Selasa, 29 Mei 2012

Undang-Undang Telekomunikasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1999
TENTANG
TELEKOMUNIKASI



DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :
a.  bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan  makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang  Dasar 1945;
b.  bahwa penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya  memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan,  mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta  meningkatkan hubungan antarbangsa;
c.  bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat  pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara  pandang terhadap telekomunikasi;
d.  bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan mendasar dalam  penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi tersebut, perlu dilakukan  penataan dan pengaturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional;
e.  bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka Undang-undang Nomor 3  Tahun 1989 tentang Telekomunikasi dipandang tidak sesuai lagi, sehingga perlu diganti;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG TELEKOMUNIKASI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya;
Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;  Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;
Sarana dan prasarana telekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan  mendukung berfungsinya telekomunikasi;

a. Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio;
b. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan  kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
c. Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan  bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi;
d. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik  Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha swasta, instansi  pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara;
e. Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan  jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak;
f. Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan  jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;
g. Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;
h. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan  telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
i. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau  pelayanan jaringan telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya  telekomunikasi;
j. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
k. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan pengoperasiannya khusus;
l. Interkoneksi adalah keterhubungan antarjaringan telekomunikasi dari penyelenggara  jaringan telekomunikasi yang berbeda;
m. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang  telekomunikasi.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN


Pasal 2

Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum,  keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan
bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata,   mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan
antarbangsa.

BAB III
PEMBINAAN


Pasal 4

1. Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
2. Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi  yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian.
3. Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang  telekomunikasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta  perkembangan global.
Pasal 5

1. Dalam rangka pelaksanaan pembinaan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal  4, Pemerintah melibatkan peran serta masyarakat.
2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa penyampaian pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah pengembangan  pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian dan  pengawasan di bidang telekomunikasi.
3. Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diselenggarakan  oleh lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut.
4. Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang bergerak di bidang usaha telekomunikasi, asosiasi profesi telekomunikasi, asosiasi produsen peralatan telekomunikasi, asosiasi pengguna jaringan, dan jasa telekomunikasi serta masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi.
5. Ketentuan mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pembentukan lembaga  sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 6
Menteri bertindak sebagai penanggung jawab
administrasi telekomunikasi Indonesia.

BAB IV
PENYELENGGARAAN


Bagian Pertama
Umum


Pasal 7

(1) Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi:
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
(2) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. melindungi kepentingan dan keamanan negara;
b. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
c. dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
d. peran serta masyarakat.

Bagian Kedua
Penyelenggara

Pasal 8

(1) Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh badan
hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yaitu:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c. badan usaha swasta; atau
d. koperasi.
(2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf c, dapat dilakukan oleh:
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.


(3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9

1. Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat  menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
2. Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam  menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan  telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
3. Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dapat  menyelenggarakan telekomunikasi untuk:
a. keperluan sendiri;
b. keperluan pertahanan keamanan negara;
c. keperluan penyiaran.

4. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, terdiri  dari penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan:
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. dinas khusus;
d. badan hukum.

5. Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Larangan Praktek Monopoli
Pasal 10


(1) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Perizinan
Pasal 11

1. (1)Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat  diselenggarakan setelah mendapat izin dari Menteri.
2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan:
a. tata cara yang sederhana;
b. proses yang transparan, adil dan tidak diskriminatif; serta
c. penyelesaian dalam waktu yang singkat.
3. Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat
Pasal 12


1. Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah.
2. Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku pula terhadap sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar.
3. Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 13

Penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan milik perseorangan untuk tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan di antara para pihak.
Pasal 14
Setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan
telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 15
1. Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan  kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi  kepada penyelenggara telekomunikasi.
2. Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud  pada ayat (1), kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa  kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.
3. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16
1. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa  telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.
2. Kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk  penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain.
3. Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur  dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17

Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip:
a. perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna;
b. peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi; dan
c. pemenuhan standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana.
Pasal 18

1. Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian   jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi.
2. Apabila pengguna memerlukan catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi  sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara telekomunikasi wajib  memberikannya.
3. Ketentuan mengenai pencatatan/perekaman pemakaian jasa telekomunikasi  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19

Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.
Pasal 20
Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran,  dan penyampaian informasi penting yang menyangkut:
a. keamanan negara;
b. keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
c. bencana alam;
d. marabahaya; dan atau
e. wabah penyakit.
Pasal 21

Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.
Pasal 22

Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
a. akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
b. akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus.

Bagian Keenam
Penomoran
Pasal 23

(1) Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi ditetapkan dan digunakan sistem penomoran.
(2) Sistem penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 24

Permintaan penomoran oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara
jasa telekomunikasi diberikan berdasarkan sistem penomoran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23.

