Sabtu, 27 Februari 2010

Perempuan Punya Cerita (tentang Hidup yang Terus Melaju)


Pernyataan utama di album ini justru bisa kita dapatkan pada track terakhir, “Jatuh Cinta”, pada kalimat terakhir…”Walau banyak penghalang ku ‘kan terus melaju”….Di dalam lagu ini seolah Bonita ingin berkisah tentang narsisme, tentang cinta diri, tetapi bukan. Isi lagu tersebut tentang perjuangan berkarya. Statement Bonita menjadi sangat kuat karena disampaikan dengan manis. Kita bisa memakluminya karena dia mesti berjuang tujuh tahun untuk merilis album terbarunya ini. Perjuangan berat dan serius akan memberikan karya yang bagus pula.

Mendengarkan album ini kita seperti berbincang dengan seorang perempuan cerdas yang sadar pada apa yang dimau dan mengenal dirinya dengan baik. Perjuangan itu tentunya dimulai dari “dalam”. Hal ini terlihat minimal dari dua lagu, “Rumahku” dan “Telur”. Kita memang semestinya menyelesaikan urusan-urusan di dalam diri terlebih dahulu baru kemudian “menaklukkan” dunia. Di rumahku/sangkar indah yang hangat/tempatku beristirahat… dan di telurku/aku aman/tak ada yang mengganggu/hanya aku dan telurku…menunjukkan bahwa perjuangan di dalam diri itu adalah permasalahan yang lumayan penting.

Lagu “Mellow” bertopik agak mirip dengan kedua lagu di atas. Lagu ini bercerita tentang pengalaman personal dan rasa nyaman dengan diri sendiri. Sepertinya rasa nyaman dengan diri sendiri adalah salah satu isu penting bagi perempuan untuk menghadapi hidup yang bias gender dan serbuan rayuan komoditas.

Setelah mempermasalahkan apa yang ada di “dalam”, barulah ia melangkah ke dunia luar. Dunia yang bagi kebanyakan wanita kemungkinan berat karena lebih “liar”, namun bisa juga menarik. Ini terlihat dalam lagu “Komidi Putar”. Lagu ini adalah metafor yang sempurna dari hidup itu sendiri. Hidup adalah putaran-putaran kisah seperti karnaval…musik karnaval/berkumandang/dan aku seorang putri…dan semua perempuan itu unik serta hebat (kalimat terakhir adalah tambahan dari penakar).

Lagu “Pengulangan” adalah jawaban langsung bahwa kehidupan luar itu berat bagi seorang perempuan. Namun si pelantun kisah tetap optimis….kutahu ini hanya sebuah duka/biasa saja/namun tetap kunyanyikan/kunyanyikan….Hidup adalah permainan dari sakit dan senang, suka dan duka, “pengulangan” yang sudah kita ketahui bersama tetapi tetap sulit dipahamkan di dalam hati.

Persoalan yang sama masih muncul di dalam lagu “Dendangku”. Bagaimana kita menghadapi luka? Begitulah yang coba diobrolkan oleh si penyanyi. Ketika cinta berbalik membunuhmu/maukah mati di tangannya/hidup dengan benci yang mendalam/meraungkan pilu yang menyayat hati. Lagu ini tentang cinta dan benci yang tipis bedanya. Jalan keluarnya memang melaju sajalah dan tidak “menumpuk” benci karena benci itu seperti kolesterol yang tidak boleh ditimbun sebab berbahaya bagi hidup. Nuansa yang hampir sama hadir di lagu “Ari”. Lagu tentang cinta pada lelaki pujaan tetapi lebih dipendam sendiri. Apakah menyatakan perasaan adalah hal terberat bagi perempuan?

Optimisme hidup akan muncul bila kita telah melewati luka. Luka dan hanya luka yang membuat kita lebih kuat. Lagu “Bangun” dan “Hari Ini” adalah statement anggun khas perempuan dalam menghadapi hidup. Lagukanlah/t’usah hirau/inilah suaramu…hiduplah kini/indah pasti/alami hari ini (dalam “Hari Ini”), adalah kalimat indah yang membuat kita tidak akan pernah bosan mengobrol dengan perempuan seperti ini.

Sementara “Pena” adalah lagu yang mirip nuansanya tetapi dengan metafor yang sedikit berbeda. Pena bisa diartikan sebagai aktivitas menulis dan juga bisa diartikan cara kita menulis dan mewarnai dunia. Bangun hai pena/mana bukti yang kau janjikan/tuk temani aku bercerita/tentang lalu kini dan depan…merah biru dan hitam/apa pun warna yang kau punya/aku tak peduli…yang penting tintamu ada/apa pun warna yang kau punya/cetaklah sampai ke nurani.

Lagu-lagu lain bernada optimisme yang sama dan juga disampaikan secara indah. Topik yang “di dalam” dan “di luar” hati seorang perempuan masih terasa dalam semua lagu sisa di album ini. Keuntungan bagi kita para pendengar adalah track yang berjumlah banyak, sampai enam belas, dan musik yang kaya walau lebih didominasi bunyi sitar di sana-sini. Bunyi yang terasa unik bagi kebanyakan lagu Indonesia dengan vokal seorang perempuan.

“Tinggal” dan “Kelana Bersama adalah dua lagu yang menunjukkan dualitas “di dalam” dan “di luar”. Keinginan untuk tinggal bersama sama kuat dan saling berkaitan dengan berkelana menjelajahi dunia bersama. Kebersamaan itu penting untuk melewati kehidupan. Sekalipun berat, dia akan selalu membuat kita tersenyum dan selalu memberi harapan baru. Simak lagu “You Cheer Me Up” dan “It’s Over Now”.
Album ini ditutup dengan lagu yang menjadi benang merahnya, “Jatuh Cinta”. Bukan pada narsisme yang negatif melainkan pada rasa menerima diri sendiri betapa pun keadaannya…ku telah jatuh cinta pada hidupku/semua suka dan cita/juga semua hancurku….

Tak terasa satu jam lebih telah berlalu. Saat “mengobrol” akhirnya selesai juga. Bila seorang lelaki mengobrol dengan perempuan seperti ini. Dia pasti akan berharap untuk mengobrol lagi keesokan harinya. Tidak peduli di kafe dengan coffee latte hangat atau di perpustakaan fakultas dengan setumpuk buku sebagai dekorasinya. Tetapi ini tentu untuk para pembelajar yang lebih muda dari saya.

Kalau saya, saya bisa mengisinya dengan mengobrol, berdiskusi, berdebat dengan perempuan cantik nan cerdas yang hidup bersama saya. Kami bisa mengobrol apa saja sampai kapan saja dan di hampir bagian mana saja dari rumah. Tentu saja bila tidak ada “gangguan” dari perempuan kecil buah cinta kami …. :D

Penyanyi : Bonita
Judul : Laju
Tahun : 2009

Daftar Lagu:
1. Rumahku
2. Komidi Putar
3. Telur
4. Pengulangan
5. Dendangku
6. Bangun
7. Hari Ini
8. Pena
9. Mellow
10. Ari
11. Tinggal
12. Kelana Bersama
13. You Cheer Me Up
14. It’s Over Now
15. Reprise
16. Jatuh Cinta

Orang-orang dan Pengalaman dari Rasa Sakit


Akhirnya saya tergerak untuk menakar-nakar album musik lagi setelah terakhir saya mereview album pak SBY sekitar setengah bulan yang lalu. Hasrat untuk menakar ini muncul lagi setelah saya menyelesaikan cerpen setelah hampir dua dekade tidak menuliskannya sampai selesai. Setelah menonton dua film buruk Al Pacino, 88 Minutes dan Righteous Kill. Juga setelah mencoba mengurai pemikiran Anthony Giddens yang tetap tidak terurai juga :D

Sebelumnya saya mesti mengucapkan terima kasih untuk Arief Nugroho aka Auf yang telah meminjamkan dan menghibahkan album-album untuk didengar dan direview. Yakinlah album-album itu ada di tangan yang tepat…hehe…. Album yang pertama saya review dari tujuh album yang ada dalam radar pendengaran saya sekarang adalah album kedua milik Cranial Incisored, “Lipan’s Kinetic”.

Keenam album yang lain adalah: Syaharani and the Queenfireworks - Buat Kamu (2006) yang saya pinjam dari Summaya aka Cucum, The Flowers - Still Alive & Well (2009), Bonita - Laju (2009), yang bersama album ini merupakan pinjaman dan hibah dari Auf. Tiga sisanya merupakan pembelian saya sendiri, Adhitia Sofyan - Quiet Down (2009), Airportradio - Turun dalam Rupa Cahaya (2009), dan Andra & the Backbone - Love, Faith & Hope (2010). Saya tidak tahu apakah saya menyelesaikan semua takaran album ini dalam waktu yang singkat. Itu sih tidak penting. Hal yang terpenting adalah saya mendapatkan mood saya kembali mengakses musik dan dengan tenang dan sabar melakukan penakaran.

Album “Lipan’s Kinetic” adalah album yang sudah cukup lama dirilis sebenarnya. Album ini dirilis tahun 2009 pada tanggal yang disengaja, tanggal 9 bulan 9. Tanggal rilisnya mirip dengan sebuah partai politik, yang di tahun sebelumnya merilis “perwajahan” baru tanggal 8 bulan 8 di tahun 2008. Tadinya album ini tidak masuk dalam radar saya tetapi karena banyak yang membicarakannya, saya jadi tertarik untuk mendengarnya, dan tentu saja, menakarnya. Menakar album adalah cara tambahan untuk mendapatkan “kenikmatan” dari mengakses pesan media. Selain itu, menakar album bagi saya pribadi sebenarnya adalah “curcol” karena secara sengaja atau pun tidak, saya bisa berbicara tentang apa yang saya ketahui, rasakan, dan alami.

Melihat sekilas, kita bisa tertipu dengan sampul album yang terkesan tertata rapi ini. Ada gambar boneka anak perempuan dan serombongan lipan. Tetapi setelah kita mendengarnya dengan sungguh, kita akan merasakan “kenikmatan” mendengarkan musik yang luar biasa. Hal tersebut baru terasa bila kita mendefinisikan kenikmatan itu sebagai dekonstruksi cara mendengar. Di tangan Cranial Incisored, musik memiliki definisi yang berbeda, begitu pula dengan cara mendengarkannya. Metal dan jazz dicampur dengan semangat “merusak” sebuah tatanan.

“Pengrusakan” itu minimal hadir dalam dua lagu populer yang diinterpretasi ulang, “Friday I’m in Love” dari the Cure, dan “Double Talkin’ Jive” dari Guns n Roses. Kedua lagu tersebut mengalami perubahan habis-habisa dan entah mengapa menjadi tetap indah. Semangat jenis ini bagi saya terasa ketika pertama-kali saya mendengarkan lagu-lagu Sonic Youth. Sonic Youth membawakan musik bergenre alternatif tetapi dengan improvisasi dan gaya “jazz”.

