperangkapan relasi lebih terlihat. Si tokoh perempuan yang mencoba tegar dari kehilangan orang yang dicintainya walau tidak bisa. Hal yang saya suka adalah munculnya kata komodifikasi di informasi tambahan untuk lagu ini. Berdasarkan pemikiran Vincent Moscow dalam karyanya “Political Economy of Communication”, komodifikasi adalah salah satu pintu masuk untuk memahami ekonomi politik, dua lainnya adalah strukturasi dan spasialisasi. Permasalahannya, apakah komodifikasi ada pada level individu?
Juga pada lagu “Oi Dirty Bastard” yang menghadirkan Anda sebagai bintang tamu. “Keterperangkapan” cinta antara wanita muda dan lelaki yang jauh lebih tua bahkan setua ayah si perempuan. Di satu sisi si perempuan mencintai si lelaki tua tetapi dilema perbedaan umur itu diketahuinya akan melekat selamanya bila mereka terus bersama.
Aras berikutnya dari lirik album ini adalah identitas dan relasi dengan religiusitas. Lagu “20 Hours” dan “Infidel Castratie” jelas berbicara hal tersebut. Lagi-lagi kita dapat melihat “keterperangkapan” di sini, kesangsian atas eksistensi tuhan (“20 Hours”) terbingkai dalam ketidakberdayaan atas kematian (“Infidel Castratie”). Tafsir di lagu “20 Hours” menurut saya adalah tafsir nomor dua paling brilian dan tidak biasa untuk sebuah lagu dari penyanyi Indonesia. Silakan dicerna sendiri!
Pergulatan berkaitan dengan interaksi sosial, walau tidak bisa sepenuhnya dipisahkan dari identitas, misalnya hadir pada lagu “Red Red Cabaret” di mana si tokoh bercerita tentang ekspektasi masyarakat atas seorang anak. Ekspektasi tersebut membuat orang-tua ikut terlibat dan pada gilirannya, si tokoh berperan palsu untuk menyenangkan orang tua dan masyarakat.
Makna lirik selanjutnya merambah ke hal yang lebih luas secara sosial: ketakutan masyarakat kita pada kaum gay (pada lagu “Clausnophobia”), perjuangan kaum buruh yang sebenarnya juga menunjukkan bahwa kita semua adalah buruh ketika berhadapan pada sistem kapitasme (pada lagu “Mayday”), serta yang lebih universal, perjuangan untuk terus menentang tirani (“Tantang Tirani”) walau lagu ini juga bisa dilihat dari sisi “keterperangkapan” relasi perempuan-laki laki sebelumnya. Pada lagu ini si perempuan berharap si lelaki menjadi manusia pemberani. Perempuan tetap berada di belakang untuk mendukung laki-laki.
Nah, untuk penutupnya, saya kira lagu “Polpot” adalah tafsir paling brilian atas kondisi masyarakat Indonesia. Dibuka dengan kalimat oke, “It’s the nation’s celebration of amnesia”…kita masih belum tahu apa yang dibicarakan lagu ini sebenarnya. Setelah menelaah seluruh teks lagu, barulah kita paham, lagu ini membicarakan televisi Indonesia yang sudah kelewatan buruk dari sudut pandang si tokoh. Titik tekan kecerdasan tafsir itu adalah analogi Polpot untuk televisi. Polpot kita ketahui adalah salah satu diktator paling kejam di abad ke-20. Apakah televisi juga kejam karena “membunuh” jutaan masyarakat Indonesia atas kesadaran hidup dan sejarahnya sendiri? Silakan menjawab di dalam hati, teman-teman.
Bila album ini dikreasikan oleh sesuatu “tanpa kepala”, berarti album ini luar biasa. Bila diciptakan oleh orang-orang dengan kepala, berarti itu adalah kepala-kepala yang sangat cerdas. Saya sangat puas dengan album ini, indera pendengaran saya tersenyum, labirin-labirin di hati berderak ceria, plus sel-sel kelabu di kepala saya bergerak tanpa gembira diberi makanan bergizi. Album bintang lima dari empat bintang yang tersedia…hehe…selamat mendengarkan dan tercerahkan!
Daftar lagu:
1. Tantang Tirani
2. Polpot
3. Venus Envy
4. 20 Hours
5. Uh Ah Lelah
6. Red Red Cabaret
7. Oi’ Dirty Bastard (featuring Anda)
8. Infidel Castratie
9. Waltz Muram
10. Tentang Petang
11. Mayday
12. Clausnophobia
(Plus pengemasan yang apik walau bisa jadi motif penempelan blocknotes yang bertujuan menjadikan pendengar album kreatif menulis malah menjadikan pendengar tidak ingin menulis. Takut CD-nya rusak atau hilang)
Sabtu, 05 September 2009
Etika Media di Tengah Jaman Merebaknya Teror
Oleh: Wisnu Martha Adiputra & Puji Rianto
Walau sudah diduga sebelumnya, pernyataan polisi yang disampaikan melalui Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Nanan Soekarna dalam sebuah jumpa pers, cukup mengejutkan kita. Nanan Soekarna menyatakan bahwa publikasi penangkapan dua orang yang diduga teroris oleh media sebenarnya telah mengganggu kerja polisi di lapangan (Kompas, 20 Agustus 2009). Kini polisi mengalami kesulitan untuk mengembangkan investigasi. Tak lupa kepala divisi humas polisi tersebut berpesan agar lain kali media lebih mengerti dengan kerja polisi.
Pernyataan Nanan Soekarna tersebut menunjukkan bahwa etika pemberitaan media adalah masalah yang kompleks. Pernyataan tersebut juga dapat membawa kita pada pertanyaan klasik: sudah etiskah pemberitaan media atas kasus terorisme? Tulisan ini akan berusaha mendedah bagaimana etika media dalam meliput terorisme dan bagaimana pemberitaan media dapat menjadi “mata” publik yang sebenar-benarnya.
Sebagaimana kita ketahui, sejak bom bunuh diri di Hotel Rizt Carlton dan JW Marriot meledak, hampir setiap hari media memberitakan peristiwa tersebut. Berita itu menghiasi headline koran-koran nasional, majalah, tabloid, dan tentu saja televisi. Keseluruhannya memberitakan dengan sisi dramatiknya masing-masing, dan puncak penyerbuan Densus 88 di Temanggung, Jawa Tengah. Pada peristiwa penyerbuan tersebut, televisi menayangkannya secara live sehingga penggrebekan sarang teroris tersebut mirip dengan tayangan film Hollywod yang banyak bertebaran di televisi kita. Dramatik dan menegangkan meskipun ditinjau dari sudut pandang lain penuh kejanggalan.
Jika kita simak secara seksama, maka pemberitaan-pemberitaan mengenai terorisme tersebut mengundang persoalan etis yang cukup serius. Pertama, pemberitaan tentang terorisme lebih menekankan sisi dramatiknya. Ini dapat dilihat dari banyaknya pengulangan yang tidak perlu atas berbagai momen yang mengandung efek dramatik. Di televisi, peristiwa meledaknya bom tersebut diulang-ulang, bahkan terkesan sangat detail. Dilihat dari sisi media, momen tersebut mungkin menarik dan besar kemungkinan menaikkan rating atau oplah.
Namun, pengulangan semacam ini melupakan perasaan si korban atau keluarga korban. Dalam kaitan ini, jika peristiwa dramatik dalam setiap peristiwa bom bunuh diri mempunyai nilai berita tinggi bagi jurnalis atau media, maka bagi korban situasi tersebut tak lebih menjadi pengulangan kengerian atas peristiwa serupa. Dengan begitu, media cenderung untuk menanamkan trauma psikologis yang jauh lebih mendalam bagi korban atau keluarga korban.
Persoalan kedua, detail yang tidak perlu. Ada persoalan serius ketika media baik televisi maupun koran dalam memberitakan detail bom rakitan yang digunakan. Bahkan, hingga sampai proses perakitan bom tersebut. Di sini, ada dua implikasi yang perlu diperhatikan oleh jurnalis atau media mengenai hal ini, yakni efek pembelajaran atas hal tersebut. Meskipun hal ini masih sangat bisa diperdebatkan, tetapi pemberitaan-pemberitaan detail semacam itu tidak menutup kemungkinan akan memberikan inspirasi bagi pihak lain untuk melakukan hal yang kurang lebih sama.
Jika hal ini terjadi, maka media akan memberikan kontribusi buruk bagi usaha menciptakan dunia damai yang bebas dari kekerasan dan terorisme. Kita masih ingat bagaimana pembunuhan dengan cara melakukan mutilasi beberapa waktu lalu dilakukan diantaranya karena diinspirasi oleh pemberitaan-pemberitaan media.
Di luar kedua persoalan di atas, media menghadapi persoalan lainnya yang tidak kalah seriusnya, yakni media gagal meliput peristiwa secara kritis. Usaha-usaha untuk mengejar timelines (kecepatan dalam menyiarkan berita) telah menjebak media menyiarkan segala sesuatu yang terjadi tanpa melakukan cek dan ricek. Dalam situasi semacam ini, media akan lebih memerankan diri sebagai “aparatus” pihak lain.
Tepatnya, public relations-nya pihak lain mendapatkan publikasi gratis. Padahal, informasi yang diberikan ke media belum tentu akurat dan relevan bagi publik. Bahkan, mungkin berbahaya. Berita tentang kematian Nurdin M. Top yang ditembak Densus 88 di Temanggung menjadi contoh mengenai hal ini. Wartawan hanya mengandalkan narasumber kepolisian sehingga media terjebak ke dalam apa yang sering disebut sebagai “official truth”.
Kebenaran yang direpresentasikan oleh media hanya merefleksikan kebenaran versi pejabat, bukan kebenaran dalam pengertian yang sebenarnya. Oleh karena itulah, media harus kritis. Sikap kritis semacam ini juga penting agar media tidak terjebak sebagai “aparatus” atau instrumen kekuasaan pihak-pihak yang terlibat. Sebagaimana kita tahu, tujuan utama teroris adalah menyebarkan ketakutan di kalangan masyarakat.
Oleh karena itu, mereka hampir selalu mencari perhatian media sehingga jika media tidak hati-hati dalam memberitakan bom bunuh diri, maka tidak menutup kemungkinan liputan-liputan tersebut justru menguntungkan mereka. Dalam konteks ini, liputan yang luas akan mengaburkan mana yang menjadi pahlawan dan mana yang bukan.
Tidak menutup kemungkinan pihak-pihak yang seharusnya dihukum dan menjadi musuh masyarakat bahkan akan tampil bak pahlawan. Sementara itu, pengutipan tanpa kritisisme dari sumber-sumber pemerintah dan kepolisian hanya akan membuat media melupakan tugas pokoknya untuk mengabdi masyarakat dengan memberikan informasi yang benar. Dari situlah, akal sehat menjadi semakin terpelihara dan bukannya sebaliknya.
Pada intinya, media harus kritis. Kritis terhadap narasumber dan juga peristiwa. Kritis terhadap peristiwa dapat dikembangkan dengan berusaha menjawab hal-hal penting bagi publik. Kemudian, dalam setiap liputannya, media harus senantiasa mempertimbangkan dampaknya bagi publik karena kepada merekalah media seharusnya melayani, dan bukannya pada kekuasaan yang lain.
Dengan kata lain, media harus senantiasa mempertimbangkan sisi etis dalam setiap pemberitaan. Etis berarti media harus melakukan sesuatu sebagaimana seharusnya, menjadi perpanjangan mata pulik, dengan mempertimbangkan banyak faktor, tidak semata-mata rating atau oplah. Bukankah publik, yang bermakna: transparansi, melibatkan partisipasi warga, dan untuk kepentingan banyak orang, adalah esensi dari kerja media?
(tulisan ini karya saya bersama rekan dan "atasan" saya di PKMBP, Puji Rianto...Tulisan opini ini dimuat di Kedaulatan Rakyat tanggal 3 September 2009. Semoga bermanfaat dan semoga visi PKMBP untuk "membantu mewujudkan demokrasi melalui literasi media" terus berjalan)
Walau sudah diduga sebelumnya, pernyataan polisi yang disampaikan melalui Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Nanan Soekarna dalam sebuah jumpa pers, cukup mengejutkan kita. Nanan Soekarna menyatakan bahwa publikasi penangkapan dua orang yang diduga teroris oleh media sebenarnya telah mengganggu kerja polisi di lapangan (Kompas, 20 Agustus 2009). Kini polisi mengalami kesulitan untuk mengembangkan investigasi. Tak lupa kepala divisi humas polisi tersebut berpesan agar lain kali media lebih mengerti dengan kerja polisi.
Pernyataan Nanan Soekarna tersebut menunjukkan bahwa etika pemberitaan media adalah masalah yang kompleks. Pernyataan tersebut juga dapat membawa kita pada pertanyaan klasik: sudah etiskah pemberitaan media atas kasus terorisme? Tulisan ini akan berusaha mendedah bagaimana etika media dalam meliput terorisme dan bagaimana pemberitaan media dapat menjadi “mata” publik yang sebenar-benarnya.
Sebagaimana kita ketahui, sejak bom bunuh diri di Hotel Rizt Carlton dan JW Marriot meledak, hampir setiap hari media memberitakan peristiwa tersebut. Berita itu menghiasi headline koran-koran nasional, majalah, tabloid, dan tentu saja televisi. Keseluruhannya memberitakan dengan sisi dramatiknya masing-masing, dan puncak penyerbuan Densus 88 di Temanggung, Jawa Tengah. Pada peristiwa penyerbuan tersebut, televisi menayangkannya secara live sehingga penggrebekan sarang teroris tersebut mirip dengan tayangan film Hollywod yang banyak bertebaran di televisi kita. Dramatik dan menegangkan meskipun ditinjau dari sudut pandang lain penuh kejanggalan.
