Kamis, 03 Mei 2012

Record Store Day

Beberapa hari yang lalu seperti biasa saya mengunjungi salah satu toko produk musik populer yang biasa saya kunjungi. Terlihat sekali koleksi toko tersebut turun drastis dari biasanya. Saya bertanya pada salah satu pelayan di toko tersebut penyebab koleksinya jauh sekali menurun. Kemudian dia menjawab bila saat ini sulit sekali mendapatkan album-album terbaru yang bisa dijual. Menurutnya, beberapa label sudah bekerja sama dengan toko tertentu sehingga distribusi sebuah album menjadi eksklusif milik jaringan toko tersebut saja. Belum lagi kini banyak penyanyi Indonesia yang mendistribusikan karyanya melalui jaringan makanan cepat saji dan mini market, serta jaringan toko buku walau yang terakhir ini lebih sedikit persentasenya. Derita toko-toko produk musik tersebut semakin parah dengan masih banyaknya album-album bajakan yang ada di mana-mana, bahkan di pameran pembangunan pemerintah yang katanya mencanangkan industri kreatif sebagai ujung tombak industri.

Lalu kita juga melihat di luar negeri sana ada "Record Store Day" yang jatuh pada tanggal 21 April kemarin. Mungkin esensi yang ingin disampaikan dengan sama dengan hari Kartini yang hari peringatannya sama, yaitu lebih memperhatikan sesuatu yang cenderung diabaikan. Bila Hari Kartini fokus perhatian itu semestinya diberikan pada relasi perempuan dan laki-laki yang semestinya semakin membaik, pada hari "toko (musik) rekaman" kita semestinya memperhatikan industri musik rekaman yang selama ini cenderung diabaikan dibandingkan dengan media-media yang lain.

"Record Store Day" bertujuan mengajak kita kembali mengunjungi toko produk musik populer yang menjual produk fisik, seperti kaset, cakram padat, dan piringan hitam. Dengan begitu, apresiasi kita pada musik bukan hanya pada lagu-lagunya belaka tetapi pada suatu produk media yang berwujud. Permasalahannya, untuk meningkatkan apreasiasi pada produk musik rekaman, kita tak boleh faktor teknologi. Rasanya absurd juga bila kita mengapresiasi kaset (media penyimpan suara melalui pita) yang kini bahkan pemutarnya pun sudah tak diproduksi, atau mengapresiasi piringan hitam yang mahal itu walau kualitas rekamannya juga paling bagus. Hal yang perlu diapresiasi dengan pas dan memadai adalah mengapresiasi cakram padat, yang memang menjadi format produk musik rekaman yang paling galib.

Sayangnya, kemudian memproduksi musik rekaman di cakram padat membuat musik yang tersimpan di dalamnya juga kurang dihargai. Album fisik dalam bentuk cakram padat mudah sekali dibajak sehingga orang lupa bahwa produk album tersebut adalah sebuah karya yang dilindungi oleh hak cipta, yaitu hak dasar yang melekat pada karya seseorang. Pemahaman kita sebagai warga negara dan bahkan juga aparat pemerintah masih minim pada hak cipta ini sehingga merugikan para produsen karya dan pada gilirannya merugikan budaya kita secara umum.

Hal lain yang juga mesti diperhatikan agar orang kembali mengunjungi toko produk musik populer adalah membuat toko tersebut nyaman seperti halnya banyak toko buku sekarang ini yang menyediakan sofa, kafe, dan suasana sejuk, bukan seperti toko kelontong di mana orang datang, melihat-lihat, membeli, dan kemudian pergi. Toko produk musik populer juga mestinya menjadi forum bagi para penggemar musik untuk bertemu dan bertukar pikiran. Dengan cara seperti ini aktivitas mengakses dan mendengarkan musik populer tidak menjadi aktivitas yang soliter, melainkan aktivitas yang dilakukan dan dinikmati bersama-sama. Pada akhirnya bila forum ini terbentuk dengan baik akan ada pendengar-pendengar musik Indonesia yang kritis, yang meninjau produk media musik populer dengan lebih dalam dan lebih mengasyikkan.

Ayo kunjungi lagi toko-toko cakram padat, ayo perbaiki kondisi musik Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...