Bagian Ketujuh
Interkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan

Pasal 25
(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkaninterkoneksi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(2) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(3) Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan prinsip:
a. pemanfaatan sumber daya secara efisien;
b. keserasian sistem dan perangkat telekomunikasi;
c. peningkatan mutu pelayanan; dan
d. persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
(4) Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi, hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 26
(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosentase pendapatan.
(2) Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan
T a r i f
Pasal 27

Susunan tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
Besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian KesembilanTelekomunikasi Khusus
Pasal 29
(1) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(3) huruf a dan huruf b, dilarang disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(3) huruf c, dapat disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk keperluan penyiaran.

Pasal 30
(1) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b setelah mendapat izin Menteri.
(2) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.
(3) Syarat-syarat untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 31
(1) Dalam keadaan penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf b belum atau tidak mampu mendukung kegiatannya, penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud dapat menggunakan atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang dimiliki dan atau digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesepuluh
Perangkat Telekomunikasi, Spektrum Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit

Pasal 32
(1) Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 33
(1) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah.
(2) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
(3) Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.
(4) Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 34
(1) Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya penggunaan frekuensi,yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi.
(2) Pengguna orbit satelit wajib membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
(3) Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diaturdengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 35
(1) Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal berbendera asing dari dan ke wilayah perairan Indonesia dan atau yang dioperasikan di wilayah perairan Indonesia, tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
(2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia di luar peruntukannya, kecuali:
a. untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keamanan lalu lintas pelayaran; atau
b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.
(3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 36
(1) Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
(2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia di luar peruntukannya, kecuali:
a. untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keselamatan lalu lintas penerbangan; atau
b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak penerbangan.
(3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37

Pemberian izin penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi radio untuk perwakilan diplomatik di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik.
Bagian Kesebelas
Pengamanan Telekomunikasi

Pasal 38
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 39
(1) Penyelenggara telekomunikasi wajib melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap instalasi dalam jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk penyelenggaraan telekomunikasi.
(2) Ketentuan pengamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 40
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.
Pasal 41

Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 42
(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya.
(2) Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:
a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undangundang yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 43
Pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), tidak merupakan pelanggaran Pasal 40.
BAB V
P E N Y I D I K A N

Pasal 44
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi; c. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku; d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka; e. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi; f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi; g. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi; h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan i. mengadakan penghentian penyidikan.
(3) Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.

BAB VI
SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
(1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.

BAB VII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 54
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52 atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.


BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 60
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, penyelenggara telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, tetap dapat menjalankan kegiatannya dengan ketentuan dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini dinyatakan berlaku wajib menyesuaikan dengan Undang-undang ini.
Pasal 61
(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, hak-hak tertentu yang telah diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara untuk jangka waktu tertentu berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 masih berlaku.
(2) Jangka waktu hak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dipersingkat sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah dan Badan Penyelenggara.
Pasal 62
Pada saat Undang-undang ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3391) masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 63
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 64
Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



   Disahkan di Jakarta pada tanggal 8 September 1999     
    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


                             ttd
                                                                            BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE


                                              Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 September 1999
                                  MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA, REPUBLIK INDONESIA

   
        ttd
  M U L A D I

 (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 154)

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI

I. U M U M
1. Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun tentang Telekomunikasi, pembangunan dan penyelenggaraan telekomunikasi telah menunjukkan peningkatan peran penting dan strategis dalam menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan keamanan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka wawasan nusantara, dan memantapkan ketahanan nasional serta meningkatkan hubungan antar bangsa.
2. Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran sehingga dipandang perlu mengadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
3. Penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat nasional sudah merupakan kebutuhan nyata, mengingat meningkatnya kemampuan sektor swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi, penguasaan teknologi telekomunikasi, dan keunggulan kompetitif dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat.
4. Perkembangan teknologi telekomunikasi di tingkat internasional yang diikuti dengan peningkatan penggunaannya sebagai salah satu komoditas perdagangan, yang memiliki nilai komersial tinggi, telah mendorong terjadinya berbagai kesepakatan multilateral.
5. Sebagai negara yang aktif dalam membina hubungan antarnegara atas dasar kepentingan nasional, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan multilateral menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi dan diikuti. Sejak penandatanganan General Agreement on Trade and Services (GATS) di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April 1994, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, penyelenggaraan telekomunikasi nasional menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perdagangan global.
6. Sesuai dengan prinsip perdagangan global, yang menitikberatkan pada asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif, Indonesia harus menyiapkan diri untuk menyesuaikan penyelenggaraan telekomunikasi.
7. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka peran Pemerintah dititikberatkan pada pembinaan yang meliputi penentuan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dengan mengikutsertakan peran masyarakat.
8. Peningkatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan telekomunikasi tidak mengurangi prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, hal-hal yang menyangkut pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang merupakan sumber daya alam yang terbatas dikuasai oleh negara.
9. Dengan tetap berpijak pada arah dan kebijakan pembangunan nasional serta dengan memperhatikan perkembangan yang berlangsung baik secara nasional maupun internasional, terutama di bidang teknologi telekomunikasi, norma hukum bagi pembinaan dan penyelenggaraan telekomunikasi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi perlu diganti.

