Kamis, 03 September 2009

Majalah HAI, Dulu dan Kini

HAI adalah majalah yang tidak mungkin saya lupakan begitu saja. Pertama, dan yang utama, majalah ini menjadi obyek riset saya untuk skripsi. Dua bulan lebih saya “berkantor” di majalah HAI di jalan Panjang Kebon Jeruk, Jakarta. Rasanya belum lekang dari ingatan bagaimana saya naik angkot dan bus pergi pagi dan pulang malam selama meneliti pada tahun 1997 itu.

Judul skripsi saya adalah “Analisis Isi Artikel Internasional Majalah HAI tahun 1986 dan 1996 dalam Memuat Nilai-nilai Globalisme”. Tambah terasa panjangnya itu judul sekarang…hehe…Bila saya baca skripsi itu sekarang, saya rasanya ingin tersenyum. Ada beberapa “kesalahan” bila dilihat saat ini, tetapi juga ada “kepuasan” bila mengingat percobaan intelektual saya jaman itu cukuplah lumayan.

Majalah HAI bagi saya berarti komik-komik yang bagus. Saya membaca HAI sejak tahun 1980-an bersamaan dengan majalah Bobo untuk adik, dan Femina untuk ibu saya. Masih teringat betul rasanya, saya menunggu dengan antusias seminggu penuh untuk serial Trigan, Storm, dan Roel Djikstra, serta Arad dan Maya yang sedikit lebih awal. Semua komik tersebut sangat melegenda bagi saya, mungkin setara dengan “Deni si Manusia Ikan”, komik bersambung belasan tahun di majalah Bobo.

Pada masa SMA, majalah HAI bagi saya berarti cerita bersambung dan cerita pendek yang indah. Cerbung majalah HAI semisal “Balada Si Roy” dan “Anak-anak Mama Alin” begitu melekat dalam diri saya. Sebelumnya ada serial si Kiki dan si Imung, yang juga terkenal, serta cerbung karya Arswendo Atmowiloto tentang olahragawan yang saya lupa judulnya.

Serial Balada si Roy karya Gola Gong sangatlah berpengaruh dalam diri saya. Dulu rasanya kesendirian dan prinsip “berkelana” si Roy hampir membuat saya pergi dari rumah. Teman SMA saya, yang juga fans si Roy, malah benar-benar berkelana dan membolos dari sekolah dalam waktu yang cukup lama.
Serial Anak-anak Mama Alin karya Bubin Lantang juga demikian adanya. Saya betul-betul tersihir hampir setiap minggu ketika cerbung ini dimuat hal. Bukan hanya karena ceritanya yang mengharu-biru, juga karena setting cerita di Bandar Lampung, dan juga kampung saya Pasir Gintung, yang membuat saya menyukai cerita ini.

Apa ada teman-teman yang masih punya serial “Balada si Roy” dan “Anak-anak Mama Alin”? tolong beri informasi ke saya ya…

Selain itu, majalah HAI juga berarti berita mengenai musik yang bagus bagi saya sebelum era internet. Banyak informasi dan kisah mengenai band yang saya dapatkan dulu, semisal A-Ha, Duran Duran, dan U2. Menurut salah seorang pengelola HAI yang dulu saya wawancara sewaktu menulis skripsi, HAI bahkan menjadi pihak yang pertama-kali mendatangkan band dari luar negeri. Waktu itu mereka mendatangkan Europe.

Sebenarnya bukan hanya berita musik. Pada dasarnya semua berita yang ada di majalah HAI adalah berita yang betul-betul mengena dengan remaja pada waktu itu. Berita tentang berbagai SMA dari seluruh Indonesia dan berita mengenai kaum muda pada umumnya, tidak pernah absen pada tiap edisinya. Seringkali semua berita tersebut dikaitkan dengan pemposisian diri pada berbagai peristiwa. Posisi yang menurut saya cukup berkelas dan intelek bagi seorang remaja pada waktu itu.

Kini, walau keadaanya tentu saja berbeda. Pemposisian tersebut tidak ada. Bila pun ada, pemposisian itu tidak bermakna alias hanya sekadar memberi informasi dan mengikuti arus trend yang ada.
Hal tersebut saya buktikan dengan membaca majalah HAI edisi terakhir untuk tanggal 17-23 Agustus 2009. Sesekali saya memang masih mengakses majalah ini untuk sedikit mendapatkan informasi mengenai apa yang terjadi pada dunia kaum muda (lelaki) sekarang ini. Khusus untuk edisi kali ini, saya sangat tertarik dengan berita utamanya, yang berjudul “Lagu Religi for Sale: antara Syiar, Job Manggung, dan RBT”.

Saya pikir awalnya saya akan menemukan informasi yang cukup banyak mengenai alasan sebuah band memproduksi album religi. Kemungkinan besar memang untuk menangguk profit. Tetapi bagaimana persisnya fenomena ini berkembang adalah hal yang saya cari.

Dan saya akhirnya kecewa setelah membaca artikel tersebut. Informasi yang saya dapatkan tidak banyak dan tidak ada riset yang cukup mendalam mengenai lagu ataupun album religi. Penulisnya percaya begitu saja dengan apa yang disampaikan narasumber (band) bahwa mereka ingin “beribadah” dengan merilis album religi. Di mana isu komodifikasi? Hehe…atau saya saja yang berharap terlalu lebih untuk sebuah majalah remaja. Bukankah remaja identik dengan kesantaian dan kesederhanaan, tidak usah berpikir yang berat berat lah…

Okelah, saya tetap akan berusaha proporsional dan tetap menjaga sikap kritis saya atas media untuk kaum muda. Sekaligus menyiapkan diri, bersama rekan senior Budhy Kazeth, untuk mengampu kuliah “Media dan Budaya Kaum Muda” nanti.

Dan majalah HAI adalah pintu pembuka yang baik….

2 komentar:

  1. bung wisnu, ingatkah perdebatan fadli zon dengan beberapa kawan soal musik rock dan musik klasik di kolom opini? zon bilang musik rock itu bikin pusing kepala dan musik klasik membantu dia konsentrasi belajar di amerika sana, hehehe... lawan debatnya antara lain kawan dari padang, adnan 'chaz' buchori, atau siapa lagi, ... hahaha, nice to meet someone at your age and has the same background---trims sudah menulis ini, saat saya sedang ingin menulis tentang hai juga, ... terimakasih

    BalasHapus

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...