Kamis, 03 September 2009

Reality Show yang Tidak Riil

Tulisan ini merupakan “oleh-oleh” dari kegiatan yang saya ikuti minggu lalu, 19 Agustus 2009. Acara seminar tersebut bertajuk “Membedah Program Televisi Reality Show” dan diselenggarakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Yogyakarta.

Sebagaimana kita ketahui bersama, salah satu permasalahan televisi Indonesia sekarang ini, dari banyak masalah, adalah program yang disebut reality show. Bila diamati dengan lebih mendalam, program reality show yang berkembang sekarang ini adalah jenis reality show fase kedua. Fase pertama booming reality show ketika sekitar lima tahun lalu acara seperti MOP (Mbikin Orang Panik) dan Paranoid menjadi populer. Reality show fase pertama tersebut menggantikan program acara mistis yang mulai tidak diminati oleh penonton.

Reality show fase pertama ini memang diwakili oleh MOP dan Paranoid, bukan hanya karena keduanya populer. Juga karena kedua acara tersebut bermasalah. MP misalnya membuat dua orang polisi diberhentikan dengan tidak hormat karena menyalahgunakan wewenang mereka dengan “mengerjai” seseorang.

Acara Paranoid membuat seorang ibu keguguran karena kaget dan terjatuh. Ibu tersebut adalah korban dari acara mengerjai orang dengan menakut-nakuti orang tersebut. Informasi yang saya baca, ibu tadi menuntut pihak televisi yang menayangkan acara Paranoid. Sayangnya, pemberitaan selanjutnya tidak pernah saya dapatkan lagi. Permasalahannya adalah kematian sebagai akibat program televisi adalah sesuatu yang tragis. Seharusnya program televisi yang disiarkan dengan menggunakan frekuensi milik publik juga memberikan kemaslahatan untuk publik. Bukan malah membuat publik bodoh, apalagi mengambil nyawa anggota masyarakat.

Seingat saya, acara reality show fase pertama itu tidak mencantumkan informasi atau tulisan bahwa acara tersebut tidak merugikan “korban”-nya dan juga tidak mencantumkan kalimat yang eksplisit bahwa acara tersebut disetujui oleh pihak yang dikerjai untuk ditayangkan. Mungkin juga pihak televisi menyadari bila ada “kesalahan” di dalam tayangan reality show fase pertama tersebut. Mungkin juga penonton sudah tidak berminat. Hal yang jelas adalah, program reality show fase pertama ini raib dari layar televisi.

Kemudian, setahun terakhir ini muncullah reality show jenis baru di televisi Indonesia. Kita sebut saja program reality show fase kedua. Program reality show yang paling dikenal dari fase ini adalah “Termehek-mehek”. Reality show fase kedua inilah yang dibahas dalam acara seminar kemarin itu. Seminar ini menghadirkan tiga pembicara dan ketua KPI yang menjadi keynotes speech, Sasa Djuarsa Sendjaja, serta dimoderatori oleh salah seorang komisioner KPID Yogya, I Gusti Ngurah Putra.

Ketiga pembicara tersebut adalah Ade Armando, akademisi dari Universitas Indonesia. Bung Ade ini adalah mantaun komisioner KPI dan pengamat televisi yang kritis. Pembica kedua berasal dari AGB Nielsen. Sayang saya lupa namanya. Sayang juga karena ia memberikan materi yang selalu sama bila dari Nielsen diminta bicara pada forum publik. Sedangkan pembicara terakhir adalah Koentjoro, profesor psikologi sosial dari Universitas Gadjah Mada. Kehadiran akademisi dari disiplin ilmu psikologi tentu menyegarkan kita. Sebagaimana kita ketahui, sedikit sekali akademisi bidang psikologi, apalagi dari UGM.
Keadaan ini, kelangkaan ilmuwan psikologi yang mendalam media, adalah situasi yang mengkhawatirkan.

Media massa, terutama televisi, adalah entitas yang semakin besar pengaruhnya di masyarakat kita. Kemungkinan besar merupakan salah satu entitas terbesar, selain agama dan negara. Dengan demikian, media massa perlu dipelajari oleh sebanyak mungkin akademisi dari berbagai bidang.

Lalu, kembali ke pembicaraan awal, apa permasalahan program reality show di Indonesia sebenarnya?
Permasalahan yang utama tentu saja acara reality show tersebut tidak riil. Tidak merujuk pada kenyataan yang sesungguhnya. Reality show bisa didefinisikan sebagai program hiburan tentang orang-orang riil, di tengah situasi riil. Jadi, sesederhana apa pun program reality show, reality show itu haruslah berpijak pada kenyataan. Bila ada rekayasa atau arahan tindakan, semuanya haruslah tidak meninggalkan kenyataan yang sesungguhnya tersebut.

Reality show yang ada di dalam televisi Indonesia sungguh berbeda. Reality show tersebut sepenuhnya fiksi dan tidak benar-benar terjadi. Fiksi memang tetap dibenarkan di dalam reality show, asalkan fiksi tadi tetap merujuk pada kenyataan. Secara agak mendetail, Ade Armando menunjukkan bahwa acara reality show di televisi Indonesia bukanlah “real people in real situation”. Reality show fase kedua ini bahkan bukan berdasarkan kisah nyata sama sekali. Hal ini bisa dilihat dari beberapa indikator: logika, kewajaran tampilan, bahasa, kualitas gambar dan suara, dan penggunaan “property” yang berulang. (ini dikutip dari materi presentasi bang Ade Armando).

Apa yang bisa kita lakukan sebagai warga masyarakat dengan keadaan ini? Tentu saja kita harus terus mendesak televisi Indonesia agar mereka jujur atas genre program yang ada. Jelas pembedaan fakta dan fiksi. Fiksi ya dibilang fiksi, rekayasa ya dibilang rekayasa. Jangan memakai banderol "reality".

Selain itu, kita mendesak juga pada pihak berwenang, dalam hal ini KPI, untuk bertindak tegas terhadap televisi yang tidak jujur atas programnya sendiri. Langkah yang lain adalah mendesak pada akademisi dan aktivis kecakapan bermedia untuk terus mengkampanyekan program televisi yang sehat di masyarakat. Frekuensi tempat televisi, bagaimana pun juga, adalah milik publik dan seharusnya digunakan sekuat mungkin untuk kepentingan publik.

Dan juga hal yang sangat penting: mendesak agar UU Penyiaran dilaksanakan dengan tegas dan konsisten. Pelaksanaan peraturan hukum itu penting. Tidak hanya akan membuat televisi komersial Jakarta menjadi lebih “sopan”, juga akan dapat memunculkan televisi publik yang berdaya dan televisi komunitas, yang keduanya, bisa menjadi alternatif dari sistem yang ada sekarang ini.

Kita harus bergerak dan cepat berbenah agar kondisi pertelevisian lebih baik lagi…jangan sampai televisi “mengorbankan” anak-anaknya sendiri seperti halnya kasus “Smackdown” beberapa waktu yang lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...