Sabtu, 05 September 2009

“Tanpa Kepala” saja Sebagus Ini

Album Tika and the Dissidents, “The Headless Songstress”, ini sebenarnya sudah cukup lama hadir dalam koleksi saya tetapi saya memang memerlukan waktu cukup lama untuk mendalaminya. Biasa-lah, karya yang bagus memerlukan waktu yang cukup lama untuk dicerna.

Sudah ada beberapa resensi yang bagus mengenai album ini di media komersial dan juga di notes/blog rekan muda saya yang sangat bagus, Fakhri Zakaria. Saya berterima kasih atas informasi tersebut walaupun saya mencoba untuk melakukan percobaan semata-mata hanya pada teks album ini saja. Tetapi memang hal itu sulit karena, bagaimana pun, kita cenderung memiliki hasrat besar untuk mencari informasi untuk mengurangi ketidaktahuan kita.

Begitulah, percobaan saya itu bisa dikatakan gagal karena akhirnya saya mendapatkan sedikit informasi mengenai album ini dan juga Tika and the Dissidents sendiri. Walau demikian, saya mencoba sekali lagi untuk menakar album ini hanya dari lagu-lagunya, terutama pada lirik.

Singkat kata, album ini sungguh bagus. Musik yang indah dan variatif, juga lirik yang cerdas menguatkan album ini. Bisa dikatakan, album ini adalah album Indonesia terbaik yang saya dengarkan pada tahun ini.

Entah mengapa, begitu mendengarkan album ini, berdasarkan tekstur suara Tika dan kemisteriusannya (minimal bagi saya yang sebelumnya tidak mengetahui sedikit pun tentang penyanyi yang satu ini), saya jadi teringat Tori Amos. Penyanyi yang saya sukai lagu-lagunya tetapi anehnya, saya tidak bisa mendengarkan lagu-lagunya terlalu lama karena seperti ada perasaan gundah di hati saya.
Demikian pula ketika mendengarkan album ini. Sebelumnya saya hanya bisa bertahan mendengar sampai lagu kedua, “Polpot”. Itulah sebabnya saya memerlukan waktu yang lama untuk memahaminya.

Musik di album ini melintasi berbagai genre. Inilah yang membuat album ini sangat mengasyikkan untuk didengar walau tidak mudah untuk “ditaklukkan” atau dipahami dalam satu dua kali mendengar. Ada irama jazz (misalnya pada “20 Hours”), waltz (“Waltz Muram”), bahkan nuansa “musik gereja” selaksa kelompok “Gregorian” dan “Enigma” (pada lagu “Tentang Petang”), dan beberapa genre musik yang lain.

Nah, sekarang kita membicarakan liriknya. Sesuatu yang saya pikir lebih saya pahami daripada musiknya. Walau hanya ada empat lagu berbahasa Indonesia dari dua belas lagu di album ini, nuansa “pergulatan” identitas dan interaksi, sosial maupun ketuhanan, hadir di album ini. Pergulatan yang khas masyarakat Indonesia, di mana kita bergerak berubah seringkali tanpa kita pahami.

Pergulatan identitas sebagai perempuan misalnya, muncul di lagu “Venus Envy” dan “Uh Ah Lelah”. “Venus Envy” segera mengingatkan saya pada frase “Penis Envy” yang meletakkan perempuan dalam dilema dominasi laki-laki. Ini mirip dengan apa yang coba dijelaskan oleh Laura Mulvey bahwa sebenarnya perempuan terperangkap di dalam dominasi lak-laki karena memang perempuan menikmati untuk dilihat dan diperhatikan. Fenomena ini terutama muncul dalam pesan media film.

Walau sulit keluar dari keterperangkapan itu, tokoh di lagu ini mencobanya…”I blab blab about bla bla for the liberation of my sex, only to realize it’s my own self esteem. I gotta fight”…(dalam “Venus Envy”). Dilema yang sama muncul di lagu “Uh Ah Lelah”. Hal itu dimunculkan oleh kalimat keterangan dari lirik lagu…”Lawan lelah si sundal bengal. Aku sumringah, ia tersengal. Syukurlah aku perempuan..”.
“Keterperangkapan” relasi laki-laki-perempuan itu terus berlanjut. Pada “Tentang Petang” misalnya, si tokoh perempuan mengingatkan pasangannya akan terbatasnya kemampuan manusia laki-laki mengatasi godaan. Ia terus mengingatkan walau pada akhirnya tetap menyimpulkan bahwa manusia (laki-laki) selalu jadi pecundang bila berhadapan dengan godaan.

Pada lagu “Waltz Muram” keterperangkapan relasi lebih terlihat. Si tokoh perempuan yang mencoba tegar dari kehilangan orang yang dicintainya walau tidak bisa. Hal yang saya suka adalah munculnya kata komodifikasi di informasi tambahan untuk lagu ini. Berdasarkan pemikiran Vincent Moscow dalam karyanya “Political Economy of Communication”, komodifikasi adalah salah satu pintu masuk untuk memahami ekonomi politik, dua lainnya adalah strukturasi dan spasialisasi. Permasalahannya, apakah komodifikasi ada pada level individu?

Juga pada lagu “Oi Dirty Bastard” yang menghadirkan Anda sebagai bintang tamu. “Keterperangkapan” cinta antara wanita muda dan lelaki yang jauh lebih tua bahkan setua ayah si perempuan. Di satu sisi si perempuan mencintai si lelaki tua tetapi dilema perbedaan umur itu diketahuinya akan melekat selamanya bila mereka terus bersama.

