Rabu, 17 Februari 2010

Wajah


Dia selalu tidak menyukai wajah. Baginya, wajah tak lebih sebagai perpanjangan dari tubuh. Wajah juga sangat bisa menipu. Walaupun, banyak orang mengatakan wajah adalah pintu gerbang untuk mengenali seseorang, baginya wajah adalah pintu gerbang yang melencengkan dari esensi yang sebenarnya. Sudah berkali-kali dia tertipu karena wajah. Wajah yang mendayu dan ceria ternyata menyimpan sesuatu yang setajam simbilu. Atau sebaliknya, wajah yang sangar nan ganas, ternyata ujung-ujungnya inspiratif dan memberikan banyak bantuan dalam hidupnya.

Dia selalu menyukai tubuh (tentu saja bila wajah dipisahkan dari badan dan anggota badan). Baginya, tubuh lebih polos dan otentik dalam menjawab dan memberikan makna yang dicari dari seseorang. Selain itu, dia menyenangi tubuh karena tubuh ditelaah oleh pemikir favoritnya, Michel Foucoult. Tubuh adalah obyek kekuasaan dari jamannya. Tubuh adalah bagian dari efek diskursif yang diberikan oleh kata-kata.

Tubuh selalu menjadi sasaran bagi entitas kuasa di luarnya. Katakanlah media, Negara, pasar, bahkan agama walau demikian ia menganggap tubuh selalu dapat member perlawanan. Tidak seperti wajah yang bisa melawan sebenarnya tetapi selau gamang pada akhirnya. Wajah bisa dibujuk tubuh bisa melawan. Wajah bisa merajuk tubuh bisa merujuk pada sesuatu.

Dia selalu tidak menyukai wajah. Karena itulah, setiap kali berbincang dengan seseorang, dia tidak pernah menatap mitra bicaranya. Entah mereka perempuan atau lelaki. Baginya, wajah adalah penghianat langsung dari seseorang. Tubuhnyalah sekutu utama untuk memberikan informasi seputar seseorang. Tubuh memberikan informasi dan dilanjutkan dengan aksi-aksi.

Lalu bagaimana dia membedakan identitas bila menafikkan wajah?

Selama bertahun-tahun dia mengembangkan kemampuan untuk hanya melihat bahasa tubuh, bukan bahasa wajah. Tangan yang bergerak. Kaki yang berposisi. Dan tentunya, kedua anggota badan tersebut yang diinteraksikan dengan posisinya masing-masing dengan badan. Selama bertahun-tahun, sekitar tujuh belas tahun, dia membiasakan diri untuk tidak melihat wajah.

Dengan melihat tubuh minus wajah. Dia bisa melihat sekutu dan musuh dirinya. Dia bisa memahami siapa sekutu yang loyal dan musuh yang patut dihargai. Gerakan tangan yang menghardik terlihat oleh dirinya. Gerakan kaki yang melindungi terpahamkan dengan mudah karena pengalaman bertahun-tahun. Bahkan tindakan imperatif seseorang jadi lebih mudah terlihat tanpa memperhatikan wajahnya.

Bukan hal yang mudah bagi dirinya berkoneksi dengan seseorang tanpa mengamati wajahnya. Dia pernah dituduh penganut agama yang fanatik karena tidak memperhatikan wajah dan selalu menunduk pada mitra bicara. Tetapi dia pun tak yakin, apakah agama benar-benar punya wajah yang tunggal. Wajahnya seperti apa? Wajah welas asih penuh cinta, atau wajah yang bagaimana?

Hal yang paling dia sukai adalah berkomunikasi dengan pihak lain melalui media baru. Ada dua pilihan di sini. Tidak menggunakan wajah sama sekali. Dia bisa menggunakan wajah generic, yang disediakan oleh media baru tersebut terutama internet. Pada titik ini dia bingung juga karena kata para ahli, internet yang mengakomodir komunikasi online sudah menyatu dengan kehidupan nyata. Wajah mana yang lebih penting, wajah online atau wajah offline, atau bahkan wajah inline?

Dia hanya tersenyum dan bersyukur dia tidak mementingkan wajah. Dia tidak perlu lebur dalam hiruk-pikuk kewajahan dan wajah-wajah implementatif. Wajah tetap tak penting. Sekali tak penting tetap tak penting, begitu pendapatnya.

Hal yang paling tidak dia senangi berkaitan dengan wajah adalah bila interaksi yang terjadi melibatkan emosi. Mengapa hal ini terjadi? Sederhana saja, tubuh sulit menunjukkan cinta dan benci. Tubuh menunjukkan posisi tetapi bukan cinta atau pun benci. Dia sudah berusaha keras membaca cinta dan benci dari gerak tangan, kaki, dan posisinya terhadap badan. Tetap sangat sulit. Dan setelah tujuh belas tahun belajar, dia belum juga memahaminya.