Bagi saya, mendengarkan musik itu mirip dengan mengenal orang-orang. Ada sekelompok orang yang kita kenal betul dan juga dekat karena banyak kesesuaian dengan kita. Ini adalah permisalan musik pop, rock, disco, dan alternatif bagi saya. Terutama semua band atawa penyanyi yang memainkan keempat genre musik tersebut di tahun 1980-an dan 1990-an. Mudah bagi saya mengakses dan terpengaruh oleh kelompok ini.

Di dalam kehidupan kita ada pula sekelompok orang yang berbeda dan tidak begitu dekat karena berbagai hal. Hal terutama adalah mereka ada di dalam bidang yang berbeda dan mereka memiliki kualitas sebagai manusia yang bagus. Bila diandaikan jenis musik, bagi saya, kelompok ini termasuk musik bergender jazz dan klasik. Saya merasakan keindahannya tetapi tidak benar-benar merasuki saya dengan mudah karena saya tidak terbiasa mendengarkan kedua jenis musik ini.

Lapisan ketiga kelompok orang yang kita kenal adalah orang-orang yang sulit kita pahami. Bukan hanya karena mereka berbeda dan ada di wilayah dunia yang lain dengan kita, tetapi ini menyangkut pula cara berekspresinya. Bagi saja, jenis ini terwakili oleh musik bergender hip hop dan metal. Seringkali saya mencoba mengakses dan memahaminya, tetapi karena perbedaan cara berekspresi yang berbeda dan kebiasaan saya, sulit sekali untuk “merasakan” kedua jenis musik ini.

Begitulah, tipologi ketiga adalah hal yang saya rasakan ketika mendengarkan album ini. Saya menyukai lagu yang keras dan penuh improvisasi ini. Saya bisa memahami percampuran antara metal dan jazz, walau saya lebih cocok dengan kombinasi antara alternatif dan jazz. Karena itulah, lagu “ Jazz Ujan (Raincoat)” adalah lagu yang paling saya suka di album ini karena banyak unsur jazz-nya.

Saya susah mendengarkan lumayan banyak musik “keras” di masa lalu, “Sepultura”, “Megadeth”, “Testament”, “Manowar”, dan “Nine Inch Nails”. Hanya nama terakhir yang menjadi favorit saya sampai sekarang. Saya mencoba mengingat alasan utama saya mengakses band-band keras itu. Tak lain dan tak bukan adalah untuk menguatkan rasa sakit dan membuang rasa marah. Entah mengapa dengan mendengarkan musik yang sejenis, rasa sakit dan kemarahan itu bisa melunak. Dahulu saya akrab denganr asa sakit sehingga musik keras sempat pula saya akses agar kemarahan dalam diri mereda.

Jadi, menurut saya metal identik dengan rasa sakit dan amarah, namun amarah yang positif tentu saja, tergantung cara kita memaknainya. Walau demikian, setiap orang termasuk saya menyimpan rasa marah. Namun saya sadari kini bahwa amarah yang saya simpan itu tidak semenggelegak itu. Tidak semenggelegak yang dibawa oleh metal.

Keuntungannya, semua lagu di album ini berdurasi tidak lebih dari empat menit sehingga “siksaaan” bagi saya tidaklah lama…hehe…Bukannya saya tidak menikmatinya. Saya menikmatinya dalam beberapa bagian tetapi pada bagian yang lain saya tidak cukup mampu mendengarkannya. Di luar semua eksplanasi yang telah saya uraikan, album ini adalah album yang bagus. Saya mengutip komentar salah seorang mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UGM bernama Rika Novayanti, tempat saya juga menjadi bagian di dalamnya, bahwa Cranial Incisored telah mencuri masa depan. Kemungkinan masa depannya (Cranial Incisored: They’re Stealing the Future) (dikutip dari tulisan Dozan Alfian di DAB edisi khusus “Yogyakarta Retrospektrum” Februari 2010).

Cranial Incisored bagi Rika adalah “si pencuri masa depan”. Bagi saya, mereka tidak mencuri masa depan saya, tetapi hanya mencuri waktu saya tidak lebih dari satu jam untuk album ini. Waktu yang bagi saya seperti berdiskusi dengan orang cerdas; keras, penuh improvisasi, dan berbeda dengan saya dalam banyak hal. Saya mendapatkan diskusi yang berkelas namun saya tidak ingin mengulanginya terlalu sering.

Judul : Lipan’s Kinetic
Penyanyi : Cranial Incisored
Tahun : 2009

Daftar Lagu:
1. Paradox of Paradoxical Paradigm
2. I'm The Instant
3. Glossosynthesis
4. Accelerating Velocity (A Dromology Chapter)
5. It's~
6. Jazz Ujan (raincoat)
7. A Mind-Expanding Headtrip
8. Friday I'm In Love
9. Double Talkin' Jive
10. D of P Feat Kalimayat (audio_bastard_mix)
11. Raincoat (Remix by Kirdec)
12. Headtrip Feat Kalimayat
13. Accelerating Velocity (Live @Liquid 27 August 07) (Bonus Song)
14. A Mind Expanding Headtrip (Live @Liquid 27 August 07) (Bonus Song)

Kamis, 25 Februari 2010

Ragam Jenis Jurnalisme Musik




Bulan Februari ini adalah masa yang menggairahkan bagi penggemar musik seperti saya. Kami mendapatkan beberapa kreasi media yang bagus mengenai musik. Dunia musik yang dilaporkan tersebut terakses di tiga majalah yang hadir bulan ini. Ketiga majalah tersebut adalah majalah Rolling Stone Indonesia edisi Februari 2010 dengan topik utama “the Decade’s Best Songs and Best Albums”, DAB edisi awal 2010 yang bertopik “Decade of Escapade 2000 – 2009: Yogyakarta Retrospektrum”, serta majalah Trax edisi Februari 2010.

Ketiga majalah itu menunjukkan bahwa jurnalisme musik itu beragam dan berpotensi besar untuk jadi mengasyikkan. Ketiganya menganggat musik sebagai suatu yang dilaporkan secara faktual walau ketiganya memiliki ciri masing-masing. Inilah yang disebut jurnalisme musik. Jurnalisme musik melaporkan peristiwa, tokoh, dan juga “wilayah spasial” yang berkaitan dengan musik.

Rolling Stone Indonesia misalnya menempatkan lagu-lagu dan album-album terbaik dekade ini. Album dan lagu itu adalah yang berasal dari musisi barat. Seperti biasanya, ini adalah “kekuatan” Rolling Stone. Sebagai korporasi yang cukup besar, Rolling Stone tentu saja memiliki sumber daya informasi dan pekerja media yang sangat memadai untuk mengklasifikasikan dan memeringkat kreasi di bidang musik.
Sangat bahagia mengakses Rolling Stone edisi bulan ini dan akan lebih bahagia lagi bila ada topik serupa untuk edisi-edisi mendatang bagi musisi Indonesia. Hal yang telah dilakukan oleh Rolling Stone Indonesia pada edisi-edisi yang lalu. Bagi saya, edisi 500 album musik terbaik sepanjang masa musisi barat dan 150 album terbaik musisi Indonesia, adalah topik terbaik dan menjadi masterpiece bagi pelaporan musik.

Kelebihan yang lain adalah di dalam majalah musik seperti Rolling Stone, terdapat tulisan mengenai politik yang bagus pula. Rata-rata lebih bagus dibandingkan dengan media umum yang speasilisasinya justru politik karena bersifat lebih naratif dan mengenai kesadaran kita secara “halus”. Alasan yang lain adalah informasi faktual topik-topik “keras” seperti politik dapat menjadi lembut bila dicampur dengan topik “populer” seperti musik.

Walau demikian, ada pula yang perlu diperjelas di dalam Rolling Stone Indonesia edisi ini. Beberapa teman memberikan link untuk versi online ketika RSI Februari belum terbit. Mereka me-link artikel “soundwaves” yang ditulis oleh Kartika Jahja aka Tika, judulnya “Jurnalisme Musik Indonesia Butuh Tamparan”. Teman-teman itu dan juga saya berpendapat opini Tika itu bagus. Hanya saja, Tika menyampaikan sisi “lanjut” dari jurnalisme musik, yaitu dedahan fakta, analisis, dan opini tentang fenomena musik.

Jurnalisme musik memang tidaklah berpondasi pada hard news tetapi lebih jauh dari itu. Walau demikian, seperti halnya jurnalistik untuk bidang yang lain, hal terpenting dan utama dari jurnalisme itu sendiri adalah fakta. Bukan analisis atau opini. Dua yang terakhir ini baru bisa terurai dengan baik bila kepingan-kepingan fakta sudah terdedah dengan memadai.

DAB edisi khusus yang dirilis pada bulan Februari ini juga memberikan hal yang menarik bagi penggemar musik, khususnya bagi yang tinggal di Yogyakarta. Kekuatan utama dari majalah free ini adalah hasrat dan motivasi yang kuat mengangkat scene musik indi di Yogyakarta. Topik yang memberikan apresiasi untuk musik Yogya ini terlihat dari tulisan mengenai musisi/band berpengaruh untuk satu dekade ini, juga infrastruktur yang mendukungnya, antara lain medianya, label, dan event yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir.

Bagi saya yang cukup telat memperhatikan musik indi dan musik lokal, zine ini adalah dokumentasi yang sangat bagus. Saya jadi memahami siapa saja pihak yang berpengaruh dan berkontribusi bagi musik Yogyakarta. Walau demikian, tulisan mengenai band yang paling berpengaruh pada dekade ini di Yogyakarta bisa lebih bagus bila ada pula tulisan yang benar-benar berasal dari informasi faktual, bukan hanya tulisan “pengakuan” atau opini dari individu. Kemungkinan penyebabnya adalah waktu dan ruang yang terbatas dari format majalah. Di atas semua itu, edisi DAB ini adalah pencapaian luar biasa bagi jurnalisme musik alternatif. Edisi ini layak menjadi salah satu pesan atau output media alternatif legendaris.

Majalah yang mengangkat musik dan dengan itu berkemungkinan besar untuk menjalankan fungsi produksi pesan faktual, adalah majalah Trax. Majalah ini saya bahas karena mengangkat topik “75 Lagu Rock Tanah Air Paling Gombal”. Pada dasarnya, media juga adalah museum. Media mengangkat informasi yang ada pada masa lalu. Pada titik ini upaya yang dilakukan oleh Trax adalah upaya yang keren. Saya pribadi jadi bisa mengingat lagu-lagu rock jaman dulu.

Kekuatan majalah ini, pada edisi ini, adalah liputan “lapangan” mengenai pentas-pentas band di seluruh dunia. Salah satu kekuatan jurnalisme musik adalah reportase yang mengalir dan bercerita seperti ini. Pemahaman akan tulisan dalam laporan etnografi dan jurnalisme sasrawi akan lebih berpengaruh pada laporan musik seperti yang dilakukan oleh Trax.