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Penyelenggaraan telekomunikasi memperhatikan dengan sungguh-sungguh asas pembangunan nasional dengan mengutamakan asas manfaat, asas adil dan merata, asas kepastian hukum dan asas kepercayaan pada diri sendiri, serta memperhatikan pula asas keamanan, kemitraan, dan etika.
Asas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil guna baik sebagai infrastruktur pembangunan, sarana penyelenggaraan pemerintahan, sarana pendidikan, sarana perhubungan, maupun sebagai komoditas ekonomi yang dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir batin.
Asas adil dan merata adalah bahwa penyelenggaraan telekomunikasi memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semua pihak yang memenuhi syarat dan hasil-hasilnya dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata.
Asas kepastian hukum berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum, dan memberikan perlindungan hukum baik bagi para investor, penyelenggara telekomunikasi, maupun kepada pengguna telekomunikasi.
 Asas kepercayaan pada diri sendiri, dilaksanakan dengan memanfaatkan secara maksimal potensi sumber daya nasional secara efisien serta penguasaan teknologi telekomunikasi, sehingga dapat meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan sebagai suatu bangsa dalam rnenghadapi persaingan global.
Asas kemitraan mengandung makna bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat mengembangkan iklim yang harmonis, timbal balik, dan sinergi dalam penyelenggaraan telekomunikasi.
Asas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan telekomunikasi selalu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan, pembangunan, dan pengoperasiannya.
Asas etika dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat profesionalisme, kejujuran, kesusilaan, dan keterbukaan.
Pasal 3
Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi dalam ketentuan ini dapat dicapai, antara lain, melalui reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan telekomunikasi dalam rangka menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan professional dengan regulasi yang transparan, serta membuka lebih banyak kesempatan berusaha bagi pengusaha kecil dan menengah.

Pasal 4
Ayat 1
Mengingat telekomunikasi merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional, maka penguasaannya dilakukan oleh negara yang dalam penyelenggaraannya ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Ayat 2
Fungsi penetapan kebijakan, antara lain, perumusan mengenai perencanaan dasar strategis dan perencanaan dasar teknis telekomunikasi nasional.
Fungsi pengaturan mencakup kegiatan yang bersifat umum dan/atau teknis operasional yang antara lain, tercermin dalam pengaturan perizinan dan persyaratan dalam penyelenggaraan telekomunikasi.
Fungsi pengendalian dilakukan berupa pengarahan dan bimbingan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.
 Fungsi pengawasan adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk pengawasan terhadap penguasaan, pengusahaan, pemasukan, perakitan, penggunaan frekuensi dan orbit satelit, serta alat, perangkat, sarana dan prasarana telekomunikasi.
Fungsi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dilaksanakan oleh Menteri. Sesuai dengan perkembangan keadaan, fungsi pengaturan, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilimpahkan kepada suatu badan regulasi.
Dalam rangka efektivitas pembinaan, pemerintah melakukan koordinasi dengan instansi terkait, penyelenggara telekomunikasi, dan mengikutsertakan peran masyarakat.
Ayat 3
Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas.


Pasal 6
Sesuai dengan ketentuan Konvensi Telekomunikasi Internasional, yang dimaksud dengan Administrasi Telekomunikasi adalah Negara yang diwakili oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Dalam hal ini Administrasi Telekomunikasi melaksanakan hak dan kewajiban Konvensi Telekomunikasi Internasional, dan peraturan yang menyertainya. Administrasi Telekomunikasi Indonesia juga melaksanakan hak dan kewajiban peraturan internasional lainnya seperti peraturan yang ditetapkan Intelsat(International Telecommunication Satellite Organization) dan Inmarsat (International Maritime Satellite Organization) serta perjanjian internasional di bidang telekomunikasi lainnya yang diratifikasi Indonesia.