Jika kita simak secara seksama, maka pemberitaan-pemberitaan mengenai terorisme tersebut mengundang persoalan etis yang cukup serius. Pertama, pemberitaan tentang terorisme lebih menekankan sisi dramatiknya. Ini dapat dilihat dari banyaknya pengulangan yang tidak perlu atas berbagai momen yang mengandung efek dramatik. Di televisi, peristiwa meledaknya bom tersebut diulang-ulang, bahkan terkesan sangat detail. Dilihat dari sisi media, momen tersebut mungkin menarik dan besar kemungkinan menaikkan rating atau oplah.
Namun, pengulangan semacam ini melupakan perasaan si korban atau keluarga korban. Dalam kaitan ini, jika peristiwa dramatik dalam setiap peristiwa bom bunuh diri mempunyai nilai berita tinggi bagi jurnalis atau media, maka bagi korban situasi tersebut tak lebih menjadi pengulangan kengerian atas peristiwa serupa. Dengan begitu, media cenderung untuk menanamkan trauma psikologis yang jauh lebih mendalam bagi korban atau keluarga korban.
Persoalan kedua, detail yang tidak perlu. Ada persoalan serius ketika media baik televisi maupun koran dalam memberitakan detail bom rakitan yang digunakan. Bahkan, hingga sampai proses perakitan bom tersebut. Di sini, ada dua implikasi yang perlu diperhatikan oleh jurnalis atau media mengenai hal ini, yakni efek pembelajaran atas hal tersebut. Meskipun hal ini masih sangat bisa diperdebatkan, tetapi pemberitaan-pemberitaan detail semacam itu tidak menutup kemungkinan akan memberikan inspirasi bagi pihak lain untuk melakukan hal yang kurang lebih sama.
Jika hal ini terjadi, maka media akan memberikan kontribusi buruk bagi usaha menciptakan dunia damai yang bebas dari kekerasan dan terorisme. Kita masih ingat bagaimana pembunuhan dengan cara melakukan mutilasi beberapa waktu lalu dilakukan diantaranya karena diinspirasi oleh pemberitaan-pemberitaan media.
Di luar kedua persoalan di atas, media menghadapi persoalan lainnya yang tidak kalah seriusnya, yakni media gagal meliput peristiwa secara kritis. Usaha-usaha untuk mengejar timelines (kecepatan dalam menyiarkan berita) telah menjebak media menyiarkan segala sesuatu yang terjadi tanpa melakukan cek dan ricek. Dalam situasi semacam ini, media akan lebih memerankan diri sebagai “aparatus” pihak lain.
Tepatnya, public relations-nya pihak lain mendapatkan publikasi gratis. Padahal, informasi yang diberikan ke media belum tentu akurat dan relevan bagi publik. Bahkan, mungkin berbahaya. Berita tentang kematian Nurdin M. Top yang ditembak Densus 88 di Temanggung menjadi contoh mengenai hal ini. Wartawan hanya mengandalkan narasumber kepolisian sehingga media terjebak ke dalam apa yang sering disebut sebagai “official truth”.
Kebenaran yang direpresentasikan oleh media hanya merefleksikan kebenaran versi pejabat, bukan kebenaran dalam pengertian yang sebenarnya. Oleh karena itulah, media harus kritis. Sikap kritis semacam ini juga penting agar media tidak terjebak sebagai “aparatus” atau instrumen kekuasaan pihak-pihak yang terlibat. Sebagaimana kita tahu, tujuan utama teroris adalah menyebarkan ketakutan di kalangan masyarakat.
Oleh karena itu, mereka hampir selalu mencari perhatian media sehingga jika media tidak hati-hati dalam memberitakan bom bunuh diri, maka tidak menutup kemungkinan liputan-liputan tersebut justru menguntungkan mereka. Dalam konteks ini, liputan yang luas akan mengaburkan mana yang menjadi pahlawan dan mana yang bukan.
Tidak menutup kemungkinan pihak-pihak yang seharusnya dihukum dan menjadi musuh masyarakat bahkan akan tampil bak pahlawan. Sementara itu, pengutipan tanpa kritisisme dari sumber-sumber pemerintah dan kepolisian hanya akan membuat media melupakan tugas pokoknya untuk mengabdi masyarakat dengan memberikan informasi yang benar. Dari situlah, akal sehat menjadi semakin terpelihara dan bukannya sebaliknya.
Pada intinya, media harus kritis. Kritis terhadap narasumber dan juga peristiwa. Kritis terhadap peristiwa dapat dikembangkan dengan berusaha menjawab hal-hal penting bagi publik. Kemudian, dalam setiap liputannya, media harus senantiasa mempertimbangkan dampaknya bagi publik karena kepada merekalah media seharusnya melayani, dan bukannya pada kekuasaan yang lain.
Dengan kata lain, media harus senantiasa mempertimbangkan sisi etis dalam setiap pemberitaan. Etis berarti media harus melakukan sesuatu sebagaimana seharusnya, menjadi perpanjangan mata pulik, dengan mempertimbangkan banyak faktor, tidak semata-mata rating atau oplah. Bukankah publik, yang bermakna: transparansi, melibatkan partisipasi warga, dan untuk kepentingan banyak orang, adalah esensi dari kerja media?
(tulisan ini karya saya bersama rekan dan "atasan" saya di PKMBP, Puji Rianto...Tulisan opini ini dimuat di Kedaulatan Rakyat tanggal 3 September 2009. Semoga bermanfaat dan semoga visi PKMBP untuk "membantu mewujudkan demokrasi melalui literasi media" terus berjalan)
Kamis, 03 September 2009
(Mantan) Anggota Militer saja Bisa Menulis
Bukan, bukan berarti tulisan ini memandang rendah tentara dalam aktivitas tulis-menulis. Namun, inilah yang di-highlight, walaupun tersamar, bahkan oleh penerbitnya sendiri: bahwa ada lho tentara yang bisa menulis dengan baik. Plus, penulis buku ini, pak Chappy Hakim, adalah penulis yang produktif.
Kurang lebih penulis buku ini sudah menerbitkan 100 buku. Penulis buku ini adalah “spesies” langka di Indonesia karena sedikit sekali anggota militer yang aktif menulis. Apalagi Chapy Hakim adalah mantan orang nomor satu di angkatan udara Republik Indonesia. Kita bisa membayangkan bagaimana di tengah kesibukannya, dia masih bisa menulis. Begitulah, bila menulis sudah menjadi semacam hobi atau kesenangan. Tulisan akan mengalir dengan deras, sederas air sungai.
Melihat jejak rekamnya di bidang menulis, kita bisa melihat bahwa penulis buku ini memang penulis yang berpengalaman. Walau demikian, blog-lah yang menurut saya membuatnya menjadi lebih produktif karena bagaimana pun juga, blog mengatasi keterbatasan media massa yang berkaitan dengan ruang pada media cetak dan waktu pada media penyiaran. Beliau termasuk blogger yang paling rajin di situs blog Kompasiana. Situs blog yang difasilitasi oleh Kompas, media berita terkemuka negeri ini.
Demikianlah, karena tertarik dengan penulis yang produktif dan peran blog dalam mendukung tulis-menulis, saya tertarik mengakses buku ini. Saya tertarik pada semua buku yang berasal dari blog. Mulai dari Naked Traveller karya Trinity, sampai dengan The Long Tail karya Chris Anderson. Juga beberapa buku dari istri saya dan teman-temannya yang difasilitasi oleh blog Multiply.
Kecuali dengan buku The Long Tail, buku Cat Rambut Orang Yahudi ini lebih serius bila dibandingkan dengan buku-buku yang saya sebutkan di atas. Buku ini menunjukkan pengamatan penulis pada banyak hal. Tetapi memang keahlian utama penulisnya adalah pada bidang kedirgantaraan.
Membaca tulisan-tulisan di buku ini, kita juga akan bisa melihat penulis lebih mengutamakan “hati” yang lembut dalam menelaah berbagai fenomena bahkan melihatnya dari sisi humor. Hal ini terlihat, terutama di dalam tulisannya yang ada pada bagian “Ayo Merenung Sejenak”. Kita jadi paham sekaligus tersenyum simpul setelah membacanya. Inilah yang dianggap bertolak-belakang dengan kehidupan “keras” militer.
Mungkin karena itulah, tulisan-tulisan pak Chappy ditunggu dan dibaca oleh banyak orang. Indikator ketertarikan tersebut tentu saja berasal dari komentar yang masuk di blog, terutama dari dua tulisannya yang menjadi judul buku ini: “Cat Rambut” dan “Mengapa Orang Yahudi Banyak yang Pintar?”.
Tetapi juga dari judul buku inilah, menurut saya sedikit kekurangan buku ini berasal. Judul buku “Cat Rambut Orang Yahudi” sedikit mengarahkan calon pembaca pada harapan berbeda karena toh tulisan seperti itu tidak ada di dalam buku. Sebaiknya, dicari judul lain yang lebih mencerminkan isi keseluruhan buku. Mungkin ini adalah strategi pemasaran agar penjualan buku ini menjadi baik.
Buku ini terdiri dari empat bab; Pemimpin, Transportasi, Apakah Anda Tahu, dan Ayo Merenung Sejenak. Pada bab pertama, sedikit banyak penulis buku ini berbicara tentang politik. Pada bab kedua penulis ini lebih banyak berbicara masalah transportasi udara yang menjadi keahlian utamanya. Justru pada dua bab selanjutnya saya menemukan banyak informasi baru yang unik dan terkadang mengejutkan.
Misalnya pada tulisan dua tulisan tentang “Malas Membaca” dan “Malas Menulis?”. Penulis buku ini mengritik profesinya sendiri yang kurang mau menulis, terutama karena berdalih sebagai “orang lapangan”. Juga analisisnya mengapa orang malas menulis. Ia berpendapat bahwa orang yang malas menulis adalah orang yang otaknya “kosong” karena itulah dia tidak bisa menulis. Apa yang mau dikeluarkan dalam menulis bila tidak ada yang bisa dikeluarkan?
Terus terang, saya merasa tersindir dengan pendapat tersebut walau kemudian tersenyum simpul. Saya yang salah satu tugas utamanya menulis saja, tidak bisa seproduktif pak Chappy…hehe…Walau demikian, saya senang dengan buku ini karena memicu saya, mungkin juga pembaca lain, untuk produktif menulis dan juga terus membaca. Bagaimana pun juga, membaca dan menulis itu seperti uang koin. Tak terpisahkan dan saling melengkapi.
Satu lagi pak Chappy. Menulis membantu kita berpikir dengan lebih terstuktur. Juga membantu kita melihat dunia dengan lebih jernih sekaligus takzim. Singkat kata sebagai penutup, buku ini bagus dan memberi banyak inspirasi, terutama dalam hal tulis-menulis yang katanya sulit itu.
Judul : Catatan Rambut Orang Yahudi: Catatan Blog Chappy Hakim
Penulis : Chappy Hakim
Tahun : 2009
Penerbit : Kompas
Harga : lupa, sekitar Rp. 60.000,-
Kurang lebih penulis buku ini sudah menerbitkan 100 buku. Penulis buku ini adalah “spesies” langka di Indonesia karena sedikit sekali anggota militer yang aktif menulis. Apalagi Chapy Hakim adalah mantan orang nomor satu di angkatan udara Republik Indonesia. Kita bisa membayangkan bagaimana di tengah kesibukannya, dia masih bisa menulis. Begitulah, bila menulis sudah menjadi semacam hobi atau kesenangan. Tulisan akan mengalir dengan deras, sederas air sungai.
Melihat jejak rekamnya di bidang menulis, kita bisa melihat bahwa penulis buku ini memang penulis yang berpengalaman. Walau demikian, blog-lah yang menurut saya membuatnya menjadi lebih produktif karena bagaimana pun juga, blog mengatasi keterbatasan media massa yang berkaitan dengan ruang pada media cetak dan waktu pada media penyiaran. Beliau termasuk blogger yang paling rajin di situs blog Kompasiana. Situs blog yang difasilitasi oleh Kompas, media berita terkemuka negeri ini.
Demikianlah, karena tertarik dengan penulis yang produktif dan peran blog dalam mendukung tulis-menulis, saya tertarik mengakses buku ini. Saya tertarik pada semua buku yang berasal dari blog. Mulai dari Naked Traveller karya Trinity, sampai dengan The Long Tail karya Chris Anderson. Juga beberapa buku dari istri saya dan teman-temannya yang difasilitasi oleh blog Multiply.
Kecuali dengan buku The Long Tail, buku Cat Rambut Orang Yahudi ini lebih serius bila dibandingkan dengan buku-buku yang saya sebutkan di atas. Buku ini menunjukkan pengamatan penulis pada banyak hal. Tetapi memang keahlian utama penulisnya adalah pada bidang kedirgantaraan.
Membaca tulisan-tulisan di buku ini, kita juga akan bisa melihat penulis lebih mengutamakan “hati” yang lembut dalam menelaah berbagai fenomena bahkan melihatnya dari sisi humor. Hal ini terlihat, terutama di dalam tulisannya yang ada pada bagian “Ayo Merenung Sejenak”. Kita jadi paham sekaligus tersenyum simpul setelah membacanya. Inilah yang dianggap bertolak-belakang dengan kehidupan “keras” militer.
Mungkin karena itulah, tulisan-tulisan pak Chappy ditunggu dan dibaca oleh banyak orang. Indikator ketertarikan tersebut tentu saja berasal dari komentar yang masuk di blog, terutama dari dua tulisannya yang menjadi judul buku ini: “Cat Rambut” dan “Mengapa Orang Yahudi Banyak yang Pintar?”.
Tetapi juga dari judul buku inilah, menurut saya sedikit kekurangan buku ini berasal. Judul buku “Cat Rambut Orang Yahudi” sedikit mengarahkan calon pembaca pada harapan berbeda karena toh tulisan seperti itu tidak ada di dalam buku. Sebaiknya, dicari judul lain yang lebih mencerminkan isi keseluruhan buku. Mungkin ini adalah strategi pemasaran agar penjualan buku ini menjadi baik.