Walau begitu, sedikit kekurangan menurut saya, adalah informasi faktual dan juga logika dalam penentuan pemilihan lagu. Selain itu, wawancara dengan Ahmad Dhani perlu disandingkan dengan informasi lain, semisal diskografi untuk semua lagu yang diciptakan dan atau dinyanyikan olehnya, juga kaitan kronologis band dan penyanyi yang dia orbitkan. Dari sisi manajemen media, kekuatan sumber daya, Trax mungkin tidak sekuat Rolling Stone, tetapi output jurnalistik musik bisa diangkat lebih bagus lagi.

Singkatnya sebagai penutup, bulan Februari 2010 ini adalah bulan yang menyenangkan bagi saya sebagai penikmat musik. Bukan karena ini bulan “cinta” versi industri pemburu dan perayu uang, tetapi karena bulan ini terbit beberapa output jurnalisme musik yang membuat saya belajar lebih intens dan mendalam mengenai jurnalisme musik dan ragamnya di media kita.

Standar Wajah Ganda


Kopi yang dalam dan pekat pagi ini
Menunjukkan terkadang bayangan tak tunduk padamu
Ia menyergap orang lain lebih cepat dari dirimu sendiri
Atau bayangan dirinya yang kaurindu
Tidak pernah kau dapat kau pegang

Ini secangkir kopi yang panas, sayang
Ini sekantong idealisme yang ingin kita tuntaskan
Kita memasuki kuil yang sama
Tetapi kita tak pernah sama walau mungkin kita satu

Aku ingin tumpahkan kopi ini ke wajahmu dan teriakkan:
Wajah itu! Standar ganda! Eureka!
Mungkin kita bisa mendominasi segalanya

Standar cinta
Standar kesetiaan
Standar wajah
Standar akademis
Standar hasrat

Hanya ada di angan
Ganda
Gan da
Gan
Gan
G a n

Biarkan kami hanya menggunakan otak sisa ini
Biarkan kami jadi seloyal-loyalnya
Biarkan hamba mengabdi pada tuan
Biarlah kami melayanimu
Gan
Gan
Gan
Juragan


(Dalam kementahan, memaafkan dan mencoba melupakan)

Senin, 22 Februari 2010

Rasa Rindu


Cara kerinduan datang, tidak semua dari kita memahaminya. Seringkali rindu datang menggedor sukma dan mengelondorkan asa yang ada di hati. Bila kau paham, tolong jelaskan padanya dengan bahasa yang gampang. Jangan ditafsirkan lagi berulang-kali terlebih dulu karena dirinya nanti akan menafsirkannya.

Apa itu rasa rindu? Bagaimana dia diklasifikasikan? Bagaimana cara dia datang? Aku ingin kau menjelaskannya suatu saat nanti. Dia tidak ingin dijelaskan sekarang karena ia masih ingin merasakan rasa yang menyakitkan sekaligus menggetarkan itu.

Kerinduan itu menyakitkan sampai menembus dada karena dia tidak yakin sampai kapan sebuah rindu bisa dituntaskan. Rasa sakit itu tidak hanya dalam arti yang psikis tetapi juga fisikal. Dia bahkan mempertanyakan keyakinan apakah rindu itu akan terobati dalam waktu yang singkat.

Dia sangat rindu pada ayahnya yang meninggal tahun 2002 lalu. Kerinduan menyergap pelan-pelan ketika dia menonton siaran langsung Liga Italia. AC Milan menang melawan Bari. AC Milan adalah klub kesukaan ayahnya. Bila ada cara untuk berinteraksi dengan ayahnya, dia ingin meng-sms atau apa pun, asalkan dia bisa mengirimkan pesan ke ayahnya bahwa semuanya berjalan dengan baik.

Rasa rindu juga mencengkeram kuat ketika dia menonton film “Jane Austen Book Club”. Bukan karena cerita filmnya, melainkan karena penulis yang diperbincangkan di dalam film itu. Dia ingat dengan adik perempuannya yang dulu belajar sastra Inggris. Seingatnya Jane Austen dan Thomas Hardy adalah para pengarang favorit adiknya. Dia ingat betapa dulu dia bersama adik-adiknya berjibaku belajar di Yogyakarta.

Kerinduan juga dengan cepat terasa sangat kuat ketika dia mendengar lagu rap dan menonton berita tentang ikan berkepala buaya. Dia teringat dengan kedua adiknya yang lainnya, adik-adik lelakinya. Juga ketika mendengar lagu Iwan Fals “Ibunda”, ia ingat dengan ibundanya yang jauh di sana. Ia ingat dengan anak dan isterinya melalui banyak cara. Memandang gambar-gambar anak kecil, melihat gedung fakultas sebelah, melewati lobi jurusan tetangga, dua tempat istrinya bersekolah. Itu sudah membuatnya rindu.

Dia juga terkadang rindu pada teman-temannya lebih dari yang diakuinya. Dia merasa dirinya mandiri secara emosional dan aktivitas walau kenyataannya tidak. Dia sering merasa kesepian di tempat kerjanya. Dia teringat pada teman-temannya juga dengan banyak cara. Pada banyak lagu, buku dan ketika berada di kafe menyeruput kopi. Juga kala menyantap ikan bakar di rumah makan favorit dia dan teman-temannya. Banyak cara dan banyak jalan membuat rasa rindu itu menghentak-hentak di dadanya.

Walau menyakitkan, rasa rindu juga menggetarkan hati dalam pengertiannya yang paling menyentuh. Karena melalui kerinduanlah rasa terangkai itu ada. Ia tahu entah dengan cara bagaimana ia pun selalu dirindui oleh semua orang yang dicintainya. Rasa terangkai dan saling menyadari bahwa mereka memikirkannya adalah salah satu jenis rasa terindah dalam hidup yang berat ini. Rasa rindu itu mengenyahkan jarak dan waktu, bahkan ruang yang berbeda antara yang hidup dan telah tiada.

Dia mencoba menjaga sekaligus mengobati rasa rindu ini dengan bersikap baik pada orang-orang yang dicintainya. Dia hanya berusaha untuk hidup dengan sebaik-baiknya. Untuk dirinya sendiri dan juga untuk orang-orang yang dicintainya

Dia baik-baik saja dan berusaha menghidupi hidupnya.

Jumat, 19 Februari 2010

Anthony Giddens - Seri Tokoh


Suatu ketika saya bersama dengan seorang teman bercanda untuk menghilangkan kesumpekan. Kami berusaha menguji konsep narsisme dan kemungkinan seberapa narsis-nya kami. Pertama, kami mencoba bercanda dengan judul tulisan. Coba bayangkan tulisan berjudul seperti ini: “Antara Saya, Anthony Giddens, dan Stuart Hall”. Cukup narsis bukan?

Atau judulnya ini: “Saya di Mata Giddens”…hehe…memangnya siapa saya? Salah satu cara yang biasanya digunakan untuk menunjukkan narsisme adalah dengan menggunakan tokoh untuk “meninggikan” diri sendiri. Tokoh sendiri bisa dipertanyakan levelnya. Asalkan individu yang populer di mata masyarakat dan relatif berkontribusi secara luas, kita bisa menyebutnya tokoh. Dalam hal ini, Giddens adalah tokoh dalam bidang akademis. Tokoh di dalam dunia akademis bias dilihat dari kontribusinya di dunia pengetahuan secara umum. Hal ini bisa dilacak dari tulisan atau buku yang dihasilkan. Giddens sendiria ada di wilayah ilmu sosial dan sekaligus ilmu humaniora.

Pelajaran yang saya dapatkan dari uji-menguji tingkat narsistik itu adalah ternyata narsisme lebih bisa dilihat oleh orang lain. Ini berita bagusnya. Individu biasanya tidak ingin dinilai narsis. Individu cenderung melihat dirinya sendiri dengan tinta emas dan ada kemungkinan berlebihan dalam melihat diri sendiri. Jadi, saya dan mungkin teman saya itu, bisa sedikit lega karena walau kami mengaku agak narsis, belum tentu orang lain melihatnya demikian. Walau sebenarnya bisa juga sebaliknya.

Kembali kepada “tokoh” yang akan didedah ini. Kita menjelaskan tokoh bukan berarti kita mengkultuskannya. Bisa juga kita berusaha melihat tokoh untuk menunjukkan kontribusinya dalam bidang tertentu. Dalam konteks dunia pemikiran, seorang tokoh biasanya dikaji dengan konsep pemikiran yang disampaikannya. Katakanlah, bila kita membicarakan Giddens, berarti sedikit banyak kita akan membicarakan strukturasi juga. Jadi, mendedah seorang tokoh keilmuan, bukan berarti pendedah tersebut berusaha menjadi epigon ataupun fans dari sang tokoh.

Saya baru sekali menakar tokoh, yaitu Stuart Hall. Menurut saya, menakar tokoh jauh lebih sulit dibandingkan dengan menakar buku ataupun album musik. Banyak tokoh yang ingin saya takar dan kisahkan, terutama tokoh ilmu komunikasi. Untuk kali ini saya akan menelaah Giddens yang pemikir “luar” ilmu komunikasi dulu sajalah. Kebetulan saya mendapatkan kesempatan untuk menelaah tokoh ini di dalam riset terkini dan mungkin yang terbesar bagi saya.

Di dalam tulisan singkat ini, saya ingin secara singkat berkisah tentang Anthony Giddens. Kemudian akan dijelaskan kontribusi pemikirannnya secara umum. Pada bagian terakhir akan berusaha ditelaah hubungan konsepsi pemikiran Giddens dengan fenomena ilmu komunikasi, ilmu yang sedikit saya kuasai.
Pertanyaan awalnya adalah: siapa Giddens? Untuk mengenal Giddens secara singkat berikut ini saya ambil biografi singkatnya dari situs LSE (London School of Economy):

Giddens lahir tanggal 18 Januari 1938 di Edmonton, North London. Ia menempuh pendidikan di University of Hull and London School of Economics. Giddens menulis disertasi yang berjudul “Sport and Society in Contemporary Britain”. Ia mengajar di University of Leicester dan juga Cambridge, tempat ia mendapatkan gelar professor Sosiologi. Ia menjabat direktur LSE pada tahun 1997 sampai 2003. Ia mendapatkan gelar kehormatan dari 15 universitas. Buku-bukunya telah diterjemahkan dalam kurang lebih empat puluh bahasa. Giddens adalah orang pertama di keluarganya yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Giddens juga adalah seorang supporter loyal dari klub sepakbola daerahnya, Tottenham Hotspur. Klub London yang lain selain Spurs yang berlaga di divisi Premiership adalah Arsenal, Chelsea, Fulham dan West Ham United.

Kontribusi terbesar Giddens terutama berasal dari buku yang ditulisnya pada tahun 1984, yang berjudul “The Constitution of Society”. Melalui buku inilah pemikiran terpenting Giddens terlacak. Konsepsi yang kita kenal sebagai strukturasi. Ia melihat bahwa kajian ilmu sosial selalu berada pada dua kutub besar. Pandangan klasik melihat bahwa struktur (pandangan makro) adalah yang lebih berperan dibandingkan dengan individu (pandangan mikro), yang ia sebut agen.