Pasal 7
Ayat 1
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus antara lain untuk keperluan meteorologi dan geofisika, televisi siaran, radio siaran, navigasi, penerbangan, pencarian dan pertolongan kecelakaan, amatir radio, komunikasi radio antar penduduk dan penyelenggaraan telekomunikasi khusus instansi pemerintah tertentu/swasta.
Ayat 2
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang memerlukan jaringan telekomunikasi dapat menggunakan jaringan yang dimilikinya dan/atau menyewa dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lain.
Jaringan telekomunikasi yang disewa pada dasarnya digunakan untuk keperluan sendiri, namun apabila disewakan kembali kepada pihak lain, maka yang menyewakan kembali tersebut harus memperoleh izin sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Ayat 3
Cukup jelas.
Ayat 4
Huruf a
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan perseorangan adalah penyelenggaraan telekomunikasi guna memenuhi kebutuhan perseorangan, misalnya amatir radio dan komunikasi radio antarpenduduk.
Huruf b
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan instansi pemerintah adalah penyelenggaraan telekomunikasi untuk mendukung pelaksanaan tugastugas umum instansi tersebut, misalnya, komunikasi departemen atau komunikasi pemerintah daerah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk dinas khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi untuk mendukung kegiatan dinas yang bersangkutan, antara lain, kegiatan navigasi, penerbangan, atau meteorologi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk badan hukum adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang dilakukan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau koperasi, misalnya telekomunikasi perbankan, telekomunikasi pertambangan, atau telekomunikasi perkeretaapian.

Ayat 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Sesuai dengan ketentuan Konvensi Telekomunikasi Internasional, yang dimaksud dengan Administrasi Telekomunikasi adalah Negara yang diwakili oleh pemerintah  negara yang bersangkutan. Dalam hal ini Administrasi Telekomunikasi  melaksanakan hak dan kewajiban Konvensi Telekomunikasi Internasional, dan  peraturan yang menyertainya. Administrasi Telekomunikasi Indonesia juga  melaksanakan hak dan kewajiban peraturan internasional lainnya seperti peraturan  yang ditetapkan Intelsat(International Telecommunication Satellite Organization) dan  Inmarsat (International Maritime Satellite Organization) serta perjanjian internasional  di bidang telekomunikasi lainnya yang diratifikasi Indonesia.
Pasal 7
Ayat 1
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus antara lain untuk keperluan meteorologi dan geofisika, televisi siaran, radio siaran, navigasi, penerbangan, pencarian dan pertolongan kecelakaan, amatir radio, komunikasi radio antar penduduk dan penyelenggaraan telekomunikasi khusus instansi pemerintah tertentu/swasta.
Ayat 2
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang memerlukan jaringan telekomunikasi dapat menggunakan jaringan yang dimilikinya dan/atau menyewa dari penyelenggara  jaringan telekomunikasi lain.
Jaringan telekomunikasi yang disewa pada dasarnya digunakan untuk keperluan  sendiri, namun apabila disewakan kembali kepada pihak lain, maka yang  menyewakan kembali tersebut harus memperoleh izin sebagai penyelenggara  jaringan telekomunikasi.
Ayat 3
Cukup jelas.
Ayat 4
Huruf a
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan  perseorangan adalah penyelenggaraan telekomunikasi guna memenuhi kebutuhan  perseorangan, misalnya amatir radio dan komunikasi radio antarpenduduk.
Huruf b
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan  instansi pemerintah adalah penyelenggaraan telekomunikasi untuk mendukung  pelaksanaan tugastugas umum instansi tersebut, misalnya, komunikasi departemen  atau komunikasi pemerintah daerah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk dinas  khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi untuk mendukung kegiatan dinas  yang bersangkutan, antara lain, kegiatan navigasi, penerbangan, atau meteorologi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk badan  hukum adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang dilakukan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau koperasi, misalnya telekomunikasi perbankan, telekomunikasi pertambangan, atau  telekomunikasi perkeretaapian.
Ayat 5
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat 1
Pasal ini dimaksudkan agar terjadi kompetisi yang sehat antarpenyelenggara  telekomunikasi dalam rnelakukan kegiatannya. Peraturan perundang-undangan  yang berlaku dimaksud adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang  Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta peraturan  pelaksanaannya.
Ayat 2
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat 1
Perizinan penyelenggaraan telekomunikasi dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah  dalam rangka pembinaan untuk mendorong pertumbuhan penyelenggaraan  telekomunikasi yang sehat. Pemerintah berkewajiban untuk mempublikasikan secara  berkala atas daerah/wilayah yang terbuka untuk penyelenggaraan jaringan dan/atau  jasa telekomunikasi. Penyelenggaraan telekomunikasi wajib memenuhi persyaratan  yang ditetapkan dalam perizinan. Penyelenggaraan telekomunikasi guna keperluan eksperimen diberi izin khusus untuk jangka waktu tertentu.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat 1
Yang dimaksud dengan memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan/atau  bangunan yang dimiliki/dikuasai oleh Pemerintah adalah kemudahan yang diberikan  kepada penyelenggara telekomunikasi.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Yang dimaksud dengan instansi pemerintah adalah instansi yang secara langsung  menguasai, memiliki, dan/atau menggunakan tanah dan/atau bangunan.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan perseorangan adalah orang seorang dan/atau badan hukum  yang secara langsung menguasai, memiliki dan/atau menggunakan tanah dan/atau  bangunan yang dimanfaatkan atau dilintasi.
Dalam rangka memberi perlindungan hukum terhadap hak milik perseorangan maka  pemanfaatannya harus mendapat persetujuan para pihak.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat l
Ganti rugi oleh penyelenggara telekomunikasi diberikan kepada pengguna atau  masyarakat luas yang dirugikan karena kelalaian atau kesalahan penyelenggara  telekomunikasi.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Penyelesaian ganti rugi dilaksanakan dengan cara melalui mediasi atau arbitrase  atau konsiliasi. Cara-cara tersebut dimaksudkan sebagai upaya bagi para pihak  untuk mendapatkan penyelesaian dengan cara cepat. Apabila penyelesaian ganti  rugi melalui cara tersebut di atas tidak berhasil, maka dapat diselesaikan melalui  pengadilan.
Pasal 16
Ayat 1
Kewajiban pelayanan universal (universal service obligation) merupakan kewajiban  penyediaan jaringan telekomunikasi oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi  agar kebutuhan masyarakat terutama di daerah terpencil dan/atau belum  berkernbang untuk mendapatkan akses telepon dapat dipenuhi.
Dalam penetapan kewajiban pelayanan universal, pemerintah memperhatikan  prinsip ketersediaan pelayanan jasa telekomunikasi yang menjangkau daerah  berpenduduk dengan mutu yang baik dan tarif yang layak.