Dia mengalami kebingungan luar biasa. Dia merasakan dua lawan jenis yang aura-nya dia rasakan menyukainya. Sayangnya, dia tidak melihat wajahnya. Untungnya, kedua lawan jenis itu tidak mementingkan apakah dia memperhatikan wajah mereka atau pun tidak.

Orang pertama, memiliki tangan yang melindungi nan tegas. Itu terlihat dari tangannya yang bersedekap di badan. Tangan itu hanya lepas dari badan bila ingin menunjukkan instruksi tetapi “perintah” yang halus sekaligus menyenangkan. Orang kedua, memiliki tangan terbuka dan membebaskan. Tangannya tak pernah mengajak, hanya membiarkan dirinya memilih apa yang harus dilakukan. Tangan ini tidak pernah menyatu dengan badan. Tangannya selalu menunjukkan pilihan bebas dari tindakan.

Terus terang dia menyukai keduanya. Tangan yang bersedekap adalah wujud perlindungan, sementara tangan yang terbuka adalah wujud pembebasan. Dia ingin lebih dekat lagi dengan kedua orang tersebut dan berusaha menafsir gerak dan posisi kaki terhadap badan. Entahlah, menurutnya, kaki lebih intim dari tangan. Sementara dalam interaksi tingkat sekarang ini, dia tahu dia belum dapat mendapatkan informasi mengenai kaki.

Berhari-hari dia berusaha memahami dan memilih di antara keduanya. Pemilihan yang bisa jadi rumit tanpa mengenali wajah. Dia termasuk berusaha keras memahami bahasa tubuh, termasuk definisi komunikasi virtual dan gesture dan komunikasi verbal minus wajah. Dia bahkan hampir ikut kursus “body language” di DPR yang diasuh oleh salah seorang wakil rakyat yang dulunya aktivis jenis senam ini.

Hari ketujuh dia tak sabar lagi. Dia tetap tidak mendapatkan informasi tambahan mengenai identitas kedua orang tersebut tanpa mengenali wajahnya. Salah satu sebenarnya dapat dia upayakan informasinya karena satu tempat bekerja. Dia bisa mengakses di database sumber daya manusia. Tetapi dia tidak ingin. Sebab informasi individu yang satunya lagi tertutup aksesnya. Dia ingin memiliki ukuran dan prosedur yang sama untuk memahami keduanya. Prosedur yang transparan dan berlaku sama untuk keduanya. Ukuran yang empiris agar bisa dicek secara lebih adil dan setara.

Dia tidak ingin menerapkan standar ganda seperti yang diterapkan oleh Amerika Serikat pada dunia Islam. Standar ganda selalu menghasilkan dua ekstrem perasaan. Pihak yang diuntungkan akan sangat menyukai diri kita, sementara pihak yang dirugikan akan sangat membenci kanan. Efek inilah yang semestinya dihindari, menciptakan ekstermitas pada satu sisi sekalipun itu hanya pada aspek perasaan.

Pada hari ketujuh malam hari, dia tidak sabar lagi. Dia harus memutuskan apakah terus mencoba memahami atau berhenti saja sampai di sini. Akhirnya setelah perdebatan diri dua jam lebih dengan meninggalkan tayangan sepakbola kesukaannya di televisi, dia memutuskan untuk mulai mengakses wajah.

Dia berharap esok pagi bisa melihat wajah kedua orang itu. Wajah-wajah yang pastinya memberikan informasi. Informasi maksimal tentang identitas keduanya. Bila informasi empiris sudah dia dapatkan, barulah dia bisa menentukan opini dan sikapnya atas kedua orang tersebut.

Untuk mengenali wajah orang lain tentu saja dia mesti mengenali wajahnya sendiri. Dia mencari cermin yang sudah sangat lama disimpannya. Akhirnya dia dapatkan juga, dia dapatkan di antara komik Arad dan Maya, Trigan, Storm, seri Nina, dan novel-novel Wiro Sableng, Balada si Roy, Nick Carter, dan Ennie Arrow. Ternyata memang sudah lama sekali dia tidak bercermin.

Pelan-pelan dia arahkan posisi yang dia asumsikan letak wajahnya ke cermin. Dia menatap cermin.

Ternyata….wajahnya tidak ada!

Dia berteriak histeris.

Dia hanyalah seseorang tanpa wajah dan potensial sendirian keesokan harinya….



(fiksi pendek pertama yang selesai ditulis setelah sekitar dua dekade)

Tiga berikutnya:
1. Para Pencari Wajah
2. Wajah Siapa Ini Wajah Siapa
3. Hasrat Mengepistemologi Wajah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...