Cukup lama kedua kutub pemikiran tersebut meraja dalam ilmu sosial. Giddens mengambil “jalan tengah” dan menunjukkan bahwa yang terpenting bukanlah agen ataupun struktur, melainkan interaksi keduanya. Inilah yang ia sebut dengan nama strukturasi. Melalui konsepsinya ini, Giddens menerabas hutan belantara teori sosial. Pohon-pohondi dalam rimba yang coba “dilampaui” oleh Giddens adalah fungsionalisme, interaksionisme, strukturalisme, post-strukturalisme, dan post-modernisme. (dikutip dari buku “Anthony Giddens: Suatu Pengantar” (2002) oleh B. Herry-Priyono, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia).

Selain itu, melalui strukturasi, Giddens juga menunjukkan makna dualitas. Biasanya di dalam ilmu sosial, dua elemen hadir untuk saling “meniadakan” satu sama lain. Ini dikenal sebagai dualisme. Giddens kemudian membedakannya dengan melansir konsep dualitas, yaitu karakter dari dua elemen yang “menyatu” adalah saling melengkapi. Salah satu ada karena yang lain ada.

Melihat sedikit eksplanasi di atas tentang kontribusi pemikiran Giddens dalam ilmu sosial, kita pun bisa menyimpulkan bahwa kontribusi pemikiran Giddens di dalam ilmu komunikasi cukup besar pula. Paling tidak ini ditunjukkan dalam buku “Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal” yang ditulis oleh Vincent Mosco pada tahun 1996. Mosco menggunakan strukturasi sebagai salah satu pintu masuk untuk mendedah fenomena media dari sudut pandang ekonomi politik. Dua pintu masuk yang lain adalah komodifikasi dan spasialisasi. Pada konsep spasialisasi pun, sebenarnya Giddens juga berkontribusi karena ia juga menelaah konsepsi ruang dan waktu.

Buku lain yang cukup bagus yang juga menggunakan pemikiran Giddens adalah buku yang ditulis oleh David Gauntlett pada tahun 2002, yang berjudul “Media, Gender and Identity: An Introduction”. Di dalam buku ini, Gauntlett menggunakan pemikiran Giddens untuk menelaah interaksi identitas dan media melalui telaahnya atas modernisasi. Juga melalui telaah Giddens atas tubuh, keagenan, dan identitas. Giddens di dalam buku ini disandingkan dengan pemikiran Foucault untuk menelaah identitas.

Menurut saya, pemikiran Giddens membuat ia masuk dalam kategori “atap” di dalam rumah ilmu komunikasi. Giddens tidak “mendirikan” rumah, dan ruang-ruang di dalamnya, ia menaungi rumah yang ada. Pemikiran Giddens sangat dekat dengan fenomena industri media dan komunikasi organisasi. Pemikirannya bisa digunakan pada hampir semua fenomena komunikasi media ataupun non-media.

Di dalam kajian media misalnya, kita bisa melihat wartawan sebagai agen, kemudian pola kerja, prosedur, dan yang berkaitan dengan konteks produksi pesan lainnya adalah struktur. Berita yang diproduksi tersebut selalu berkaitan dengan kecakapan wartawan, ketentuan prosedur di dalam profesi pencari berita, dan strategi organisasi media di mana wartawan tersebut bekerja. Proses produksi berita tersebut juga ada di dalam “struktur” lain yang lebih besar, semisal norma yang berlaku di dalam masyarakat, dan juga “sistem” bila struktur tersebut sudah relatif stabil.

Demikianlah, fungsi tokoh dan pemikirannya di dalam telaah memang bukan semata-mata untuk mengenal dan memahaminya, melainkan juga untuk lebih bagus dalam mengamati fenomena yang ada di dalam kehidupan. Jadi tidak penting “Saya di Mata si Tokoh” atau “Tokoh di Mata Saya”. Hal yang terpenting adalah bagaimana kita lebih dekat dan menyelami kehidupan dengan sebaik-baiknya.


(gambar dipinjam dari top-people.starmedia.com)

Kamis, 18 Februari 2010

Diperlukan Segera: Literasi Digital


Baru-baru ini kita dikejutkan dengan dua peristiwa yang berkaitan dengan Facebook. Peristiwa tersebut adalah prostitusi terselubung yang melibatkan perempuan-perempuan di bawah umur dan “penculikan” perempuan muda. Sebagian pihak menyalahkan Facebook sebagai sarana terjadinya tindak kejahatan. Sebagian lagi menyalahkan anak-anak muda yang terlalu naif dalam berinteraksi dengan orang lain yang masih asing. Sementara sebagian yang terakhir menyalahkan pengawasan orang tua yang kurang intens pada anak-anaknya.

Menurut penulis, semua pihak mesti bertanggung-jawab dalam beberapa kejadian yang melibatkan media baru, terutama internet, belakangan ini. Kecenderungan yang terjadi saat ini, terutama terbaca di media televisi, kita menyalahkan Facebook. Pengambinghitaman ini adalah sesuatu yang kurang tepat. Facebook bukanlah akar permasalahan yang sebenarnya. Lebih luas lagi, internet bukanlah permasalahan sebenarnya. Seperti halnya jenis media yang lain, baik itu media “lama” (majalah, suratkabar, radio, dan televisi), ataupun media “baru” (internet, game, dan handphone), semuanya potensial berdampak positif ataupun negatif. Tergantung dari penggunanya dan motif-motif yang melatarbelakanginya.

Penyebab utama dari penyalahgunaan media baru adalah ketidakpahaman dan ketiadaan kecakapan dalam berinteraksi dengannya. Kini kita sebagai masyarakat memerlukan literasi digital agar dapat mengakses media baru dengan lebih baik dan efektif. Apa itu literasi digital? Secara singkat literasi digital dapat didefinisikan sebagai ragam keterampilan atau kecakapan yang diperlukan oleh seorang individu ketika mengakses media baru.

Literasi digital merupakan perkembangan lebih jauh dari dua jenis literasi lain yang telah dikenal sebelumnya, literasi dan literasi media. Literasi adalah kecakapan yang berhubungan dengan media cetak. Pengakses yang memiliki tingkat literasi yang bagus akan lebih mungkin membaca, menulis, dan memahami konvensi dalam media cetak dengan lebih baik. Literasi seringkali disebut sebagai melek huruf. Pada masa lalu literasi dianggap sebagai indikator kemajuan sebuah masyarakat. Kemampuan baca tulis adalah salah satu penanda penting tingkat pembangunan di sebuah negara.

Sementara itu, literasi media yang dikembangkan dari konsepsi literasi, adalah kecakapan individu dalam mengakses media audio-visual, terutama televisi. Literasi media melihat bahwa rangkaian isi pesan media melalui gambar dan suara yang ditata sedemikian rupa tidak dapat menggunakan literasi. Literasi media di dalam bahasa Indonesia seringkali disebut dengan nama melek media. Kini literasi media berkembang dengan pesat di berbagai negara. Di Kanada dan Amerika Serikat, pengetahuan mengenai literasi dan literasi media bahkan masuk di dalam kurikulum sekolah dasar. Kedua negara tersebut sudah menyadari bahwa pemahaman atas media cetak dan media audio-visual mesti diteguhkan secara formal karena begitu pentingnya pemahaman atas media pada masa sekarang ini.

Kini di banyak negara di seluruh dunia, pemahaman mengenai literasi digital berusaha disebarkan dengan cepat karena dampak penggunaan media baru sudah sangat terasa. Literasi digital sendiri tidak memiliki nama yang sama di berbagai kalangan. Literasi digital bisa disebut literasi media baru (new media literacy), dan juga literasi komputer. Hal yang terpenting, apa pun namanya, jenis literasi terbaru ini memiliki prinsip bahwa pesan media baru itu konvergen atau bisa diakses dari banyak jenis media baru, proses komunikasi yang terjadi adalah proses multi arah, dan memperpendek ruang dan waktu.

Literasi digital diperkuat lagi dengan perkembangan teknologi internet yang telah mengarah pada perubahan mendasar yang menyatukan jaringan sosial di dunia nyata dan dunia maya. Karakter penyatuan tersebut hadir dalam web 2.0 (atau lebih). Media baru sekarang semakin menyatukan kehidupan sosial dan kehidupan virtual individu. Pesan media baru kini juga kebanyakan diproduksi oleh individu. Individu saling bertukar berita dan cerita yang berpotensi “mengganggu” kemapanan media arus utama. Kini lahirlah di media baru, varian lain jurnalisme, yang disebut sebagai peer to peer journalism dan citizen journalism.

Anak-anak adalah pengguna media baru yang cenderung belum tinggi tingkat kecakapannya sehingga rentan menerima interaksi yang multi arah tadi. Di dalam media lama atau media konvensional, datangnya pesan bisa diduga walaupun banyak. Sementara di dalam media baru, seperti Facebook di internet, pesan itu bisa hadir dari mana saja dan cenderung tidak terduga, baik jumlah dan arahnya. Bila tidak cakap, tidak hati-hati dan diawasi dengan baik, anak-anak adalah pengakses yang rentan terhadap efek negatif media.

Literasi digital seperti halnya kedua jenis literasi yang lain, perlu pula untuk diperluas menjadi urusan kolektif walaupun awalnya lebih ditujukan untuk individu. Hal ini terutama ditujukan untuk anak-anak yang belum lengkap kemampuannya dalam mengakses media baru. Dalam urusan mengakses internet, anak-anak seharusnya ditemani oleh para orang-tua untuk di sekolah dan para guru di sekolah.
Orang-tua dan guru adalah mitra anak-anak dalam mengakses media bukan pihak yang berbeda. Ironisnya, orang-tua dan guru belum menganggap menemani anak-anak bermedia sebagai aktivitas yang penting dan bermakna.

Ketiga ragam literasi sudah kita perlukan secara mendesak, terutama literasi digital. Literasi digital diperlukan untuk mengarungi samudera pesan media baru. Literasi digital diperlukan bagi anak-anak kita dalam “berenang” di media baru agar mendapatkan manfaat darinya. Anak-anak juga memerlukan orang dewasa sebagai mitra mengakses media. Tetapi, apakah itu mungkin, sementara ada orang-tua yang memiliki anak usia sekolah dasar membiarkan anaknya membuka account Facebook? Sebab individu sebenarnya baru boleh membuka account Facebook ketika berusia tiga belas tahun ke atas sesuai ketentuan pengelola Facebook dan tentunya rekomendasi dari para ahli.


(Opini ini dalam versi yang sedikit lebih singkat muncul di harian Kedaulatan Rakyat, 16 Februari 2010. Semoga literasi, literasi media, dan literasi digital semakin termasyarakatkan dengan lebih baik. Kita semua berusaha))

Rabu, 17 Februari 2010

Wajah


Dia selalu tidak menyukai wajah. Baginya, wajah tak lebih sebagai perpanjangan dari tubuh. Wajah juga sangat bisa menipu. Walaupun, banyak orang mengatakan wajah adalah pintu gerbang untuk mengenali seseorang, baginya wajah adalah pintu gerbang yang melencengkan dari esensi yang sebenarnya. Sudah berkali-kali dia tertipu karena wajah. Wajah yang mendayu dan ceria ternyata menyimpan sesuatu yang setajam simbilu. Atau sebaliknya, wajah yang sangar nan ganas, ternyata ujung-ujungnya inspiratif dan memberikan banyak bantuan dalam hidupnya.