Buku ini terdiri dari empat bab; Pemimpin, Transportasi, Apakah Anda Tahu, dan Ayo Merenung Sejenak. Pada bab pertama, sedikit banyak penulis buku ini berbicara tentang politik. Pada bab kedua penulis ini lebih banyak berbicara masalah transportasi udara yang menjadi keahlian utamanya. Justru pada dua bab selanjutnya saya menemukan banyak informasi baru yang unik dan terkadang mengejutkan.
Misalnya pada tulisan dua tulisan tentang “Malas Membaca” dan “Malas Menulis?”. Penulis buku ini mengritik profesinya sendiri yang kurang mau menulis, terutama karena berdalih sebagai “orang lapangan”. Juga analisisnya mengapa orang malas menulis. Ia berpendapat bahwa orang yang malas menulis adalah orang yang otaknya “kosong” karena itulah dia tidak bisa menulis. Apa yang mau dikeluarkan dalam menulis bila tidak ada yang bisa dikeluarkan?
Terus terang, saya merasa tersindir dengan pendapat tersebut walau kemudian tersenyum simpul. Saya yang salah satu tugas utamanya menulis saja, tidak bisa seproduktif pak Chappy…hehe…Walau demikian, saya senang dengan buku ini karena memicu saya, mungkin juga pembaca lain, untuk produktif menulis dan juga terus membaca. Bagaimana pun juga, membaca dan menulis itu seperti uang koin. Tak terpisahkan dan saling melengkapi.
Satu lagi pak Chappy. Menulis membantu kita berpikir dengan lebih terstuktur. Juga membantu kita melihat dunia dengan lebih jernih sekaligus takzim. Singkat kata sebagai penutup, buku ini bagus dan memberi banyak inspirasi, terutama dalam hal tulis-menulis yang katanya sulit itu.
Judul : Catatan Rambut Orang Yahudi: Catatan Blog Chappy Hakim
Penulis : Chappy Hakim
Tahun : 2009
Penerbit : Kompas
Harga : lupa, sekitar Rp. 60.000,-
Bukan Sekadar Lirik Berbahasa Inggris (Resensi untuk album Slank – Anthem for the Broken Hearted)
Rasanya belum lama saya mengakses album OST Generasi Biru. Belum sampai setengah tahun. Sedikit lebih dulu, juga tidak sampai setengah tahun sebelumnya, saya juga membeli albumnya yang berjudul “Big Hip”. Album kolaborasi dengan band asal Jepang. Jadi, Slank memang termasuk band yang produktif. Mungkin termasuk yang terproduktif di Indonesia.
Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana mereka menyalurkan energi kreatifnya untuk terus-menerus membuat lagu dan dikumpulkan dalam rilisan album. Saya berharap seperti Slank tetapi tentu saja di dalam bidang yang saya bisa; menulis dan meneliti. Mungkin dengan mengikuti “sepak-terjang” mereka, saya bisa menjadi lebih produktif.
Tidak hanya Slank yang dapat memberi kita inspirasi seputar produktivitas karya. Ada band luar nagri, band dari Irlandia, yang juga dapat memberi inspirasi untuk hal yang sama. Nama band itu U2. Walau sama-sama konsisten produktif, Slank dan U2 sedikit berbeda.
Slank produktif dalam konteks yang linier alias biasa, yaitu produktif mengeluarkan album dengan masa waktu kurang dari setahun. Sayangnya, terkadang ada sedikit daur ulang dalam produktivitas mereka. Ini sah-sah saja, wong karya mereka sendiri…seperti di album ini. Walau begitu, produktivitas model begini tetap saja positif. Tetapi memang sebaiknya produktivitas merilis album juga dibarengi dengan lagu-lagu yang benar-benar baru.
Sementara itu, U2 berada di dalam produktivitas yang “beyond”, melampaui produksi album yang intens dan rutin. Mungkin mereka memproduksi album tidak setahun sekali. Walau demikian, setiap album U2 memberikan karakter tersendiri dan berkontribusi dalam dunia musik yang lebih luas. Fenomena ini terjadi bahkan untuk album U2 yang dinilai paling lemah, Pop, yang dirilis pada tahun 1997.
Selain itu, U2 selalu memikirkan album berikutnya, bahkan pada saat mereka sedang memproduksi album. Hal ini terlihat sewaktu mereka memproduksi dan kemudian merilis album ke-12 mereka, “No Line in the Horizon” pada tahun ini, mereka sudah bersiap untuk album berikutnya yang berjudul “Songs for Ascent”. Bukan hanya judul album, mereka pun sudah siap dengan konsep album yang solid.
Menurut saya kedua band ini bisa menjadi contoh yang baik bagi band lain dan juga bagi kita yang ingin lebih produktif dan kreatif. Saya kira hal ini lebih baik daripada sekadar “meniru” atau mengaku terinspirasi tetapi tidak mengambil yang esensial dari inspirasi tersebut. Karena bila kita meniru dan mengambil yang tidak esensial, berarti kita “menjiplak” atau sekadar menjadi epigon.
Hal ini terjadi pada band Indonesia yang mengaku terinspirasi dengan U2 bahkan memberi nama bandnya dengan salah satu judul lagu U2. Lagu-lagu mereka hanya menyuplik sana-sini dari lagu-lagu U2. Kini mereka pun tak terdengar, apalagi merilis album baru.
Kembali pada album Slank terbaru ini: album ini bagus tetapi tidak bagus-bagus amat. Semua liriknya berbahasa Inggris dan kebanyakan lagu lama yang diganti dengan lirik berbahasa Inggris. Tapi ya itu, hal yang terpenting justru bukan unjuk gigi Slank atas kemampuan berbahasa Inggris mereka. Hal terpenting justru kemungkinan inspirasi yang bisa mereka berikan.
Sayangnya, tidak ada informasi mana lagu Slank yang benar-benar baru dan mana lagu yang “berganti kulit”. Bagi saya yang baru saja menyenangi Slank, ketiadaan informasi ini cukup meresahkan saya sendiri.
Memang lamat-lamat saya seperti mengenal lagu-lagu tertentu, tetapi tidak semuanya. Lagu-lagu yang ada di album ini juga kebanyakan berbicara tentang patah hati seperti judulnya. Patah hati dalam artinya yang paling umum, yaitu pada lawan jenis. Menurut saya banyak lagu Slank yang berpotensi menjadi lagu “patah hati” tetapi patah hati atau hampir patah hati dengan kondisi sosial kita yang tidak berubah.
Semua lagu di album ini lumayan saya sukai, terutama “Too Sweet To Forget”, versi Inggris dari “Terlalu Manis” tetapi dengan musik dan interpretasi sedikir berbeda. Album yang lumayan bagus, terutama untuk mengenang-ngenang masa lalu dalam bahasa yang berbeda.
Daftar lagu:
1. Drug Me Up
2. Do Something
3. Since You’ve Been Gone
4. Love Cursed
5. Caricature
6. Devilinu
7. I Miss U But I Hate U
8. Wake Up Tonight
9. Virus
10. Too Sweet To Forget
Harga : Rp. 50.000,- dengan bonus VCD dokumenter dan t-shirt. Pada versi lain, VCD diganti dengan kaset.
Label : Virgo Ramayana Musik dan Slank Records
Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana mereka menyalurkan energi kreatifnya untuk terus-menerus membuat lagu dan dikumpulkan dalam rilisan album. Saya berharap seperti Slank tetapi tentu saja di dalam bidang yang saya bisa; menulis dan meneliti. Mungkin dengan mengikuti “sepak-terjang” mereka, saya bisa menjadi lebih produktif.
Tidak hanya Slank yang dapat memberi kita inspirasi seputar produktivitas karya. Ada band luar nagri, band dari Irlandia, yang juga dapat memberi inspirasi untuk hal yang sama. Nama band itu U2. Walau sama-sama konsisten produktif, Slank dan U2 sedikit berbeda.
Slank produktif dalam konteks yang linier alias biasa, yaitu produktif mengeluarkan album dengan masa waktu kurang dari setahun. Sayangnya, terkadang ada sedikit daur ulang dalam produktivitas mereka. Ini sah-sah saja, wong karya mereka sendiri…seperti di album ini. Walau begitu, produktivitas model begini tetap saja positif. Tetapi memang sebaiknya produktivitas merilis album juga dibarengi dengan lagu-lagu yang benar-benar baru.
Sementara itu, U2 berada di dalam produktivitas yang “beyond”, melampaui produksi album yang intens dan rutin. Mungkin mereka memproduksi album tidak setahun sekali. Walau demikian, setiap album U2 memberikan karakter tersendiri dan berkontribusi dalam dunia musik yang lebih luas. Fenomena ini terjadi bahkan untuk album U2 yang dinilai paling lemah, Pop, yang dirilis pada tahun 1997.
Selain itu, U2 selalu memikirkan album berikutnya, bahkan pada saat mereka sedang memproduksi album. Hal ini terlihat sewaktu mereka memproduksi dan kemudian merilis album ke-12 mereka, “No Line in the Horizon” pada tahun ini, mereka sudah bersiap untuk album berikutnya yang berjudul “Songs for Ascent”. Bukan hanya judul album, mereka pun sudah siap dengan konsep album yang solid.
Menurut saya kedua band ini bisa menjadi contoh yang baik bagi band lain dan juga bagi kita yang ingin lebih produktif dan kreatif. Saya kira hal ini lebih baik daripada sekadar “meniru” atau mengaku terinspirasi tetapi tidak mengambil yang esensial dari inspirasi tersebut. Karena bila kita meniru dan mengambil yang tidak esensial, berarti kita “menjiplak” atau sekadar menjadi epigon.
Hal ini terjadi pada band Indonesia yang mengaku terinspirasi dengan U2 bahkan memberi nama bandnya dengan salah satu judul lagu U2. Lagu-lagu mereka hanya menyuplik sana-sini dari lagu-lagu U2. Kini mereka pun tak terdengar, apalagi merilis album baru.
Kembali pada album Slank terbaru ini: album ini bagus tetapi tidak bagus-bagus amat. Semua liriknya berbahasa Inggris dan kebanyakan lagu lama yang diganti dengan lirik berbahasa Inggris. Tapi ya itu, hal yang terpenting justru bukan unjuk gigi Slank atas kemampuan berbahasa Inggris mereka. Hal terpenting justru kemungkinan inspirasi yang bisa mereka berikan.
Sayangnya, tidak ada informasi mana lagu Slank yang benar-benar baru dan mana lagu yang “berganti kulit”. Bagi saya yang baru saja menyenangi Slank, ketiadaan informasi ini cukup meresahkan saya sendiri.
Memang lamat-lamat saya seperti mengenal lagu-lagu tertentu, tetapi tidak semuanya. Lagu-lagu yang ada di album ini juga kebanyakan berbicara tentang patah hati seperti judulnya. Patah hati dalam artinya yang paling umum, yaitu pada lawan jenis. Menurut saya banyak lagu Slank yang berpotensi menjadi lagu “patah hati” tetapi patah hati atau hampir patah hati dengan kondisi sosial kita yang tidak berubah.
Semua lagu di album ini lumayan saya sukai, terutama “Too Sweet To Forget”, versi Inggris dari “Terlalu Manis” tetapi dengan musik dan interpretasi sedikir berbeda. Album yang lumayan bagus, terutama untuk mengenang-ngenang masa lalu dalam bahasa yang berbeda.
Daftar lagu:
1. Drug Me Up
2. Do Something
3. Since You’ve Been Gone
4. Love Cursed
5. Caricature
6. Devilinu
7. I Miss U But I Hate U
8. Wake Up Tonight
9. Virus
10. Too Sweet To Forget
Harga : Rp. 50.000,- dengan bonus VCD dokumenter dan t-shirt. Pada versi lain, VCD diganti dengan kaset.
Label : Virgo Ramayana Musik dan Slank Records
Bahkan Tidak Berpendar (Takaran untuk album "Glow" Karya Melly)
Mendengarkan mini album ini saya jadi ingat dengan kalimat “glowing in the dark”. Kalimat tersebut berasal dari t-shirt teman SMA saya jaman dulu. Jenis t-shirt seperti itu adalah sesuatu yang baru di tahun 1990-an awal. Untuk melihat efek sinarnya, kami sampai pergi ke Malioboro melewati jalan gelap dan kecil di belakang pasar sapi Kuncen. Memang terlihat luar biasa, tulisan “glowing in the dark” bersinar sedikit di dalam kegelapan. Indah sekali. “Glowing in the dark” bisa kita artikan “berpendar dalam gelapan”. Berpendar adalah bersinar sedikit. Sinar yang tidak benar-benar terang tetapi meneduhkan.
Mendengarkan lagu-lagu di album ini saya jadi benar-benar kangen dengan lagu-lagu Melly yang dulu. Lagu dengan lirik yang tengil dan kadang nakal di Potret era awal atau lagu cinta monyet anak muda yang menjadi lebih mendalam, terutama pada OST Ada Apa dengan Cinta.
Mari kita dedah satu-persatu lagu di album ini. Lagu pembuka, "Glow", terdengar konyol dengan suara “glow, glow” bersahut-sahutan. Begitu juga lagu berikutnya, “Tentang Seseorang” yang dibuat versi dance, terdengar berlebihan dan tidak pas. Lagu ini menghancurkan imaji lagu cinta yang ada di versi asli. Lagu ketiga adalah lagu yang paling bagus di album ini, “Cinta Putih”, terdengar indah dengan petikan gitar akustik dan lirik klasik dan megah oleh Titiek Puspa.
Lagu berikutnya cukup lumayan walaupun lagu ini diciptakan komandan barisan band menye-menye, Dody dari Kangen Band. Sepertinya filosofi Melly untuk mendengarkan musik tanpa prasangka seperti yang termuat di cover albumnya terlihat di sini. Masalah sebenarnya bukanlah tanpa prasangka atau bukan, tapi kan kita mendengarkan menggunakan telinga. Telinga saya "sakit" bila mendengar musik menye-menye...hehe...Untung lagunya lumayan, jadi “kerjasama” ini bukan blunder besar bagi Melly. Blunder Melly terbesar, menurut saya, adalah kerjasamanya dengan para selebriti muda yang tidak bisa menyanyi di BBB.