Aras berikutnya dari lirik album ini adalah identitas dan relasi dengan religiusitas. Lagu “20 Hours” dan “Infidel Castratie” jelas berbicara hal tersebut. Lagi-lagi kita dapat melihat “keterperangkapan” di sini, kesangsian atas eksistensi tuhan (“20 Hours”) terbingkai dalam ketidakberdayaan atas kematian (“Infidel Castratie”). Tafsir di lagu “20 Hours” menurut saya adalah tafsir nomor dua paling brilian dan tidak biasa untuk sebuah lagu dari penyanyi Indonesia. Silakan dicerna sendiri!

Pergulatan berkaitan dengan interaksi sosial, walau tidak bisa sepenuhnya dipisahkan dari identitas, misalnya hadir pada lagu “Red Red Cabaret” di mana si tokoh bercerita tentang ekspektasi masyarakat atas seorang anak. Ekspektasi tersebut membuat orang-tua ikut terlibat dan pada gilirannya, si tokoh berperan palsu untuk menyenangkan orang tua dan masyarakat.

Makna lirik selanjutnya merambah ke hal yang lebih luas secara sosial: ketakutan masyarakat kita pada kaum gay (pada lagu “Clausnophobia”), perjuangan kaum buruh yang sebenarnya juga menunjukkan bahwa kita semua adalah buruh ketika berhadapan pada sistem kapitasme (pada lagu “Mayday”), serta yang lebih universal, perjuangan untuk terus menentang tirani (“Tantang Tirani”) walau lagu ini juga bisa dilihat dari sisi “keterperangkapan” relasi perempuan-laki laki sebelumnya. Pada lagu ini si perempuan berharap si lelaki menjadi manusia pemberani. Perempuan tetap berada di belakang untuk mendukung laki-laki.

Nah, untuk penutupnya, saya kira lagu “Polpot” adalah tafsir paling brilian atas kondisi masyarakat Indonesia. Dibuka dengan kalimat oke, “It’s the nation’s celebration of amnesia”…kita masih belum tahu apa yang dibicarakan lagu ini sebenarnya. Setelah menelaah seluruh teks lagu, barulah kita paham, lagu ini membicarakan televisi Indonesia yang sudah kelewatan buruk dari sudut pandang si tokoh. Titik tekan kecerdasan tafsir itu adalah analogi Polpot untuk televisi. Polpot kita ketahui adalah salah satu diktator paling kejam di abad ke-20. Apakah televisi juga kejam karena “membunuh” jutaan masyarakat Indonesia atas kesadaran hidup dan sejarahnya sendiri? Silakan menjawab di dalam hati, teman-teman.

Bila album ini dikreasikan oleh sesuatu “tanpa kepala”, berarti album ini luar biasa. Bila diciptakan oleh orang-orang dengan kepala, berarti itu adalah kepala-kepala yang sangat cerdas. Saya sangat puas dengan album ini, indera pendengaran saya tersenyum, labirin-labirin di hati berderak ceria, plus sel-sel kelabu di kepala saya bergerak tanpa gembira diberi makanan bergizi. Album bintang lima dari empat bintang yang tersedia…hehe…selamat mendengarkan dan tercerahkan!

Daftar lagu:
1. Tantang Tirani
2. Polpot
3. Venus Envy
4. 20 Hours
5. Uh Ah Lelah
6. Red Red Cabaret
7. Oi’ Dirty Bastard (featuring Anda)
8. Infidel Castratie
9. Waltz Muram
10. Tentang Petang
11. Mayday
12. Clausnophobia
(Plus pengemasan yang apik walau bisa jadi motif penempelan blocknotes yang bertujuan menjadikan pendengar album kreatif menulis malah menjadikan pendengar tidak ingin menulis. Takut CD-nya rusak atau hilang)

2 komentar:

  1. Salam kenal.
    Nama saya Tika, vokalis Tika & the dissidents, yang kebetulan anda ulas di tulisan ini.
    Seorang teman memberikan saya link ke halaman ini, dan saya benar-benar terkesima. Dari sekian banyak review atas album kami, tulisan anda lah yang paling menohok bagi saya.

    Membaca telaah anda atas lirik-lirik lagu dalam album kami, saya seakan melakukan perjalanan ke dalam kepala sendiri, dan menemukan gang-gang dan pintu-pintu yang saya sendiri tak pernah tau keberadaannya.

    Anda yang pertama menyadari pelesetan Venus Envy dari Penis Envy, dimana Venus seringkali dicitrakan sebagai planetnya perempuan. Dan anda juga dapat membaca benang merah antara lirik yang membuka kegundahan saya tentang tarik ulur gender...

    Konklusinya, sebaik-baiknya pendapat anda tentang karya lirik dalam album kami, anda lah yang justru terbukti lebih keren karena mampu membaca yang justru tak tertulis...

    Terimakasih atas reviewnya. Kami senang mengetahui bahwa satu kopi The Headless Songstress telah sampai ke tangan yang baik.

    BalasHapus
  2. halo, maaf sekali saya merespon terlalu lama untuk komentar anda. Selama ini salah terlalu berkonsentrasi untuk tulisan-tulisan di facebook. Terus berkarya ya...hasilkan album2 yang bagus :)

    BalasHapus

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...