Dia selalu menyukai tubuh (tentu saja bila wajah dipisahkan dari badan dan anggota badan). Baginya, tubuh lebih polos dan otentik dalam menjawab dan memberikan makna yang dicari dari seseorang. Selain itu, dia menyenangi tubuh karena tubuh ditelaah oleh pemikir favoritnya, Michel Foucoult. Tubuh adalah obyek kekuasaan dari jamannya. Tubuh adalah bagian dari efek diskursif yang diberikan oleh kata-kata.

Tubuh selalu menjadi sasaran bagi entitas kuasa di luarnya. Katakanlah media, Negara, pasar, bahkan agama walau demikian ia menganggap tubuh selalu dapat member perlawanan. Tidak seperti wajah yang bisa melawan sebenarnya tetapi selau gamang pada akhirnya. Wajah bisa dibujuk tubuh bisa melawan. Wajah bisa merajuk tubuh bisa merujuk pada sesuatu.

Dia selalu tidak menyukai wajah. Karena itulah, setiap kali berbincang dengan seseorang, dia tidak pernah menatap mitra bicaranya. Entah mereka perempuan atau lelaki. Baginya, wajah adalah penghianat langsung dari seseorang. Tubuhnyalah sekutu utama untuk memberikan informasi seputar seseorang. Tubuh memberikan informasi dan dilanjutkan dengan aksi-aksi.

Lalu bagaimana dia membedakan identitas bila menafikkan wajah?

Selama bertahun-tahun dia mengembangkan kemampuan untuk hanya melihat bahasa tubuh, bukan bahasa wajah. Tangan yang bergerak. Kaki yang berposisi. Dan tentunya, kedua anggota badan tersebut yang diinteraksikan dengan posisinya masing-masing dengan badan. Selama bertahun-tahun, sekitar tujuh belas tahun, dia membiasakan diri untuk tidak melihat wajah.

Dengan melihat tubuh minus wajah. Dia bisa melihat sekutu dan musuh dirinya. Dia bisa memahami siapa sekutu yang loyal dan musuh yang patut dihargai. Gerakan tangan yang menghardik terlihat oleh dirinya. Gerakan kaki yang melindungi terpahamkan dengan mudah karena pengalaman bertahun-tahun. Bahkan tindakan imperatif seseorang jadi lebih mudah terlihat tanpa memperhatikan wajahnya.

Bukan hal yang mudah bagi dirinya berkoneksi dengan seseorang tanpa mengamati wajahnya. Dia pernah dituduh penganut agama yang fanatik karena tidak memperhatikan wajah dan selalu menunduk pada mitra bicara. Tetapi dia pun tak yakin, apakah agama benar-benar punya wajah yang tunggal. Wajahnya seperti apa? Wajah welas asih penuh cinta, atau wajah yang bagaimana?

Hal yang paling dia sukai adalah berkomunikasi dengan pihak lain melalui media baru. Ada dua pilihan di sini. Tidak menggunakan wajah sama sekali. Dia bisa menggunakan wajah generic, yang disediakan oleh media baru tersebut terutama internet. Pada titik ini dia bingung juga karena kata para ahli, internet yang mengakomodir komunikasi online sudah menyatu dengan kehidupan nyata. Wajah mana yang lebih penting, wajah online atau wajah offline, atau bahkan wajah inline?

Dia hanya tersenyum dan bersyukur dia tidak mementingkan wajah. Dia tidak perlu lebur dalam hiruk-pikuk kewajahan dan wajah-wajah implementatif. Wajah tetap tak penting. Sekali tak penting tetap tak penting, begitu pendapatnya.

Hal yang paling tidak dia senangi berkaitan dengan wajah adalah bila interaksi yang terjadi melibatkan emosi. Mengapa hal ini terjadi? Sederhana saja, tubuh sulit menunjukkan cinta dan benci. Tubuh menunjukkan posisi tetapi bukan cinta atau pun benci. Dia sudah berusaha keras membaca cinta dan benci dari gerak tangan, kaki, dan posisinya terhadap badan. Tetap sangat sulit. Dan setelah tujuh belas tahun belajar, dia belum juga memahaminya.

Dia mengalami kebingungan luar biasa. Dia merasakan dua lawan jenis yang aura-nya dia rasakan menyukainya. Sayangnya, dia tidak melihat wajahnya. Untungnya, kedua lawan jenis itu tidak mementingkan apakah dia memperhatikan wajah mereka atau pun tidak.

Orang pertama, memiliki tangan yang melindungi nan tegas. Itu terlihat dari tangannya yang bersedekap di badan. Tangan itu hanya lepas dari badan bila ingin menunjukkan instruksi tetapi “perintah” yang halus sekaligus menyenangkan. Orang kedua, memiliki tangan terbuka dan membebaskan. Tangannya tak pernah mengajak, hanya membiarkan dirinya memilih apa yang harus dilakukan. Tangan ini tidak pernah menyatu dengan badan. Tangannya selalu menunjukkan pilihan bebas dari tindakan.

Terus terang dia menyukai keduanya. Tangan yang bersedekap adalah wujud perlindungan, sementara tangan yang terbuka adalah wujud pembebasan. Dia ingin lebih dekat lagi dengan kedua orang tersebut dan berusaha menafsir gerak dan posisi kaki terhadap badan. Entahlah, menurutnya, kaki lebih intim dari tangan. Sementara dalam interaksi tingkat sekarang ini, dia tahu dia belum dapat mendapatkan informasi mengenai kaki.

Berhari-hari dia berusaha memahami dan memilih di antara keduanya. Pemilihan yang bisa jadi rumit tanpa mengenali wajah. Dia termasuk berusaha keras memahami bahasa tubuh, termasuk definisi komunikasi virtual dan gesture dan komunikasi verbal minus wajah. Dia bahkan hampir ikut kursus “body language” di DPR yang diasuh oleh salah seorang wakil rakyat yang dulunya aktivis jenis senam ini.

Hari ketujuh dia tak sabar lagi. Dia tetap tidak mendapatkan informasi tambahan mengenai identitas kedua orang tersebut tanpa mengenali wajahnya. Salah satu sebenarnya dapat dia upayakan informasinya karena satu tempat bekerja. Dia bisa mengakses di database sumber daya manusia. Tetapi dia tidak ingin. Sebab informasi individu yang satunya lagi tertutup aksesnya. Dia ingin memiliki ukuran dan prosedur yang sama untuk memahami keduanya. Prosedur yang transparan dan berlaku sama untuk keduanya. Ukuran yang empiris agar bisa dicek secara lebih adil dan setara.

Dia tidak ingin menerapkan standar ganda seperti yang diterapkan oleh Amerika Serikat pada dunia Islam. Standar ganda selalu menghasilkan dua ekstrem perasaan. Pihak yang diuntungkan akan sangat menyukai diri kita, sementara pihak yang dirugikan akan sangat membenci kanan. Efek inilah yang semestinya dihindari, menciptakan ekstermitas pada satu sisi sekalipun itu hanya pada aspek perasaan.

Pada hari ketujuh malam hari, dia tidak sabar lagi. Dia harus memutuskan apakah terus mencoba memahami atau berhenti saja sampai di sini. Akhirnya setelah perdebatan diri dua jam lebih dengan meninggalkan tayangan sepakbola kesukaannya di televisi, dia memutuskan untuk mulai mengakses wajah.

Dia berharap esok pagi bisa melihat wajah kedua orang itu. Wajah-wajah yang pastinya memberikan informasi. Informasi maksimal tentang identitas keduanya. Bila informasi empiris sudah dia dapatkan, barulah dia bisa menentukan opini dan sikapnya atas kedua orang tersebut.

Untuk mengenali wajah orang lain tentu saja dia mesti mengenali wajahnya sendiri. Dia mencari cermin yang sudah sangat lama disimpannya. Akhirnya dia dapatkan juga, dia dapatkan di antara komik Arad dan Maya, Trigan, Storm, seri Nina, dan novel-novel Wiro Sableng, Balada si Roy, Nick Carter, dan Ennie Arrow. Ternyata memang sudah lama sekali dia tidak bercermin.

Pelan-pelan dia arahkan posisi yang dia asumsikan letak wajahnya ke cermin. Dia menatap cermin.

Ternyata….wajahnya tidak ada!

Dia berteriak histeris.

Dia hanyalah seseorang tanpa wajah dan potensial sendirian keesokan harinya….



(fiksi pendek pertama yang selesai ditulis setelah sekitar dua dekade)

Tiga berikutnya:
1. Para Pencari Wajah
2. Wajah Siapa Ini Wajah Siapa
3. Hasrat Mengepistemologi Wajah

Senin, 15 Februari 2010

Umberto Eco's Antilibrary


Apakah ini sebentuk narsisme?
Dia yang mencintai diri sendiri
sampai mendebu

Apakah itu sebentuk jurnalisme?
Ketika dia melaporkan fakta di balik langit
Tak ada apa pun kecuali hasrat untuk menguasai yang lain
Manusia adalah srigala bagi manusia lain
Fakta terpenting bukanah suatu yang manifest

Apakah ini sebentuk fasisme?
Dia mengaturnya sampai semuanya
hancur berkeping-keping

Aku dan hanya aku
Ingin menghablur menjadi dirinya
Dirinya dan biasanya hanya dirinya

Dirinya yang menstigma siapa pun sesuka hati
Dirinya yang mengatakan bersyukurlah dan tak boleh menggugat
Aku dan hanya aku di sini
Sendiri bersama diriku sendiri dan setumpuk ide asimetris
Menimang dan menakar-nakarnya selalu

Apakah ini sebentuk vandalisme diri?

(Pagi dan segelas kopi instan lumayan enak)

Rabu, 10 Februari 2010

Sampai di Mana dan Sampai Kapan, Pak?



Ketika album ketiga Bapak presiden kita dirilis tanggal 24 Januari 2010 kemarin, saya berjanji dalam hati tidak akan membeli, apalagi mendengarkannya, lebih-lebih menakarnya. Amit-amit deh…hehe…. Ternyata janji saya itu tidak bisa bertahan dalam waktu yang lama. Beberapa hari lalu, saya membeli, mendengarkannya, dan juga menakarnya. Aktivitas mengakses album ini, bagi saya memberikan banyak “pelajaran” dalam menakar sebuah album, juga lebih jauh lagi, pesan media. Alasannya profesional, suka tidak suka dengan pesan media tetapi demi kepentingan ilmiah akademis untuk meneliti pesan, saya tetap mengaksesnya juga.

