Sabtu, 05 September 2009

Etika Media di Tengah Jaman Merebaknya Teror

Oleh: Wisnu Martha Adiputra & Puji Rianto

Walau sudah diduga sebelumnya, pernyataan polisi yang disampaikan melalui Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Nanan Soekarna dalam sebuah jumpa pers, cukup mengejutkan kita. Nanan Soekarna menyatakan bahwa publikasi penangkapan dua orang yang diduga teroris oleh media sebenarnya telah mengganggu kerja polisi di lapangan (Kompas, 20 Agustus 2009). Kini polisi mengalami kesulitan untuk mengembangkan investigasi. Tak lupa kepala divisi humas polisi tersebut berpesan agar lain kali media lebih mengerti dengan kerja polisi.

Pernyataan Nanan Soekarna tersebut menunjukkan bahwa etika pemberitaan media adalah masalah yang kompleks. Pernyataan tersebut juga dapat membawa kita pada pertanyaan klasik: sudah etiskah pemberitaan media atas kasus terorisme? Tulisan ini akan berusaha mendedah bagaimana etika media dalam meliput terorisme dan bagaimana pemberitaan media dapat menjadi “mata” publik yang sebenar-benarnya.

Sebagaimana kita ketahui, sejak bom bunuh diri di Hotel Rizt Carlton dan JW Marriot meledak, hampir setiap hari media memberitakan peristiwa tersebut. Berita itu menghiasi headline koran-koran nasional, majalah, tabloid, dan tentu saja televisi. Keseluruhannya memberitakan dengan sisi dramatiknya masing-masing, dan puncak penyerbuan Densus 88 di Temanggung, Jawa Tengah. Pada peristiwa penyerbuan tersebut, televisi menayangkannya secara live sehingga penggrebekan sarang teroris tersebut mirip dengan tayangan film Hollywod yang banyak bertebaran di televisi kita. Dramatik dan menegangkan meskipun ditinjau dari sudut pandang lain penuh kejanggalan.

Jika kita simak secara seksama, maka pemberitaan-pemberitaan mengenai terorisme tersebut mengundang persoalan etis yang cukup serius. Pertama, pemberitaan tentang terorisme lebih menekankan sisi dramatiknya. Ini dapat dilihat dari banyaknya pengulangan yang tidak perlu atas berbagai momen yang mengandung efek dramatik. Di televisi, peristiwa meledaknya bom tersebut diulang-ulang, bahkan terkesan sangat detail. Dilihat dari sisi media, momen tersebut mungkin menarik dan besar kemungkinan menaikkan rating atau oplah.

Namun, pengulangan semacam ini melupakan perasaan si korban atau keluarga korban. Dalam kaitan ini, jika peristiwa dramatik dalam setiap peristiwa bom bunuh diri mempunyai nilai berita tinggi bagi jurnalis atau media, maka bagi korban situasi tersebut tak lebih menjadi pengulangan kengerian atas peristiwa serupa. Dengan begitu, media cenderung untuk menanamkan trauma psikologis yang jauh lebih mendalam bagi korban atau keluarga korban.

Persoalan kedua, detail yang tidak perlu. Ada persoalan serius ketika media baik televisi maupun koran dalam memberitakan detail bom rakitan yang digunakan. Bahkan, hingga sampai proses perakitan bom tersebut. Di sini, ada dua implikasi yang perlu diperhatikan oleh jurnalis atau media mengenai hal ini, yakni efek pembelajaran atas hal tersebut. Meskipun hal ini masih sangat bisa diperdebatkan, tetapi pemberitaan-pemberitaan detail semacam itu tidak menutup kemungkinan akan memberikan inspirasi bagi pihak lain untuk melakukan hal yang kurang lebih sama.

Jika hal ini terjadi, maka media akan memberikan kontribusi buruk bagi usaha menciptakan dunia damai yang bebas dari kekerasan dan terorisme. Kita masih ingat bagaimana pembunuhan dengan cara melakukan mutilasi beberapa waktu lalu dilakukan diantaranya karena diinspirasi oleh pemberitaan-pemberitaan media.

Di luar kedua persoalan di atas, media menghadapi persoalan lainnya yang tidak kalah seriusnya, yakni media gagal meliput peristiwa secara kritis. Usaha-usaha untuk mengejar timelines (kecepatan dalam menyiarkan berita) telah menjebak media menyiarkan segala sesuatu yang terjadi tanpa melakukan cek dan ricek. Dalam situasi semacam ini, media akan lebih memerankan diri sebagai “aparatus” pihak lain.

Tepatnya, public relations-nya pihak lain mendapatkan publikasi gratis. Padahal, informasi yang diberikan ke media belum tentu akurat dan relevan bagi publik. Bahkan, mungkin berbahaya. Berita tentang kematian Nurdin M. Top yang ditembak Densus 88 di Temanggung menjadi contoh mengenai hal ini. Wartawan hanya mengandalkan narasumber kepolisian sehingga media terjebak ke dalam apa yang sering disebut sebagai “official truth”.

Kebenaran yang direpresentasikan oleh media hanya merefleksikan kebenaran versi pejabat, bukan kebenaran dalam pengertian yang sebenarnya. Oleh karena itulah, media harus kritis. Sikap kritis semacam ini juga penting agar media tidak terjebak sebagai “aparatus” atau instrumen kekuasaan pihak-pihak yang terlibat. Sebagaimana kita tahu, tujuan utama teroris adalah menyebarkan ketakutan di kalangan masyarakat.

Oleh karena itu, mereka hampir selalu mencari perhatian media sehingga jika media tidak hati-hati dalam memberitakan bom bunuh diri, maka tidak menutup kemungkinan liputan-liputan tersebut justru menguntungkan mereka. Dalam konteks ini, liputan yang luas akan mengaburkan mana yang menjadi pahlawan dan mana yang bukan.

Tidak menutup kemungkinan pihak-pihak yang seharusnya dihukum dan menjadi musuh masyarakat bahkan akan tampil bak pahlawan. Sementara itu, pengutipan tanpa kritisisme dari sumber-sumber pemerintah dan kepolisian hanya akan membuat media melupakan tugas pokoknya untuk mengabdi masyarakat dengan memberikan informasi yang benar. Dari situlah, akal sehat menjadi semakin terpelihara dan bukannya sebaliknya.

Pada intinya, media harus kritis. Kritis terhadap narasumber dan juga peristiwa. Kritis terhadap peristiwa dapat dikembangkan dengan berusaha menjawab hal-hal penting bagi publik. Kemudian, dalam setiap liputannya, media harus senantiasa mempertimbangkan dampaknya bagi publik karena kepada merekalah media seharusnya melayani, dan bukannya pada kekuasaan yang lain.

Dengan kata lain, media harus senantiasa mempertimbangkan sisi etis dalam setiap pemberitaan. Etis berarti media harus melakukan sesuatu sebagaimana seharusnya, menjadi perpanjangan mata pulik, dengan mempertimbangkan banyak faktor, tidak semata-mata rating atau oplah. Bukankah publik, yang bermakna: transparansi, melibatkan partisipasi warga, dan untuk kepentingan banyak orang, adalah esensi dari kerja media?

(tulisan ini karya saya bersama rekan dan "atasan" saya di PKMBP, Puji Rianto...Tulisan opini ini dimuat di Kedaulatan Rakyat tanggal 3 September 2009. Semoga bermanfaat dan semoga visi PKMBP untuk "membantu mewujudkan demokrasi melalui literasi media" terus berjalan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...