Kewajiban pelayanan universal terutama untuk wilayah yang secara geografis terpencil dan yang secara ekonomi belum berkembang serta membutuhkan biaya  pembangunan tinggi termasuk di daerah perintisan, pedalaman, pinggiran, terpencil  dan/atau daerah yang secara ekonomi kurang menguntungkan.
Kewajiban membangun fasilitas telekomunikasi untuk pelayanan universal  dibebankan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi tetap yang telah  mendapatkan izin dari pemerintah berupa jasa sambungan langsung jarak jauh  (SLJJ) dan/atau jasa sambungan lokal.
Penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya di luar kedua jenis jasa di atas  diwajibkan memberikan kontribusi.

Ayat 2
Kompensasi lain sebagaimana dimaksud dalam kewajiban pelayanan universal  adalah kontribusi biaya untuk pembangunan yang dibebankan melalui biaya  interkoneksi.
Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat 1
Pencatatan pemakaian jasa telekomunikasi merupakan kewajiban penyelenggara  yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, dan berlaku hanya untuk  pelayanan jasa telepon sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) dan sambungan  langsung internasional (SLI) sepanjang diminta oleh pengguna jasa telekomunikasi.  Perekaman pemakaian jasa telekomunikasi adalah rekaman rincian data tagihan  (billing), yang digunakan untuk membuktikan pemakaian jasa telekomunikasi.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 19
Bila jaringan telekomunikasi terhubung dengan beberapa jaringan lain yang menyelenggarakan jasa yang sama, maka pengguna jaringan tersebut harus dijamin kebebasannya untuk memilih salah satu dari jaringan yang terhubung tadi melalui penomoran yang ditentukan.
Pada dasarnya pengguna berhak memilih penyelenggara jaringan dan/atau jasa  telekomunikasi untuk menyalurkan hubungan telekomunikasinya. Dalam pelaksanaannya penyeleiiggara jaringan danlatau jasa telekomunikasi dapat mengubah rute hubungan dari pengguna ke jaringan penyelenggara lain tanpa sepengetahuan pengguna. Apabila terjadi, hal di atas bertentangan dengan prinsip persaingan sehat yang dapat merugikan baik bagi penyelenggara maupun bagi pengguna.
Pasal 20
Pengiriman informasi adalah tahap awal dari proses bertelekomunikasi, dilanjutkan dengan kegiatan penyaluran sebagai proses antara, dan diakhiri dengan kegiatan penyampaian informasi untuk penerimaan pihak yang dituju. Prioritas pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi yang akan ditetapkan oleh pemerintah antara lain berita tentang musibah.
Pasal 21
Penghentian kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilakukan oleh pemerintah setelah diperoleh informasi yang patut diduga dengan kuat dan diyakini  bahwa penyelenggaraan telekomunikasi tersebut melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat l
Ketentuan ini dimaksudkan agar kebutuhan atas penomoran dari penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa telekomunikasi serta penggunanya dapat dipenuhi secara adil dan selaras dengan ketentuan internasional.
Nomor adalah rangkaian tanda dalam bentuk angka terdiri atas kode akses dan nomor pelanggan yang dipergunakan untuk mengidentifikasi suatu alamat pada jaringan atau pelayanan telekomunikasi.
Ayat 2
Penomoran adalah sumber daya terbatas dan oleh karena itu sistem penomoran diatur oleh Menteri secara adil. Penomoran pada jaringan telekomunikasi terkait dengan teknologi dan ketentuan internasional.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Ayat 4
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat 1
Biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi adalah kewajiban yang dikenakan kepada penyelenggara jaringan dan/atau jasa telekomunikasi sebagai kompensasi atas perizinan yang diperolehnya dalam penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi yang besarnya ditetapkan berdasarkan presentase dari pendapatan dan merupakan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang disetor ke Kas Negara.