Dalam menakar pesan media, kita memiliki cukup banyak ragam interaksi. Kita yang mengakses media akan selalu berinteraksi dengan “pencipta” dan “hasil ciptaan” atau kreasinya. Dari sini kita bisa menyusun empat “kotak” dari matriks interaksi tersebut. Kita suka dengan kreator dan kreasinya ataupun tidak suka pada keduanya. Ini sudah dua kotak. Kita juga bisa menyukai kreator tetapi tidak ciptaannya, atau sebaliknya, kita bisa menyukai hasil ciptaan tetapi tidak kreatornya. Ini adalah dua kotak interaksi pemaknaan kita dengan produsen dan hasil kreasi yang terakhir. Ragam interaksi yang dapat menjebak penakar dalam labirin tak berujung bila tidak awas.

Hal yang cukup sulit adalah bila sang kreator memiliki multi “identitas”. Dalam kasus ini, sang kreator adalah seorang penulis lagu dan juga seorang pejabat publik negeri ini, malah seorang pejabat tertinggi negeri ini. Pada “kreator”, sebagai presiden negeri ini, posisi saya jelas. Saya tidak menyukainya. Banyak kebijakan dan respons beliau atas berbagai peristiwa yang tidak oke dan terkesan menutup-nutupi sesuatu (ingat pidatonya yang merupakan anti-klimaks kasus cicak versus buaya).

Mengenai posisinya sebagai pencipta lagu, saya tunda dulu keputusan posisi saya karena sebelum ini saya belum pernah mendengarkan lagu-lagu ciptaan sang bapak. Walau demikian, tentu saja dalam menafsir nantinya, kita tidak bisa melepaskan sepenuhnya dari aktivitas beliau di dunia politik. Kita bisa bilang bahwa “pengarang telah mati”, tetapi dalam kasus album ini, sepertinya “pengarang” malah benar-benar hidup dan hadir dengan kuat pada seluruh isi pesan media.

Album ini bisa dilihat dari tiga perspektif, yaitu komunikasi pembangunan, komunikasi politik, dan musik populer itu sendiri. Sebagai salah satu jenis komunikasi pembangunan tentunya kita melihat pak SBY sebagai organ dari pemerintah yang berusaha memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat. Tujuannya jelas, untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari hadirnya Dewi Yull sebagai salah satu penyanyi. Dewi Yull adalah salah satu karakter imajiner penting bagi Orde Baru yang sudah mumpuni dalam menyampaikan pesan pembangunan. Kita tentunya masih ingat akan perannya sebagai Sartika, seorang dokter di daerah terpencil. Sartika adalah dokter yang berjuang untuk masyarakat daerah terpencil. Ironisnya, kondisi ini relatif sama dengan kondisi sekarang.

Lagu “Save Our Planet” adalah contoh lain bagaimana lagu ini berupaya menyampaikan pesan pembangunan. Kelihatannya lagu ini diciptakan ketika presiden datang di KTT Bumi di Bali. Sayangnya, liriknya terlalu formal untuk ukuran sebuah lagu populer yang katanya ditujukan untuk kaum muda tersebut. Lagu ini masih seperti gaya pengajaran orang-tua pada anaknya jaman dulu sekali. Mendengarkan lagu ini akan mengingatkan kita pada lagu Michael Jackson, “Heal the World”. We all gather in Bali/We want to save our planet/We are all united here in Bali/for a better life, a better world/for you and me….

Selanjutnya, album ini juga bisa dianggap sebagai bentuk pesan komunikasi politik, yaitu bagaimana melalui album ini, bapak presiden ingin menunjukkan bahwa dia dan partainya tetap rileks menghadapi kasus bail-out Bank Century pada lawan-lawan politiknya. Juga menunjukkan pada masyarakat bahwa mereka tidak hanya pandai mengurusi politik tetapi juga pandai menghasilkan musik populer. Album ini bisa dimaknai memberi simbol-simbol politis untuk mempengaruhi masyarakat secara halus dan tersamar.
Uniknya, siapa tahu masyarakat sebagai audiens album ini menganggap sebaliknya? Alih-alih untuk menimbulkan impresi, masyarakat malah memandang presiden dan pendukungnya kurang serius dalam menjalankan kekuasaan. Saya jadi ingat di masa lalu, jaman Orde Baru, ketika kaset-kaset berisi lagu-lagu pujian untuk Golkar dibagikan pada masyarakat, masyarakat memang menerimanya tetapi tidak mendengarkannya. Saya ingat saya malah menimpa kaset tersebut untuk merekam drama radio kesukaan saya jaman dulu, Ksatria Madangkara.

Sebagai sebuah artefak budaya populer, album ini sebenarnya lumayan. Kelemahannya mungkin pada lagu-lagunya yang biasa. Mendengarkan lagu-lagu di album ini, saya merasa seperti mendengarkan lagu-lagu lama, bahkan lagu-lagu “wajib” penuh pesan formal dan slogan. Kelebihannya adalah, album ini diisi oleh pemusik dan penyanyi yang lumayan, malah ada beberapa masuk dalam musisi kualitas nomor saatu, Fariz RM dan Elfa Seciora.

Sayangnya, lirik yang dimunculkan bergaya formal sekali, bahkan lagu “Liburan Sekolah” sekalipun, terdengar seperti liburan di sekolah pendidikan tentara. Demikian juga lagu “Budi Temanku” yang bercerita tentang teman yang tetap bertahan tinggal di desa. Awalnya saya kira si Budi itu adalah wakil bapak presiden sekarang ini. Ternyata bukan, Budi di lagu ini adalah Budi yang kembali dan gigih berjuang sebagai petani. Aku punya teman/Budi namanya/Anaknya pintar/Lagi jenaka. Ini adalah petikan liriknya. Jadi ingat dengan pelajaran SD tahun 1980-an dulu? Ini Budi. Ini bapak Budi. Wati kakak Budi. Budi dan Bapak Budi bermain bola. Ibu Budi dan Wati menanak nasi di dapur. Teman-teman Ingat, ‘kan?

Sesaat setelah album ini dirilis dan diberitakan di media, seorang rekan menulis komentar di status FB-nya sebagai berikut: mau sampai di mana, pak? Saya sedikit mengubahnya untuk judul tulisan ini, “Mau sampai di mana dan sampai kapan, pak?” maksudnya bukan untuk karier politik, tetapi terlebih ditujukan untuk karier menulis lagu bapak presiden. Menurut saya sih, sampai di sini saja. Tidak perlu diteruskan sampai album keempat. Kecuali kualitasnya meningkat. Jangan sampai pendengar tidak mendapatkan standar kualitas album yang lebih baik nantinya. Mendingan bapak presiden bersama para aparatnya membenahi industri musik rekaman Indonesia, terutama dari pembajakan yang benar-benar menggurita sekarang ini. Bapak adalah salah satu regulator, bukan pemain.

Sebagai sebuah dokumentasi pesan media, membeli album ini ada manfaatnya. Saya ingin menyimpannya dan berharap bisa lebih bercerita banyak dalam konteks akademis. Saya tidak ingin menyesal lagi karena tidak mendokumentasi banyak konten media dekade 1980 dan 1990-an, padahal saya punya kesempatan untuk itu. Sebagai sebuah album musik populer, sebenarnya saya agak menyesal membelinya walaupun harganya hanya Rp 20 ribu.

Mendengarkan album ini saya merasa ada di masa lalu, yang diberi pesan yang formal, sarat beban, dan kaku, sesuai ciri-ciri tentara. Ternyata karakter aslinya akhirnya muncul juga. Walaupun pak SBY baru saja mendapatkan penghargaan sebagai komunikator politik terbaik se-Asia Pasifik, ia dan tim-nya tidak bisa menutupi karakter aslinya. Justru karakter tersebut terlihat pada karya-karya lagunya.

Penyanyi : various artist
Judul : Ku Yakin Sampai di Sana, Persembahan SBY untuk Bangsa & Negeri Tercinta
Tahun : 2009
Label : Suara Hati
Daftar lagu:
1. Jiwaku Terang di Malam Itu (vokal: Vidi Aldiano, arr.: Fariz RM)
2. Adakah (vokal: Joy Tobing, arr.: Pay)
3. Budi Temanku (vokal dan arr.: Koeswoyo Junior)
4. Kuyakin Sampai di Sana (vokal: Rio Febrian, arr.: Irwan Simanjuntak)
5. Untukmu Anak Manis (vokal: Dewi Yull, arr.: Yan Roesly)
6. Liburan Sekolah (vokal & arr.: Koeswoyo Junior)
7. Longing My Love (vokal: Iwan Abdie, arr.: Alvin Lubis)
8. Save Our Planet (vokal: Elfa’s Singer, arr.: Elfa Seciora
9. Majulah Negeriku (vokal & arr.: Tantowi Yahya)

Senin, 08 Februari 2010

Everything Must Go


Sebuah lagu, atau lebih luas lagi, sebuah album, sama seperti teman. Ada teman-teman yang memberikan inspirasi lebih ketika kita bersama atau berdialog dengan mereka. Album ini adalah salah satu “teman inspiratif” itu. Album musik yang ketika didengar-dengarkan, dicerna, dan dianalisis liriknya, selalu membuat saya bersemangat lagi untuk melanjutkan hidup. Sejak pertama-kali mendengar lagu Manic Street Preachers (MSP) dari album ini, “A Design for Life”, saya langsung menemukan salah satu band favorit.

Album ini bukanlah album Manic Street Preachers pertama yang saya kenal, saya justru mendengarkan album MSP lewat album setelahnya, “This is My Truth Tell Me Yours”. Walau demikian, saya sudah mendengarkan tiga lagu dari album ini ketika pertama-kali rilis. Ketiga lagu itu selain “A Design for Life”, adalah “Australia” dan “Everything Must Go”. Ketiganya benar-benar memberikan sesuatu yang baru pada saat itu, lirik yang cenderung bernuansa Marxist nan cerdas.

Mendengar MSP membuat dua band kesukaan saya yang lain, U2 dan REM, jadi terasa “tua”. Sementara U2 dan REM membicarakan posmodernisme dan akhir dunia pada jaman itu, MSP berbicara tentang “belajar” dalam rangka memperjuangkan kelas pekerja. MSP berbicara bukan bagaimana menafsirkan dunia dan masa depan tetapi bagaimana “menghadapinya”. Bertemu dan berdialog dengan realitas walaupun terkadang itu menyakitkan. Hal ini terungkap jelas dalam lagu “Australia”.

Sementara di dalam lagu “Everyrhing Must Go” kita semestinya menghadapi realitas dengan berani karena segalanya mesti berakhir, diniatkan atau dibiarkan mengalir. Sekalipun untuk berhadapan dengan realitas kita tidak perlu meminta “penjelasan” untuk semuanya. Jalani saja….

