Kamis, 31 Mei 2012

Penyiaran Publik Tanggung Jawab Kita

Sekarang ini DPR sedang menyusun Undang-Undang Penyiaran baru yang akan menggantikan UU Nomor 32/2002. Kita semua berharap agar Undang-Undang Penyiaran yang baru nanti benar-benar kuat visi dan misi kepublikannya. Visi dan misi kepublikan secara singkat dapat diartikan sebagai cara pandang dan tindakan yang mengutamakan masyarakat, melibatkan warga negara, dan dijalankan dalam proses yang terbuka dan bisa diawasi oleh kita semua. Sementara ini dunia penyiaran Indonesia masih harus mematuhi UU Nomor 32/2002 yang sebenarnya sudah memuat amanat yang bagus antara lain dengan mengutamakan lembaga penyiaran publik (LPP) sebagai visi dan format utama penyiaran.

Itulah sebabnya pada Pasal 31 UU pada ayat (2) Penyiaran tersebut dijelaskan bahwa“Lembaga penyiaran publik dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah negara Republik Indonesia.” Pada pasal yang sama ayat (3) UU Penyiaran sekaligus membatasi lembaga penyiaran swasta (LPS) dengan menyebut: “Lembaga penyiaran swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem siaran berjaringan dengan jangkauan wilayah terbatas.”

Dengan demikian, sebenarnya UU Nomor 32/2002 sudah demokratis dengan mengutamakan kepentingan masyarakat sekaligus membatasi kepentingan pasar agar tetap dapat mencari profit namun tetap dengan visi dan misi kepublikan yang baik. Menarik sebenarnya apa yang disampaikan oleh Sabam Leo Batubara dalam tulisannya yang berjudul Strategi Memajukan TVRI (Koran Tempo, 3 mei 2012) bahwa TVRI, salah satu bentuk LPP selain RRI, mengalami ketertinggalan karena kurangnya dana operasional dan terjadinya pembiaran oleh DPR dan pemerintah dalam menyusun format kelembagaan yang mendukung keberadaan TVRI. Penulis setuju bahwa “ketertinggalan” TVRI karena pemerintah yang melakukan pembiaran pada LPP selama sekitar sepuluh tahun terakhir ini, namun ada dua argumen Sabam Leo Batubara yang perlu didiskusikan kembali. Pertama, LPP dan LPS berada dalam ranah yang berbeda. LPP berfokus utama pada pelayanan publik sementara LPS memiliki ranah dominan pada pasar, sehingga keberadaan keduanya tidak bisa dibandingkan melalui dana yang dikelolanya. Dana yang dimiliki dan dikelola oleh LPS jelas lebih besar bila dibandingkan dengan LPP karena motif utama LPS adalah mencari profit sementara LPP bertujuan untuk memberikan pelayanan publik atas informasi.

Pada titik ini sebenarnya pemerintah melakukan dua jenis pembiaran, yaitu pembiaran agar LPP tidak berkembang dengan baik dan juga pembiaran stasiun televisi komersial Jakarta, yang termasuk LPS, tidak menaati UU Penyiaran selama sepuluh tahun ini. Amanat yang diberikan UU Penyiaran agar visi dan misi kepublikan kuat tidak dijalankan dengan baik pada regulasi yang disusun oleh pemerintah. Buktinya adalah siaran sistem berjaringan yang mestinya dijalankan oleh LPS tidak ditaati sesuai dengan Pasal 31 ayat (3). Juga dengan larangan pemindahtanganan ijin penyelenggaraan penyiaran yang dilarang oleh UU Penyiaran pasal 34 ayat (4).

Pemerintah melakukan pembiaran pada stasiun televisi nasional Jakarta dengan membuat peraturan turunan UU yang mengabaikan amanat UU Penyiaran. Itulah sebabnya sebuah elemen masyarakat, Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) agar Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir yang jelas dan tegas apakah ijin penyelenggaraan penyiaran boleh atau tidak dipindahtangankan. Kedua, sejalan dengan yang pertama, dana bukanlah segala-galanya. Artinya, siapa yang bisa menjamin dengan dana yang melimpah pun LPP bisa menjalankan fungsinya di dalam masyarakat demokratis dengan baik bila visi kepublikan pemerintah tidak ada?

Paling tidak ada tiga contoh yang terjadi pada semua media, bukan hanya media penyiaran, yang menunjukkan tidak adanya visi kepublikan pada pemerintah, yaitu permintaan wakil presiden Boediono agar TVRI dan RRI “kembali” pada pemerintah beberapa tahun lalu, terancam ditutupnya Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, dan revitalisasi Perusahaan Film Negara dan Balai Pustaka yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan pasar, bukannya pelayanan pada penyediaan konten media yang baik bagi warga negara sesuai dengan amanat Pasal 28F Undang-Undang Dasar bahwa setiap warga negara berhak memperoleh informasi (yang baik).

Untuk memajukan LPP pada intinya kita semua bertanggung-jawab. Berikut ini saran agar LPP tidak tertinggal dan bisa menempatkan dirinya sebagai elemen penting di dalam sistem demokrasi yang kita jalani sejak Reformasi tahun 1998. Pertama, selain dana yang memadai, visi dan misi kepublikan mesti disadari dan dijalankan oleh semua pekerja komunikasi di LPP, TVRI dan RRI, bahwa mereka merupakan bagian dari masyarakat Indonesia secara umum, bukan bagian dari kelompok, korporasi, apalagi bagian dari partai politik tertentu.

Kedua, pemerintah secara sinergis bekerja-sama dengan LPP untuk mewujudkan UU Keterbukaan Informasi Publik di mana LPP menjadi saluran bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berasal dari lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga publik lainnya, bukan menjadi “corong” pemerintah seperti di masa lalu. Terakhir, DPR, Dewan Pengawas, dan elemen-elemen masyarakat sipil membantu dan mengawasi siaran LPP agar berguna bagi sebanyak mungkin warga negara. Dewan Pengawas LPP bekerja secara profesional sebisa mungkin terlepas dari kepentingan-kepentingan politik tertentu dan juga diawasi oleh DPR dan masyarakat sipil. Hal yang tidak kalah penting adalah mewujudkan pemahaman bahwa masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang baik dari LPP sekaligus memiliki kewajiban untuk memajukan LPP melalui pajak yang dibayarkan pada negara dan memberi masukan untuk isi siaran LPP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...