Ayat 2
Cukup jelas.
Pasal 27
Susunan tarif jaringan dan/atau jasa telekomunikasi meliputi struktur dan jenis tarif ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan struktur dan jenis tersebut, penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi dapat menetapkan besaran tarif. Struktur tarif terdiri atas biaya pasang baru (aktivasi), biaya berlangganan bulanan, biaya penggunaan, dan biaya jasa tambahan (feature).
Jenis tarif terdiri atas tarif pulsa lokal, tarif pulsa SLJJ, tarif SLI, dan air time untuk jasa sambungan telepon bergerak.
Pasal 28
Formula sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pola perhitungan untuk menetapkan besaran tarif.
Formula tarif terdiri atas formula tarif awal dan formula tarif perubahan. Dalam menetapkan formula tarif awal, yang harus diperhatikan adalah komponen biaya, sedangkan untuk menetapkan formula besaran tarif perubahan diperhatikan juga antara lain faktor inflasi, kemampuan masyarakat, dan kesinambungan pembangunan telekomunikasi.
Pasal 29
Ayat 1
Larangan bagi penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi ruang lingkup penyelenggaraan telekomunikasi khusus yang memang hanya untuk keperluan sendiri.
Ayat 2
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat 1
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah kebutuhan jasa telekomunikasi di suatu daerah yang karena keadaan tertentu belum dapat dijangkau oleh jasa telekomunikasi. Oleh karena itu Undang-undang ini memandang perlu memberikan kemungkinan kepada penyelenggara telekomunikasi khusus yang sebenarnya hanya bergerak untuk kepentingan sendiri dapat memberikan pelayanan jasa telekomunikasi kepada masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut.
Ayat 2
Peyelenggara telekomunikasi khusus yang menyelenggarakan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi dapat melanjutkan penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi dengan pertimbangan invenstasi yang telah dilakukannya dan kesinambungan pelayanan kepada pengguna.
Dalam hal ini penyelenggara telekomunikasi khusus yang bersangkutan wajib memenuhi seluruh ketentuan yang berlaku baqi penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi.
Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat 1
Untuk keperluan pertahanan keamanan negara, fasilitas telekomunikasi yang dimiliki oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya dapat dimanfaatkan.
Penggunaan atau pemanfaatan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dilakukan sepanjang jaringan telekomunikasi untuk keperluan pertahanan keamanan negara, yang dalam hal ini oleh Tentara Nasional Indonesia, tidak dapat berfungsi atau tidak tersedia. Dalam hal negara dalam keadaan bahaya ketentuan ayat ini tidak berlaku.
Ayat 2
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat 1
Persyaratan teknis alat/perangkat telekomunikasi merupakan syarat yang diwajibkan terhadap alat/perangkat telekomunikasi agar pada waktu dioperasikan tidak saling mengganggu alat/perangkat telekomunikasi lain dan/atau jaringan telekomunikasi atau alat/perangkat selain perangkat telekomunikasi.
Persyaratan teknis dimaksud lebih ditujukan terhadap fungsi alat/perangkat telekomunikasi yang berupa parameter elektris/elektronis serta dengan memperhatikan pula aspek di luar parameter elektris/elektronis sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan aspek lainnya, misalnya lingkungan, keselamatan, dan kesehatan.
Untuk menjamin pemenuhan persyaratan teknis alat/perangkat telekomunikasi, setiap alat atau perangkat telekomunikasi dimaksud harus diuji oleh balai uji yang diakui oieh pemerintah atau institusi yang berwenang. Ketentuan persyaratan teknis memperhatikan standar teknis yang berlaku secara international mempertimbangkan kepentingan masyarakat, dan harus berdasarkan pada teknologi yang terbuka.
Ayat 2
Cukup jelas.
Pasal 33