Mereka juga berbicara tentang orang-orang yang mereka kagumi. Willem De Kooning, seorang pelukis Belanda yang mereka kagumi, muncul dalam “Interiors”. Nantinya, pada album “Forever Delayed”, Kooning muncul lagi dalam lagu “Door to River”. Tokoh yang paling kontroversial, yang diangkat oleh MSP adalah Kevin Carter di dalam lagu berjudul nama orangnya. Carter adalah seorang wartawan foto yang memotret anak Afrika yang sekarat, sementara burung pemakan daging menunggu di sebelahnya. Anak kecil itu akhirnya meninggal dan Carter terus-menerus dihinggapi rasa bersalah. Walau foto tersebut mendapatkan banyak penghargaan untuk foto jurnalistik, Carter tidak merasakan itu sebagai kebahagiaan. Carter akhirnya meninggal bunuh diri dengan sengaja menghirup asap dari mobilnya.

“A Design for Life” tentu saja adalah salah satu lagu mereka yang paling terkenal yang membawa mereka pada keterkenalan. Lagu ini menjadi mars kelas pekerja di Wales. Saya juga mengutipnya secara lengkap di dalam thesis saya, sekadar untuk mengingatkan harapan dan mimpi saya nantinya. Bagi rekan-rekan
yang ingin mengakses album ini lebih dalam lagi, inilah daftar lagu lengkapnya. Album ini dirilis pada tahun 1996 dan dirilis ulang dalam rangka ulang tahun ke-10 albumnya pada tahun 2006. Ini daftar lagu pada tahun 1996:

Daftar lagu:
1. Elvis Impersonator Blackpool Pier
2. A Design for Life
3. Kevin Carter
4. Enola/Alone
5. Everything Must Go
6. Small Black Flowers that Grow in the Sky
7. The Girl who Want to be God
8. Removables
9. Australia
10. Interiors (Song for Willem De Kooning)
11. Further Away
12. No Surface All Feeling

Album ini adalah album pertama tanpa Richey Edward yang menghilang sebelum album ini selesai. Namun lirik lagu dari Edward masih cukup mewarnai album ini. Ada satu lagu yang menurut saya maknanya bagus sekali walau lagu ini tidak termasuk hits. Lagu ini menurut saya adalah saripati dari album ini. Lagu ini adalah salah satu lagu yang selalu memberi inspirasi saya untuk tetap bersemangat walau kondisi sedang kalut. Juga untuk tetap “sadar” ketika keadaan sedang tenang melenakan. Begitu juga teman-teman "sepermainan" kuliah yang menginspirasi catatan ini…terima kasih teman untuk semua inspirasinya, dahulu dan kini…

Small Black Flowers that Grow in the Sky

You have your own number
They dress your cage in its nature
Once you roared now you just grunt lame
Pace around pathetic pound games

Wanna get out won’t miss you sensaround
To carry your own dead to swing your tyre tricks
Wanna get out in here you’re bred dead quick
For the outside
The small black flowers that grow in the sky

They drag sticks along your walls
Harvest your ovaries dead mothers crawl
Here comes warden, christ, temple, elders
Environment not yours you see through it all

Wanna get out won’t miss you sensaround
Carry your own dead to swing your tyre tricks
Wanna get out here you’re bred dead quick
For the outside
The small black flowers that grow in the sky

Here chewing your tail is Joy

Got My Mind Set on You


Entah mengapa dua hari ini saya banyak memikirkan sahabat-sahabat saya, terutama teman-teman kuliah dulu. Teman-teman lama yang kini sudah jarang bertemu secara langsung. Mungkin hal ini disebabkan oleh kabar yang saya terima kemarin. Ada teman yang pertengahan bulan ini menikah. Cukup lama saya tidak mendengar kabarnya karena ia tidak memiliki account Facebook sepertinya. Walau ia tinggal di Jakarta dan sekali waktu saya mampir ke kota itu, sulit sekali bertemu dengan dirinya karena kesibukan kerja masing-masing.

Saya jadi mengingat teman-teman lama saya mungkin juga karena mendengar lagu “Got My Mind Set on You”. Lagu ini seperti teman lama yang bertemu kembali setelah sekian tahun. Lagu ini pertama-kali saya dengarkan tahun 1990 di kaset kompilasi “Listen to Number 1”. Waktu itu sepertinya royalti belum ditetapkan oleh pemerintah sehingga kaset bertebaran banyak sekali. Karena tidak membayar royalti, perekam jadi seenaknya, semua lagu bagus disatukan, banyak kompilasi dirilis. Hal ini menyebabkan pendengar Indonesia kurang peka dengan “kesatuan pesan” dalam sebuah album. Lebih senang dengan lagu per lagu yang bagus.

Lagu ini pun seperti teman saya itu. Saya selalu bergembira bila bertemu dengan dirinya. Entah bagaimana, dia selalu membuat kami tersenyum dengan gayanya. Begitu pula dengan lagu ini. Saya selalu merasa gembira bila mendengarnya walau sudah sangat lama tidak mendengarnya. Lagu ini ada di dalam album terakhir George Harrison – Let It Roll (2009). Bagi sebagian besar penyuka the Beatles, George Harrison mungkin kalah populer dibandingkan dengan dua temannya yang lain, John Lennon dan Paul McCartney, bagi saya, Harrison-lah yan membuat banyak lagu the Beatles jadi terdengar lebih indah.

Lagu ini juga bermakna bagi saya, sekali kita punya teman-teman dekat, dia akan terus ada dalam pikiran dan hati kita walau dipisahkan oleh jarak dan waktu. Untuk teman-teman saya, sekenang kedar-kedaran, inilah lagu lama yang selalu membikin hati ceria itu:

I got my mind set on you
Performed by George Harrison

I got my mind set on you
I got my mind set on you
I got my mind set on you
I got my mind set on you

But it's gonna take money
A whole lotta spending money
Its gonne take plenty of money
To do it right child

Its gonna take time
A whole lot of precious time
Its gonna take patience and time, ummm
To do it, to do it, to do it, to do it, to do it,
To do it right child

I got my mind set on you
I got my mind set on you
I got my mind set on you
I got my mind set on you

And this time I know it's for real
The feelings that I feel
I know if I put my mind to it
I know that I really can do it

I got my mind set on you
Set on you
I got my mind set on you
Set on you

But it's gonna take money
A whole lotta spending money
Its gonna take plenty of money
To do it right child

Its gonna take time
A whole lot of precious time
Its gonna take patience and time, ummm
To do it, to do it, to do it, to do it, to do it,
To do it right child

I got my mind set on you
I got my mind set on you
I got my mind set on you
I got my mind set on you

And this time I know it's for real
The feelings that I feel
I know if I put my mind to it
I know that I really can do it

But it's gonna take money
A whole lotta spending money
Its gonna take plenty of money
To do it right child

Its gonna take time
A whole lot of precious time
Its gonna take patience and time, ummm
To do it, to do it, to do it, to do it, to do it,
To do it right

Set on you
Set on you
(repeat)

Jumat, 05 Februari 2010

Media dan Budaya Kaum Muda


Apa yang ada dalam pikiran kita ketika memikirkan kaum muda? lalu bagaimana mengaitkan kaum muda dengan media? apakah relasi antara media dan kaum muda itu saling mendukung, saling menihilkan, atau bagaimana? Rangkaian pertanyaan itulah yang muncul bila kita memikirkan media dan kaum muda. Media dan Budaya Kaum Muda adalah mata kuliah baru di jurusan kami, salah satu pengampunya adalah saya. Proses perkuliahan baru dimulai dua minggu lagi. Sebelum itu, saya ingin mencoba mendedahkan apa yang akan dibicarakan tersebut. Tentu saja, sebelum silabus dan rencana pembelajaran dirilis secara resmi, tulisan ini bersifat sebagai pelengkap belaka.

Kaum muda cenderung dilihat secara salah kaprah. Paling tidak ada dua cara melihat kaum muda. Pertama, kaum muda sebagai pembawa masalah. Kedua, kaum muda dalam masalah. "Kaum muda sebagai pembawa masalah" muncul di dalam media kebanyakan. Para pemuda punk yang "mengganggu" pandangan di jalan-jalan adalah contohnya. Sementara itu "kaum muda" dalam masalah dicontohkan dalam berita-berita tentang kaum muda yang terjebak dalam hedonisme dan dunia kriminal misalnya. Kedua sisi pendapat tersebut tentu saja pendapat yang tidak tepat.

Dari sisi media pun, kedua cara pandang tersebut barulah mencakup isi pesan media. Bagaimana pun juga kaum muda adalah sasaran utama bagi isi pesan karena potensi ekonomi dan kultural yang dimilikinya. Kaum muda sebagai bagian dari isi pesan media ini juga problematik karena kaum muda direpresentasikan media dengan melibatkan "satuan" identitas yang lain. Identitas tersebut melekat pada usia (kaum muda awal, tengah, dan akhir. Belum lagi ketika kaum muda dibedakan dengan remaja). Juga melekat pada gender, kelas, etnis, ras dan agama. Kesemuanya bisa menghablur membentuk identitas baru yang sangat unik untuk setiap kelompok di beragam ruang dan waktu.

Selain itu. kaum muda juga semestinya dilihat sebagai bagian dari audiens dan kreator pesan (bisa disebut juga dengan kreator). Kita mengetahui bahwa kaum muda adalah salah satu kelompok usia terbesar, terutama di masyarakat kita. Dengan demikian mereka menjadi pangsa pasar terbesar bagi pesan media. Fenomena bau-baru ini bisa kita lihat bagaimana film, musik rekaman, dan buku yang menyasar kaum muda bertambah besar dengan sangat cepat.

Kaum muda sebagai kreator pesan adalah bagian terpenting bagi topik ini. Bagaimana kaum muda mencari jalan untuk "melawan" pesan mainstream dan budaya dominan misalnya, ada pada wilayah ini. Sebagian kaum muda menciptakan pesan media yang berbeda karakternya dengan media mainstream, baik topik, cara pandang, jenis, maupun cara mendistribusikannya. Perkembangan media baru dalam hal ini "menguntungkan" kaum muda. Walau demikian, ada juga kaum muda yang "melanggengkan" budaya dominan dan pesan media mirip dengan mainstream. Ini tidak salah. Perkembangan budaya selalu seperti itu, ada yang meneruskan, ada pula yang membongkarnya.

Saya akan menulis lagi tentang topik ini nanti. Demikianlah, beberapa pokok pemikiran untuk pembelajaran di semester mendatang. Saya sudah tidak sabar untuk berada di kelas, berdiskusi tentang media dan budaya kaum muda. Saya ingin pembelajaran ini nantinya menarik dan mencerahkan bagi kami semua!

Sampai ketemu dua minggu lagi....

(keterangan gambar: Balada Si Roy oleh Gola Gong, salah satu pesan media oleh dan untuk kaum muda)

Kamis, 04 Februari 2010

Berita Belakangan Ini: Antara Kerbau, Nasional Demokrat, dan Serambi Madinah


Pagi hampir selalu indah bagi saya. Pada pagi hari biasanya saya merasa lebih kreatif distributif (kata terakhir abaikan saja, saya lagi senang dengan rima..hehe..). Untuk itulah saya mesti berterima kasih pada-Nya, pencipta dan pemilik pagi. Seperti sekarang ini, rasanya begitu banyak yang bisa ditulis, dikomentari, dibecandai, dan dianalisis (biar kelihatan akademis). Saya antara lain ingin menulis tentang "kerbau", "Nasional Demokrat, dan "serambi Madinah." Ketiga istilah itulah yang sejak Senin kemarin hadir di media kita dan tak bisa lepas dari pikiran saya.