Lagu terakhir, “Haramkah”, bernuansa qasidah dan mudah ditebak, sesuai irama dan judulnya, lagu ini berisi moment “religius”. Apa lagu ini memang ada untuk menyambut bulan puasa? Kemungkinan itu cukup besar sepertinya. Apalagi melihat fenomena komodifikasi bulan Ramadan seperti sekarang ini.
Dengan lima lagu tersebut di atas, mini album ini bahkan tidak berpendar apalagi bersinar terang. Album yang biasa saja menurut saya. Hal yang terpenting bagi seorang penyanyi bukan aksi panggung gila-gilaan atau spektakuler, misalnya dengan mengantung dirinya melintasi panggung. Boleh saja Melly terinspirasi dari Bjork seperti yang ditunjukkan dengan pilihan pakaian saat pentas beberapa tahun ini, tetapi seharusnya Melly lebih melihat pada musiknya. Musik karya Bjork yang terus berkualitas baik dan menjadi karya lagu yang bagus dan unik.
Hal terpenting bagi seorang penyanyi adalah lagu dan musik. Bukan pada yang lain-lain. Sebaiknya Melly kembali pada hal-hal yang esensial tadi. Seperti yang pernah dia lakukan dulu beberapa tahun lalu. Tentu saja, kembali pada lagu yang bagus akan membuat Melly kembali berpendar dan berpendar semakin terang.
Daftar lagu
1. Glow
2. Tentang Seseorang
3. Cinta Putih
4. Sesungguhnya Aku
5. Haramkah
Harga : Rp. 25.000,-
Label : Aquarius
Mendengarkan lagu-lagu di album ini saya jadi benar-benar kangen dengan lagu-lagu Melly yang dulu. Lagu dengan lirik yang tengil dan kadang nakal di Potret era awal atau lagu cinta monyet anak muda yang menjadi lebih mendalam, terutama pada OST Ada Apa dengan Cinta.
Mari kita dedah satu-persatu lagu di album ini. Lagu pembuka, "Glow", terdengar konyol dengan suara “glow, glow” bersahut-sahutan. Begitu juga lagu berikutnya, “Tentang Seseorang” yang dibuat versi dance, terdengar berlebihan dan tidak pas. Lagu ini menghancurkan imaji lagu cinta yang ada di versi asli. Lagu ketiga adalah lagu yang paling bagus di album ini, “Cinta Putih”, terdengar indah dengan petikan gitar akustik dan lirik klasik dan megah oleh Titiek Puspa.
Lagu berikutnya cukup lumayan walaupun lagu ini diciptakan komandan barisan band menye-menye, Dody dari Kangen Band. Sepertinya filosofi Melly untuk mendengarkan musik tanpa prasangka seperti yang termuat di cover albumnya terlihat di sini. Masalah sebenarnya bukanlah tanpa prasangka atau bukan, tapi kan kita mendengarkan menggunakan telinga. Telinga saya "sakit" bila mendengar musik menye-menye...hehe...Untung lagunya lumayan, jadi “kerjasama” ini bukan blunder besar bagi Melly. Blunder Melly terbesar, menurut saya, adalah kerjasamanya dengan para selebriti muda yang tidak bisa menyanyi di BBB.
Lagu terakhir, “Haramkah”, bernuansa qasidah dan mudah ditebak, sesuai irama dan judulnya, lagu ini berisi moment “religius”. Apa lagu ini memang ada untuk menyambut bulan puasa? Kemungkinan itu cukup besar sepertinya. Apalagi melihat fenomena komodifikasi bulan Ramadan seperti sekarang ini.
Dengan lima lagu tersebut di atas, mini album ini bahkan tidak berpendar apalagi bersinar terang. Album yang biasa saja menurut saya. Hal yang terpenting bagi seorang penyanyi bukan aksi panggung gila-gilaan atau spektakuler, misalnya dengan mengantung dirinya melintasi panggung. Boleh saja Melly terinspirasi dari Bjork seperti yang ditunjukkan dengan pilihan pakaian saat pentas beberapa tahun ini, tetapi seharusnya Melly lebih melihat pada musiknya. Musik karya Bjork yang terus berkualitas baik dan menjadi karya lagu yang bagus dan unik.
Hal terpenting bagi seorang penyanyi adalah lagu dan musik. Bukan pada yang lain-lain. Sebaiknya Melly kembali pada hal-hal yang esensial tadi. Seperti yang pernah dia lakukan dulu beberapa tahun lalu. Tentu saja, kembali pada lagu yang bagus akan membuat Melly kembali berpendar dan berpendar semakin terang.
Daftar lagu
1. Glow
2. Tentang Seseorang
3. Cinta Putih
4. Sesungguhnya Aku
5. Haramkah
Harga : Rp. 25.000,-
Label : Aquarius
Serpihan Pemahaman atas Literasi Digital
Seperti kita pahami bersama, pemikiran untuk memanfaatkan media (massa) sebaik mungkin dan juga menghindari efek-efek negatifnya, yang masuk dalam koridor konsep literasi dan literasi media, sudah mulai dikenal dan dimasyarakatkan di Indonesia. Kini, sebaiknya, konsep ketiga dari koridor kecakapan bermedia tersebut juga dikenalkan. Kecakapan bermedia ketiga ini disebut dengan nama literasi digital.
Bila literasi media terutama muncul sebagai akibat perkembangan televisi, literasi digital muncul karena perkembangan media baru. Walau paling tidak, ada tiga jenis media baru: handphone, internet, dan games, biasanya kita mengidentikkan media baru dengan internet. Mengapa demikian? ada dua musabab mengapa media baru dianggap (hanya) internet.
Pertama, internet mampu meliputi semua fungsi media yang lain, termasuk games, mengirim pesan dengan cepat, serta menelepon. Kedua, dengan fungsi yang demikian banyak tersebut, dana untuk mengakses internet juga tidak terlalu mahal. Apalagi kini di Indonesia sudah banyak ditawarkan akses melalui internet melalui 3G yang relatif lebih murah dan fleksibel.
Kehadiran internet yang semakin dekat inilah yang seharusnya membuat kita, terutama yang "berprofesi" sebagai orang tua, semakin memperhatikan kehadiran internet di rumah. Informasi internet yang lebih banyak dibandingkan dengan media lain, juga kemampuannya untuk berkomunikais real time, membuatnya semakin perlu "diwaspadai".
Begitulah, ketika saya melihat sebuah buku kecil tentang "Internet Aman untuk Anak-Anak" di kios koran dan majalah di dekat rumah, saya senang sekali. Buku sederhana dan murah ini memberi kita pengetahuan yang tidak sederhana dan kaya mengenai berbagai program untuk "mengamankan" internet sebagai media untuk anak-anak.
Melalui buku ini kita dapat mengetahui dan mengaplikasikan program pengawasan orang-tua ketika anak berinternet. Program yang gratis maupun yang berbayar. Program yang hanya menghalangi anak-anak untuk mengakses situs tertentu, sampai program untuk mengawasi yang lebih mendetail: situs apa yang dikunjungi anak, pembatasan waktu dan durasi dalam mengakses internet. Di dalam buku ini juga kita mengetahui berbagai situs dan program yang "pas" untuk anak.
Buku ini adalah buku teknis tetapi berguna bagi para orang tua. Walau bukan buku konsep yang mendalam, untuk akademisi dan pengamat media, buku ini menjadi berguna karena merupakan serpihan dari konsep literasi digital yang mulai berkembang di Indonesia. Konsekeunsi media baru, yang antara lain "menyatukan" karakter pesan dari media lain; konvergensi, sudah semakin kita rasakan. Sudah menjadi kegaliban dalam kehidupan sehari-hari.
Judul buku : Internet Aman untuk Anak-Anak
Penerbit : PC+
Tahun : 2009
Harga : Rp. 25.000,-
Reality Show yang Tidak Riil
Tulisan ini merupakan “oleh-oleh” dari kegiatan yang saya ikuti minggu lalu, 19 Agustus 2009. Acara seminar tersebut bertajuk “Membedah Program Televisi Reality Show” dan diselenggarakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Yogyakarta.
Sebagaimana kita ketahui bersama, salah satu permasalahan televisi Indonesia sekarang ini, dari banyak masalah, adalah program yang disebut reality show. Bila diamati dengan lebih mendalam, program reality show yang berkembang sekarang ini adalah jenis reality show fase kedua. Fase pertama booming reality show ketika sekitar lima tahun lalu acara seperti MOP (Mbikin Orang Panik) dan Paranoid menjadi populer. Reality show fase pertama tersebut menggantikan program acara mistis yang mulai tidak diminati oleh penonton.
Reality show fase pertama ini memang diwakili oleh MOP dan Paranoid, bukan hanya karena keduanya populer. Juga karena kedua acara tersebut bermasalah. MP misalnya membuat dua orang polisi diberhentikan dengan tidak hormat karena menyalahgunakan wewenang mereka dengan “mengerjai” seseorang.
Acara Paranoid membuat seorang ibu keguguran karena kaget dan terjatuh. Ibu tersebut adalah korban dari acara mengerjai orang dengan menakut-nakuti orang tersebut. Informasi yang saya baca, ibu tadi menuntut pihak televisi yang menayangkan acara Paranoid. Sayangnya, pemberitaan selanjutnya tidak pernah saya dapatkan lagi. Permasalahannya adalah kematian sebagai akibat program televisi adalah sesuatu yang tragis. Seharusnya program televisi yang disiarkan dengan menggunakan frekuensi milik publik juga memberikan kemaslahatan untuk publik. Bukan malah membuat publik bodoh, apalagi mengambil nyawa anggota masyarakat.
Seingat saya, acara reality show fase pertama itu tidak mencantumkan informasi atau tulisan bahwa acara tersebut tidak merugikan “korban”-nya dan juga tidak mencantumkan kalimat yang eksplisit bahwa acara tersebut disetujui oleh pihak yang dikerjai untuk ditayangkan. Mungkin juga pihak televisi menyadari bila ada “kesalahan” di dalam tayangan reality show fase pertama tersebut. Mungkin juga penonton sudah tidak berminat. Hal yang jelas adalah, program reality show fase pertama ini raib dari layar televisi.
Kemudian, setahun terakhir ini muncullah reality show jenis baru di televisi Indonesia. Kita sebut saja program reality show fase kedua. Program reality show yang paling dikenal dari fase ini adalah “Termehek-mehek”. Reality show fase kedua inilah yang dibahas dalam acara seminar kemarin itu. Seminar ini menghadirkan tiga pembicara dan ketua KPI yang menjadi keynotes speech, Sasa Djuarsa Sendjaja, serta dimoderatori oleh salah seorang komisioner KPID Yogya, I Gusti Ngurah Putra.
Ketiga pembicara tersebut adalah Ade Armando, akademisi dari Universitas Indonesia. Bung Ade ini adalah mantaun komisioner KPI dan pengamat televisi yang kritis. Pembica kedua berasal dari AGB Nielsen. Sayang saya lupa namanya. Sayang juga karena ia memberikan materi yang selalu sama bila dari Nielsen diminta bicara pada forum publik. Sedangkan pembicara terakhir adalah Koentjoro, profesor psikologi sosial dari Universitas Gadjah Mada. Kehadiran akademisi dari disiplin ilmu psikologi tentu menyegarkan kita. Sebagaimana kita ketahui, sedikit sekali akademisi bidang psikologi, apalagi dari UGM.
Keadaan ini, kelangkaan ilmuwan psikologi yang mendalam media, adalah situasi yang mengkhawatirkan.
Media massa, terutama televisi, adalah entitas yang semakin besar pengaruhnya di masyarakat kita. Kemungkinan besar merupakan salah satu entitas terbesar, selain agama dan negara. Dengan demikian, media massa perlu dipelajari oleh sebanyak mungkin akademisi dari berbagai bidang.
Lalu, kembali ke pembicaraan awal, apa permasalahan program reality show di Indonesia sebenarnya?
Permasalahan yang utama tentu saja acara reality show tersebut tidak riil. Tidak merujuk pada kenyataan yang sesungguhnya. Reality show bisa didefinisikan sebagai program hiburan tentang orang-orang riil, di tengah situasi riil. Jadi, sesederhana apa pun program reality show, reality show itu haruslah berpijak pada kenyataan. Bila ada rekayasa atau arahan tindakan, semuanya haruslah tidak meninggalkan kenyataan yang sesungguhnya tersebut.
Reality show yang ada di dalam televisi Indonesia sungguh berbeda. Reality show tersebut sepenuhnya fiksi dan tidak benar-benar terjadi. Fiksi memang tetap dibenarkan di dalam reality show, asalkan fiksi tadi tetap merujuk pada kenyataan. Secara agak mendetail, Ade Armando menunjukkan bahwa acara reality show di televisi Indonesia bukanlah “real people in real situation”. Reality show fase kedua ini bahkan bukan berdasarkan kisah nyata sama sekali. Hal ini bisa dilihat dari beberapa indikator: logika, kewajaran tampilan, bahasa, kualitas gambar dan suara, dan penggunaan “property” yang berulang. (ini dikutip dari materi presentasi bang Ade Armando).
Apa yang bisa kita lakukan sebagai warga masyarakat dengan keadaan ini? Tentu saja kita harus terus mendesak televisi Indonesia agar mereka jujur atas genre program yang ada. Jelas pembedaan fakta dan fiksi. Fiksi ya dibilang fiksi, rekayasa ya dibilang rekayasa. Jangan memakai banderol "reality".
Selain itu, kita mendesak juga pada pihak berwenang, dalam hal ini KPI, untuk bertindak tegas terhadap televisi yang tidak jujur atas programnya sendiri. Langkah yang lain adalah mendesak pada akademisi dan aktivis kecakapan bermedia untuk terus mengkampanyekan program televisi yang sehat di masyarakat. Frekuensi tempat televisi, bagaimana pun juga, adalah milik publik dan seharusnya digunakan sekuat mungkin untuk kepentingan publik.