Ayat 1
Pemberian izin penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit didasarkan kepada ketersediaan spektrum frekuensi radio yang telah dialokasikan untuk keperluan penyelenggaraan telekomunikasi termasuk siaran sesuai peruntukannya. Tabel alokasi frekuensi radio disebarluaskan dan dapat diketahui oleh masyarakat secara transparan. Apabila ketersediaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit tidak memenuhi permintaan atau kebutuhan penyelenggaraan telekomunikasi, maka perolehan izinnya antara lain dimungkinkan melalui mekanisme pelelangan.
Ayat 2
Frekuensi radio adalah jumlah getaran elektromagnetik untuk satu periode, sedangkan spektrum frekuensi radio adalah kumpulan frekuensi radio.
Penggunaan frekuensi radio didasarkan pada ruang, jumlah getaran, dan lebar pita, yang hanya dapat digunakan oleh satu pihak. Penggunaan secara bersamaan pada ruang, jumlah getaran, dan lebar yang sama atau berhimpitan akan saling mengganggu.
Frekuensi dalam telekomunikasi digunakan untuk membawa atau menyalurkan informasi. Dengan demikian agar informasi dapat dibawa atau disalurkan dengan baik tanpa gangguan maka penggunaan frekuensinya harus diatur. Pengaturan frekuensi antara lain mengenai pengalokasian pita frekuensi dan peruntukannya.
Orbit satelit adalah suatu lintasan di angkasa yang dilalui oleh suatu pusat masa satelit. Orbit satelit terdiri atas orbit satelit geostasioner, orbit satelit rendah, dan orbit satelit menengah. Orbit satelit geostasioner adalah suatu lintasan yang dilalui oleh suatu pusat masa satelit yang disebabkan oleh gaya gravitasi bumi, mempunyai kedudukan tetap terhadap bumi. Orbit satelit geostasioner berada di atas khatulistiwa dengan ketinggian 36.000 km. Orbit satelit rendah dan menengah adalah suatu lintasan yang dilalui oleh suatu pusat masa satelit yang kedudukannya tidak tetap terhadap bumi. Ketinggian orbit satelit rendah sekitar 1.500 km dan orbit satelit menengah sekitar 11.000 km.
Ayat 3
Cukup jelas.
Ayat 4
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat 1
Biaya hak penggunaan spektrum radio merupakan kompensasi atas penggunaan frekuensi sesuai dengan izin yang diterima. Di samping itu, biaya penggunaan frekuensi dimaksudkan juga sebagai sarana pengawasan dan pengendalian agar frekuensi radio sebagai sumber daya alam terbatas dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Besarnya biaya penggunaan frekuensi ditentukan berdasarkan jenis dan lebar pita frekuensi. Jenis frekuensi akan berpengaruh pada mutu penyelenggaraan sedangkan lebar pita frekuensi akan berpengaruh pada kapasitas/jumlah informasi yang dapat dibawa/dikirimkan.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat 1
Yang dimaksud dengan wilayah perairan Indonesia adalah wilayah laut teritorial termasuk perairan dalam. Dengan demikian, pengertian ini menjangkau konsepsi negara kepulauan sebagaimana diakui dalam Konvensi Perserikatan Bangsa - Bangsa tentang Hukum Laut Internasional yang selanjutnya telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985.
Karena kapal berbendera asing tersebut telah dilengkapi dengan perangkat telekomunikasi yang pemasangan dan pengoperasiannya mengikuti ketentuan yang berlaku di negaranya, maka ketentuan tentang persyaratan teknis yang ditetapkan Menteri tidak dapat diterapkan kepadanya.
Penggunaan perangkat telekomunikasi tersebut di wilayah perairan Indonesia tetap harus mengikuti ketentuan internasional yang berlaku, yakni prinsip tidak saling mengganggu dan sesuai dengan peruntukannya.
Ayat 2
Larangan menggunakan spektrum frekuensi radio atau orbit satelit di wilayah perairan Indonesia dimaksudkan untuk melindungi keamanan negara dan untuk mencegah dirugikannya penyelenggaraan telekomunikasi.
Dinas bergerak pelayaran (maritime mobile service) adalah telekomunikasi antara stasiun pantai dan stasiun kapal, antarstasiun kapal, antarstasiun komunikasi pelengkap di kapal, stasiun kendaraan penyelamat, atau stasiun rambu radio penunjuk posisi darurat. Ketentuan ini hanya berlaku untuk kapal sipil dan tidak berlaku bagi kapal milik Tentara Nasional Indonesia.
Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat 1
Ketentuan teknis tentang perangkat telekomunikasi yang ditetapkan Pemerintah tidak dapat diterapkan kepada pesawat udara asing karena pesawat udara asing tersebut rnengikuti ketentuan yang berlaku di negaranya.
Penggunaan perangkat telekomunikasi tersebut tetap harus mengikuti ketentuan internasional yang berlaku, yakni prinsip tidak saling rnengganggu dan sesuai dengan peruntukkannya.
Ayat 2
Larangan rnenggunakan spektrum frekuensi radio atau orbit satelit di wilayah udara Indonesia dimaksudkan untuk melindungi keamanan negara dan untuk mencegah dirugikannya penyelenggaraan telekomunikasi.
Dinas bergerak penerbangan (aeronautical mobile service) adalah telekomunikasi antara stasiun penerbangan dan stasiun pesawat udara, antarstasiun pesawat udara yang juga dapat mencakup stasiun kendaraan penyelamat, dan stasiun rambu radio penunjuk posisi darurat. Dinas tersebut beroperasi pada frekuensi yang ditentukan untuk marabahaya dan keadaan darurat.
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 37
Asas timbal balik yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah asas dalam hubungan internasional untuk memberikan perlakuan yang sama kepada perwakilan diplomatik asing di Indonesia sebagaimana perlakuan yang diberikan kepada perwakilan Indonesia di negara yang bersangkutan.
Pasal 38
Perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap penyelenggaraan
telekomunikasi dapat berupa:

a) tindakan fisik yang menimbulkan kerusakan suatu jaringan telekomunikasi
b) sehingga jaringan tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana semestinya;
c) tindakan fisik yang mengakibatkan hubungan telekomunikasi tidak bejalan
d) sebagaimana mestinya;
e) penggunaaan alat telekomunikasi yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis
f) yang berlaku;
g) d) penggunaan alat telekomunikasi yang bekerja dengan gelombang radio yang
h) tidak sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan gangguan terhadap
i) penyelenggaraan telekomunikasi lainnya; atau
j) e) penggunaan alat bukan telekomunikasi yang tidak sebagaimana mestinya
k) sehingga menimbulkan pengaruh teknis yang tidak dikehendaki suatu
l) penyelenggaraan telekomunikasi.

Pasal 39
Ayat 1
Kegiatan pengamanan telekomunikasi dilaksanakan oleh penyelenggara telekomunikasi yang dimulai sejak perencanaan pembangunan sampai dengan akhir masa pengoperasian. Lingkup perencanaan pembangunan termasuk antara lain rancang bangun dan rekayasa, yang harus memperhitungkan perlindungan dan pengamanan terhadap gangguan elektromagnetis, alam, dan lingkungan. Dalam kegiatan pengamanan dan perlindungan instalasi penyelenggara mengikutsertakan masyarakat dan berkoordinasi dengan pihak yang berwenang.
Ayat 2
Cukup jelas.
Pasal 40
Yang dimaksud dengan penyadapan dalam pasal ini adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang.
Pasal 41
Rekaman informasi antara lain rekaman percakapan antarpihak yang bertelekomunikasi.
Pasal 42
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Yang dimaksud dengan proses peradilan pidana dalam ketentuan ini mencakup penyidikan, penuntutan, dan penyidangan.
Huruf a
Yang dimaksud dengan tindak pidana tertentu adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun keatas, seumur hidup atau mati.
Huruf b
Contoh tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang- undang yang berlaku ialah tindak pidana yang sesuai dengan Undang-undang tentang Narkotika dan tindak pidana yang sesuai dengan Undang-undang tentang Psikotropika.
Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 45
Pengenaan sanksi administrasi dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah dalam rangka pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 46
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat 1
Badan Penyelenggara adalah Badan Penyelenggara sesuai dengan yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989.
Ayat 2
Yang dimaksud dengan hak tertentu adalah hak eksklusivitas untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi tetap sambungan lokal, sambungan langsung jarak jauh, dan sambungan langsung internasional yang diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara.

Sejalan dengan jiwa Undang-undang ini yang akan mengakhiri monopoli di bidang telekomunikasi, Pemerintah dapat mempersingkat jangka waktu hak tertentu tersebut. Untuk mempercepat berakhirnya jangka waktu hak tertentu dilakukan melalui cara dan persyaratan yang disepakati bersama, dengan memperhatikan prinsip kejujuran dan keadilan serta keterbukaan (fairness), misalnya dengan pemberian kompensasi.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3881

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...