Ketiganya bisa kita tafsir dari beberapa "pisau analisis'. Bisa dari bidang politik yang jelas terlihat ataupun dari komunikasi politik bila dilihat dari simbolisasi atas kata dan kejadiannya. Tapi saya ingin meninjaunya dari sisi jurnalistik, yaitu bagaimana kejadian nyata dilaporkan oleh media. Berita tentang "serambi Madinah" misalnya, tidak saya dapat dengan memadai. Isu ini muncul di Yogya. Isu lokal memang, tetapi menurut saya berita yang ada di media lokal sangat tidak memadai apalagi mendalam. Misalnya, siapa yang mengusulkannya? untuk apa dan mengapa diusulkan? apakah media Yogya "takut' membahasnya dengan mendalam? seperti biasanya, isu yang berkaitan dengan agama adalah sesuatu yang cenderung "berbahaya" untuk didiskusikan dengan bagus di media massa mainstream.

Begitu pun berita tentang "Nasional Demokrat". Fakta yang muncul di dalam berita di berbagai media lumayan banyak. Kali ini perbedaannya dengan kasus pertama adalah fakta itu tidak dianalisis dengan kritis. Misalnya, mengapa orang yang memiliki dana dan media (televisi), sangat "gatal" untuk melakukan pengabaian terhadap kepentingan publik. Apakah mereka tidak tahu bahwa frekuensi siaran itu milik kita bersama dan mereka hanya diberikan mandat oleh negara dan masyarakat untuk mengelolanya? bukan seenaknya sendiri, apalagi untuk kepentingan politik diri dan kelompok, apalagi bila hanya untuk kepentingan narsisme.

Belum lagi bila kita bertanya, mengapa namanya Nasional Demokrat? mengapa berwarna biru? mengapa oh mengapa yang hadir lawan-lawan politik SBY? dan lain sebagainya. Tetapi yang menurut saya penting adalah: mengapa fakta tidak dianalisis dengan ciamik. Jurnalisme belum menjalankan tugasnya bila hanya menjabarkan 5W1H, fakta dalam berita harus memberikan makna pada publik.

Berita yang terakhir yang bisa dicandai, eh dianalisis, adalah berita tentang pemimpin negeri ini yang tidak mau disamakan dengan kerbau. Sebenarnya sih malah kasihan kerbaunya...hehe...Menyampaikan berita tentang komentar seperti ini memang sulit karena seharusnya media juga tidak "terjebak" pada jurnalisme komentar juga, seperti yang terjadi dalam peristiwa ini. Media misalnya bisa mengulik kelompok demonstran mana yang menggunakan kerbau tersebut, apa alasannya?

Dulu juga Gus Dur ketika dimakzulkan disimbolkan dengan hewan (namun Gus Dur "nyanta" saja). Jadi cara seperti itu, menggunakan simbolisasi hewan, sudah pernah dilakukan, bahkan sering bila kita merujuk bahwa yang dituju oleh simbolisasi tersebut bukan pemimpin tertinggi negeri ini. Malah saya kira, seharusnya dilakukan "cover both side", kerbaunya sebaiknya juga diwawancarai dong...hehe...ini murni bercanda. Inti dari pemberitaan tentang kerbau ini adalah 'tindakan tidak etis" dalam berekspresi menyampaikan opini. Inilah yang harusnya didedah oleh media. Seperti apakah tindakan etis dan tidak etis dalam politik itu? dan apakah juga orang-orang sang presiden sudah bertindak etis dalam menyampaikan opininya?

Walau begitu, dari ketiga kasus di atas kita bisa belajar banyak dan lebih baik lagi untuk memahami jurnalistik. Bagi saya pribadi, saya terpengaruh oleh sang kerbau. Saya jadi lebih cinta dengan salah satu hewan "asli" Indonesia ini. Bukankah kerbau di banyak daerah di Indonesia digambarkan sebagai hewan yang rajin membantu, kuat dan tidak cengeng?

(gambar dipinjam dari deptan.go.id)

Rabu, 03 Februari 2010

Menulis seperti Murakami


Menulis bagi saya tetap sebuah misteri, bukan teka-teki. Apa perbedaan teka-teki dengan misteri? Teka-teki dan misteri sama-sama memerlukan jawaban. Teka-teki akan terjawab dengan bertahap atau langsung tergantung informasi yang tersedia. Semakin banyak informasi yang tersedia dan terkumpul, teka-teki semakin mudah terjawab. Sementara itu, misteri tidak tergantung dari ketersediaan informasi. Bisa jadi informasi yang tersedia banyak, tetapi bila informasi yang banyak tersebut tidak terangkai dengan baik, misteri tetap tidak terjawab. Sebaliknya, walaupun informasi yang terkumpul masih sedikit, misteri sudah terjawab dalam tahap tertentu bila pandai merangkai kepingan informasi yang tersedia. Begitu juga dengan aktivitas menulis. Menulis adalah misteri.

Minimal bagi saya pribadi, menulis itu tidak tergantung dari informasi yang saya miliki tentangnya. Sudah cukup banyak buku tentang menulis yang saya baca tetapi tetap saja, menulis dengan benar-benar cakap itu sulit. Uniknya, saya justru terbantu oleh beberapa buku yang tidak langsung memberikan informasi mengenai menulis akademis. Terdapat tiga buku yang paling berguna bagi saya dalam menulis.

Pertama, “On Writing” karya Stephen King (terbitan Qanita, 2005). Walau buku ini lebih banyak bercerita tentang penulis, bukan aktivitasnya, dan berbicara tentang penulisaan fiksi, buku ini menurut saya inspiratif bagi dunia tulis-menulis. Hal yang paling penting saya dapatkan dari buku ini adalah arti penting kata-kata yang tertulis. Menurut King, kata-kata itu sangatlah berpengaruh. Kata-kata adalah awal bagi kita dalam mencapai keinginan. Hal kedua yang saya dapatkan dari buku ini adalah perjuangan King yang luar biasa dalam menulis. Ia pernah dicerca sebagai penulis “buku sampah” bahkan pernah mengalami kecelakaan yang sangat serius. Walau begitu, ia tetap produktif menulis dan menghasilkan banyak karya.

Kedua, buku kumpulan tulisan berjudul “New Wave Marketing: The World is Still Round The Market is Already Flat” karya Hermawan Kartajaya (terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2008). Sepintas buku ini adalah buku “biasa” tetapi sebenarnya tidak ada buku yang biasa. Semua buku selalu luar biasa dalam konteks upaya yang digunakan untuk mengkreasikannya. Buku ini adalah karya kolektif walaupun Hermawan adalah penulisnya. Ide yang penting bagi saya adalah bagaimana menghasilkan tulisan tiap hari walaupun singkat. Buku ini merupakan kumpulan tulisan setiap hari selama seratus hari di harian Kompas. Dari sinilah inspirasi untuk menulis satu tulisan per hari dengan rupa-rupa topik yang saya lakukan beberapa bulan ini berasal.

Dan terakhir, buku yang memberi inspirasi terbesar belakangan ini dalam menulis adalah buku sangat bagus berjudul “What I Talk about When I Talk about Running: A Memoir” karya Haruki Murakami (terbitan Vintage Books, 2008). Terus terang, setelah membaca buku ini dan beberapa karya Murakami yang lain, saya benar-benar ingin menulis seperti dia. Murakami di satu sisi menguatkan konsepsi saya atas tulis-menulis, namun di sisi lain “menghancurkan” pemahaman saya atas menulis.

Paling tidak ada tiga inspirasi yang saya dapat dari buku ini. Hal paling awal adalah cara menulis dengan berani. Menulis dengan berani adalah cara mengatasi pembatas di dalam diri kita sendiri. Murakami sempat memiliki karir yang bagus dengan klubnya tetapi ia tinggalkan demi memasuki dunia kepenulisan.
Seringkali kita merasa tidak mampu menulis dengan bagus, menganggap apa yang kita tulis biasa saja, atau pun tidak mungkin mencapai banyak hal dengan menulis. Apalagi di kehidupan sehari-hari waktu yang longgar untuk menulis memang sulit didapatkan. Murakami menunjukkan secara langsung bahwa menulis itu memang harus diperjuangkan dengan berani sebab tidak ada topik yang biasa dalam menulis, minimal bagi diri kita sendiri.

Menulis sebagai aktivitas biasa saja adalah inspirasi kedua yang saya dapatkan dari memoar Murakami tersebut. Saya pernah distigma tidak bisa menulis. Saya sangat terpukul karenanya. Dua tahun kemudian saya tersadar bahwa kenapa mesti terpukul? Saya terpukul karena saya masih menganggap menulis itu sebagai aktivitas luar biasa. Saya terpukul karena harapan saya untuk menulis dengan baik terhajar oleh stigma tadi. Ketika saya anggap menulis sebagai aktivitas “biasa”, justru saya mulai lebih enteng menulis. Menulis yang biasa tadi, justru pelan-pelan menjadi aktivitas yang luar biasa.

Murakami sendiri menganggap menulis adalah suatu yang biasa karena ia tidak pernah memikirkan dengan sangat mendalam ketika menulis pertama-kali. Ia menulis novel pertamanya dengan tiba-tiba, begitu saja. Ia ingin menulis sebuah novel dan ia menganggap rasanya bisa menyelesaikannya. Murakami menganggap dirinya biasa saja. Ia benar-benar menyelesaikan novelnya dan terus produktif berkarya setelahnya.

Hal terakhir yang saya dapatkan dari buku tentang berlari tersebut adalah menulis itu menyatu dengan kehidupan personal. Dalam kasus Murakami menulis itu adalah benar-benar aktivitas personal. Ia tidak berpretensi menjadi seperti penulis besar, atau menjadi seperti salah satu penulis besar, justru ia menjadi penulis hebat karena sikapnya itu. Ia menulis dengan caranya sendiri, menulis tentang hal-hal yang disukainya dan yang ia tahu benar. Ia sangat menyukai berlari, ia menulis tentang berlari. Berlari di tangan Murakami menjadi aktivitas yang “keren” dan indah.

Ah, sudahlah, saya sudah melantur terlalu jauh. Menulis akan terus menjadi misteri kecuali saya benar-benar mulai menulis. Menganggapnya sebagai hal biasa saja tetapi terus intens melakukannya. Melakukannya dengan mencoba membongkar keterbatasan yang kita miliki.

Menulis bagi saya tetap sebuah misteri dan tulisan ini adalah salah satu rangkaian saya memecahkan misteri tersebut walau entah sampai kapan. Sampai besok atau sepanjang hidup, saya tidak tahu.

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...