Rabu, 23 Mei 2012

Membaca Sepakbola, Menonton Drama

Kesedihan para Pemain Muenchen
dalam Final Champions League 2012
(gambar dari bloggers.com)

Sebagai seorang Presiden tentunya dia menyadari bahwa Bastian Schweinsteiger masih larut dalam kesedihan sehingga tidak merespon ajakannya untuk bersalaman. Mungkin itu yang ada di pikiran Joachim Gauck, Presiden Jerman, ketika pemain Bayern Muenchen tersebut tidak menyalami presidennya. Siapa yang tidak sedih ketika harapan yang membuncah musnah di depan mata. Bayern Muenchen memiliki kans besar untuk menjadi juara karena menjadi tuan rumah final Champions League 2012. Fakta di lapangan juga menunjukkan hal serupa. Pasukan merah mengurung pasukan biru sepanjang 120 menit. Tetapi itulah kenyataan. Seringkali harapan yang sepertinya dengan mudah terwujud, malah hilang dan mewujud sebaliknya.

Drama sepakbola liga-liga di Eropa, baik yang domestik ataupun antar negara, tidak berhenti di situ. Berikutnya, Monpellier membuat sejarah untuk pertama kalinya menjuarai liga Perancis dan mengalahkan klub kaya Paris Saint Germain. Sehari setelahnya Napoli mengalahkan kesebelasan "tak terkalahkan" Juventus pada final Copa Italia. Dramatis bagi Juve, karena justru di pertandingan terakhir di musim ini mereka kalah dan tidak bisa mengawinkan juara Liga yang baru saja mereka dapatkan. "Drama" juga terjadi di liga Inggris yang juaranya ditentukan pada dua menit terakhir masa injury time antara Manchester City versus Queen Park Rangers. "Drama" lain berwujud pemecahan rekor point terjadi di liga Spanyol di mana Real Madrid mendapatkan poin 100 dan mengalahkan Barcelona yang selama tiga tahun begitu digdaya.

Walau tahun ini banyak kejadian dramatis, namun bagi saya lebih dramatis liga-liga tersebut setahun lalu, di mana Monaco, Deportivo La Coruna, dan River Plate, klub-klub mapan dan berprestasi, harus terdegradasi. Kabarnya ketiganya sangat mungkin kembali pada liga utama musim depan. Darimana semua drama tersebut kita peroleh? jawabnya singkat saja, dari media. Media mengharu-biru kita dengan ragam informasi dan emosi melalui tayangan tentang sepakbola. Asalkan tidak mendramatisasi, sah-sah saja media mengedepankan drama, seperti saat Pep Guardiola memutuskan mundur, seperti ketika Muamba terjatuh pingsan, dan banyak kejadian yang lain. Hal yang paling penting adalah bagaimana media juga bisa mendorong tindakan yang diperlukan untuk memperbaiki kondisi riil sepakbola. Kita semua, masyarakat Indonesia penyuka sepakbola, dimanjakan oleh tayangan sepakbola dari Eropa dan mengakses, memaknai, dan terharu-biru oleh drama drimi kejadian di luar lapangan di Eropa dan seluruh penjuru dunia, tetapi kita, mungkin sebagian besar, tidak tertarik menonton sepakbola negeri sendiri apalagi mengakses informasi di luar lapangan karena pasti tentang konflik melulu. Sungguh ironis! media kita juga sepertinya tidak antuasias memberitakan sepakbola Indonesia kecuali tentu saja stasiun-stasiun televisi yang menjadi antek dari masing-masing pihak yang bertikai.

Semoga cepat membaik kondisi sepakbola Indonesia.
Sekarang kita bisa beristirahat sejenak untuk menyiapkan fisik dan psikis untuk Piala Eropa bulan depan (kecuali final Copa Del Rey akhir minggu ini).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...