Dan juga hal yang sangat penting: mendesak agar UU Penyiaran dilaksanakan dengan tegas dan konsisten. Pelaksanaan peraturan hukum itu penting. Tidak hanya akan membuat televisi komersial Jakarta menjadi lebih “sopan”, juga akan dapat memunculkan televisi publik yang berdaya dan televisi komunitas, yang keduanya, bisa menjadi alternatif dari sistem yang ada sekarang ini.
Kita harus bergerak dan cepat berbenah agar kondisi pertelevisian lebih baik lagi…jangan sampai televisi “mengorbankan” anak-anaknya sendiri seperti halnya kasus “Smackdown” beberapa waktu yang lalu.
Sebagaimana kita ketahui bersama, salah satu permasalahan televisi Indonesia sekarang ini, dari banyak masalah, adalah program yang disebut reality show. Bila diamati dengan lebih mendalam, program reality show yang berkembang sekarang ini adalah jenis reality show fase kedua. Fase pertama booming reality show ketika sekitar lima tahun lalu acara seperti MOP (Mbikin Orang Panik) dan Paranoid menjadi populer. Reality show fase pertama tersebut menggantikan program acara mistis yang mulai tidak diminati oleh penonton.
Reality show fase pertama ini memang diwakili oleh MOP dan Paranoid, bukan hanya karena keduanya populer. Juga karena kedua acara tersebut bermasalah. MP misalnya membuat dua orang polisi diberhentikan dengan tidak hormat karena menyalahgunakan wewenang mereka dengan “mengerjai” seseorang.
Acara Paranoid membuat seorang ibu keguguran karena kaget dan terjatuh. Ibu tersebut adalah korban dari acara mengerjai orang dengan menakut-nakuti orang tersebut. Informasi yang saya baca, ibu tadi menuntut pihak televisi yang menayangkan acara Paranoid. Sayangnya, pemberitaan selanjutnya tidak pernah saya dapatkan lagi. Permasalahannya adalah kematian sebagai akibat program televisi adalah sesuatu yang tragis. Seharusnya program televisi yang disiarkan dengan menggunakan frekuensi milik publik juga memberikan kemaslahatan untuk publik. Bukan malah membuat publik bodoh, apalagi mengambil nyawa anggota masyarakat.
Seingat saya, acara reality show fase pertama itu tidak mencantumkan informasi atau tulisan bahwa acara tersebut tidak merugikan “korban”-nya dan juga tidak mencantumkan kalimat yang eksplisit bahwa acara tersebut disetujui oleh pihak yang dikerjai untuk ditayangkan. Mungkin juga pihak televisi menyadari bila ada “kesalahan” di dalam tayangan reality show fase pertama tersebut. Mungkin juga penonton sudah tidak berminat. Hal yang jelas adalah, program reality show fase pertama ini raib dari layar televisi.
Kemudian, setahun terakhir ini muncullah reality show jenis baru di televisi Indonesia. Kita sebut saja program reality show fase kedua. Program reality show yang paling dikenal dari fase ini adalah “Termehek-mehek”. Reality show fase kedua inilah yang dibahas dalam acara seminar kemarin itu. Seminar ini menghadirkan tiga pembicara dan ketua KPI yang menjadi keynotes speech, Sasa Djuarsa Sendjaja, serta dimoderatori oleh salah seorang komisioner KPID Yogya, I Gusti Ngurah Putra.
Ketiga pembicara tersebut adalah Ade Armando, akademisi dari Universitas Indonesia. Bung Ade ini adalah mantaun komisioner KPI dan pengamat televisi yang kritis. Pembica kedua berasal dari AGB Nielsen. Sayang saya lupa namanya. Sayang juga karena ia memberikan materi yang selalu sama bila dari Nielsen diminta bicara pada forum publik. Sedangkan pembicara terakhir adalah Koentjoro, profesor psikologi sosial dari Universitas Gadjah Mada. Kehadiran akademisi dari disiplin ilmu psikologi tentu menyegarkan kita. Sebagaimana kita ketahui, sedikit sekali akademisi bidang psikologi, apalagi dari UGM.
Keadaan ini, kelangkaan ilmuwan psikologi yang mendalam media, adalah situasi yang mengkhawatirkan.
Media massa, terutama televisi, adalah entitas yang semakin besar pengaruhnya di masyarakat kita. Kemungkinan besar merupakan salah satu entitas terbesar, selain agama dan negara. Dengan demikian, media massa perlu dipelajari oleh sebanyak mungkin akademisi dari berbagai bidang.
Lalu, kembali ke pembicaraan awal, apa permasalahan program reality show di Indonesia sebenarnya?
Permasalahan yang utama tentu saja acara reality show tersebut tidak riil. Tidak merujuk pada kenyataan yang sesungguhnya. Reality show bisa didefinisikan sebagai program hiburan tentang orang-orang riil, di tengah situasi riil. Jadi, sesederhana apa pun program reality show, reality show itu haruslah berpijak pada kenyataan. Bila ada rekayasa atau arahan tindakan, semuanya haruslah tidak meninggalkan kenyataan yang sesungguhnya tersebut.
Reality show yang ada di dalam televisi Indonesia sungguh berbeda. Reality show tersebut sepenuhnya fiksi dan tidak benar-benar terjadi. Fiksi memang tetap dibenarkan di dalam reality show, asalkan fiksi tadi tetap merujuk pada kenyataan. Secara agak mendetail, Ade Armando menunjukkan bahwa acara reality show di televisi Indonesia bukanlah “real people in real situation”. Reality show fase kedua ini bahkan bukan berdasarkan kisah nyata sama sekali. Hal ini bisa dilihat dari beberapa indikator: logika, kewajaran tampilan, bahasa, kualitas gambar dan suara, dan penggunaan “property” yang berulang. (ini dikutip dari materi presentasi bang Ade Armando).
Apa yang bisa kita lakukan sebagai warga masyarakat dengan keadaan ini? Tentu saja kita harus terus mendesak televisi Indonesia agar mereka jujur atas genre program yang ada. Jelas pembedaan fakta dan fiksi. Fiksi ya dibilang fiksi, rekayasa ya dibilang rekayasa. Jangan memakai banderol "reality".
Selain itu, kita mendesak juga pada pihak berwenang, dalam hal ini KPI, untuk bertindak tegas terhadap televisi yang tidak jujur atas programnya sendiri. Langkah yang lain adalah mendesak pada akademisi dan aktivis kecakapan bermedia untuk terus mengkampanyekan program televisi yang sehat di masyarakat. Frekuensi tempat televisi, bagaimana pun juga, adalah milik publik dan seharusnya digunakan sekuat mungkin untuk kepentingan publik.
Dan juga hal yang sangat penting: mendesak agar UU Penyiaran dilaksanakan dengan tegas dan konsisten. Pelaksanaan peraturan hukum itu penting. Tidak hanya akan membuat televisi komersial Jakarta menjadi lebih “sopan”, juga akan dapat memunculkan televisi publik yang berdaya dan televisi komunitas, yang keduanya, bisa menjadi alternatif dari sistem yang ada sekarang ini.
Kita harus bergerak dan cepat berbenah agar kondisi pertelevisian lebih baik lagi…jangan sampai televisi “mengorbankan” anak-anaknya sendiri seperti halnya kasus “Smackdown” beberapa waktu yang lalu.
Arti Sebuah Nama
Apa arti sebuah nama?...begitu kira-kira seorang penyair Inggris berpuisi. Nama dianggapnya lebih rendah dari esensi. Mawar tetaplah mawar sekalipun ia dinamakan lain. Tetapi di benak seseorang selalu merujuk nama ketika memahami sesuatu. Sesungguhnya nama sama pentingnya dengan esensi, dengan "sesuatu" itu, karena nama mengantarkan pada filosofi tertentu, paling tidak pada karakter tertentu lah.
Karena itulah, bila saya mengamati nama band-band yang baru muncul, saya tercenung sendiri. Apakah mereka sadar dengan nama band yang mereka pilih? Berikut ini beberapa nama band baru tersebut; Merah Delima, Sembilan, Pangeran, Orbit, Alladin, Asbak, Salju, Kingkong, dan El Kasih (empat nama terakhir dari rekan muda saya, Fakhri Zakaria).
Mungkin mereka terinspirasi dengan nama-nama band sebelumnya. Pada beberapa waktu yang lalu, ada Ungu dan Cokelat, mengambil nama warna. Belakangan kita tahu, nama tidak berarti banyak di sini. Mereka tetap menghasilkan musik non menye-menye. Nama-nama yang sekarang, misalnya: Merah Delima, pasti terinspirasi dari Hijau Daun yang sama-sama merupakan aliran menye-menye. Jangan kaget bila sebentar lagi kita akan mendengar nama band Kuning Telur, Putih Melati, dan Kuning Durian.
Sementara nama Pangeran dipilih kemungkinan karena "bapaknya", Radja telah sukses sebelumnya. Begitu pula nama Alladin. Kemungkinan nama ini diinspirasi oleh Peterpan yang telah sukses sebelumnya, mengikuti nama-nama tokoh dongeng dari luar nagri. Kenapa tidak cinta dengan negeri sendiri dengan memilih nama dari dongeng Nusantara? misalnya memilih nama band Bawang Merah atau Bawang Putih, atau Timun Mas, juga si Kancil...hehe...Saya hanya heran, kenapa yang dilihat cuma namanya? bukan pada esensi bermusik band-band sebelumnya.
Nama yang paling aneh tentu saja Asbak, apa yang mereka pikirkan ketika memilih nama tersebut? mungkin para personelnya merokok semua sehingga cinta dengan atribut yang berbau rokok. Ini cukup aneh karena di mana-mana merokok dianggap sebagai aktivitas yang dihindari sekarang ini.
Saya tidak berpretensi bahwa band dengan nama-nama aneh dan sederhana tersebut pasti menghasilkan musik yang tidak bagus pula tetapi memang kenyataan menunjukkan hal itu. Pemilihan nama juga merupakan hak tiap-tiap orang.
Walau demikian, nama tetaplah bermakna karena mengantarkan pada pengenalan lebih jauh. Logikanya sederhana, bila memilih nama saja sudah tidak bisa, apalagi membuat musik yang bagus.
Bukan begitu teman-teman?
(Thanks untuk Fakhri yang memberi banyak informasi mengenai nama-nama band baru. Tulisan ini pun berasal dari usulannya. Sebagai penggemar acara Inbox dan Dahsyat, dirimu sangat tekun Jek, dengan mencatat nama-nama band itu...hehe...)
Karena itulah, bila saya mengamati nama band-band yang baru muncul, saya tercenung sendiri. Apakah mereka sadar dengan nama band yang mereka pilih? Berikut ini beberapa nama band baru tersebut; Merah Delima, Sembilan, Pangeran, Orbit, Alladin, Asbak, Salju, Kingkong, dan El Kasih (empat nama terakhir dari rekan muda saya, Fakhri Zakaria).
Mungkin mereka terinspirasi dengan nama-nama band sebelumnya. Pada beberapa waktu yang lalu, ada Ungu dan Cokelat, mengambil nama warna. Belakangan kita tahu, nama tidak berarti banyak di sini. Mereka tetap menghasilkan musik non menye-menye. Nama-nama yang sekarang, misalnya: Merah Delima, pasti terinspirasi dari Hijau Daun yang sama-sama merupakan aliran menye-menye. Jangan kaget bila sebentar lagi kita akan mendengar nama band Kuning Telur, Putih Melati, dan Kuning Durian.
Sementara nama Pangeran dipilih kemungkinan karena "bapaknya", Radja telah sukses sebelumnya. Begitu pula nama Alladin. Kemungkinan nama ini diinspirasi oleh Peterpan yang telah sukses sebelumnya, mengikuti nama-nama tokoh dongeng dari luar nagri. Kenapa tidak cinta dengan negeri sendiri dengan memilih nama dari dongeng Nusantara? misalnya memilih nama band Bawang Merah atau Bawang Putih, atau Timun Mas, juga si Kancil...hehe...Saya hanya heran, kenapa yang dilihat cuma namanya? bukan pada esensi bermusik band-band sebelumnya.
Nama yang paling aneh tentu saja Asbak, apa yang mereka pikirkan ketika memilih nama tersebut? mungkin para personelnya merokok semua sehingga cinta dengan atribut yang berbau rokok. Ini cukup aneh karena di mana-mana merokok dianggap sebagai aktivitas yang dihindari sekarang ini.
Saya tidak berpretensi bahwa band dengan nama-nama aneh dan sederhana tersebut pasti menghasilkan musik yang tidak bagus pula tetapi memang kenyataan menunjukkan hal itu. Pemilihan nama juga merupakan hak tiap-tiap orang.
Walau demikian, nama tetaplah bermakna karena mengantarkan pada pengenalan lebih jauh. Logikanya sederhana, bila memilih nama saja sudah tidak bisa, apalagi membuat musik yang bagus.
Bukan begitu teman-teman?
(Thanks untuk Fakhri yang memberi banyak informasi mengenai nama-nama band baru. Tulisan ini pun berasal dari usulannya. Sebagai penggemar acara Inbox dan Dahsyat, dirimu sangat tekun Jek, dengan mencatat nama-nama band itu...hehe...)
Menulis Lagi Ah...
Sudah empat kali saya "membolos" dari janji saya sendiri untuk menulis di notes FB ini setiap hari. Saya bersyukur kemandekan ini bukan karena saya berhenti dari rutinitas menulis seperti yang berulang-kali mendera saya pada masa lalu.
Kemandekan itu semata-mata karena saya sibuk menyiapkan perkuliahan semester baru ini. Tiap saya tidak menulis atawa membolos itu saya juga merasa seperti ada yang hilang. Ada sesuatu yang menghentak-hentak di kepala saya meminta untuk dituliskan. Rasa sakit kepala yang membahagiakan tentunya.
