Senin, 02 Agustus 2010
Collective Soul: “Bersinar” Hampir Dua Dekade
Hari-hari belakangan ini ada empat nama pengkreasi pesan yang terus “menghajar” benak saya. Mereka adalah Murakami, Giddens, Nolan, dan Roland. Nama pertama, Haruki Murakami, adalah penulis paling favorit saya sekarang ini. Setiap kalimat yang dia tulis di dalam novel dan kumpulan cerpennya benar-benar mendalam dan mengasyikkan. Saya mengagumi cara dia membaca realitas dan menuangkannya di dalam tulisan. Rasanya ingin membaca semua karyanya, yang sudah ada di rak buku saya, secepat dan sebaik mungkin bila tidak ingat tugas-tugas yang lain.
Nama Anthony Giddens adalah nama yang selalu mengingatkan saya pada tugas-tugas tersebut, tugas terbesar malah. Nama ini semestinya melekat lebih dari ketiga nama yang lain. Namun entahlah, mungkin karena saya yang malas atau pemikiran doski terlalu “berat”, saya belum lagi mendedah pemikirannya lebih mendalam padahal inti dari pemikirannya saya perlukan benar bila ingin melangkah ke level selanjutnya. Kini saya berusaha “kembali” pada Giddens dengan segala daya upaya. Saya meyakinkan diri bahwa semua pemikiran manusia tentu bisa dimengerti walau manusia itu jenius. Gini-gini saya kan manusia juga…hehe…
Christopher Nolan adalah nama berikutnya. Menonton film “Inception” yang dia sutradarai adalah salah satu momen yang membuka indera visual saya. Saya semakin menyadari betapa mata kita bisa menyihir pikiran, betapa sebuah ide yang dipikirkan masak-masak dan mendalam akan menghasilkan karya pesan media yang sangat bagus. Godaan untuk menonton film-filmnya yang lain begitu kuat. Kebetulan sudah ada tiga filmnya selain “Inception” yang menunggu untuk diakses. Nanti dulu deh, godaan pesan media itu mudah dipenuhi bila tidak ada tugas-tugas lain menanti.
Nama terakhir yang belakangan ini saya ingat-ingat adalah Ed Roland. Dia adalah pendiri sekaligus motor dari band 1990-an, Collective Soul. Saya mengenal “kumpulan jiwa” itu sejak hits pertama mereka “Shine” populer di tahun 1993. Saya mendengarnya ketika masih berkuliah di semester-semester awal di sebuah program radio yang terkenal pada waktu itu, “Rick Dees Top 40”. Wah ada lagu bagus nih…begitu pikir saya waktu itu.
Namun, karena “kompetitor” mereka di telinga saya adalah band-band lain yang berkelas, semisal Nirvana, U2, Pearl Jam, Sonic Youth dan Nine Inch Nails, saya jadi agak mengabaikan band ini. Bukan itu saja penyebab saya tidak mendengarkan band ini dengan intens. Terus terang saya “termakan” dengan omongan salah seorang teman pada waktu itu bahwa Collective Soul itu band “sekolahan” dan terlalu “manis” untuk band rock. Apalagi memang awal 1990-an itu aliran musik yang bernama grunge dan alternatif membahana dan sangat menarik pendengar musik “baru” seperti saya.
Bila diandaikan seorang teman, band Collective Soul ini memang bukanlah jenis teman yang selalu memukau dengan kata-kata dan musiknya. Tidak ada kalimat negatif yang muncul di dalam lirik lagu mereka. Bila pun marah, mereka menyampaikan sekadarnya saja. Tidak ada substansi isi yang brilian di dalam lirik lagu mereka, seperti halnya U2 yang mengemas lirik dengan tautan konsep lain yang berat, seperti Sonic Youth yang musiknya selalu membuat berpikir dan berkarya dalam konteks konstruktif, atau seperti Nine Inch Nails yang kemarahannya pada dunia terus memberi inspirasi.
Collective Soul adalah seorang teman yang biasa saja, tertata, tidak berpretensi menggurui. Lirik dan musik yang mereka hasilkan mungkin bukan yang terkeren dan mendalam, tetapi mereka konsisten memberikan yang terbaik sesuai dengan ciri mereka sendiri. Ini kelebihan Collective Soul. Saya mendengarkan kembali Collective Soul dan aktivitas ini saya samakan dengan bertemu kembali dengan seorang teman lama. Memang kenapa bila teman kita “sekolahan”, tertata, atau mudah ditebak?
Mereka juga tidak terlalu menonjolkan diri tetapi mereka masuk “hall of fame” pada tahun 2009. Mereka lebih berbicara lewat karya bukan pada liputan media atau imaji yang mereka bentuk sendiri. Awalnya, saya mendengarkan kembali Collective Soul karena ingin mengamati band-band 1990-an yang “tenggelam”. Ada Live, Stone Temple Pilot, Soul Asylum,Third Eye Blind, bersama Collective Soul, yang saya anggap menghilang. Untuk Stone Temple Pilot, anggapan itu gugur karena mereka baru saja merilis album baru yang bagus setelah berhibernasi sangat lama. Third Eye Blind sudah merilis album tidak bagus, “Ursa Mayor” tahun kemarin. Live dan Soul Asylum tidak lagi terdengar.
