Rabu, 10 Februari 2010

Sampai di Mana dan Sampai Kapan, Pak?



Ketika album ketiga Bapak presiden kita dirilis tanggal 24 Januari 2010 kemarin, saya berjanji dalam hati tidak akan membeli, apalagi mendengarkannya, lebih-lebih menakarnya. Amit-amit deh…hehe…. Ternyata janji saya itu tidak bisa bertahan dalam waktu yang lama. Beberapa hari lalu, saya membeli, mendengarkannya, dan juga menakarnya. Aktivitas mengakses album ini, bagi saya memberikan banyak “pelajaran” dalam menakar sebuah album, juga lebih jauh lagi, pesan media. Alasannya profesional, suka tidak suka dengan pesan media tetapi demi kepentingan ilmiah akademis untuk meneliti pesan, saya tetap mengaksesnya juga.

Dalam menakar pesan media, kita memiliki cukup banyak ragam interaksi. Kita yang mengakses media akan selalu berinteraksi dengan “pencipta” dan “hasil ciptaan” atau kreasinya. Dari sini kita bisa menyusun empat “kotak” dari matriks interaksi tersebut. Kita suka dengan kreator dan kreasinya ataupun tidak suka pada keduanya. Ini sudah dua kotak. Kita juga bisa menyukai kreator tetapi tidak ciptaannya, atau sebaliknya, kita bisa menyukai hasil ciptaan tetapi tidak kreatornya. Ini adalah dua kotak interaksi pemaknaan kita dengan produsen dan hasil kreasi yang terakhir. Ragam interaksi yang dapat menjebak penakar dalam labirin tak berujung bila tidak awas.

Hal yang cukup sulit adalah bila sang kreator memiliki multi “identitas”. Dalam kasus ini, sang kreator adalah seorang penulis lagu dan juga seorang pejabat publik negeri ini, malah seorang pejabat tertinggi negeri ini. Pada “kreator”, sebagai presiden negeri ini, posisi saya jelas. Saya tidak menyukainya. Banyak kebijakan dan respons beliau atas berbagai peristiwa yang tidak oke dan terkesan menutup-nutupi sesuatu (ingat pidatonya yang merupakan anti-klimaks kasus cicak versus buaya).

Mengenai posisinya sebagai pencipta lagu, saya tunda dulu keputusan posisi saya karena sebelum ini saya belum pernah mendengarkan lagu-lagu ciptaan sang bapak. Walau demikian, tentu saja dalam menafsir nantinya, kita tidak bisa melepaskan sepenuhnya dari aktivitas beliau di dunia politik. Kita bisa bilang bahwa “pengarang telah mati”, tetapi dalam kasus album ini, sepertinya “pengarang” malah benar-benar hidup dan hadir dengan kuat pada seluruh isi pesan media.

Album ini bisa dilihat dari tiga perspektif, yaitu komunikasi pembangunan, komunikasi politik, dan musik populer itu sendiri. Sebagai salah satu jenis komunikasi pembangunan tentunya kita melihat pak SBY sebagai organ dari pemerintah yang berusaha memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat. Tujuannya jelas, untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari hadirnya Dewi Yull sebagai salah satu penyanyi. Dewi Yull adalah salah satu karakter imajiner penting bagi Orde Baru yang sudah mumpuni dalam menyampaikan pesan pembangunan. Kita tentunya masih ingat akan perannya sebagai Sartika, seorang dokter di daerah terpencil. Sartika adalah dokter yang berjuang untuk masyarakat daerah terpencil. Ironisnya, kondisi ini relatif sama dengan kondisi sekarang.

Lagu “Save Our Planet” adalah contoh lain bagaimana lagu ini berupaya menyampaikan pesan pembangunan. Kelihatannya lagu ini diciptakan ketika presiden datang di KTT Bumi di Bali. Sayangnya, liriknya terlalu formal untuk ukuran sebuah lagu populer yang katanya ditujukan untuk kaum muda tersebut. Lagu ini masih seperti gaya pengajaran orang-tua pada anaknya jaman dulu sekali. Mendengarkan lagu ini akan mengingatkan kita pada lagu Michael Jackson, “Heal the World”. We all gather in Bali/We want to save our planet/We are all united here in Bali/for a better life, a better world/for you and me….

Selanjutnya, album ini juga bisa dianggap sebagai bentuk pesan komunikasi politik, yaitu bagaimana melalui album ini, bapak presiden ingin menunjukkan bahwa dia dan partainya tetap rileks menghadapi kasus bail-out Bank Century pada lawan-lawan politiknya. Juga menunjukkan pada masyarakat bahwa mereka tidak hanya pandai mengurusi politik tetapi juga pandai menghasilkan musik populer. Album ini bisa dimaknai memberi simbol-simbol politis untuk mempengaruhi masyarakat secara halus dan tersamar.
Uniknya, siapa tahu masyarakat sebagai audiens album ini menganggap sebaliknya? Alih-alih untuk menimbulkan impresi, masyarakat malah memandang presiden dan pendukungnya kurang serius dalam menjalankan kekuasaan. Saya jadi ingat di masa lalu, jaman Orde Baru, ketika kaset-kaset berisi lagu-lagu pujian untuk Golkar dibagikan pada masyarakat, masyarakat memang menerimanya tetapi tidak mendengarkannya. Saya ingat saya malah menimpa kaset tersebut untuk merekam drama radio kesukaan saya jaman dulu, Ksatria Madangkara.