Saya masih punya hutang tulisan pada diri sendiri, 15 tulisan takaran album yang paling berpengaruh, 15 puisi dan 15 bab novel yang diinspirasikan dari 15 album tersebut. Tapi ke-45 tulisan itu dapat ditunda dan dapat ditulis kapan pun nanti.
Saya ingin menulis tentang banyak hal yang terjadi belakangan ini: hal-hal yang saya pantau, rasakan dan ikuti. Isu yang tentunya menarik adalah mengenai rencana pihak universitas (UGM) untuk membuat portal di beberapa sisi kampus dan menarik uang parkir dari tiap kendaraan yang masuk.
Hal lain yang menarik adalah klaim tari Pendet oleh Malaysia. Isu yang selalu hangat sebagai akibat Malaysia yang main klaim berulang kali atas seni Indonesia. Hal lain lagi adalah tentang reality show. Ide ini berasal dari sebuah seminar yang saya ikuti Kamis minggu lalu di KPID.
Kreativitas menulis dengan menggunakan blog juga topik yang menarik untuk ditulis. Kerangka utama tulisannya pun sudah ada karena materinya sudah saya presentasikan di depan mahasiswa baru angkatan 2009 yang masih kinyis-kinyis pada Jumat minggu lalu. Bahkan perkuliahan pertama semester ini pun menarik untuk dituliskan.
Syukurlah, saya masih memiliki banyak hal untuk jadi bahan tulisan.
Hmmm...yang mana dulu ya yang ditulis...
Kemandekan itu semata-mata karena saya sibuk menyiapkan perkuliahan semester baru ini. Tiap saya tidak menulis atawa membolos itu saya juga merasa seperti ada yang hilang. Ada sesuatu yang menghentak-hentak di kepala saya meminta untuk dituliskan. Rasa sakit kepala yang membahagiakan tentunya.
Saya masih punya hutang tulisan pada diri sendiri, 15 tulisan takaran album yang paling berpengaruh, 15 puisi dan 15 bab novel yang diinspirasikan dari 15 album tersebut. Tapi ke-45 tulisan itu dapat ditunda dan dapat ditulis kapan pun nanti.
Saya ingin menulis tentang banyak hal yang terjadi belakangan ini: hal-hal yang saya pantau, rasakan dan ikuti. Isu yang tentunya menarik adalah mengenai rencana pihak universitas (UGM) untuk membuat portal di beberapa sisi kampus dan menarik uang parkir dari tiap kendaraan yang masuk.
Hal lain yang menarik adalah klaim tari Pendet oleh Malaysia. Isu yang selalu hangat sebagai akibat Malaysia yang main klaim berulang kali atas seni Indonesia. Hal lain lagi adalah tentang reality show. Ide ini berasal dari sebuah seminar yang saya ikuti Kamis minggu lalu di KPID.
Kreativitas menulis dengan menggunakan blog juga topik yang menarik untuk ditulis. Kerangka utama tulisannya pun sudah ada karena materinya sudah saya presentasikan di depan mahasiswa baru angkatan 2009 yang masih kinyis-kinyis pada Jumat minggu lalu. Bahkan perkuliahan pertama semester ini pun menarik untuk dituliskan.
Syukurlah, saya masih memiliki banyak hal untuk jadi bahan tulisan.
Hmmm...yang mana dulu ya yang ditulis...
Ramadan...Oh...Ramadan
Hari ini adalah hari pertama berpuasa. Tentu saja sebagai seorang muslim, sama seperti pemeluk agama Islam yang lain, saya antusias menjalankannya. Banyak hal yang bisa kita dapatkan selama puasa. Minimal mendapatkan cara berdiet yang mudah dilaksanakan...hehe...Lebih luas dari itu. Katanya berpuasa akan membuat perubahan sosial secara kolektif. Pernyataan yang sebaiknya tidak kita percayai buru-buru. Logikanya begini, jika memang berpuasa bisa jadi alat perubahan sosial, berarti Indonesia sudah berubah menjadi sangat lebih baik dari dulu-dulu dong...kan sebagian besar masyarakat Indonesia adalah muslim. Kenyataannya, puasa jalan terus...korupsi juga jalan terus...kekerasan pada kelompok lain juga ada terus, tambah tinggi frekuensinya malah.
Masalahnya, bukan pada puasanya. Puasa bila dijalankan dengan benar dan "mendalam" akan berpengaruh besar secara personal dan kolektif. Sayangnya, puasa masih dianggap sebagai peristiwa selebrasi belaka. Menjelang dan selama puasa, kita heboh untuk merayakannya tanpa berusaha menggali artinya yang hakiki.
Fenomena tersebut mudah kita lihat di dalam kehidupan sehari-hari menjelang dan selama puasa, terutama di siaran televisi kita. Bila kita ke supermarket, tengoklah, timbunan bahan makanan yang menggunung. Itu pun akan habis sebelum bulan Ramadan. Saya juga melihat antrian yang sangat panjang di kasir di sebuah supermarket di Yogyakarta.
Belum lagi persediaan pakaian. Puasa belum berjalan kemarin, tetapi bazar potongan harga untuk pakaian di mana-mana bermunculan. Dengan mudah hasrat untuk mengkonsumsi secara besar-besar mudah kita lihat di sini. Sekarang kita kembali pada esensi berpuasa...bukankah berpuasa mengajarkan "pengendalian diri"? terutama dari hasrat mengkonsumsi yang tidak perlu dan berlebihan.
Fenomena lain adalah komodifikasi program acara agama dan bulan Ramadan di televisi. Acara infotainment dan sinetron tiba-tiba dipenuhi orang-orang yang "bertaqwa". Ada yang sedikit sedikit mengutip ayat Al-Quran. Ada yang memakai jilbab padahal sebelum puasa ini "mengobral onderdil" dirinya. Semua pengisi acara tv, terutama yang disebut sebagai spesies selebriti, berlomba untuk tampil "islami".
Ada juga acara terawih atau sahur bersama selebriti. Juga acara khotbah yang pasti menghadirkan selebriti, yang kabarnya dibayar lebih mahal daripada penceramahnya sendiri. Kalau dipikir-pikir, enak sekali jadi selebriti di negeri ini. Mereka "mengalahkan" orang-orang yang kompeten di bidang politik (lihat fenomena Pemilu 2009), bidang budaya (meninggalnya Rendra yang liputannya kurang mendalam bila dibandingkan dengan meninggalnya Mbah Surip), dan kini selama bulan puasa, bidang agama, selebriti dinilai lebih kompeten daripada ulama atawa penceramah (atau selebriti yang menyamar jadi penceramah?).
Juga para penyanyi/band yang berlomba membikin lagu atau album religi (bukan lagu rohani lho...karena religi dan rohani diartikan sebagai penanda agama padahal artinya sama...hehe). Seolah dengan memproduksi album religi mereka bisa menghapus dosa sebelum Ramadan. Bertobat sekaligus cari uang, kenapa tidak? hehe...Kabarnya ada dua puluh band yang merilis album religi selama Ramadan kali ini. Mungkin memang tidak semua untuk mencari untung besar. Hal tersebut bisa digambarkan dalam kalimat berikut ini: album religi, antara syiar, untuk besar, RBT, pertobatan, dan miskinnya kreativitas...hehe...
Komodifikasi memang bisa diartikan secara luas sebagai berubahnya nilai fungsi menjadi nilai tukar. Komersialisasi menjadi bagian dari komodifikasi karena menjadikan sesuatu lebih bernilai tukar secara ekonomi. Dalam komodifikasi ini siapa yang diuntungkan? Jawabannya jelas...bukan kita, bukan masyarakat.
Wah...saya jadi melantur terlalu jauh...
Makanya, saya akan berusaha menjauhi tv dari bulan puasa kali ini kecuali untuk acara adzan Maghrib di stasiun tv Yogya tentunya, hehe...
Strategi paling mudah dan cespleng bagi saya sendiri adalah mengulik lagi koleksi buku, film dan cd audio saya. Mana tahu malah saya dapat pencerahan dari situ. Dan tentu saja mencoba mendalami Al Quran (yang terjemahan HB Jassin indah sekali).
Mendedah koleksi buku, terutama buku teks kuliah, sangatlah penting mengingat senin besok perkuliahan sudah dimulai. Berpuasa, membaca, dan mempersiapkan proses pembelajaran untuk semester baru adalah sebentuk ibadah bagi saya.
Bagaimana pun juga ini bulan Ramadan...
Jadi, selamat berpuasa dan dapatkan pencerahan untuk diri masing-masing...
Masalahnya, bukan pada puasanya. Puasa bila dijalankan dengan benar dan "mendalam" akan berpengaruh besar secara personal dan kolektif. Sayangnya, puasa masih dianggap sebagai peristiwa selebrasi belaka. Menjelang dan selama puasa, kita heboh untuk merayakannya tanpa berusaha menggali artinya yang hakiki.
Fenomena tersebut mudah kita lihat di dalam kehidupan sehari-hari menjelang dan selama puasa, terutama di siaran televisi kita. Bila kita ke supermarket, tengoklah, timbunan bahan makanan yang menggunung. Itu pun akan habis sebelum bulan Ramadan. Saya juga melihat antrian yang sangat panjang di kasir di sebuah supermarket di Yogyakarta.
Belum lagi persediaan pakaian. Puasa belum berjalan kemarin, tetapi bazar potongan harga untuk pakaian di mana-mana bermunculan. Dengan mudah hasrat untuk mengkonsumsi secara besar-besar mudah kita lihat di sini. Sekarang kita kembali pada esensi berpuasa...bukankah berpuasa mengajarkan "pengendalian diri"? terutama dari hasrat mengkonsumsi yang tidak perlu dan berlebihan.
Fenomena lain adalah komodifikasi program acara agama dan bulan Ramadan di televisi. Acara infotainment dan sinetron tiba-tiba dipenuhi orang-orang yang "bertaqwa". Ada yang sedikit sedikit mengutip ayat Al-Quran. Ada yang memakai jilbab padahal sebelum puasa ini "mengobral onderdil" dirinya. Semua pengisi acara tv, terutama yang disebut sebagai spesies selebriti, berlomba untuk tampil "islami".
Ada juga acara terawih atau sahur bersama selebriti. Juga acara khotbah yang pasti menghadirkan selebriti, yang kabarnya dibayar lebih mahal daripada penceramahnya sendiri. Kalau dipikir-pikir, enak sekali jadi selebriti di negeri ini. Mereka "mengalahkan" orang-orang yang kompeten di bidang politik (lihat fenomena Pemilu 2009), bidang budaya (meninggalnya Rendra yang liputannya kurang mendalam bila dibandingkan dengan meninggalnya Mbah Surip), dan kini selama bulan puasa, bidang agama, selebriti dinilai lebih kompeten daripada ulama atawa penceramah (atau selebriti yang menyamar jadi penceramah?).
Juga para penyanyi/band yang berlomba membikin lagu atau album religi (bukan lagu rohani lho...karena religi dan rohani diartikan sebagai penanda agama padahal artinya sama...hehe). Seolah dengan memproduksi album religi mereka bisa menghapus dosa sebelum Ramadan. Bertobat sekaligus cari uang, kenapa tidak? hehe...Kabarnya ada dua puluh band yang merilis album religi selama Ramadan kali ini. Mungkin memang tidak semua untuk mencari untung besar. Hal tersebut bisa digambarkan dalam kalimat berikut ini: album religi, antara syiar, untuk besar, RBT, pertobatan, dan miskinnya kreativitas...hehe...
Komodifikasi memang bisa diartikan secara luas sebagai berubahnya nilai fungsi menjadi nilai tukar. Komersialisasi menjadi bagian dari komodifikasi karena menjadikan sesuatu lebih bernilai tukar secara ekonomi. Dalam komodifikasi ini siapa yang diuntungkan? Jawabannya jelas...bukan kita, bukan masyarakat.
Wah...saya jadi melantur terlalu jauh...
Makanya, saya akan berusaha menjauhi tv dari bulan puasa kali ini kecuali untuk acara adzan Maghrib di stasiun tv Yogya tentunya, hehe...
Strategi paling mudah dan cespleng bagi saya sendiri adalah mengulik lagi koleksi buku, film dan cd audio saya. Mana tahu malah saya dapat pencerahan dari situ. Dan tentu saja mencoba mendalami Al Quran (yang terjemahan HB Jassin indah sekali).
Mendedah koleksi buku, terutama buku teks kuliah, sangatlah penting mengingat senin besok perkuliahan sudah dimulai. Berpuasa, membaca, dan mempersiapkan proses pembelajaran untuk semester baru adalah sebentuk ibadah bagi saya.
Bagaimana pun juga ini bulan Ramadan...
Jadi, selamat berpuasa dan dapatkan pencerahan untuk diri masing-masing...
Majalah HAI, Dulu dan Kini
HAI adalah majalah yang tidak mungkin saya lupakan begitu saja. Pertama, dan yang utama, majalah ini menjadi obyek riset saya untuk skripsi. Dua bulan lebih saya “berkantor” di majalah HAI di jalan Panjang Kebon Jeruk, Jakarta. Rasanya belum lekang dari ingatan bagaimana saya naik angkot dan bus pergi pagi dan pulang malam selama meneliti pada tahun 1997 itu.
Judul skripsi saya adalah “Analisis Isi Artikel Internasional Majalah HAI tahun 1986 dan 1996 dalam Memuat Nilai-nilai Globalisme”. Tambah terasa panjangnya itu judul sekarang…hehe…Bila saya baca skripsi itu sekarang, saya rasanya ingin tersenyum. Ada beberapa “kesalahan” bila dilihat saat ini, tetapi juga ada “kepuasan” bila mengingat percobaan intelektual saya jaman itu cukuplah lumayan.
Majalah HAI bagi saya berarti komik-komik yang bagus. Saya membaca HAI sejak tahun 1980-an bersamaan dengan majalah Bobo untuk adik, dan Femina untuk ibu saya. Masih teringat betul rasanya, saya menunggu dengan antusias seminggu penuh untuk serial Trigan, Storm, dan Roel Djikstra, serta Arad dan Maya yang sedikit lebih awal. Semua komik tersebut sangat melegenda bagi saya, mungkin setara dengan “Deni si Manusia Ikan”, komik bersambung belasan tahun di majalah Bobo.