Namun anggapan saya yang paling tidak tepat adalah ketika mendengarkan album terakhir Collective Soul, self titled, yang mereka sebut “Rabbit Album”.
Album terakhir tersebut masihlah bagus seperti Collective Soul yang dulu. Lagu-lagu bagus yang enak didengar khas mereka hadir di album ini. Lagu “Welcome All Again”, “Fuzzy”, “You”, dan “Staring Down” menunjukkan hal tersebut. Mendengarkan album terkini mereka ini membuat saya ingin mendengarkan semua album mereka, mulai dari album “Hints, Allegations and Things Leff Unsaid” (1993) sampai “Afterwords” (2007). Mari kita amati sedikit-sedikit tiap albumnya.
Album debut mereka “Hints, Allegations, and Things Left Unsaid” adalah pembuka bagi band ini menduduki popularitas cukup panjang. Lagu “Shine” membawa mereka ke festival ulang tahun Woodstock yang prestisius pada tahun 1994. “Sekolah” komposisi gitar Ed Roland serta pengalamannya di wilayah musik independen membuat album ini relatif matang bagi album debut. Selain “Shine”, “Wasting Time”, “Reach”, dan “Breathe”, adalah lagu-lagu bagus di album ini.
Album kedua mereka yang berjudul sama dengan nama band (self titled) diriis tahun 1995. Album ini adalah album yang paling mendatangkan uang sekaligus menempatkan mereka pada posisi popularitas yang lebih tinggi dari sebelumnya. Mungkin ini adalah puncak popularitas mereka. Menurut saya, lagu-lagu di album ini adalah lagu yang bagus dan paling mudah dicerna karena memang musiknya enak. Tentu saja lagu yang paling saya suka di album ini adalah “The World I Know”, walau lagu-lagu lain, “December”, “Gel”, “She Gathers Rain” dan “Bleed” adalah lagu-lagu yang bagus.
Pada tahun 1997 album ketiga yang berjudul “Disciplined Breakdown” dirilis. Album yang bagi kebanyakan fans terasa aneh karena terlalu keras dan relatif “tidak tertata” musiknya. Hal yang berbeda dari Collective Soul di dua album sebelumnya. Walau begitu “Precious Declaration” dan “Listen” tetap menjadi lagu-lagu hits dari band ini.
Walau bagi kebanyakan fans, album kedua adalah album yang paling bagus, album keempatlah yang dianggap oleh kritikus musik sebagai album terbaik dari seluruh album Collective Soul. Album keempat yang berjudul “Dosage” dianggap puncak kematangan band ini dalam bermusik. “Run” adalah lagu yang paling saya suka dari album ini. Selain bagus, tampilnya lagu ini sebagai salah satu lagu OST dalam film remaja “Varsity Blues”, adalah faktor yang membuat saya selalu teringat dengan lagu ini. “Varsity Blues” adalah salah satu film remaja Amerika yang tidak menempatkan tokoh utamanya sebagai sosok hero melainka sebagai manusia yang memiliki kekurangannya. Setelah film ini, film-film remaja Amerika mengambil genre yang berbeda, yaitu komedi seks, seperti “American Pie” dan “Loser”. Selain “Run”, lagu-lagu lain yang bagus adalah “Heavy”, Needs”, “Dandy Life”, dan “She Said”. Lagu yang menjadi lagu OST dari film “Scream” dan merupakan “track tersembunyi” dari album ini. Lagu lain yang kemudian muncul dalam OST film anak muda adalah “Tremble for My Beloved”, yang muncul dalam film “sejuta kaum muda”, Twilight. Paling tidak ini adalah upaya untuk mengenalkan Collective Soul pada pendengar yang lebih muda.
“Blender” adalah album kelima yang rilis pada tahun 2000. Album ini tidak sekuat album-album sebelumnya. Saya mengingat album ini karena sesuatu hal yang tidak bisa saya lupakan dan mengubah jalan hidup saya selanjutnya. Dari album ini ada tiga lagu yang menjadi hits, “Perfect Day” yang dinyanyikan bareng Elton John, “Why (Part 2)” yang enerjik itu, dan “Happiness”.
Setelah album kelima, mereka mengeluarkan album kompilasi lagu-lagu terbaik mereka dalam album yang berjudul “7even Year Itch” pada tahun 2001. Judul album yang bila tidak salah sama dengan judul salah satu film Marilyn Monroe. Judul ini sepertinya sindiran bagi diri mereka sendiri atau juga sindiran bagi kritikus musik. Album the best ini menurut saya adalah album yang bagus karena bisa mensarikan perjalan mereka selama tujuh tahun. Album ini juga album yang bagus bagi yang mendengarkan Collective Soul untuk pertama-kali. Ada dua lagu baru yang masuk di album ini, yaitu “Energy” dan “Next Homecoming”.