Sebagai sebuah artefak budaya populer, album ini sebenarnya lumayan. Kelemahannya mungkin pada lagu-lagunya yang biasa. Mendengarkan lagu-lagu di album ini, saya merasa seperti mendengarkan lagu-lagu lama, bahkan lagu-lagu “wajib” penuh pesan formal dan slogan. Kelebihannya adalah, album ini diisi oleh pemusik dan penyanyi yang lumayan, malah ada beberapa masuk dalam musisi kualitas nomor saatu, Fariz RM dan Elfa Seciora.

Sayangnya, lirik yang dimunculkan bergaya formal sekali, bahkan lagu “Liburan Sekolah” sekalipun, terdengar seperti liburan di sekolah pendidikan tentara. Demikian juga lagu “Budi Temanku” yang bercerita tentang teman yang tetap bertahan tinggal di desa. Awalnya saya kira si Budi itu adalah wakil bapak presiden sekarang ini. Ternyata bukan, Budi di lagu ini adalah Budi yang kembali dan gigih berjuang sebagai petani. Aku punya teman/Budi namanya/Anaknya pintar/Lagi jenaka. Ini adalah petikan liriknya. Jadi ingat dengan pelajaran SD tahun 1980-an dulu? Ini Budi. Ini bapak Budi. Wati kakak Budi. Budi dan Bapak Budi bermain bola. Ibu Budi dan Wati menanak nasi di dapur. Teman-teman Ingat, ‘kan?

Sesaat setelah album ini dirilis dan diberitakan di media, seorang rekan menulis komentar di status FB-nya sebagai berikut: mau sampai di mana, pak? Saya sedikit mengubahnya untuk judul tulisan ini, “Mau sampai di mana dan sampai kapan, pak?” maksudnya bukan untuk karier politik, tetapi terlebih ditujukan untuk karier menulis lagu bapak presiden. Menurut saya sih, sampai di sini saja. Tidak perlu diteruskan sampai album keempat. Kecuali kualitasnya meningkat. Jangan sampai pendengar tidak mendapatkan standar kualitas album yang lebih baik nantinya. Mendingan bapak presiden bersama para aparatnya membenahi industri musik rekaman Indonesia, terutama dari pembajakan yang benar-benar menggurita sekarang ini. Bapak adalah salah satu regulator, bukan pemain.

Sebagai sebuah dokumentasi pesan media, membeli album ini ada manfaatnya. Saya ingin menyimpannya dan berharap bisa lebih bercerita banyak dalam konteks akademis. Saya tidak ingin menyesal lagi karena tidak mendokumentasi banyak konten media dekade 1980 dan 1990-an, padahal saya punya kesempatan untuk itu. Sebagai sebuah album musik populer, sebenarnya saya agak menyesal membelinya walaupun harganya hanya Rp 20 ribu.

Mendengarkan album ini saya merasa ada di masa lalu, yang diberi pesan yang formal, sarat beban, dan kaku, sesuai ciri-ciri tentara. Ternyata karakter aslinya akhirnya muncul juga. Walaupun pak SBY baru saja mendapatkan penghargaan sebagai komunikator politik terbaik se-Asia Pasifik, ia dan tim-nya tidak bisa menutupi karakter aslinya. Justru karakter tersebut terlihat pada karya-karya lagunya.

Penyanyi : various artist
Judul : Ku Yakin Sampai di Sana, Persembahan SBY untuk Bangsa & Negeri Tercinta
Tahun : 2009
Label : Suara Hati
Daftar lagu:
1. Jiwaku Terang di Malam Itu (vokal: Vidi Aldiano, arr.: Fariz RM)
2. Adakah (vokal: Joy Tobing, arr.: Pay)
3. Budi Temanku (vokal dan arr.: Koeswoyo Junior)
4. Kuyakin Sampai di Sana (vokal: Rio Febrian, arr.: Irwan Simanjuntak)
5. Untukmu Anak Manis (vokal: Dewi Yull, arr.: Yan Roesly)
6. Liburan Sekolah (vokal & arr.: Koeswoyo Junior)
7. Longing My Love (vokal: Iwan Abdie, arr.: Alvin Lubis)
8. Save Our Planet (vokal: Elfa’s Singer, arr.: Elfa Seciora
9. Majulah Negeriku (vokal & arr.: Tantowi Yahya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis Lagi, Berjuang Lagi

Di akhir tahun mencoba lagi menulis rutin di blog ini setelah sekitar enam tahun tidak menulis di sini, bahkan juga jarang sekali mengunjung...