Pada masa SMA, majalah HAI bagi saya berarti cerita bersambung dan cerita pendek yang indah. Cerbung majalah HAI semisal “Balada Si Roy” dan “Anak-anak Mama Alin” begitu melekat dalam diri saya. Sebelumnya ada serial si Kiki dan si Imung, yang juga terkenal, serta cerbung karya Arswendo Atmowiloto tentang olahragawan yang saya lupa judulnya.
Serial Balada si Roy karya Gola Gong sangatlah berpengaruh dalam diri saya. Dulu rasanya kesendirian dan prinsip “berkelana” si Roy hampir membuat saya pergi dari rumah. Teman SMA saya, yang juga fans si Roy, malah benar-benar berkelana dan membolos dari sekolah dalam waktu yang cukup lama.
Serial Anak-anak Mama Alin karya Bubin Lantang juga demikian adanya. Saya betul-betul tersihir hampir setiap minggu ketika cerbung ini dimuat hal. Bukan hanya karena ceritanya yang mengharu-biru, juga karena setting cerita di Bandar Lampung, dan juga kampung saya Pasir Gintung, yang membuat saya menyukai cerita ini.
Apa ada teman-teman yang masih punya serial “Balada si Roy” dan “Anak-anak Mama Alin”? tolong beri informasi ke saya ya…
Selain itu, majalah HAI juga berarti berita mengenai musik yang bagus bagi saya sebelum era internet. Banyak informasi dan kisah mengenai band yang saya dapatkan dulu, semisal A-Ha, Duran Duran, dan U2. Menurut salah seorang pengelola HAI yang dulu saya wawancara sewaktu menulis skripsi, HAI bahkan menjadi pihak yang pertama-kali mendatangkan band dari luar negeri. Waktu itu mereka mendatangkan Europe.
Sebenarnya bukan hanya berita musik. Pada dasarnya semua berita yang ada di majalah HAI adalah berita yang betul-betul mengena dengan remaja pada waktu itu. Berita tentang berbagai SMA dari seluruh Indonesia dan berita mengenai kaum muda pada umumnya, tidak pernah absen pada tiap edisinya. Seringkali semua berita tersebut dikaitkan dengan pemposisian diri pada berbagai peristiwa. Posisi yang menurut saya cukup berkelas dan intelek bagi seorang remaja pada waktu itu.
Kini, walau keadaanya tentu saja berbeda. Pemposisian tersebut tidak ada. Bila pun ada, pemposisian itu tidak bermakna alias hanya sekadar memberi informasi dan mengikuti arus trend yang ada.
Hal tersebut saya buktikan dengan membaca majalah HAI edisi terakhir untuk tanggal 17-23 Agustus 2009. Sesekali saya memang masih mengakses majalah ini untuk sedikit mendapatkan informasi mengenai apa yang terjadi pada dunia kaum muda (lelaki) sekarang ini. Khusus untuk edisi kali ini, saya sangat tertarik dengan berita utamanya, yang berjudul “Lagu Religi for Sale: antara Syiar, Job Manggung, dan RBT”.
Saya pikir awalnya saya akan menemukan informasi yang cukup banyak mengenai alasan sebuah band memproduksi album religi. Kemungkinan besar memang untuk menangguk profit. Tetapi bagaimana persisnya fenomena ini berkembang adalah hal yang saya cari.
Dan saya akhirnya kecewa setelah membaca artikel tersebut. Informasi yang saya dapatkan tidak banyak dan tidak ada riset yang cukup mendalam mengenai lagu ataupun album religi. Penulisnya percaya begitu saja dengan apa yang disampaikan narasumber (band) bahwa mereka ingin “beribadah” dengan merilis album religi. Di mana isu komodifikasi? Hehe…atau saya saja yang berharap terlalu lebih untuk sebuah majalah remaja. Bukankah remaja identik dengan kesantaian dan kesederhanaan, tidak usah berpikir yang berat berat lah…
Okelah, saya tetap akan berusaha proporsional dan tetap menjaga sikap kritis saya atas media untuk kaum muda. Sekaligus menyiapkan diri, bersama rekan senior Budhy Kazeth, untuk mengampu kuliah “Media dan Budaya Kaum Muda” nanti.
Dan majalah HAI adalah pintu pembuka yang baik….
Judul skripsi saya adalah “Analisis Isi Artikel Internasional Majalah HAI tahun 1986 dan 1996 dalam Memuat Nilai-nilai Globalisme”. Tambah terasa panjangnya itu judul sekarang…hehe…Bila saya baca skripsi itu sekarang, saya rasanya ingin tersenyum. Ada beberapa “kesalahan” bila dilihat saat ini, tetapi juga ada “kepuasan” bila mengingat percobaan intelektual saya jaman itu cukuplah lumayan.
Majalah HAI bagi saya berarti komik-komik yang bagus. Saya membaca HAI sejak tahun 1980-an bersamaan dengan majalah Bobo untuk adik, dan Femina untuk ibu saya. Masih teringat betul rasanya, saya menunggu dengan antusias seminggu penuh untuk serial Trigan, Storm, dan Roel Djikstra, serta Arad dan Maya yang sedikit lebih awal. Semua komik tersebut sangat melegenda bagi saya, mungkin setara dengan “Deni si Manusia Ikan”, komik bersambung belasan tahun di majalah Bobo.
Pada masa SMA, majalah HAI bagi saya berarti cerita bersambung dan cerita pendek yang indah. Cerbung majalah HAI semisal “Balada Si Roy” dan “Anak-anak Mama Alin” begitu melekat dalam diri saya. Sebelumnya ada serial si Kiki dan si Imung, yang juga terkenal, serta cerbung karya Arswendo Atmowiloto tentang olahragawan yang saya lupa judulnya.
Serial Balada si Roy karya Gola Gong sangatlah berpengaruh dalam diri saya. Dulu rasanya kesendirian dan prinsip “berkelana” si Roy hampir membuat saya pergi dari rumah. Teman SMA saya, yang juga fans si Roy, malah benar-benar berkelana dan membolos dari sekolah dalam waktu yang cukup lama.
Serial Anak-anak Mama Alin karya Bubin Lantang juga demikian adanya. Saya betul-betul tersihir hampir setiap minggu ketika cerbung ini dimuat hal. Bukan hanya karena ceritanya yang mengharu-biru, juga karena setting cerita di Bandar Lampung, dan juga kampung saya Pasir Gintung, yang membuat saya menyukai cerita ini.
Apa ada teman-teman yang masih punya serial “Balada si Roy” dan “Anak-anak Mama Alin”? tolong beri informasi ke saya ya…
Selain itu, majalah HAI juga berarti berita mengenai musik yang bagus bagi saya sebelum era internet. Banyak informasi dan kisah mengenai band yang saya dapatkan dulu, semisal A-Ha, Duran Duran, dan U2. Menurut salah seorang pengelola HAI yang dulu saya wawancara sewaktu menulis skripsi, HAI bahkan menjadi pihak yang pertama-kali mendatangkan band dari luar negeri. Waktu itu mereka mendatangkan Europe.
Sebenarnya bukan hanya berita musik. Pada dasarnya semua berita yang ada di majalah HAI adalah berita yang betul-betul mengena dengan remaja pada waktu itu. Berita tentang berbagai SMA dari seluruh Indonesia dan berita mengenai kaum muda pada umumnya, tidak pernah absen pada tiap edisinya. Seringkali semua berita tersebut dikaitkan dengan pemposisian diri pada berbagai peristiwa. Posisi yang menurut saya cukup berkelas dan intelek bagi seorang remaja pada waktu itu.
Kini, walau keadaanya tentu saja berbeda. Pemposisian tersebut tidak ada. Bila pun ada, pemposisian itu tidak bermakna alias hanya sekadar memberi informasi dan mengikuti arus trend yang ada.
Hal tersebut saya buktikan dengan membaca majalah HAI edisi terakhir untuk tanggal 17-23 Agustus 2009. Sesekali saya memang masih mengakses majalah ini untuk sedikit mendapatkan informasi mengenai apa yang terjadi pada dunia kaum muda (lelaki) sekarang ini. Khusus untuk edisi kali ini, saya sangat tertarik dengan berita utamanya, yang berjudul “Lagu Religi for Sale: antara Syiar, Job Manggung, dan RBT”.
Saya pikir awalnya saya akan menemukan informasi yang cukup banyak mengenai alasan sebuah band memproduksi album religi. Kemungkinan besar memang untuk menangguk profit. Tetapi bagaimana persisnya fenomena ini berkembang adalah hal yang saya cari.
Dan saya akhirnya kecewa setelah membaca artikel tersebut. Informasi yang saya dapatkan tidak banyak dan tidak ada riset yang cukup mendalam mengenai lagu ataupun album religi. Penulisnya percaya begitu saja dengan apa yang disampaikan narasumber (band) bahwa mereka ingin “beribadah” dengan merilis album religi. Di mana isu komodifikasi? Hehe…atau saya saja yang berharap terlalu lebih untuk sebuah majalah remaja. Bukankah remaja identik dengan kesantaian dan kesederhanaan, tidak usah berpikir yang berat berat lah…
Okelah, saya tetap akan berusaha proporsional dan tetap menjaga sikap kritis saya atas media untuk kaum muda. Sekaligus menyiapkan diri, bersama rekan senior Budhy Kazeth, untuk mengampu kuliah “Media dan Budaya Kaum Muda” nanti.
Dan majalah HAI adalah pintu pembuka yang baik….
Sharism Versus Journalism?
Dalam upaya memahami proses kreatif, terutama melalui kemungkinan “jalan baru” via blog, saya mengakses buku yang berjudul “Cat Rambut Orang Yahudi: Catatan Blog Chappy Hakim”. Saya belum bisa menakar apakah buku tersebut bagus atau tidak karena memang buku tersebut belum selesai saya baca.
Tetapi ada sesuatu yang menarik di pengantar editor buku itu. Pepih Nugraha, si editor, melansir istilah “sharism” sebagai oposisi biner “journalism”. Menurutnya, semangat “berbagi” tersebut melahirkan arus informasi indie (independen) yang meruntuhkan hegemoni media utama. Media utama menyelenggarakan jurnalisme, sementara media indie (warga biasa) menyelenggarakan “sharisme”.
Menurut saya, kedua istilah tersebut tidak dapat dibandingkan. Keduanya berada dalam ranah yang berbeda. Jurnalisme adalah proses bagaimana peristiwa atau fakta dilaporkan. Sementara sharisme adalah prinsip berbagi yang muncul sebagai akibat kemajuan teknologi media.
Keduanya tidak saling bertentangan, malah bisa saling mendukung. Kita bisa melihat bagaimana media “konvensional” semacam Kompas bisa memanfaatkan blogger yang ada di media lanjutannya, Kompasiana, sebagai penulis opini atas peristiwa atau fakta.
Walaupun demikian, penulis opini melalui blog utamanya tetap sebagai seorang yang tugasnya bukan mencari fakta. Walau juga ada beberapa blogger yang melaporkan sebuah peristiwa dan laporan atau reportase tersebut baik, bahkan terkadang lebih cepat dan lebih faktual daripada reportase jurnalis media “konvensional”, tetap saja narablog dan jurnalis ada di wilayah yang berbeda. Dengan demikian, menyamakan blogger atau narablog dengan jurnalis adalah kurang tepat.
Sharisme sendiri berkembang sebagai sebuah prinsip bermedia belum terlalu lama. Kira-kira baru berlangsung satu dekade. Sharisme dimungkinkan hadir karena teknologi media terbaru. Teknologi tersebut menjadikan “berbagi” melalui media baru, terutama Internet, menjadi lebih mudah dan lebih murah. Secara umum teknologi ini disebut dengan nama web 2.0, bahkan ada ahli yang menganggapnya lebih dari versi 2.
Bila pada web 1.0 informasi yang ditampilkan mirip dengan media konvensional. Perbedaannya hanya pada media yang ditampilkan. Web 1.0, karena teknologinya belum memadai, informasi yang disampaikan melalui Internet tidak kompleks, hanya tulisan, dan tidak dimungkinkan untuk saling berkirim komentar.
Web 2.0 mengubah semuanya. Melalui teknologi ini informasi yang diberikan bisa lebih kompleks, semisal audio visual, dan yang lebih penting, karakter “berbagi” tersebut muncul pada era teknologi web 2.0. Berbagi di sini bisa berbagi informasi dan berbagai pesan digital. Web 2.0 inilah yang memungkinkan situs blog dan situs jaringan sosial muncul di mana-mana. Teknologi ini memberikan perubahan cara bermedia yang besar, bahkan mengubah peradaban manusia. Banyak kesempatan dan potensi baru yang dimunculkan oleh web 2.0 ini, yang membuka ruang-ruang baru. Ruang-ruang itu terkadang benar-benar merdeka dari kuasa negara dan pasar. Inilah yang mungkin dinamakan oleh Gunawan Muhamad sebagai “gotong-royong postmodernisme”.
Sharisme sendiri bukannya bebas dari penilaian negatif. Kecenderungan untuk “berbagi” tersebut membuat apa saja diunggah di internet, termasuk karya film, musik, buku, dan foto. Karya kreatif tersebut kemudian “dibagi” dengan gratis padahal sebenarnya setiap orang harus membayar untuk mengakses pesan media tersebut.
Fenomena ini tentu saja “mematikan” industri media. Ada anggapan kemunduran habis-habisan industri musik di Amerika Serikat disebabkan oleh fenomena sharisme ini. Kasus Napster adalah contoh utama bagaimana isu-isu legalitas dan hak cipta dari industri musik diuji dengan mendalam. Walau demikian, ada juga kasus di mana industri musik dan fenomena sharisme media baru ternyata saling mendukung dan saling mendukung. Kasus Radiohead adalah contoh utamanya.