Sehabis album the best itulah, pendengar Collective Soul di Indonesia seperti kehilangan jejak mereka karena mereka tidak lagi dikontrak oleh label rekaman besar, Atlantic Record. Mereka kemudian bergerak melalui jalur independen, label mereka sendiri. Tiga tahun setelah berhibernasi, pada tahun 2004 Collective Soul merilis album keenam, “Youth”. Rupanya album ini dianggap sebagai pembuka kembali untuk memasuki dunia musik yang pernah memberikan popularitas luar biasa pada mereka. Visi album ini adalah mendapatkan “kemudaan” kembali. Album ini album yang bagus. Menurut saya, ketiga album pasca “7even Year Itch” adalah album-album terbaik Collective Soul. Album ini dibuka dengan manifesto mereka, “Better Now” yang bagus, disertai dua lagu lain yang kekuatannya sama, “How Do You Love” dan “Counting the Days”.
“Afterwords” adalah album ketujuh yang dirilis tahun 2007. Album ini lagi-lagi album yang bagus. Lagu-lagu seperti “What I Can Give You”, “Good Morning After All”, dan “Persuasion of You” adalah lagu-lagu yang paling keras dari Collective Soul namun tetap terdengar enak. Album ini seperti album “Disciplined Breakdown” dalam versi yang lebih matang.
Album yang bergambar kelinci adalah album terkini dari mereka, album yang sekali lagi menggunakan nama Collective Soul, self titled, sebagai judul album walau para personelnya sendiri menyebut album ini, “Rabbit”. Menurut saya, album ini memang dimaksudkan mencapai apa yang pernah dicapai oleh album kedua mereka: kedekatan dengan fans, output yang brilian, dan rasa percaya diri kolektif. Tidak ada asumsi lain, ini album yang bagus. Menurut saya album ini adalah album terbaik Collective Soul terbaik. Album ini juga menandai mereka bekerja sama dengan label besar, Road Runner. Walau tidak sebesar label mainstream sebelumnya, bekerja sama dengan label memberikan keuntungan bagi pendengar untuk mudah mengakses album ini.
Pada akhirnya nama Collective Soul yang bermakna negatif itu tidaklah negatif. Nama Collective Soul diambil dari novel Ayn Rand yang berjudul “Fountainhead”. Nama yang sebenarnya bermakna peyoratif untuk menunjukkan betapa kedirian akan hilang ketika manusia berkelompok. Formasi terakhir band ini Ed Roland, Dean Roland, Will Turpin, Joel Kosche, dan Cheney Brannon, paling tidak membuktikan bahwa mereka tetap menghasilkan karya yang bagus di album terkini setelah band ini hampir dua dekade aktif. Seperti hit pertama mereka, “Shine”, mereka terus berkarya hampir dua dekade.
Pelajaran dari Ed Roland yang lain adalah pertemanan. Sewaktu dia mewakili rekan-rekannya menjadi bagian dari “Georgia Music Hall of Fame”, kota asal mereka, pada September 2009, ia pun mengucapkan terima kasih pada mantan anggota Collective Soul, Ross Childress, Shane Evans, dan Ryan Hoyle, malah mengajar Shane Evans ke panggung untuk merayakan penghargaan tersebut. Teman-teman memang akan selalu “bersinar” di hati, di masa lalu, kini, dan mungkin nanti.
(informasi disarikan dari berbagai sumber)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menulis Lagi, Berjuang Lagi
Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...
-
Baru-baru ini kita dikejutkan kembali oleh peristiwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Set e lah penyebaran film Fitna tahun lalu, kal...
-
Untuk seorang sahabat lama di hati dan bukan dalam kehidupan nyata.... Entah mengapa aku sangat merindukanmu sekarang. "Urgency of now...
-
Membicarakan “nyala api”, entah mengapa saya jadi ingat dengan lagu the Doors, “Light My Fire”. Mungkin makna lagu ini tidak ada hubungan la...
gw demen banget sama band ini dari album pertama gw nikmati perjalanan bermusik mereka, yang tiap albumnya mempunyai ciri tersendiri, tetapi masih pada jalur collective soulnya..... bravo collective soul!! kapan manggung di indonesia!! gw tunggu
BalasHapusthanks for the nice review bro :)
BalasHapustapi sedikit opini pribadi, gw justru tertarik mendengarkan Collective Soul karena keunikan lirik2nya.. kalau dibaca dan dipahami justru sangat poetik dan simbolik.. bahkan jauh dari kesan generik apalagi 'biasa'.. bahasa populernya 'dalem' dan ambiguitas yang meliputinya justru membuatnya semakin khas.. you guys should check them word by word... :)
riff2 gitar khas Ross Childress membungkusnya dengan sangat tegas tapi elegan... sayang Ross bikin masalah dan akhirnya terdepak dari band..
anyway, bulan depan CS bakal manggung di Java Rocking Land :)
really really looking forward to it.. a dream come true to me, sebagai penggemar berat dan pemerhati band satu ini sejak SMP dulu di awal 90-an..
let's sing together at the front of the stage bro :)