Polemik tentang sharisme dan jurnalisme tentu saja masih perlu dieksplorasi lebih mendalam. Masih banyak hal menarik yang bisa didiskusikan, didebat, dan “digunakan” untuk kepentingan publik. Sebagaimana diskusi kita selama ini mengenai media baru, yang cenderung meninggalkan kepentingan publik. Semoga setelah ini fenomena sharisme menjadi pintu bagi kita untuk mendudukkan kembali publik sebagai “pemilik sah” media.
Tetapi ada sesuatu yang menarik di pengantar editor buku itu. Pepih Nugraha, si editor, melansir istilah “sharism” sebagai oposisi biner “journalism”. Menurutnya, semangat “berbagi” tersebut melahirkan arus informasi indie (independen) yang meruntuhkan hegemoni media utama. Media utama menyelenggarakan jurnalisme, sementara media indie (warga biasa) menyelenggarakan “sharisme”.
Menurut saya, kedua istilah tersebut tidak dapat dibandingkan. Keduanya berada dalam ranah yang berbeda. Jurnalisme adalah proses bagaimana peristiwa atau fakta dilaporkan. Sementara sharisme adalah prinsip berbagi yang muncul sebagai akibat kemajuan teknologi media.
Keduanya tidak saling bertentangan, malah bisa saling mendukung. Kita bisa melihat bagaimana media “konvensional” semacam Kompas bisa memanfaatkan blogger yang ada di media lanjutannya, Kompasiana, sebagai penulis opini atas peristiwa atau fakta.
Walaupun demikian, penulis opini melalui blog utamanya tetap sebagai seorang yang tugasnya bukan mencari fakta. Walau juga ada beberapa blogger yang melaporkan sebuah peristiwa dan laporan atau reportase tersebut baik, bahkan terkadang lebih cepat dan lebih faktual daripada reportase jurnalis media “konvensional”, tetap saja narablog dan jurnalis ada di wilayah yang berbeda. Dengan demikian, menyamakan blogger atau narablog dengan jurnalis adalah kurang tepat.
Sharisme sendiri berkembang sebagai sebuah prinsip bermedia belum terlalu lama. Kira-kira baru berlangsung satu dekade. Sharisme dimungkinkan hadir karena teknologi media terbaru. Teknologi tersebut menjadikan “berbagi” melalui media baru, terutama Internet, menjadi lebih mudah dan lebih murah. Secara umum teknologi ini disebut dengan nama web 2.0, bahkan ada ahli yang menganggapnya lebih dari versi 2.
Bila pada web 1.0 informasi yang ditampilkan mirip dengan media konvensional. Perbedaannya hanya pada media yang ditampilkan. Web 1.0, karena teknologinya belum memadai, informasi yang disampaikan melalui Internet tidak kompleks, hanya tulisan, dan tidak dimungkinkan untuk saling berkirim komentar.
Web 2.0 mengubah semuanya. Melalui teknologi ini informasi yang diberikan bisa lebih kompleks, semisal audio visual, dan yang lebih penting, karakter “berbagi” tersebut muncul pada era teknologi web 2.0. Berbagi di sini bisa berbagi informasi dan berbagai pesan digital. Web 2.0 inilah yang memungkinkan situs blog dan situs jaringan sosial muncul di mana-mana. Teknologi ini memberikan perubahan cara bermedia yang besar, bahkan mengubah peradaban manusia. Banyak kesempatan dan potensi baru yang dimunculkan oleh web 2.0 ini, yang membuka ruang-ruang baru. Ruang-ruang itu terkadang benar-benar merdeka dari kuasa negara dan pasar. Inilah yang mungkin dinamakan oleh Gunawan Muhamad sebagai “gotong-royong postmodernisme”.
Sharisme sendiri bukannya bebas dari penilaian negatif. Kecenderungan untuk “berbagi” tersebut membuat apa saja diunggah di internet, termasuk karya film, musik, buku, dan foto. Karya kreatif tersebut kemudian “dibagi” dengan gratis padahal sebenarnya setiap orang harus membayar untuk mengakses pesan media tersebut.
Fenomena ini tentu saja “mematikan” industri media. Ada anggapan kemunduran habis-habisan industri musik di Amerika Serikat disebabkan oleh fenomena sharisme ini. Kasus Napster adalah contoh utama bagaimana isu-isu legalitas dan hak cipta dari industri musik diuji dengan mendalam. Walau demikian, ada juga kasus di mana industri musik dan fenomena sharisme media baru ternyata saling mendukung dan saling mendukung. Kasus Radiohead adalah contoh utamanya.
Polemik tentang sharisme dan jurnalisme tentu saja masih perlu dieksplorasi lebih mendalam. Masih banyak hal menarik yang bisa didiskusikan, didebat, dan “digunakan” untuk kepentingan publik. Sebagaimana diskusi kita selama ini mengenai media baru, yang cenderung meninggalkan kepentingan publik. Semoga setelah ini fenomena sharisme menjadi pintu bagi kita untuk mendudukkan kembali publik sebagai “pemilik sah” media.
Modus Terbaru Penjualan Album: 2 for 1
Bila kita ke toko kaset dan cd belakangan ini dan kita memperhatikan dengan cermat, ada modus baru penjualan album barat. Modus atau cara baru tersebut adalah dengan “menjual” dua dalam satu album. Penyanyi atau band yang “dijual” 2 for 1 ini kebanyakan adalah penyanyi lama, semisal Dire Straits, The Police, Elton John, juga ada penyanyi “baru” semisal Keane.
Saya berpendapat, modus ini adalah strategi yang tepat karena pendengar atawa pencinta musik dapat mengakses album-album bagus dengan harga murah, Rp. 65.000,- untuk dua album. Untuk album berkualitas hebat seperti “Brother in Arms”, harga tersebut sangatlah layak.
Membeli album 2 for 1 ini tentu saja masih lebih baik daripada membeli cd bajakan. Bagaimana pun kualitasnya lebih bagus. Sebaiknya label juga mencari strategi lain untuk mendistribusikan atau menjual album daripada mengharapkan “campur tangan” pemerintah mengatasi pembajakan yang tak kunjung ada.
Compact disc audio bajakan tetap kita lihat di mana-mana, bahkan di acara yang disponsori oleh pemerintah, misalnya pada acara pameran hasil-hasil pembangunan. Apakah budaya membajak memang “hasil” pembangunan?
Barang-barang tersebut juga, ironisnya dijual di mal-mal ternama. Apakah mereka tidak tahu bahwa menjual barang bajakan berarti tidak menghargai hak cipta orang lain? Tapi itulah, seharusnya pembajakan ditindak dan diatasi dengan lebih serius.
Kembali pada modus baru penjualan cd. Sebelum modus 2 for 1, saya pernah mendapatkan cara lain penjualan yang cukup ciamik, yaitu penjualan album soft case. Harga cd soft case kira-kira Rp. 55.000,- . Harga normal cd album barat adalah Rp. 75.000,- sampai dengan Rp. 90.000,-.
Cara ini lumayan bagus. Kekurangannya adalah bagi penggemar fanatik, informasi dari album tidak banyak didapat dari edisi soft case, terutama untuk lirik lagu. Walau untuk mendapatkan lirik lagu, kita bisa mencarinya di internet, lirik yang tertulis di cover atau booklet album memiliki “keindahan” tersendiri.
Bagaimana dengan album Indonesia? Setahu saya, modus album soft case juga dilakukan. Untuk cd normal, harganya sekitar Rp. 50.000,-, sementara cd soft case, harganya sekitar Rp. 15.000,-. Tetapi modus ini kelihatannya sudah mulai ditinggalkan karena tidak banyak album soft case yang saya temukan di pasaran.
Modus 2 for 1 juga telah dilakukan, tetapi agak berbeda dengan penjualan album barat yang dikemas menjadi dua album. Album Indonesia tetap ada di dalam cd yang berbeda, hanya “disatukan” dan diberi label harga baru. Contoh ini dilakukan untuk dua album awal Padi dan album “Klakustik”.
Walau sudah ada dua modus itu, seringkali album Indonesia dijual secara “tidak pantas”. Mengapa tidak pantas? Karena biasanya modus yang digunakan adalah “pengemasan kembali”, nama kerennya “re-packed”. Cara ini adalah menambahkan satu dua lagu baru pada album yang telah dirilis sebelumnya. Cara ini merugikan kansumen yang bila membeli album versi lama dan album repacked-nya, berarti dia menghabiskan sumber dayanya sendiri. Sumber daya itu bisa dia manfaatkan untuk mengakses album dari penyanyi lain.
Usul saya sih, sebaiknya industri musik kita mulai menerapkan penjualan singles atau mini album. Cara ini masih lebih berkelas daripada mengemas ulang dengan menambah satu dua lagu baru. Alasan akan sulit laku sebenarnya tidak beralasan karena kasus lagu RBT saja dapat laku secara luar biasa. Intinya adalah apakah cara tersebut dilakukan dan “dibiasakan” pada masyarakat kita.
Sambil saya mendengarkan dua album Dire Straits, “Brothers in Arms” dan “On Every Street”, dengan puas, saya masih berharap musik Indonesia terus maju, antara lain dengan menerapkan strategi penjualan yang “terhormat” dan tepat.
Saya berpendapat, modus ini adalah strategi yang tepat karena pendengar atawa pencinta musik dapat mengakses album-album bagus dengan harga murah, Rp. 65.000,- untuk dua album. Untuk album berkualitas hebat seperti “Brother in Arms”, harga tersebut sangatlah layak.
Membeli album 2 for 1 ini tentu saja masih lebih baik daripada membeli cd bajakan. Bagaimana pun kualitasnya lebih bagus. Sebaiknya label juga mencari strategi lain untuk mendistribusikan atau menjual album daripada mengharapkan “campur tangan” pemerintah mengatasi pembajakan yang tak kunjung ada.
Compact disc audio bajakan tetap kita lihat di mana-mana, bahkan di acara yang disponsori oleh pemerintah, misalnya pada acara pameran hasil-hasil pembangunan. Apakah budaya membajak memang “hasil” pembangunan?
Barang-barang tersebut juga, ironisnya dijual di mal-mal ternama. Apakah mereka tidak tahu bahwa menjual barang bajakan berarti tidak menghargai hak cipta orang lain? Tapi itulah, seharusnya pembajakan ditindak dan diatasi dengan lebih serius.
Kembali pada modus baru penjualan cd. Sebelum modus 2 for 1, saya pernah mendapatkan cara lain penjualan yang cukup ciamik, yaitu penjualan album soft case. Harga cd soft case kira-kira Rp. 55.000,- . Harga normal cd album barat adalah Rp. 75.000,- sampai dengan Rp. 90.000,-.
Cara ini lumayan bagus. Kekurangannya adalah bagi penggemar fanatik, informasi dari album tidak banyak didapat dari edisi soft case, terutama untuk lirik lagu. Walau untuk mendapatkan lirik lagu, kita bisa mencarinya di internet, lirik yang tertulis di cover atau booklet album memiliki “keindahan” tersendiri.
Bagaimana dengan album Indonesia? Setahu saya, modus album soft case juga dilakukan. Untuk cd normal, harganya sekitar Rp. 50.000,-, sementara cd soft case, harganya sekitar Rp. 15.000,-. Tetapi modus ini kelihatannya sudah mulai ditinggalkan karena tidak banyak album soft case yang saya temukan di pasaran.
Modus 2 for 1 juga telah dilakukan, tetapi agak berbeda dengan penjualan album barat yang dikemas menjadi dua album. Album Indonesia tetap ada di dalam cd yang berbeda, hanya “disatukan” dan diberi label harga baru. Contoh ini dilakukan untuk dua album awal Padi dan album “Klakustik”.
Walau sudah ada dua modus itu, seringkali album Indonesia dijual secara “tidak pantas”. Mengapa tidak pantas? Karena biasanya modus yang digunakan adalah “pengemasan kembali”, nama kerennya “re-packed”. Cara ini adalah menambahkan satu dua lagu baru pada album yang telah dirilis sebelumnya. Cara ini merugikan kansumen yang bila membeli album versi lama dan album repacked-nya, berarti dia menghabiskan sumber dayanya sendiri. Sumber daya itu bisa dia manfaatkan untuk mengakses album dari penyanyi lain.
Usul saya sih, sebaiknya industri musik kita mulai menerapkan penjualan singles atau mini album. Cara ini masih lebih berkelas daripada mengemas ulang dengan menambah satu dua lagu baru. Alasan akan sulit laku sebenarnya tidak beralasan karena kasus lagu RBT saja dapat laku secara luar biasa. Intinya adalah apakah cara tersebut dilakukan dan “dibiasakan” pada masyarakat kita.
Sambil saya mendengarkan dua album Dire Straits, “Brothers in Arms” dan “On Every Street”, dengan puas, saya masih berharap musik Indonesia terus maju, antara lain dengan menerapkan strategi penjualan yang “terhormat” dan tepat.
Hasrat
Semangat yang membara, hasrat yang menjadi kecambah
Mencacah cinta, membatukan hasrat
Hasrat adalah sulur-sulur sakral yang merembes ke mana-mana
Keranda jatuh, hasrat membara
Pelaminan tersusun, hasrat bersendawa
Katanya kau pengantinnya?
Siapa tuhannya?
Tuhan untuk siapa?
Berhasratkah dia?
Berita langsungnya dia si mempelai
Atas nama Sang Pembuat Nyawa,
Jangan-jangan dia berhubungan intim dengan hasratnya sendiri
Mencacah cinta, membatukan hasrat
Hasrat adalah sulur-sulur sakral yang merembes ke mana-mana
Keranda jatuh, hasrat membara
Pelaminan tersusun, hasrat bersendawa
Katanya kau pengantinnya?
Siapa tuhannya?
Tuhan untuk siapa?
Berhasratkah dia?
Berita langsungnya dia si mempelai
Atas nama Sang Pembuat Nyawa,
Jangan-jangan dia berhubungan intim dengan hasratnya sendiri
Langganan:
Postingan (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...